(Padmo
Adi - FT. 3182)
Pascaera
Orde Baru, kebebasan berpendapat menjadi marak. Pemikiran-pemikiran yang dulu
dilarang pemerintah mulai dipelajari kembali. Namun, seiring dengan berhembusnya
angin segar kemerdekaan berpikir tersebut, menguat pula tendensi kekerasan dan
pemaksaan kehendak. Angin segar kebebasan berpendapat dan memeluk kepercayaan
itu dilawan dengan sengit oleh kekerasan. Jika dulu situasi konflik adalah
vertikal, rakyat dengan negara dan aparatnya, kini situasi konflik adalah
horizontal, rakyat dengan organisasi masyarakat tertentu. Bagaimana
membahasakan Allah di dalam situasi semacam ini? Apa lagi, kekerasan itu
dilakukan justru di dalam nama Allah. Kebebasan berpendapat dan kebebasan
memeluk kepercayaan kepada Allah dilawan dengan kekerasan yang mengatasnamakan
Allah.
Di
dalam situasi yang demikian, wajar jika kita merasa takut. Ketakutan itu
kemudian perlahan mengikis kebebasan kita sehingga kemudian kita beragama oleh
karena ketakutan, bukan oleh karena kesadaran eksistensial akan sapaan Yang
Ilahi. Akan tetapi, nurani kita tidak akan tinggal diam. Hal inilah yang akan
memberi kita rasa pedih, bukan karena tubuh kita dihantam oleh kekerasan itu,
melainkan karena kita berada di dalam tegangan antara “kepatuhan total kepada
determinasi kekerasan itu” dengan “kesadaran bahwa manusia itu bebas”. Sebagai
orang Kristiani di Indonesia, pergulatan kita mungkin dapat diartikulasikan
dengan mudah sebagai represi mayoritas kepada minoritas, walau hal ini tentu terlalu
menyederhanakan. Akan tetapi, jika kita sejenak memberikan empati kepada Irshad Manji,
kita takkan habis berpikir bagaimana kekerasan itu tidak memiliki kesabaran
untuk duduk diam mendengarkan suara dari yang seiman pula.
Kegelisahan itu justru datang dari seorang muslimah
dari Kanada dan bergema pada hati semua orang Indonesia yang memiliki
benih-benih kegelisahan yang sama baik yang seiman dengannya maupun yang tidak.
Jika “agama damai” dianut oleh sekian banyak nurani
yang secara diam-diam bergejolak, maka tak ada lagi perdamaian yang perlu dibicarakan.
Tak ada juga keyakinan. Yang ada hanyalah dogma. Pada kondisi ini,
pertanyaannya bukanlah apakah hukum menuntut kepatuhan, tapi apakah hukum layak
mendapat kepatuhan.
Ketika
saudara-saudara kita sebangsa yang seiman dengan Irshad Manji berusaha berdialektika,
mempelajari pemikiran progresif ini, tangan-tangan kekerasan datang lebih dini
untuk membungkam mereka. Mereka, juga mungkin kita pula, tidak menyadari bahwa
“ada jarak antara cita-cita agama dan realita kehidupan beragama.”
Tangan-tangan kekerasan itu turun serta-merta ketika suara-suara kebebasan
berkumandang. Klaim mereka adalah bahwa suara-suara kebebasan itu tidak sesuai
dengan kebenaran yang diimani. “Sebagai sistem ajaran, agama masih membuka
peluang penafsiran yang mendukung bentuk-bentuk kekerasan. [A]papun
pembenarannya bila merendahkan martabat manusia suatu penafsiran harus
dipertanyakan keabsahannya.”
Manusia harus menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Hal ini yang luput dari
pemikiran tangan-tangan kekerasan tersebut. Manusia menjadi tujuan pada dirinya
sendiri justru oleh karena dia beriman kepada Allah, Sang Hidup.
“As far
as the presuppositions for the message of the revelation of Christianity are
concerned, the first thing that is to be said about the human being is this:
the human being is a person, a
subject,’’ Pengalaman
akan Allah menjadi bagian tak terpisahkan dengan pengalaman akan diri manusia
tersebut, oleh karena itu pengalaman akan Allah itu eksistensial dan tidak
dapat diseragamkan secara kaku, apa lagi dipaksakan melalui perantaraan
tangan-tangan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan kepada manusia, atas alasan
apapun, termasuk alasan “kehendak Tuhan”, patut untuk ditentang. “Allah adalah
kasih,” demikian Santo Yohanes penginjil menyimpulkan pengalaman imannya akan
Allah. “Barang siapa tidak mengasihi, dia tidak mengenal Allah, sebab Allah
adalah kasih,” (1Yoh 4:8). Penghargaan atas kemanusiaan itu justru lahir dari
pengalaman akan Yang Transenden.
Atmosfer Konsili Vatikan II adalah atmosfer dialog
dengan siapapun di dunia ini. Dialog ini bukan apa-apa kecuali bahwa ajakan
untuk membangun suatu dunia yang baru, tempat di mana kita tinggal
bersama-sama. Gereja tidak lagi mewartakan Kristus dalam artian Kristenisasi
(datang untuk membaptis), tetapi ingin menegakkan kembali martabat manusia
justru oleh karena perjumpaannya dengan Kristus. Mewartakan Kristus ke dunia
tidak lagi sama artinya dengan membaptis sebanyak mungkin orang, tetapi justru
mengabarkan suka cita, damai sejahtera, dan menyebarkan cinta. Gereja ingin
mengajak kita semua untuk menjunjung tinggi martabat manusia dan menciptakan
kehidupan yang indah, sebuah dunia baru, justru oleh karena imannya akan Allah.
Sebagai orang yang beriman akan Allah, kita menampakkan wajah lembut dan maharahim
Allah untuk melawan kekerasan.
|
Love Thy Neighbor |
Wajah lembut yang kita tampakkan itu bukannya wajah
lemah yang dapat diinjak kalah. Kita berani bersuara dan berani melawan
tangan-tangan kekerasan itu justru karena benar, justru karena kita menjunjung
tinggi martabat manusia. Yesus tidak hanya mengajarkan “jika ditampar pipi
kananmu, berikan pipi kirimu,” (Mat 5:39), tetapi juga “Jikalau kata-Ku itu
salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kata-Ku itu benar, mengapakah
engkau menampar Aku?” (Yoh 18:23). Kita takut ketika kita salah. Namun, kita
berani karena benar. Kebenaran apa yang kita klaim sehingga kita memiliki
keberanian itu? Martabat manusia. Kita tegas menjunjung tinggi dan membela
martabat manusia, bahkan berani melawan kekerasan itu karena kita memiliki
pengalaman eksistensial akan kasih Allah, Sang Hidup. Kita harus kritis, wajah
kekerasan yang ditampakkan itu, kekerasan yang seakan-akan kehendak Tuhan itu,
kekerasan yang dilakukan di dalam nama Allah itu, jangan-jangan hanya merupakan
legitimasi tangan-tangan kekerasan semata untuk menyalurkan kebencian dan
ketidakmampuan mereka menerima penampakan wajah “yang lain”.
Kita, orang-orang Kristiani, menjadi saksi Kristus,
tidak lagi dengan misi Kristenisasi, yaitu membaptis sebanyak mungkin orang,
tetapi dengan menjadi garda depan pembela martabat manusia. Kita percaya Roh
Kudus Allah berkarya di setiap hati manusia, apapun agamanya. Sentuhan Roh
Kudus ini membawa setiap manusia kepada pengalaman akan Allah. Dan, pengalaman
akan Allah yang sejati ini membuat kita berani membela kemanusiaan. Maka,
bersama umat beriman lain, bahkan bersama mereka yang mengaku tidak beriman,
kita lawan kekerasan di tanah air tercinta ini, dengan menampakkan wajah lembut
sekaligus tegas, ramah sekaligus kritis. Kebencian tidak dilawan dengan kebencian,
kebencian juga tidak dilawan dengan rasa takut, tetapi dilawan dengan cinta.
Cinta membuat kita berani. Dan, Allah adalah cinta.
|
Yohanes 18:23 |
Daftar
Pustaka
Haryatmoko,
2010, DOMINASI PENUH MUSLIHAT,
Jakarta: Gramedia
Losinger,
Anton, 2000, THE ANTHROPOLOGICAL TURN,
The Human Orientation of The Theology of Karl Rahner, translated by Daniel
O. Dahlstorm, New York, Fordham University Press
Manji,
Irshad, 2012, ALLAH, LIBERTY, & LOVE,
terjemahan Meithya Rose Prasetya, Jakarta: Rene Book
Comments
Post a Comment