ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA

  ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA *kepada Hugo   Lukisan Sri Yesus Kristus bersama dengan Sri Krishna setelah Tuhan mereka bunuh berkali-kali... yang terjadi adalah kemanusiaan yang mati... akhirnya menjelma jadi jiwa yang mengembara di padang belantara... ke selatan, ke utara... ke timur, ke barat... ke sana... entah ke mana... mencoba menemukan Tuhan yang telah tiada   walaupun demikian, itu lebih baik bagi mereka daripada mulut ngaku ikut Sang Lelaki Galilea tapi membela anak ular beludak sampai mati atau mewarnai semua dengan mejikuhibini Ah, Hug, Barat itu arah terbenamnya matahari bacalah Wahyu, semuanya sedang digenapi...   Malang, 07 Oktober 2024 Padmo Adi

Ideologi (Pancasila) di Mata Gereja

Ideologi (Pancasila) di Mata Gereja
-Padmo Adi-

Pengantar
Ideologi merupakan cara pandang suatu bangsa untuk menentukan arah tujuan kehidupannya dan perkembangannya. Di dunia ini ada banyak ideologi, tetapi ada dua ideologi besar yang dianut oleh bangsa-bangsa dengan segala modifikasinya, yaitu liberalisme dan komunisme. Di samping itu ada pula ideologi (fundamentalisme) agama. Sedangkan Indonesia sendiri memakai ideologi Pancasila. Ideologi Pancasila menurut Soekarno dan para founding-fathers lain yang merumuskannya tidak diambil atau diadaptasi dari luar kazanah bangsa Indonesia, melainkan justru dilahirkan dari spirit kebangsaan Indonesia sejak nenek moyang bangsa ini dulu. Memang dahulu pada era Sriwijaya atau Majapahit belum ada rumusan baku bernama Pancasila, akan tetapi spirit itu sudah ada. Spirit itu kemudian dirumuskan dan dibakukan oleh para founding-fathers di dalam lima thesis besar yang bernama Pancasila atau lima pokok.
Gereja sendiri sebagai institusi agama dan spiritual memiliki pandangan tersendiri terhadap ideologi-ideologi tersebut. Gereja berada sangat dekat dengan dua ideologi besar, liberalisme dan komunisme. Pandangan Gereja terdokumentasi di dalam ensiklik Mater et Magistra, Octogesima Adveniens, Sollicitudo Rei Socialis. Gereja sangat mengkritisi dua ideologi besar tersebut dan meminta umatnya untuk waspada terhadap dua ideologi itu. Jika demikian sikap Gereja terhadap liberalisme dan komunisme, kira-kira bagaimana sikap Gereja terhadap Pancasila? Gereja Universal tidak memiliki dokumen yang membahas tentang Pancasila karena ideologi itu sungguh ideologi lokal yang lahir dari local-wisdom Bangsa Indonesia. Maka, apakah Gereja Lokal, Gereja Indonesia, memiliki pandangan tertentu terhadap ideologi lokal itu yang tentu bersinggungan langsung dengan Gereja Lokal Indonesia? Paper ini akan berusaha menelusurinya. Paper ini akan membahas dua ideologi besar tersebut dan ideologi Pancasila. Paper ini juga akan membahas pandangan Gereja seperti yang termuat di dalam dokumen-dokumen resmi Gereja. Dan, paper ini akan meneusuri pandangan Gereja Lokal terhadap Pancasila.

Ideologi dan Negara
Ideologi merupakan seperangkat ide-ide yang dijunjung tinggi, diyakini, dan diwartakan sebagai kebenaran yang dijadikan pegangan dalam hidup bermasyarakat[1] dan bernegara. Ideologi ini dijadikan cita-cita suatu bangsa. Maka, untuk menjamin keberlangsungannya, ideologi ini dirumuskan ke dalam staatfundamentalnorm, dijadikan sumber dari segala sumber hukum, dan dijelmakan ke dalam konstitusi negara.[2] Ideologi itu kemudian diturunkan ke dalam hukum-hukum dan peraturan-peraturan negara. Semakin liberal suatu ideologi, semakin minim negara mencampuri kehidupan masyarakatnya. Sebaliknya, semakin totaliter suatu ideologi, semakin ketat dan rigid negara mencampuri kehidupan masyarakatnya. Konstitusi suatu negara menjabarkan ideologi yang dianut suatu bangsa.
Mengapa orang bernegara? Ada banyak alasan orang bernegara. Alasan pertama adalah karena mereka satu etnis, satu bangsa, dan berada di wilayah yang relatif sama atau berdekatan. Bagaimana jika ternyata mereka multietnis dan bahkan multireligius? Mengapa mereka masih saja tetap bernegara? Ada beberapa alasan lain selain kesamaan etnis yang mendorong orang bernegara. Kesamaan sejarah atau kesamaan nasib seperti Indonesia misalnya. Bisa juga untuk melindungi kepentingan religius seperti Vatican. Atau, bisa juga karena memiliki tujuan dan cita-cita yang sama seperti Amerika Serikat. Karena memiliki sesuatu kesamaan yang sama orang-orang berkumpul dan bernegara. Semua alasan itu kemudian dirumuskan ke dalam suatu ideologi atau orang mengambil ideologi yang sudah terlebih dulu dirumuskan untuk melegitimasi alasan mereka bernegara. Uni Soviet misalnya mengambil dan memodifikasi ideologi Marxisme. Amerika Serikat merdeka dengan mewujudkan ideologi liberalisme-demokrasi yang terlebih dulu dirumuskan justru di Eropa Barat. Sedangkan Indonesia merumuskan local-wisdom yang telah berurat-berakar di dalam masyarakat Nusantara ke dalam ideologi Pancasila. Kemudian, ideologi itu dijabarkan ke dalam konstitusi untuk kemudian dijelaskan lagi ke dalam Undang-undang di bawahnya. Semua itu untuk mengatur dan menjamin negara berjalan sesuai dengan cita-cita awal negara didirikan.

Liberalisme
Liberalisme merupakan ideologi yang sangat menjunjung tinggi kebebasan individual masyarakat. Acap kali kebebasan individu itu diekstrimkan sehingga melupakan kodrat sosial manusia. Istilah “liberal” sendiri baru dipakai secara politis di Spanyol oleh partai Liberales yang memperjuangkan prinsip-prinsip kemerdekaan politik seperti yang mereka kenal di dalam konstitusi Perancis (1791).[3] Sebenarnya liberalisme sudah tumbuh di Inggris pada abad 17. Dari Inggris liberalisme berkembang ke Eropa daratan dan ke Amerika Utara.
Liberalisme di Eropa Barat itu didahului oleh warisan budaya yang sangat panjang dan kaya. Filsafat dan sastra Yunani Kuno, hukum legal Romawi Kuno, dan tradisi Kristen turut serta menumbuhkembangkannya. Akar dari liberalisme ini sebenarnya adalah religius. Individualisme yang merupakan unsur utama dari liberalisme tumbuh dari Gereja Reformasi sejak abad XVI. Para tokoh Gereja Reformasi menyerukan individualisme di dalam agama, yaitu bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengakses Kitab Suci dan dengan demikian memiliki hak untuk berhubungan langsung dengan Tuhan tanpa harus melalui bantuan pimpinan Gereja. Inilah liberalisme di bidang agama. Bermula dari liberalisme di bidang agama ini, semangat liberalisme menyebar luas ke berbagai bidang. Revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial di Inggris dan Perancis menyuburkan semangat liberalisme. Para pemimpin tradisional yang absolut baik di bidang agama maupun sosial-politik dan budaya diruntuhkan.[4]
Orang-orang liberal selalu menghendaki pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga di segala bidang agar kebebasan individual setiap warga masyarakatnya terjamin. Mereka membenci pemimpin yang absolut. Mereka lebih senang menerima atau mengakui kewibawaan yang impersonal: tertib hukum, tertib ekonomi, dan sebagainya.[5] Liberalisme politik berkembang di Inggris sejak 1688. Kekuasaan pemerintah kerajaan yang absolut dikurangi sehingga kebebasan individual warga masyarakat dapat berkembang. Kerajaan di Inggris tetap ada dan tidak diganti sebagaimana yang terjadi di Perancis, tetapi kekuasaannya dibatasi dengan adanya oposisi, tertib hukum, dan pembagian kekuasaan melalui parlemen.
Liberalisme akhirnya melahirkan negara-negara liberal seperti Amerika Serikat, Perancis, dan lain sebagainya. Memang liberalisme di bidang politik mendorong masyarakat ke arah demokrasi. Masyarakat menuntut kekuasaan yang besar di segala bidang yang dulu hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh yang memimpin lembaga pemerintahan atau keagamaan.[6] Akan tetapi, liberalisme di bidang ekonomi melahirkan sistem ekonomi pasar bebas. Lebih jauh, liberalisme di bidang ekonomi membawa kepada globalisasi. Peraturan main dari pasar bebas ini tidak lain adalah the survival of the fittest. Oleh karena itu, sistem yang dibangun adalah sistem yang memiskinkan yang lemah dan menyuburkan yang kuat. Negara-negara yang kuat dan memiliki korporasi-korporasi hebat mampu bertahan bahkan semakin kaya, sedangkan negara-negara kecil semakin dipermiskin.
Adam Smith
Filsuf liberalisme ekonomi dari Inggris yang paling terkenal adalah Adam Smith (1723-1790). Smith berpendapat bahwa nafsu-nafsu egoistis adalah nafsu yang paling langgeng di dalam diri manusia.[7] Dalam ekonomi negara harus mengambil sikap laissez faire, yaitu meminimalkan kontrolnya atas pasar. Ketika masing-masing tujuan pribadi tercapai, Smith percaya, kesejahteraan umum akan tercapai. Smith juga percaya akan adanya the invisible hands yang mengatur sendiri sistem pasar bebas itu.[8]
Liberalisme dewasa ini telah berkembang menjadi neoliberalisme. Neoliberalisme mengklaim bahwa pembebasan perdagangan akan memberikan keuntungan paling besar bagi semua. Neoliberalisme juga mengklaim bahwa hukum pasar menghasilkan the greatest happiness for the greatest number.[9] Neoliberalisme bukan hanya membebaskan individu warga masyarakat di dalam negara tertentu saja, tetapi secara global membebaskan korporasi untuk membuat jaringan ekonomi dunia. Negara-negara yang telah mapan dan kuat tentu akan diuntungkan dengan memiliki korporasi-korporasi multinasional yang demikian. Mereka dapat bersaing di pasar bebas dunia karena telah memiliki bargaining power. Negara-negara kuat itu akan semakin makmur dan kaya. Negara-negara yang bidang ekonominya dan sering kali bidang sosial-politiknya masih berada di bawah tingkat tertentu akan semakin tertinggal karena tidak memiliki modal yang cukup untuk bersaing. Di dalam negara-negara lemah itu terdapat 50% lebih golongan masyarakat bawah. Di dalam negara lemah yang terpuruk, golongan masyarakat bawah itu akan semakin terhimpit di dalam kemiskinan dan keputusasaan.[10] Mereka semakin miskin bukan karena semata mereka malas bekerja atau bersaing di pasar, melainkan karena struktur-sistem pasar bebas itu memiskinkan mereka.
Neoliberalisme, di luar segala klaim kebenarannya, tidak mampu memecahkan dua masalah yang jelas amat besar: masalah kemiskinan dan masalah lingkungan hidup. Masalah pertama adalah masalah keadilan dan solidaritas umat manusia. Masalah kedua merupakan masalah survival segenap umat manusia. Mereka yang betul-betul miskin secara ekonomis tidak menarik dan perhatian kepada lingkungan hidup adalah terlalu mahal bagi perekonomian dengan wawasan jangka pendek. Maka, negara tidak boleh menyerahkan perekonomiannya kepada pasar.[11]

Komunisme
Ideologi sosialisme-komunisme yang paling terkenal adalah ideologi rumusan Marx (dan Lenin). Sebenarnya ide komunistik sebenarnya sudah ada jauh sebelum Marx merumuskannya. Beberapa filsuf Yunani Klasik, seperti Plato, walau secara terbatas, sudah mengemukakan gagasan komunistik.[12] Aristoteles memperbaiki pandangan Plato mengenai sumber-sumber ketidakadilan yaitu tidak hanya berasal dari perbedaan kepemilikan barang-barang, tetapi juga perbedaan penghormatan. Gereja Perdana pun memiliki cita-cita komunistik semacam itu, yang dewasa ini masih diwariskan dalam biara-biara.[13]  Thomas More pun juga memiliki ide-ide komunistik. Selain itu ada pula yang dinamakan Sosialisme Utopis oleh Joseph Proudhon (1809-1865). Latar belakangnya adalah dunia feodal. Proudhon membela penghapusan privilese, perbudakan, kesamaan hak dan kekuasaan hukum. Tidak seperti Marx yang revolusioner, dia memercayai perubahan sosial harus berjalan dengan tenang, dengan kerjasama kaum borjuasi, dan tanpa menghancurkan tradisi atau solidaritas keluarga. Proudhon mengusulkan pendirian credit-union, bank rakyat dan koperasi, tetapi sekaligus menolak tuntutan credit-union untuk rundingan kolektif, hak mogok, dan merencanakan masyarakat uniforma.[14]
Engels dan Marx
Ide sosialisme yang sangat berbeda dari Sosialisme Utopis adalah Marxisme. Teori ini diusung oleh dua orang sahabat Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels. Sosialisme-Marxisme ini adalah bentuk sosialisme yang revolusioner dan menekankan praksis pergerakan. Di dalam bukunya, The Communist Manifesto, Marx mengatakan bahwa “... the whole history of humankind... has been a history of class struggles, contests between exploiting and exploited, ruling and oppressed classes; that the history of these class struggles forms a series of evolutions... .” Marx mengatakan bahwa sejak awal pertentangan kelas sudah terjadi dalam sejarah manusia. “... [I]n ancient Rome we have patricians, knights, plebeians, slaves; in the Middle Ages, feudal lords, vassals, guild masters, journeymen, apprentices, serfs; in almost all of these classes, again subordinate gradations... The modern bourgeois society... is more and more splitting up into two great hostile camps, into two great classes directly facing each other: bourgeoisie and proletariat.[15] Marx menolak pendapat bahwa orang-orang individual dengan kehendak individual mereka dapat menentukan sejarah. Individu tidak berdiri sendiri di dunia dan bertindak tidak melulu menurut cita-cita dan tujuan-tujuan subyektinya, melainkan bahwa mereka di dalam tindakan mereka menyesuaikan diri dengan peranan yang diharapkan dari mereka oleh golongannya. Bahwa individu-individu itu memang memiliki pemikiran dan cita-cita mereka sendiri, tetapi selalu di dalam kerangka pikiran golongan atau kelasnya.[16]
Pergerakan dan perjuangan kelas-kelas itu selalu berdasarkan kepentingan mereka. Tindakan pergerakan dan perjuangan (praksis) kelas-kelas itulah yang menurut Marx menentukan sejarah. Kepentingan-kepentingan yang menggerakkan kelas-kelas itu berdasarkan satu kepentingan dasariah dan bahkan sangat manusiawi yaitu kepentingan untuk mempertahankan diri. Karena ingin mempertahankan kepentingan itulah kelas-kelas berebut meraih kontrol kekuasaan negara. Oleh karena itu negara, menurut Marx, selalu merupakan negara kelas. Negara adalah alat untuk mempertahankan kepentingan kelas.[17] Karena selama ini negara dikuasai oleh kaum kapital, negara menjadi alat mereka untuk menindas dan menghisap kelas pekerja. Maka, mustahil mengharapkan reformasi sosial dari negara (top-down).
Menurut Marx negara merasa perlu untuk melegitimasi segala tindakannya. Legitimasi ini dijalankan dengan bantuan teori-teori dan rumusan-rumusan filosofis yang disebut ideologi. Semua dapat menjadi ideologi seperti filsafat, agama, moral, hukum, dan bahkan seni. Ideologi itu kelihatannya bagus atau bahkan suci, tetapi sebenarnya hanya berfungsi menjamin kekuasaan kelas-kelas atas.[18] Marx mengkritik ideologi liberalisme. Liberalisme menyatakan bahwa semua manusia itu sama bebasnya, baik kaum kapitalis maupun kaum buruh. Kalau seorang buruh tidak menyetujui upah yang ditawarkan oleh seorang kapitalis, dia bebas menolak bekerja kepadanya. Namun, Marx melihat bahwa di dalam kenyataan selalu saja buruh tidak berdaya melawan kaum kapitalis. Kaum kapitalis dapat dengan santai jika ada seorang buruh yang mengundurkan diri karena masih banyak orang yang membutuhkan pekerjaan yang dapat dia pekerjakan. Akan tetapi, buruh tak dapat berbuat apa-apa karena dia tidak memiliki alat produksi, dia sepenuhnya tergantung kepada kaum kapitalis yang memiliki alat produksi. Maka, dia secara terpaksa menerima upah yang didiktekan oleh si kapitalis. Jadi, atas nama kebebasan ditolak tuntutan keadilan.
Sebenarnya secara sederhana komunisme merupakan pandangan hidup yang mencita-citakan kehidupan bersama tanpa hak milik pribadi. Semua faktor produksi dimiliki secara bersama. Setiap orang bekerja menurut kemampuannya dan memperoleh hasil produksi bersama menurut kebutuhannya.[19] Akan tetapi, Lenin mengembangkan ide komunisme itu, khususnya pandangan Marx dan Engels, sehingga nampak berwajah garang. Lenin memasukkan unsur radikal kaum Nechajev dan Tkachov ke dalam pandangan revolusi Marxisme. Akhirnya, komunisme di tangan Lenin berkembang menjadi sebuah “dogma” (Leninisme) yang tak boleh diragukan maupun diperdebatkan.[20] Para buruh diwadahi di dalam suatu partai dan digerakkan menuju revolusi bersenjata. Komunisme mensyaratkan dua hal yaitu gerakan masal dan aksi revolusioner bersenjata.
Partai itu, Partai Bolshevik, kemudian menjadi partai tunggal setelah berhasil melancarkan revolusi Rusia dan pada tahun 1917 meraih kekuasaan di Rusia. Pada tahun 1918 Partai Bolshevik berubah nama menjadi Parati Komunis. Partai ini merupakan sebuah Diktator-Proletariat. Uni Sovjet sesudah revolusi Oktober berkembang menjadi negara yang tidak demokratis. Di bawah Diktator-Proletariat, Uni-Soviet menjadi negara yang totaliter dan justru merenggut hak-hak pribadi warga negaranya, termasuk hak untuk beragama. Komunisme di USSR justru mengorbankan rakyat yang pada awalnya diperjuangkannya justru untuk mempertahankan kekuasaan dan menjalankan ideologi tersebut.
Komunisme akhirnya menjadi salah satu ideologi totaliter. Ideologi-ideologi totaliter merupakan lawan yang sebanding dengan ideologi individualisme-liberalisme sehingga dapat begitu menarik pemuda dewasa ini.[21] Akan tetapi dia tidak menyadari bahwa ideologi-ideologi totaliter merupakan alat manipulasi dan dapat mengalienasi pengikutnya dari dirinya sendiri, dari kebutuhannya, dan dari perasaan-perasaannya,[22] padahal perasaan merupakan hal yang paling eksistensial yang dapat dialami oleh seorang manusia. Ideologi-ideologi totaliter merupakan dogma-dogma sosial-politik yang bersifat menyeluruh, mengklaim merangkum segenap kebenaran tanpa sisa. Kebenaran ada di tangannya secara utuh, penuh, dan mutlak, bahkan tak jarang mendapatkan legitimasi religius. Kebenaran itu multak, total, dipaksakan untuk diamini, dan bahkan bisa jadi ilahi. Oleh karena ideologi totaliter ini memiliki klaim kebenaran yang menyeluruh, para pengikutnya harus tunduk dan taat seratus persen tanpa boleh menanyakan atau mengkritisi. Mempertanyakan ideologi atas nama hati nurani tidak pernah diizinkan, bahkan bisa dihukum/diasingkan/dikafirkan. Satu-satunya yang dapat dilakukan para pengikutnya adalah tunduk penuh, taat total, tanpa perlawanan, dan selalu mengamini dogma-dogma ideologi totaliter tersebut. Selain komunisme yang merupakan ideologi totaliter kiri yang paling terkenal, terdapat ideologi totaliter lain, yaitu Fasisme (Nazisme/Ultranasionalisme) yang merupakan ideologi totaliter kanan dan ideologi fundamentalisme agama yang dewasa ini tengah mengancam dunia.

Pancasila
Ir. Soekarno berjabat tangan dengan Che Guevara
Pancasila berarti lima asas. Ideologi ini dirumuskan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 dan kemudian disempurnakan oleh Soekarno, Hatta, A. A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H. A. Salim, Ahmad Soebardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.[23] Thesis pokok Pancasila adalah: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan/kebangsaan Indonesia, kerakyatan dan demokrasi, dan keadilan sosial. Ideologi Pancasila menjadi bekal bagi bangsa Indonesia yang majemuk untuk bersatu[24] dan menuntun Bangsa Indonesia kepada arah dan tujuan bernegara.
Soekarno menjelaskan kelima thesis yang menjadi philosophishe grond-slag di mana Bangsa Indonesia didirikan dan dibangun ini sebagai berikut[25]:
·      Kebangsaan merupakan usaha memadukan unsur-unsur kehendak untuk bersatu, perangai serta nasib yang sama, dan persatuan bangsa dengan tanah air.
·      Kemanusiaan atau yang oleh Soekarno dinamai “Internasionalisme” merupakan sebuah bentuk nasionalisme a la Gandhi. Gandhi menjelaskan, “My nationalism is humanity.” Soekarno mengusulkan sila ini untuk mencegah fasisme (nasionalisme ekstrim). Ia mengemukakan secara metaforis, “ Nasionalisme tidak akan subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme.
·      Demokrasi, kerakyatan, mufakat dijelaskan Soekarno sebagai berikut, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ‘semua buat semua, semua buat satu’. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan.
·      Prinsip kesejahteraan, keadilan sosial, diterangkan secara sederhana sebagai prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Kemudian Soekarno merujuk pada San Min Cu I dari Sun Yat-sen yaitu nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Soekarno juga menggabungkan demokrasi politik dengan demokrasi ekonomi yang mendatangkan kesejahteraan sosial, yang dikenal oleh rakyat Indonesia sebagai paham Ratu Adil.
·      Sedangkan prinsip Ketuhanan disebutnya sebagai Prinsip Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Mahaesa. Artinya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap orang ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”.
Driyarkara sendiri menjabarkan Pancasila secara ontologis. Dia mendekati Pancasila dengan pendekatan anthropologi metafisis. Sebelum berbicara mengenai Pancasila, terlebih dahulu Driyarkara bertanya, “Was ist der Mensch und ist seine stellung im sein?” Apakah manusia itu dan bagaimanakah kedudukannya di dalam realitas?[26] Driyarkara memulai dengan bertanya mengenai keberadaan dirinya. Keberadaanku itu bersamaa dengan keberadaan dunia jasmani. Saya berada di dunia dan menjadikan segala yang berada di sana itu bagian dariku dan sekaligus memanusiakan dunia, aku mendunia. Inilah yang disebut membudaya. Dari kegiatan ini dihasilkan kebudayaan. Pancasila merupakan salah satu hasil pembudayaan manusia dan kegiatan memanusiakan diri serta memanusiakan dunia.
Dari kesadaran akan keberadaanku, aku merenungkan keberadaanku bersama keberadaan liyan. Fenomena bahasa pada manusia mengindikasikan bahwa manusia itu merupakan makhluk yang ada bersama. Dengan membahasa orang keluar dari dirinya sendiri dan memasuki orang lain. Juga pada kesadaran, ketika manusia menyadari dirinya, manusia menyadari yang lain. Ketika manusia menyadari “aku” berarti mengandaikan menyadari adanya “kamu”. Maka, mengaku berarti juga mengkamu dalam situasi dialog yang tak lain adalah mengkita. Antara adaku dan adamu adalah cinta. Memang aku dapat membenci kamu, tetapi benci tak lain adalah absennya cinta, seperti kegelapan adalah absennya cahaya atau dingin adalah absennya kalor. Adaku itu merupakan ada bersama dengan cinta (liebendes Miteinandersein). Adaku dan adamu yang adalah cinta itulah yang secara umum disebut kemanusiaan.
Cinta yang adalah kemanusiaan ini merasuki di setiap aspek kehidupan manusia. Di dalam pemenuhan kebutuhan cinta ini melahirkan keadilan sosial. Di dalam kehidupan sosial politik cinta ini melahirkan demokrasi. Sedangkan di dalam kehidupan berkelompok cinta ini melahirkan semangat kebangsaan. Kemudian kesadaran menuntunku kepada kenyataan bahwa adaku dan adamu itu serba terbatas dan tergantung antara satu dengan yang lain. Maka, mustahil aku adalah penyebab dari adaku sendiri. Kesadaran ini semakin menuntun saya kepada kesadaran akan ada yang tidak terbatas yang kusebut Tuhan. Karena adaku berasal dari ada yang tak terbatas, Tuhan, adaku dan adamu yang adalah cinta itu berasal dari cinta Tuhan yang tak terbatas.
Driyarkara berpendapat dalam Pancasila formal setiap sila merupakan idea azasi, dan idea azasi itu disebut dengan istilah kategori. Maka, Pancasila adalah kategori tematis yang adalah hasil ideifikasi dan sekaligus idealisasi. Kategori tematis ini masih berupa kategori logis dan harus dijadikan kategori imperatif agar dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Maka, Pancasila harus diterjemahkan ke dalam norma-norma kehidupan bernegara.[27]
Driyarkara sendiri telah memperingatkan bahaya penyimpangan Pancasila yang dia sebut deviasi. Dia membagi deviasi di dalam Pancasila ke dalam tiga kategori yaitu pengurangan, penambahan, dan penggantian (substitusi). Deviasi pengurangan terjadi jika di dalam Pancasila formal itu ada unsur-unsur yang dikurangi, baik kandungan arti masing-masing sila maupun jumlah sila-sila keseluruhan, seperti misalnya sebuah anggapan apriori bahwa Pancasila itu kafir. Deviasi penambahan terjadi jika orang mengatakan bahwa di dalam Pancasila terkandung NASAKOM (Nasionalisme, Agama, Komunisme) padahal jelas di dalam Pancasila tidak ada unsur komunisme (sosialisme tidak sama dan tidak sebangun dengan komunisme). Deviasi substitusi terjadi jika orang mengganti arti dari sila-sila Pancasila, misalnya sila keadilan sosial diartikan sebagai sama rasa sama rata yang meniadakan hak milik pribadi.[28] Deviasi ini bisa mengancam hakekat kebangsaan karena membatalkan kesepakatan yang mendasari kesediaan sekian banyak etnis, suku, dan kelompok religius untuk menjadi satu bangsa, Bangsa Indonesia, di dalam kesediaan saling mengakui kekhasan adat, kebiasaan, budaya, dan ragam keagamaan masing-masing.

Pandangan Gereja
Gereja, meski terlambat, telah mengeluarkan beberapa dokumen mengenai ideologi-ideologi tersebut dan bagaimana umat Katolik sedunia hendaknya bersikap. Gereja memandang negara secara positif sejauh mampu menghadirkan masyarakat yang adil. Institusi paling penting adalah masyarakat politik, pemerintah, atau negara. Ajaran sosial Gereja Katolik tidak mengembangkan sebuah pandangan teoretis tentang asal, hakikat, dan tujuan negara. Dokumen-dokumen hanya menggarap peran negara dalam menciptakan keadilan sosial.[29]
Rerum novarum (1891) menegaskan bahwa negara perlu mengadakan intervensi untuk melindungi buruh dan rakyat miskin. Tugas utama dari negara adalah “menjamin bahwa hukum dan institusi, keadaan umum negara dan administrasinya berjalan sedemikian rupa sehingga menghasilkan kesejahteraan umum maupun kemajuan pribadi. Paus Pius XI berkomentar mengenai Rerum novarum di dalam Quadragesimo anno (1931), “Leo XIII dengan berani telah melangkahi penghalang yang dipasang oleh liberalisme dan tanpa takut mengumumkan ajaran bahwa kekuatan sipil itu lebih dari pada sekadar pengawal ketertiban dan keteraturan.” Leo XIII dan Pius XI mengutuk liberalisme sekaligus melawan komunisme yang memberi peran terlalu berlebih kepada negara.[30]
Bagi Gereja negara merupakan masyarakat alami yang didasarkan atas hakikat sosial yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada manusia. Gaudium et spes (1965) mengatakan bahwa, “Kodrat sosial manusia memperlihatkan dengan jelas bahwa kemajuan pribadi manusia tidak dapat dilepaskan dari kemajuan masyarakat. ... Kehidupan sosial bukanlah suatu hal yang ditambahkan pada manusia. ... Di antara berbagai ikatan sosial yang diperlukan oleh manusia untuk perkembangannya, seperti keluarga dan masyarakat politik, terkait langsung dengan hakikat manusia yang terdalam. (GS 25)” Ajaran sosial Gereja Katolik memahami negara sebagai suatu yang alami, perlu, dan baik, tetapi juga terbatas. Dengan demikian Gereja Katolik menghindari ciri ekstrim individualisme-liberal dan komunisme-totaliter. Pandangan ini harus dipahami dalam konteks seluruh tradisi Katolik.[31]
Gereja Katolik dengan tegas dan jelas mengecam liberalisme-individualisme dan negara-negara yang bersikap laissez faire. Liberalisme salah di dalam pandangan anthropologinya. Bagi liberalisme individu sama sekali tidak sosial menurut hakikatnya, melainkan individu yang terasing. Liberalisme menghendaki minimalisasi campur tangan negara. Sedangkan ajaran Katolik menekankan hakikat sosial dari pribadi, lebih dari pada sekadar manusia yang mampu self-governing dan self-made. Gereja Katolik di dalam Rerum novarum menyerukan, “Setiap kali kepentingan umum atau suatu kelas tertentu menderita, atau terancam oleh kejahatan yang sama sekali tidak dapat dihadapi, otoritas publik (negara) harus masuk untuk menghadapinya. (RN 28)” Sudah dari awal Gereja Katolik menuntut intervensi negara untuk melindungi para pekerja dalam rangka melawan liberalisme laissez faire. Negara harus mengadakan intervensi bukan hanya demi kepentingan semua, tetapi juga bagi kepentingan kelas tertetu.[32] Gaudium et spes menyerukan hal yang sama, “Karena keadaan modern yang makin kompleks, pemerintah lebih sering diminta mengadakan intervensi dalam bidang sosial ekonomi, dengan cara menciptakan kondisi yang lebih memungkinkan untuk menolong warga negara serta kelompok-kelompok agar dapat dengan bebas mencapai kepenuhan manusiawi secara lebih efektif. (GS 75)”
Akan tetapi, peran negara tidak tak terbatas. Ketidakterbatasan atau totalitarianisme negara di dalam konsep dan praktik komunisme-leninisme ini yang ditentang oleh Gereja Katolik. Peran terbatas negara didasarkan atas anthropologi yang mengunggulkan martabat pribadi manusia, bahwa “manusia lebih tua dari pada negara” (RN 6). Sedangkan Quadragesimo anno menekankan prinsip subsidiaritas. QA menyerukan, “Hendaknya tidak mengambil dari individu apa yang dapat mereka capai dengan usaha mereka sendiri dan menyerahkannya kepada komunitas. (QA 79)” Masyarakat itu lebih luas dari pada negara dan memuat lebih banyak hal lagi. Sebuah masyarakat yang berfungsi dengan baik harus mengakui dan melibatkan aneka macam aktor dalam masyarakat.[33] Negara bukanlah seluruh tata sosial. Inilah mengapa Gereja Katolik menolak totalitarianisme yang menciptakan negara tanpa tandingan dan merenggut hak-hak dasar dan peran dari individu, keluarga, dan semua institusi antara.[34]
Meneruskan pandangan para pemimpin Gereja Katolik sejak akhir abad XIX, Paus Yohanes XXIII juga dengan tegas mengecam komunisme dan liberalisme. Paus Yohanes XXIII pada tahun 1961 mengeluarkan ensiklik Mater et magistra. Paus Paulus VI di dalam ensiklik Octogesima adveniens (1971) menghimbau umat Katolik untuk tidak menganut komunisme maupun liberalisme (OA 26) dan tetap harus waspada terhadap segala bentuk varian dari komunisme dan liberalisme (OA 34-35).[35]
Akan tetapi, mungkin karena sifatnya yang lokal Bangsa Indonesia saja, Gereja Katolik (juga Gereja Katolik Indonesia) sama sekali tidak memiliki dokumen resmi mengenai ideologi Pancasila. Hanya para pemikir Gereja Katolik Indonesia yang memberikan ulasan positif mengenai Pancasila dan mengingatkan akan bahaya penyimpangannya seperti yang telah terbukti terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Dari Vatikan pun tidak ada pernyataan resmi kecuali pernyataan Kardinal Jean-Louis Tauran seperti dikutip Kompas.com pada 10 September 2011. “Saya mendukung Pancasila sebagai asas karena memberikan dasar bagi perjuangan bangsa. Masa depan tidak mungkin bisa diraih tanpa adanya akar yang kuat,” ujar Tauran, Sabtu (10/9/2011), di kantornya, di Vatikan, saat menerima rombongan Pengurus Besar (PB) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Daftar Pustaka
Budi Hardiman, F., 2007, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia

Curran, Charles E., 2011, Buruh, Petani, dan Perang Nuklir, Ajaran Sosial Katolik, 1891 - Sekarang, terj. I Wibowo, Yogyakarta: Kanisius
Magnis-Suseno, Franz, 1977, Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme, Jakarta: STF Driyarkara
Magnis-Suseno, Franz, 2009, Etika Kebangsaan Etika Kemanusiaan, 79 Tahun sesudah Sumpah Pemuda, Yogyakarta: Kanisius-impulse
P. J. Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius
Purwa Hadiwardoyo, Al., 2010, 7 Masalah Sosial Aktual, Sikap Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius
Sudiarja, A., 2010, Ringkasan Pokok-pokok Sejarah Filsafat Sosial, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma


[1] Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, Sikap Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2010, 25
[2] P. J. Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 125-126
[3] Al. Purwa Hadiwardoyo, 2010, 26
[4] Al. Purwa Hadiwardoyo, 2010, 27
[5] Al. Purwa Hadiwardoyo, 2010, 26-27
[6] Al. Purwa Hadiwardoyo, 2010, 28
[7] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2007, 102
[8] F. Budi Hardiman, 2007, 103
[9] Franz Magnis-Suseno, Etika Kebangsaan Etika Kemanusiaan, 79 Tahun sesudah Sumpah Pemuda, Yogyakarta: Kanisius-impulse, 2009, 14
[10] Franz Magnis-Suseno, 2009, 14
[11] Franz Magnis-Suseno, 2009, 15
[12] Al. Purwa Hadiwardoyo, 2010, 28
[13] Al. Purwa Hadiwardoyo, 2010, 29
[14] A. Sudiarja, Ringkasan Pokok-pokok Sejarah Filsafat Sosial, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2010, 30
[15] A. Sudiarja, 2010, 33-34
[16] Franz Magnis-Suseno, Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme, Jakarta: STF Driyarkara, 1977, 35-36
[17] Franz Magnis-Suseno, 1977, 37
[18] Franz Magnis-Suseno, 1977, 38
[19] Al. Purwa Hadiwardoyo, 2010, 28
[20] Al. Purwa Hadiwardoyo, 2010, 30
[21] Franz Magnis-Suseno, 2009, 22
[22] Franz Magnis-Suseno, 2009, 23
[23] Al. Purwa Hadiwardoyo, 2010, 32
[24] Al. Purwa Hadiwardoyo, 2010, 33
[25] P. J. Suwarno, 48-49
[26] P. J. Suwarno, 89
[27] P. J. Suwarno, 125-126
[28] P. J. Suwarno, 110
[29] Charles E. Curran, Buruh, Petani, dan Perang Nuklir, Ajaran Sosial Katolik, 1891 - Sekarang, terj. I Wibowo, Yogyakarta: Kanisius, 2011, 203
[30] Charles E. Curran, 2011, 204
[31] Charles E. Curran, 2011, 205
[32] Charles E. Curran, 2011, 217
[33] Charles E. Curran, 2011, 209
[34] Charles E. Curran, 2011, 211
[35] Al. Purwa Hadiwardoyo, 2010, 33-34

Comments

  1. tapi kok orang liberalis dari eropa dan amerika lebih humanis ya dibandingkan manusia2 karbit yg menganut ideologi pancasila yg kelihatan lebih humanis dan teologis??? aneh tapi itulah realita...indonesia negara manusia karbit yg manusianya tinggi slera humor dan munafiknya. Pendiri negara yg dijunjung aja tdk konsisten dgn politik luar negeri bebas aktifnya dan condong bersekutu dngn komunis akibat perang dngn Belanda yg anggota NATO utk merebut Papua, akibatnya Sukarno kembali digulingkan suharto yg jdi salah satu tangan kanannya krna konspirasi suharto dan CIA.. indonesiaa ohh indonesiaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siapa bilang liberalisme-individualisme itu lebih humanis (manusiawi)? Itulah dasar dari neo-kapitalisme, lebih mencekik kita, dan kita seakan-akan rela saja dicekik, sebab cekikannya seakan-akan tak menyakiti. Kita dibuat rela untuk dicekik!

      Ideologi Pancasila sendiri, sayangnya, hanya menjadi alat indoktrinasi (lewat P4, misalnya). Kita tidak pernah (diperbolehkan untuk) mendekatinya secara personal, membatinkannya, bahkan mengkritisi dan mengevaluasinya. Negara (pemerintah), terutama rezim Orde Baru, membuat kita mengkultuskan Pancasila, sehingga tidak ada ruang untuk penafsiran alternatif. Pancasila itu kiri, tetapi disimpangkan oleh rizim Orde Baru menjadi ultrakanan, sehingga fasis.

      Pada artikel ini, saya mencoba untuk mendekati Pancasila secara eksistensial dan personal. Ada artikel-artikel lain yang mengupas Pancasila per silanya, hanya belum sempat saya paripurnakan.

      Delete

Post a Comment