Kisah Dua Orang Rohaniwan
Saya dulu seorang frater, itu
fakta. Saya menolak ditahbiskan, dan memilih mengalmarikan jubah untuk menjadi
"binatang jalang", itu fakta yang lain. Oleh sebab itu, saya tahu
persis rasanya menjadi hipokrit... pagi menjadi malaikat, malam menjadi setan.
Tapi, sudahlah... bukan itu inti
pembicaraan saya kali ini. Dulu, di balik tembok suci itu saya pernah membaca
suatu kisah satire tentang dua orang Bikku Buddha. Kali ini saya hendak
menceritakan kembali, tentu dengan sedikit sentuhan dan adaptasi.
Beginilah ceritanya...
Alkisah pada zaman dulu kala ada
dua orang frater mengadakan peregrinatio (perjalanan rohani). Mereka berjalan
dari biara mereka menuju ke suatu Gua Maria yang berjarak puluhan kilometer.
Tentu mereka silentium (diam). Sebagaimana tradisi di dalam Gereja Katolik,
frater-frater tersebut telah mengikrarkan kaul (sumpah/janji)
"ketaatan", "kemiskinan", dan "kemurnian" di
hadapan TUHAN Allah yang mahakuasa. Di dalam ketaatan mereka menghayati
peziarahan mereka saat itu. Di dalam kemiskinan mereka berjalan kaki tanpa alat
transportasi. Dan, di dalam kemurnian mereka tetap jomblo, dan semoga sampai
jompo. Ya, para frater itu selibat, hidup wadat, tidak menikah, jomblo sampai
jompo.
Sesampainya di Gua Maria itu,
mereka berdoa, samadi, dan meditasi. Seorang frater berdoa panjang lebar, mulai
dari Salam Maria sampai Bapa Kami, mulai dari Rosario sampai Litani. Sedangkan seorang
lainnya hanya duduk sila, diam dalam hening, mencoba mendengarkan bisikan Roh
Allah melalui hatinya. Malam itu, mereka tidur di sana.
Keesokan paginya, setelah mandi,
mereka Brevir (doa harian 5 waktu, semacam shalat bagi orang-orang Katolik
Timur, Katolik Orthodox, Yahudi, dan Islam). Seselesainya Brevir, mereka
melanjutkan perjalanan. Mereka hendak kembali ke biara mereka di kaki gunung
itu. Mereka sepakat menempuh jalan yang lain dari pada jalan yang mereka lalui
ketika berangkat. Kembali, di dalam diam mereka berjalan. Setapak demi setapak
mereka hayati.
Malang bagi mereka, jalan lain menuju biara
mereka itu dibelah oleh sungai. Jembatan yang menghubungkan kedua ujungnya
roboh oleh karena banjir. Mereka harus berjalan melalui sungai yang cukup deras
itu. Bukan hal yang susah memang, toh otot-otot kedua frater itu telah terlatih
denganopera (kerja tangan) mencangkul di kebun dan lain sebagainya. Di tepi
sungai itu terdapat seorang gadis jelita yang ragu-ragu hendak menyeberang
pula. Ternyata dia adalah gadis kembang desa yang sering ikut misa Hari Minggu
di biara. Entah mengapa dan bagaimana gadis itu bisa sampai di seberang sungai
itu, dan kini tak bisa kembali ke desa.
"Kau mau apa?" kata Fr.
Antonius
"Aku mau menolongnya,"
jawab Fr. Ignatius enteng.
"Bagaimana? Sedangkan kita
sendiri harus masuk ke sungai ini untuk menyeberang?"
Fr. Ignatius tidak menjawab
pertanyaan konfrater-nya tersebut. Segera dia mendekati Maria, gadis kembang
desa itu, berbincang sejenak, lalu kemudian menggendongnya. Dengan menggendong
Maria, Fr. Ignatius masuk ke sungai dan menyeberang.
"Hey... kau ini frater...
ingat kemurnianmu!!! Apa kata orang kalau melihatmu... . Hey..." Fr.
Antonius meneriaki konfrater-nya tersebut.
Namun, Fr. Ignatius tidak
menggubris teriakan konfrater-nya ini. Dia terus menyeberang sembari
menggendong si gadis jelita itu. Kesal terhadap rekannya itu, Fr. Antonius ikut
menyusul menyeberang. Dia menyeberang dengan terus saja mengomeli rekannya.
"Apa kata Romo nanti
melihatmu menggendong gadis itu?"
Sesampainya di seberang, Fr.
Ignatius menurunkan Maria yang jelita itu, menyalaminya, lalu segera
melanjutkan perjalanan. Maria pun mengucapkan terima kasih, tetapi harus
menempuh jalan yang lain, sebab ternyata dia ada urusan di desa tetangga. Fr.
Antonius pun sampai pula di seberang. Segera saja dia memarahi konfrater-nya.
"Frater, kamu tahu apa yang
kamu lakukan baru saja? Kamu melanggar kaul kemurnianmu dengan menyentuh,
bahkan menggendong seorang perempuan!!! Kamu harus segera meminta sakramen
tobat. Dosamu itu sungguh terlalu. Apa jadinya jika Romo melihatmu? Kamu masih
ingin ditahbiskan menjadi imam, bukan?
"Sahabat," jawab Fr.
Ignatius, "aku hanya menggendong gadis itu menyeberangi sungai, lalu
menurunkannya sesampainya di seberang. Namun, kamu justru masih menggendong
gadis itu sampai sekarang di pikiranmu."
^_^
disadur dan diceritakan kembali oleh Padmo Adi
Comments
Post a Comment