PERPUSTAKAAN DAN KETAHANAN NASIONAL
-Padmo Adi-
Pembuka
Akhir-akhir ini bangsa Indonesia mendapat ancaman dari negara-negara tetangga baik secara militer, politik, budaya, maupun ekonomi. Kedaulatan bangsa kita disepelekan bahkan diinjak-injak oleh bangsa lain. Malaysia, contohnya, adalah negara yang dulu belajar banyak dari Indonesia, kini memandang sebelah mata bangsa kita. Setelah Sipadan dan Ligitan jatuh ke tangan mereka, kini mereka mencoba mendapatkan Blok Ambalat. Tidak hanya itu, para pekerja kita pun mereka perlakukan semena-mena, tanpa peri kemanusiaan sama sekali. Banyak tenaga kerja Indonesia yang legal di sana sengaja dijebak dalam lingkaran setan sehingga menjadi TKI ilegal dan dapat dideportasi tanpa harus diberi hak.
Amerika yang berpikir memiliki peralatan tempur canggih mencoba mencemooh kedaulatan kita dengan sengaja melintas batas. Mereka terkejut ternyata kita telah memiliki alutista yang cukup canggih. Namun, mengapa mereka berpikir dapat mengelabuhi kita? Mengapa mereka sengaja melintas batas dan ‘bermain-main’ di atas Laut Jawa? Apakah kita dianggap bangsa yang bodoh?
Apa yang sebenarnya terjadi? Dan, bagaimana seharusnya kita menyikapi pelecehan ini? Ini bukan semata-mata perebutan daerah wilayah kenegaraan, ini bukan semata-mata bermain-main menembus batas wilayah kenegaraan, ini adalah pelecehan kemanusiaan. Mereka berpikir kita adalah bangsa yang bodoh, seperti halnya Belanda 64 tahun yang lalu berpikir kita adalah bangsa yang bodoh dan tidak mampu bertahan dalam kemerdekaan yang baru saja kita rebut. Benar bahwa hanya segelintir orang yang mengenyam pendidikan (Eropa yang memadai) pada saat itu, selebihnya adalah petani yang mungkin masih buta huruf. Namun, bagaimana mungkin pemandangrendahan itu masih terjadi sekarang di saat telah banyak, meski belum semua, penduduk Indonesia duduk di bangku sekolah?
Mungkin mereka masih memandang rendah kita bukan karena kuantitas penduduk kita yang duduk di bangku sekolah, melainkan kualitas isi pendidikan kita. Pendidikan memang adalah hal yang sangat esensial bagi seorang manusia, bagi suatu bangsa. Pendidikan tidak bisa, bahkan seharusnya tidak dilepaskan dari proses berada seorang manusia, proses pembangunan suatu bangsa. Sosialitas bangsa yang bekualitas adalah koeksistensi individu-individu yang berkualitas.
Pada harian KOMPAS Senin, 1 Juni 2009 disebutkan bahwa Universitas Indonesia tengah membangun perpustakaan terbesar dan terindah di dunia. Selain itu ada berita foto yang menggambarkan para warga Jakarta di Lapangan Monumen Nasional tengah asyik membaca koleksi buku Unit Layanan Keliling, Kantor Perpustakaan Umum Kotamadya Jakarta Pusat. Perpustakaan keliling itu selalu ada di sana setiap hari Minggu untuk melayani warga. Dua berita ini menarik perhatian saya dan menginspirasi untuk menulis tulisan sederhana ini: antara pendidikan, minat serta akses baca, proses berada yang berkualitas, bangsa yang berkualitas, dan ketahanan nasional.
Perpustakaan Keliling di Solo Car Free Day - doc. pribadi
Ketahanan Nasional dan Pendidikan
Presiden Soekarno senantiasa mengatakan bahwa kita adalah negara yang besar dan kaya; kita dapat berdiri di atas kaki sendiri. Ada pula yang mengatakan, kita bagaikan tidur di atas tumpukan emas. Hal ini dulu disadari oleh bangsa-bangsa asing sehingga berabad-abad mereka (perusahaan dagang VOC, Kerajaan Belanda, Kerajaan Jepang, dan sempat juga Kerajaan Inggris) menjajah kita. Sekarang pun Indonesia masih rentan menjadi ajang persaingan kepentingan dan perebutan pengaruh negara-negara besar dan adikuasa karena sebagai bangsa yang kaya kita terlalu bodoh untuk mengelola kekayaan kita sendiri.
Dalam rangka menjamin eksistensi Bangsa dan Negara Indonesia, kita harus membina diri secara konsisten dan berlanjut. Pembangunan bangsa memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan ketahanan nasional. Keberhasilan pembangunan nasional akan meningkatkan ketahanan nasional. Kondisi ketahanan nasional yang tangguh akan mendorong peningkatan kualitas pembangunan nasional.
Berdasarkan prinsip tersebut wajar kalau
de facto banyak negara mencoba mengintervensi negara kita. Mereka tahu kita memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi sumber daya manusia kita murah dan bodoh. Ketahanan nasional meliputi ketahanan ideologi, ketahanan politik, ketahanan ekonomi, ketahanan sosial-budaya, dan ketahanan pertahanan dan keamanan. Sedangkan dasar fundamental pembangunan bangsa adalah pendidikan. Sistem pendidikan kita adalah sistem pembodohan massal. Bagaimana mungkin kita dapat menjadi bangsa yang cerdas jika buta huruf? Buta huruf bukan semata tidak dapat membaca aksara, melainkan secara menyedihkan tidak ada akses baca.
Akses baca kita sangatlah minim. Bangsa Indonesia bukan hanya mereka yang tinggal di kota-kota besar di mana listrik bahkan internet sudah mampu menjangkau; bangsa Indonesia juga adalah mereka yang masih telanjang di pedalaman Sumatera, Kalimantan, Papua, dll. Kita harus berterima kasih kepada segelintir saudara kita yang berjuang keluar-masuk pedalaman untuk mendidik saudara-saudara kita di sana. Meski tidak dapat menjanjikan ijazah yang mungkin berguna untuk melamar pekerjaan di perusahaan di kota, mereka menawarkan masa depan yang lebih cerah kepada anak-anak kita di pedalaman. Anak-anak pedalaman diajari untuk membaca (dan menulis). Hal ini penting untuk menghindarkan mereka dari penipuan-penipuan yang sayangnya dilakukan oleh saudara kita sendiri yang tinggal di kota.
Sistem pendidikan kita mau tidak mau harus kita akui adalah sistem yang hanya mencetak robot pekerja. Anak-anak kita sedari usia 4 tahun sudah didesain untuk menghafal pelajaran-pelajaran yang memungkinkan mereka menjadi pekerja yang baik kelak. Bahkan, fakultas yang laris adalah fakultas yang menjanjikan lapangan kerja sesegera mungkin setelah mereka lulus. Sungguh amat pragmatis pola pikir ini; tidak memilih fakultas/pendidikan berdasarkan bakat dan minat yang tentu dapat mengembangkan kemanusiaannya sendiri, melainkan memilih fakultas/pendidikan yang dapat mencetaknya sebagai pekerja yang baik sehingga dapat digunakan dengan segera oleh user.
Pola pikir pragmatis inilah yang menjadikan kita salah dalam mendidik anak-anak kita. Akibat lebih jauh adalah lemahnya ketahanan nasional bangsa Indonesia sehingga negara-negara asing masih saja sampai sekarang menyepelekan eksistensi Indonesia. Kita perlu mengubah paradigma tentang pendidikan. Tidak cukup hanya itu, kita juga perlu mengubah sistem pendidikan. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang semakin memanusiakan manusia. Pendidikan yang baik adalah bagaimana seorang individu dihargai dan dididik sebagai subyek berdasarkan siapa dia adanya bukan seharusnya (like who he/she is, not who he/she sould be). Dia dibantu untuk semakin menemukan dan menjadi dirinya sendiri sehingga dia semakin mengada secara berkualitas. Bangsa yang berkualitas terdiri dari individu-individu yang berkualitas.
Pendidikan adalah Hak Asasi Manusia
Nasionalisme kita harus mampu melahirkan anak bangsa yang melek huruf, melek IPTEK, dan melek politik. Untuk dapat melek ini tidak hanya dibutuhkan sekolah atau instansi pendidikan lain yang dapat mengajari seseorang membaca aksara, melainkan akses baca. Akses baca ini bisa jadi adalah pengadaan buku-buku yang mudah dijangkau, subsidi akan buku-buku pelajaran, toko-toko buku yang menjangkau daerah pelosok, dan/atau pengadaan perpustakaan.
Salah satu hak asasi manusia adalah hak hidup. Hak hidup ini sebenarnya adalah hak mengada, hak bereksistensi. Hak bereksistensi ini dapat didetailkan sebagai hak untuk berproses sesuai hakikat diri, hak untuk memanifestasikan kemanusiaan. Berproses sesuai hakikat diri ini dapat direalisasikan salah satunya dalam pendidikan yang berkualitas. Maka, pendidikan adalah suatu hak asasi manusia, bukan kewajiban asasi; bukan wajib belajar, melainkan hak belajar. Memang adalah kewajiban asasi negara untuk menyediakan sarana-prasarana serta sistem pendidikan yang baik dan berkualitas. Dan, adalah hak setiap manusia, termasuk semua manusia Indonesia untuk mendapatkan pendidikan sehingga tiap-tiap individu dapat semakin menjadi diri mereka sendiri. Individu-individu yang tangguh akan mendukung proses pembangunan bangsa selanjutnya dan pada akhirnya memperkokoh ketahanan nasional. Kita harus belajar banyak dari Jepang yang segera pulih setelah kalah dalam Perang Dunia II berkat pendidikan mereka yang berkualitas. Namun, belajar tidak sama dengan meniru.
Tidak hanya di sekolah sebenarnya kita mendapat pengetahuan dan pendidikan. Sayangnya, bangsa kita terlalu formalistis sehingga begitu mengagungkan ijazah dan gelar pendidikan yang hanya akan didapat melalui sekolah formal yang mahal itu. Padahal, ada sistem lain yang mungkin lebih efektif, home-schooling yang sudah mulai dirintis oleh beberapa pakar pendidikan anak-anak seperti Kak Seto misalnya. Perpustakaan juga merupakan tempat yang cocok bagi mereka yang ingin belajar mandiri. Pengadaan perpustakaan adalah mutlak untuk mendukung proses belajar-mengajar baik secara formal maupun informal-otodidak selain untuk mendukung mereka yang memiliki akses minim membeli buku sendiri.
Peniadaan akses baca ini sebenarnya adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia secara halus, adalah bentuk kekerasan simbolis (kekerasan di mana pihak korban menyetujuinya). Sang korban setuju karena mereka tidak harus repot-repot membaca. Mentalitas yang keliru ini sekilas tanpa efek sama sekali, tapi ketika kita melihatnya secara holistik, ketahanan nasional kita terancam baik dari pihak luar dalam rupa intervensi asing, maupun dari pihak dalam yaitu pembodohan. Orde Baru pernah melakukan hal ini. Orde ini
de facto menyunat banyak judul buku, memiringkan sejarah, dan mempropagandakan fakta semu agar kekuasaannya langgeng serta sisi gelapnya tak kasat mata. Pendidikan diseragamkan sedemikian rupa sehingga keunikan individu-individu ternihilkan. Pendidikan yang sungguh benar-benar seragam ini memungkinkan pemerintah pada waktu itu mengatur, mengawasi, bahkan hingga melakukan tindakan pembodohan: pem-
black-list-an buku-buku yang sebenarnya membuka cakrawala anak bangsa. Tidakkah ini suatu pelanggaran hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup (mengada) secara lebih baik? Mentalitas ini masih menyisakan fenomenanya sekarang. Secara stereotip orang tua lebih bangga anaknya belajar di jurusan tertentu dari pada jurusan yang sesuai dengan hakikat diri sang anak tersebut. Hak mengadanya dikebiri oleh orang tua dan bahkan sistem itu sendiri. Sebab, sekali lagi, sistem pendidikan kita hanya memproduksi robot-robot pekerja, bukan manusia Indonesia yang berkualitas. Individu-individu yang bodoh adalah akar dari bangsa yang bodoh. Maka, tak heran di luar negeri saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air sebagai pekerja hanya dianggap budak murah yang bodoh dan bukan sebagai manusia yang bermartabat. Dan, tak heran pula banyak negara lain melintas batas seenak sendiri bahkan memiliki sebagian daerah kita sebagai properti sebab bangsa kita kurang memiliki pemahaman tentang wawasan nusantara atau sejarah bangsa yang tentu dapat diakses lewat perpustakaan atau akses baca lainnya.
Salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya dalam konteks pendidikan (hak hidup, hak mengada, hak bereksistensi sesuai esensi) adalah sistem Ujian Nasional. Ujian Nasional juga merupakan kekerasan simbolis. Para siswa terpaksa lebih memfokuskan diri hanya pada mata pelajaran yang diujikan, sehingga buku-buku yang dibaca pun mau tak mau adalah yang mendukung supaya dapat lulus ujian, padahal mereka mungkin memiliki minat membaca buku lain di perpustakaan, misalnya Sejarah yang tidak diujikan nasional. Semua diseragamkan. Keunikan individu dianggap tidak ada. Proses belajar mereka selama bertahun-tahun ternihilakan karena nasib mereka hanya ditentukan dalam waktu kurang dari seminggu. Tidak ada kepercayaan dari pihak pemerintah terhadap instansi-instansi penyelanggara pendidikan (sekolah). Sebenarnya pihak sekolahlah yang berhak meluluskan atau tidak meluluskan seorang siswa sebab pihak sekolahlah yang mengetahui perjuangan sang siswa, bukan pemerintah (pusat).
Oleh karena pendidikan adalah hak asasi manusia dan merupakan aspek fundamental untuk membangun ketahanan nasional, pendidikan mutlak harus menjadi salah satu fokus perhatian utama pemerintah. Salah satu bentuk perhatian ini adalah pengadaan buku-buku penunjang belajar-mengajar (bersubsidi) dan/atau perpustakaan. Pihak swasta dapat turut serta membantu pemerintah dengan menyediakan akses-akses baca baik secara
on-line maupun
off-line. Tidak hanya sistem yang diubah, tetapi juga mentalitas. Kita yang memiliki mentalitas baca kuat hendaknya memersuasi saudara-saudara kita yang memiliki mentalitas baca lemah, bahkan, seandainya mungkin, turut serta saudara-saudara kita yang berjuang keluar masuk pedalaman untuk mengajari saudara-saudara di pedalaman membaca.
Bangsa yang Cerdas Memiliki Ketahanan Nasional yang Kuat
Jepang, sebagai contoh, setelah kalah total dalam Perang Dunia II, diawasi dalam kepemilikan angkatan bersenjata. Namun, ketahanan nasional mereka cukup baik. Mereka segera bangkit dari keterpurukan. Hal pertama yang mereka lakukan adalah membenahi pendidikan. Segala yang kacau dan porak-poranda mulai dibangun dari nol dengan pendidikan. Mereka mengirim para pemuda untuk belajar di luar negeri agar kelak kembali untuk membangun bangsa mereka. Kini Jepang tak hanya memiliki ketahanan nasional yang hebat meski angkatan bersenjata mereka sangat diawasi, bahkan Jepang cukup berpengaruh dalam bidang ekonomi dan kebudayaan. Kita lihat tidak sedikit anak muda kita berkiblat Jepang: komik yang dibaca, gaya berpakaian, aliran musik, dll. Jika Jepang, sebuah negara kecil di Asia, dapat melakukannya, mengapa kita, Bangsa Indonesia, bangsa yang besar, kaya, dan beraneka-ragam ini tidak? Kita dapat memulainya sakarang.
Ketika pendidikan membuat kita menjadi individu-individu yang cerdas, nasionalis (bukan fasis), dan berprikemanusiaan, saya pikir secara langsung maupun tidak langsung ketahanan nasional kita akan kokoh. Ketika kita memiliki akses baca baik secara
on-line lewat internet maupun secara
off-line melalui perpustakaan, cakrawala kita semakin terbuka, wawasan kita semakin luas, dan kesadaran kita semakin tajam sehingga
sense-of-belonging terhadap bangsa kita sendiri ini semakin kuat.
Sense-of-belonging yang kuat terhadap bangsa sendiri inilah yang pasti akan memperkokoh ketahanan nasional.
Sense-of-belonging (nasionalisme-patriotisme, bukan fasisme buta) tidak hanya dapat diwujudnyatakan dalam
show-of-force, melainkan juga dalam wujud seni-budaya, dsb.
Show-of-force itu penting dan perlu untuk mempertegas kedaulatan kita agar bangsa-bangsa lain tidak main-main mencoba menembus batas, tapi tidak perlu seluruh warga negara melakukannya. Tentu sudah ada pembagian-pembagian tugas sesuai fungsi dan kemampuan masing-masing. Polisi menjaga ketertiban berwarga-negara, TNI menjaga negara dari ancaman militer, presiden membawa biduk rumah tangga negara, petani bekerja di sawah dengan baik, guru membantu siswa menemukan jati dirinya, siswa tekun belajar untuk mengada sesuai hakikat kemanusiaannya, seniman dan budayawan mengembangkan karya seni dan memperkenalkannya kepada masyarakat internasional, atlet berjuang dengan semangat
fair-play dalam perlombaan nasional maupun internasional, petugas perpustakaan menjaga dan merawat buku-buku perpustakaan dengan baik agar dapat siap dibaca mereka yang haus akan pengetahuan kapanpun, dll.
Kesimpulan dan Penutup: Think Globally, Act Locally
Pendidikan yang baik menunjang ketahanan nasional yang kokoh-kuat dan perpustakaan adalah salah satu penunjang pendidikan. Maka, perpustakaan adalah salah satu pendukung ketahanan nasional.
Think globally, act locally. Marilah kita buka cakrawala dan cerdaskan diri dengan membaca (di perpustakaan). Pengadaan perpustakaan di Indonesia masih sangat minim. Maka, saya sungguh menghargai usaha Unit Layanan Keliling – Kantor Perpustakaan Umum Kotamadya Jakarta Pusat, Universitas Indonesia yang tengah membangun perpustakaan terbesar dan termewah di dunia, serta perpustakaan-perpustakaan yang (telah dan akan) ada. Sebagai warga negara kita pun dapat turut serta dalam proses pencerdasan bangsa demi ketahanan nasional. Tidak perlu melakukan hal yang terlalu muluk, cukup menyisihkan dana untuk membeli buku. Buku-buku koleksi kita dapat menjadi perpustakaan pribadi yang dapat kita wariskan kepada generasi-generasi sesudah kita.
Bibliografi
C.B. Mulyatno
2009 Menguak Misteri Manusia, Pokok-pokok Gagasan Filsafat Manusia, Yogyakarta: Kanisius
Jean Paul Sartre
2002 Eksistensialisme dan Humanisme, terj. Yudhi Murtanto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
KOMPAS – Senin, 1 Juni 2009
Louis Leahy
2007 Siapakah Manusia?, Sintesis Filosofis tentang Manusia, Yogyakarta: Kanisius
Yos Bintoro
Hak Asasi Manusia (hand-out)
Ketahanan Nasional (hand-out)
Vincent Martin
2003 Filsafat Eksistensialisme, Kierkegaard, Sartre, Camus, terj. Taufiqurrohman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Comments
Post a Comment