ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA

  ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA *kepada Hugo   Lukisan Sri Yesus Kristus bersama dengan Sri Krishna setelah Tuhan mereka bunuh berkali-kali... yang terjadi adalah kemanusiaan yang mati... akhirnya menjelma jadi jiwa yang mengembara di padang belantara... ke selatan, ke utara... ke timur, ke barat... ke sana... entah ke mana... mencoba menemukan Tuhan yang telah tiada   walaupun demikian, itu lebih baik bagi mereka daripada mulut ngaku ikut Sang Lelaki Galilea tapi membela anak ular beludak sampai mati atau mewarnai semua dengan mejikuhibini Ah, Hug, Barat itu arah terbenamnya matahari bacalah Wahyu, semuanya sedang digenapi...   Malang, 07 Oktober 2024 Padmo Adi

ADIPATI KARNA


ADIPATI KARNA

(Lagu “Bohemian Rhapsody - Queen” memecah kegelapan panggung.)
(Lampu masuk perlahan pada lirik “I wish I’d never been born at all”.)
(Terlihat Adipati Karna berdiri tegak lengkap, telanjang dada tanpa pakaian perang. Hanya membawa pedang/tombak dan perisai.)
(Musik dibiarkan habis. Setelah musik habis, Adipati Karna mulai berbicara.)

Ibu... atau aku... atau Arjuna yang harus mati. Pandawa itu lima, ibu, bukan enam.
(meletakkan pedang/tombak serta perisainya)

Aku Sutaputra. Aku anak seorang Kusir dari negara Hastinapura. Aku seorang sudra yang menjadi ksatria. Bela negaraku tidak perlu diragukan. Aku mencintai bangsa dan negara ini seutuhnya.
Aku tumbuh besar sebagai seorang anak kusir kereta. Akan tetapi, aku percaya bahwa aku mampu mengatasi keterbatasanku itu, aku bisa menjadi lebih dari pada sekadar kusir kereta. Aku ingin membaktikan hidupku sebagai seorang ksatria yang belapati terhadap negara. Maka, aku belajar dan mencari ilmu.
Tapi, dunia tempat aku berada merupakan dunia yang sombong dan congkak. Dunia tidak sudi membagikan ilmunya kepada seorang anak kusir. Drona hanya mau menjadi guru para ksatria, bukan anak seorang kusir kereta. Baiklah... . Aku menerimanya. Aku tak kehilangan akal. Akan kucari sendiri guruku.
Aku pun melangkahkan kakiku masuk ke dalam hutan. Aku mencari seorang brahmana bernama Ramaparasu. Ramaparasu adalah Guru Bisma, juga guru Drona. Hanya saja, dia tidak akan pernah mengangkat ksatria sebagai muridnya. Ramaparasu membenci kaum ksatria. Sudah tak terhitung banyaknya ksatria yang meregang nyawa di tangannya. Namun, demi mendalami ilmu, apapun sudi aku lakukan. Aku menyamar sebagai seorang brahmana.
Sebenarnya aku sungguh mengasihi guruku itu. Dia adalah guru terbaik yang ada di semesta raya ini. Dia mengajariku banyak hal, baik ilmu kanuragan maupun kebijaksanaan. Akan tetapi, segala hal yang dimulai dengan dusta, akan berakhir sebagai bencana, betapapun indah perjalanannya. Pada suatu hari kami berlatih dengan dahsyat hingga kelelahan. Aku menyandarkan diriku di bawah pohon yang rindang. Ramaparasu, guru yang kukasihi sekaligus aku hormati tidur dengan pulas. Dia memakai pahaku sebagai bantal. Tiba-tiba, seekor serangga menggigit pahaku dan menyedot darahku. Sakit memang. Akan tetapi, jika aku membunuh serangga itu, pasti Guruku terganggu dan terbangun. Aku tak ingin mengganggu istirahat yang kuhormati. Biarlah aku menahan rasa sakit itu, selama Guruku dapat beristirahat dengan nyaman.
Setelah Guruku bangun, dia mendapati kakiku berlumuran darah. Dia membunuh serangga itu. Kemudian menatapku tajam.
“Kautelah berdusta terhadapku. Kaubukan seorang brahmana. Brahmana takkan mampu menahan rasa sakit yang sedemikian. Kau adalah seorang ksatria sejati! Darah ksatria mengalir di dalam ragamu!”
Alih-alih membunuhku, dia mengusirku serta mengutukku. Kelak ketika aku bertempur dengan musuh bebuyutanku, aku akan lupa semua jurus dan mantra yang telah diajarkannya.

Aku Radeya. Aku anak Radha, seorang perempuan sederhana, istri Adirata. Dia bukan ibu kandungku, tapi mengasuhku dengan kasih yang jauh melebihi kasih rahim yang pernah mengandungku. Dia mengangkatku dari sungai tempat aku dihanyutkan. Dialah yang memberiku sari pati kehidupan hingga aku tumbuh sehat. Aku tahu benar apa itu menjadi jelata, karena aku mengambil bagian darinya. Itulah yang membuatku selalu membantu orang-orang miskin dan sederhana, sebab aku tahu persis bagaimana rasanya.
Aku tahu persis bagaimana rasanya menjadi papa. Aku tahu persis bagaimana rasanya menjadi hina. Aku tahu persis bagaimana rasanya dipinggirkan dan tidak diharapkan. Aku tahu persis bagaimana rasanya menjadi korban kesombongan dunia.
Itulah mengapa aku tak ingin sekadar menjadi kusir seperti ayahku. Aku ingin mengabdi kepada bangsa dan negara sebagai seorang ksatria, supaya aku dapat membantu sebanyak mungkin rakyat jelata.
Belasan tahun yang lalu Kerajaan Hastinapura mengadakan unjuk kebolehan. Para ksatria berlaga di sana mempertunjukkan kemahirannya. Drona, yang dulu pernah menolakku itu, membanggakan Arjuna sebagai murid terbaiknya. Arjuna mampu memanah burung kayu di dalam sangkar. Benarkah Arjuna merupakan pemanah terbaik di seluruh dunia? Kutarik busur panahku... dan anak panahku melesat... . Suaranya menggemuruh, mengejutkan segenap orang yang berada di alun-alun. Dan, menancap tepat di burung kayu, membelah panah Arjuna. Semua orang memandang ke arahku.
“Izinkanlah aku mengikuti unjuk kebolehan ini.”
Melihat diriku tampil ke muka, Drona untuk kedua kalinya menghardikku.
“Hanya para ksatria yang boleh mengikuti unjuk kebolehan ini!”
Sedangkan yang lain mencemoohku.
“Apa kata dunia? Seorang ksatria beradu tanding dengan seorang anak kusir sepertimu?”
Aku diam. Aku malu. Aku marah. Aku memang hanya seorang anak kusir. Terlebih lagi, aku hanya seorang anak pungut. Aku tidak tahu siapa gerangan diriku. Yang aku tahu, dunia menghardikku selalu. Dunia menolakku. Dunia mencampakkanku. Dunia menepikanku. Sedari bayi aku dicampakkan. Berulang kali aku ditolak. Berkali-kali aku dihardik. Hanya di sudut kecil dunia itu, tempat di mana orang-orang papa bertahan hidup, aku diterima.

Menembus Batas, Adipati Karna ketika menikahi Surtikanti
(karya Herjaka HS)

Aku Karna, Adipati Karna, Raja Angga. Ketika para Pandawa yang konon kabarnya utama dan patut diteladani itu menolak kehadiranku, para Kurawa justru menerimaku, memberiku kehormatan dan harga diri, dan menjadikanku seorang Adipati.
Aku paham sepaham-pahamnya, perilaku Kurawa lebih bejat dari pada Pandawa. Tapi aku ingin mengabdi kepada negaraku, tidak sekadar sebagai seorang kusir seperti ayahku. Dengan menjadi Adipati, aku bisa berbuat jauh lebih banyak bagi bangsaku, bagi negaraku, bagi rakyatku.
Aku adalah Karna yang melampaui sekat-sekat pembatas antara kawula dan bangsawan. Aku adalah Karna yang menyungsangkan tatanan dunia lama. Aku adalah Karna yang membuat segala kasta menjadi sederajat dan sama.
Mungkin karena itulah semesta menaruh murka terhadapku. Atau, memang demikiankah kehendak Tuhan terhadapku?
Aku tidak pernah menyesali keberadaanku di dunia ini. Aku tidak pernah menyesal hidup sebagai manusia, sebagai seorang Karna. Aku bahkan memilih hidup sebagai seorang Karna. Dan, aku memilih mati sebagai seorang Karna, seorang anak kusir yang mampu melampaui batas dan sekat-sekat hingga menjadi seorang Adipati yang belapati terhadap bangsa dan negara.

Aku, Suryaputra, anak dari Sang Bathara Surya, Dewa Matahari, dan mewarisi segenap keagungan dan kesaktian Sang Surya. Walau dibesarkan oleh seorang kusir kereta, aku tak bisa mengingkari darah yang mengalir di dalam tubuh ini. Benar kata Guru Ramaparasu, aku sebenar-benarnya ksatria. Aku tak bisa menyangkalnya. Aku adalah seorang ksatria, anak dewa, yang tinggal di tengah-tengah rakyat jelata. Kehidupan yang semacam itu tidak aku lihat sebagai suatu kutukan, melainkan sebuah anugerah, sebab aku boleh berbagi penderitaan dengan yang paling terpinggirkan.
Beberapa hari yang lalu, ketika aku tengah berdoa di tepi Sungai Gangga, ibu menemuiku. Bukan, bukan Radha... melainkan Kunthi. Ya, ibu para Pandhawa itu menemuiku. Aku adalah sulung dari para Pandhawa. Aku adalah sulung dari mereka yang menepikanku. Aku adalah anak yang lahir dari keisengan Kunthi. Pada masa mudanya, sebelum dia bersuami, Kunthi pernah memanggil Bathara Surya yang kemudian menganugerahkan kepadanya seorang anak. Karena malu belum bersuami, Kunthi melahirkan anak itu melalui telinganya, agar tetap perawan. Itulah sebabnya aku diberi nama Karna, karena lahir melalui telinga Kunthi. Dan, oleh karena rasa malu itu, perempuan yang mengandungku itu membuangku di sungai.
Perempuan yang membuang aku di sungai itu kembali menemuiku di tepian Sungai Gangga. Dia memintaku untuk memanggilnya ‘ibu’ dan memaafkan segala sesuatu yang telah terjadi di antara kami. Dia mengaku terkejut dan pingsan ketika aku pertama kali memperkenalkan diriku di tengah alun-alun saat unjuk kebolehan dulu itu. Dia langsung mengenaliku sebagai putra sulungnya dengan melihat baju perang dan anting-anting pemberian Bathara Surya.
Namun, kenapa tidak pada saat itu saja dia menyelamatkan aku dari rasa malu? Demi menutupi rasa malunya, dia membiarkan darah dagingnya sendiri terjerembab di dalam kehinaan yang sedemikian rupa. Tapi, sudahlah... tanpa keisengannya dulu itu, aku takkan pernah ada di dunia ini. Entah bagaimana, aku justru mensyukuri segala hal yang telah terjadi, sebab semua itu telah mengantarku kepada keberadaanku sekarang. Aku memaafkan perempuan itu.
“Ibu. Ada apa gerangan Ibu menemuiku?”
Perempuan itu pun menangis dan memelukku. Dia memintaku untuk meninggalkan Kurawa dan bergabung bersama Pandhawa. Dia tak kuasa melihat anak-anaknya saling bunuh dan saling bantai. Dia telah menemui Yudhistira, dan Yudhistira merelakan hak sulung dan takhta kerajaan kepadaku jika sekiranya aku sudi bergabung bersama Pandhawa.
Ah... ibu... aku tak ingin mengambil apa yang bukan hakku. Malah aku lebih suka memberikan sebagian milikku untuk membahagiakan orang lain. Aku mensyukuri hidup ini, Ibu. Walau dunia selalu menyingkirkanku sejak lahirku, aku selalu memiliki cara untuk tetap merayakan hidup dan menjalankan semua dharmaku. Aku selalu mengatakan “ya” pada hidup, Ibu, dan tak pernah menyesalinya.
Ibu, kautahu, beberapa hari sebelum kaumenemuiku Bapaku di Surga datang di hadapanku. Dengan kereta perang-Nya yang berkobar Bathara Surya mewahyukan diri-Nya dan memanggilku putera-Nya yang dikasihi. Peristiwa itu membuatku yakin, tidak selamanya dunia menolakku. Sang Surya adalah perwakilan semesta yang menerimaku dan mengakui keberadaanku. Sejak saat itu aku tahu, bahwa Sang Surya selalu menyertaiku sejak lahirku, bahkan ketika aku berada di dalam jurang-jurang nestapa. Hanya saja, dia tidak ingin mengusik dan mencampuri kehidupanku, semata agar aku tumbuh dewasa menjadi aku yang sekarang ini. Akan tetapi, pada banyak peristiwa Sang Surya membantuku untuk memenuhi dharmaku. Bapa memberiku kekuatan untuk menuntaskan dharmaku. Aku ingat, ketika matahari menjadi sedemikian panas, sehingga raksasa yang aku lawan meleleh dan aku menghancurkannya dengan pusakaku. Bapa selalu membantu dengan cara-cara yang tak langsung, agar aku dewasa dan berani menghayati hidup.
Pada saat itulah kali pertama Sang Surya turun langsung kepadaku, untuk menyatakan siapa aku sesungguhnya. Dan, Bapa mewanti-wanti, jika nanti di dalam perjalanan aku bertemu dengan seorang pengemis tua yang meminta baju perang dan anting-antingku, pastilah itu Bathara Indra yang tak ingin putera terkasih-Nya, Arjuna, mati tak berdaya melawan kekuatanku. Dan, benarlah Ibu... di dalam perjalanan itu aku bertemu dengan seorang pengemis tua. Sebelum pengemis itu sempat mengutarakan keinginannya, aku telah melepaskan baju perang dan anting-antingku, lalu menyerahkannya kepadanya, sambil berkata, “Ambillah pusakaku ini, Hai Bathara Indra, pusaka yang telah ada padaku sedari lahirku. Biarlah aku yang menjemput ajal bersama panah-panah putramu Arjuna. Sebab, dengan pusaka ini, Arjuna takkan pernah mampu menggores kulitku. Jika Arjuna yang mati, aku tak bisa membayangkan betapa hancur hati Kunthi. Akan lebih mudah bagi Kunthi jika aku yang mati.” Bathara Indra pun membuka samaran-Nya, menangis terharu, dan memelukku. Dia pun memberkatiku, takkan terluka dan terkalahkan oleh siapapun sebelum bertemu dengan Arjuna.

Ibu, dharmaku adalah membela tanah airku. Inilah perutusan dan panggilan jiwaku. Satu-satunya alasanku untuk hidup adalah membela bangsa dan negaraku. Kini para Pandhawa hendak menyerang bangsa dan negaraku. Sudah kewajibanku untuk melindungi bangsa dan negaraku. Apa yang dihasilkan dari perang selain duka dan penderitaan? Ketika para raja dan ksatria mengangkat senjata, kaum sudra dan rakyat jelatalah yang menderita, Ibu. Maka, biarlah aku turut serta mengambil bagianku untuk segera menyelesaikan konflik saudara berkepanjangan ini.

Aku paham, kelima adikku itu tiada yang mampu menandingi kesaktianku. Maka, aku bersumpah di hadapanmu, Ibu, aku takkan membunuh adik-adikku, terkecuali Arjuna.
(mengangkat pedang/tombak serta perisainya)
Ibu... atau aku... atau Arjuna yang harus mati. Pandawa itu lima, ibu, bukan enam.

Surtikanthi... jelitaku... permata di hatiku... engkaulah cinta sejatiku... . Biarlah seisi dunia menolak keberadaanku, asalkan kau menerimaku dengan lembut dan penuh kasih di dalam pelukanmu. Jika aku harus pulang dengan tanpa nyawa, ceritakanlah kepada dunia, Karna adalah seorang sudra yang menjadi ksatria. Karna adalah seorang Suryaputra yang berani menghadapi kehidupan yang paling getir sekalipun. Karna adalah seorang manusia yang berani melampaui segala keterbatasan yang ada. Karna adalah seorang ksatria yang berani mengatakan ya pada hidup, walau kematian menjadi konsekuensinya. Surtikanthi... pun kakang pamit palastra... .
(Lampu blackout. Diakhiri dengan musik “Die With Honor - Manowar”)
-end-
Sarang Kalong, 27 November 2012
Padmo “Kalong Gedhe” Adi

Comments

  1. jawara! hahaha...ini joss banget. Karna memang sangat manusiawi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih :)

      Iya... dia adalah ksatria yang mampu melampaui batas-batas yang ada. Seorang manusia terbuang yang bangkit kembali. Seorang sulung yang merelakan kesulungannya. Bisa jadi... dia adalah Ubermensch, Sang Adimanusia, yang Nietzsche maksud itu... seorang yang mengatakan "ya" pada hidup.

      Delete
  2. hahaha...aku suka kalimat itu mas, "seorang yang mengattakan "ya" pada hidup." satu hal yang masih sulit dilakukan oleh kebanyakan orang di muka bumi. buatku yang menarik adalah bagaimana ada dua sisi dalam diri Karna yang dilihat sebagai tokoh protagonis dan antagonis sekaligus menjadikan dirinya seorang pribadi yang sangat manusiawi. dan ia seorang yang taat pada janjinya. terima kasih buat tulisannya, mas... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, aku melihat semangat Nietzschean di dalam kisah Karna. Kalaupun itu subyektif, bisa jadi, karena aku melihat dan merenungkan kembali kisah Karna dari perspektif eksistensialisme. Kiranya bisa mengajak kita semua (kamu, bahkan aku, juga khususnya teman-teman pemuda) untuk berani hidup. Berani mati itu biasa, berani hidup... itu yang luar biasa... apa lagi di era seperti ini.

      Terima kasih kembali atas apresiasimu :)

      Delete
    2. sepakat. berani hidup. dan dicontohkan dengan baik sekali oleh Karna. hahaha...aku menyukai tokoh ini mas, dan sedang agak giat mencari tahu lebih banyak tentangnya, eh...ndilalah e ketemu tulisanmu. dan akhirnya percaya itu bukan 'ndilalah' tapi memang sudah wayahnya ketemu tulisan ini. hahahaha....

      Delete
    3. hahahaha :D jadi ingat sebuah kata-kata...
      "Kalau kamu sungguh-sungguh berusaha mewujudkan impianmu dan mengikuti suara hatimu, semesta akan membukakan pintu-pintunya bagimu."
      kurang lebih gitu... hihihihi... :P

      Delete
  3. terharuu... narasi mu keren banget padmo :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih, Vin :)
      Aku sendiri memang mengagumi tokoh Karna ini :D

      Delete
  4. "Apa yang dihasilkan dari perang selain duka dan penderitaan? Ketika para raja dan ksatria mengangkat senjata, kaum sudra dan rakyat jelatalah yang menderita, Ibu. Maka, biarlah aku turut serta mengambil bagianku untuk segera menyelesaikan konflik saudara berkepanjangan ini." saya suka dengan cuplikannya mas. keren pokoke

    ReplyDelete

Post a Comment