ADIPATI KARNA
(Lagu “Bohemian Rhapsody
- Queen” memecah kegelapan panggung.)
(Lampu masuk perlahan
pada lirik “I wish I’d never been born at
all”.)
(Terlihat Adipati Karna
berdiri tegak lengkap, telanjang dada tanpa pakaian perang. Hanya membawa
pedang/tombak dan perisai.)
(Musik dibiarkan habis.
Setelah musik habis, Adipati Karna mulai berbicara.)
Ibu... atau aku... atau
Arjuna yang harus mati. Pandawa itu lima, ibu, bukan enam.
(meletakkan pedang/tombak
serta perisainya)
Aku Sutaputra. Aku anak
seorang Kusir dari negara Hastinapura. Aku seorang sudra yang menjadi ksatria. Bela
negaraku tidak perlu diragukan. Aku mencintai bangsa dan negara ini seutuhnya.
Aku tumbuh besar sebagai
seorang anak kusir kereta. Akan tetapi, aku percaya bahwa aku mampu mengatasi
keterbatasanku itu, aku bisa menjadi lebih dari pada sekadar kusir kereta. Aku
ingin membaktikan hidupku sebagai seorang ksatria yang belapati terhadap
negara. Maka, aku belajar dan mencari ilmu.
Tapi, dunia tempat aku
berada merupakan dunia yang sombong dan congkak. Dunia tidak sudi membagikan
ilmunya kepada seorang anak kusir. Drona hanya mau menjadi guru para ksatria,
bukan anak seorang kusir kereta. Baiklah... . Aku menerimanya. Aku tak
kehilangan akal. Akan kucari sendiri guruku.
Aku pun melangkahkan
kakiku masuk ke dalam hutan. Aku mencari seorang brahmana bernama Ramaparasu.
Ramaparasu adalah Guru Bisma, juga guru Drona. Hanya saja, dia tidak akan
pernah mengangkat ksatria sebagai muridnya. Ramaparasu membenci kaum ksatria.
Sudah tak terhitung banyaknya ksatria yang meregang nyawa di tangannya. Namun, demi
mendalami ilmu, apapun sudi aku lakukan. Aku menyamar sebagai seorang brahmana.
Sebenarnya aku sungguh
mengasihi guruku itu. Dia adalah guru terbaik yang ada di semesta raya ini. Dia
mengajariku banyak hal, baik ilmu kanuragan maupun kebijaksanaan. Akan tetapi,
segala hal yang dimulai dengan dusta, akan berakhir sebagai bencana, betapapun
indah perjalanannya. Pada suatu hari kami berlatih dengan dahsyat hingga
kelelahan. Aku menyandarkan diriku di bawah pohon yang rindang. Ramaparasu,
guru yang kukasihi sekaligus aku hormati tidur dengan pulas. Dia memakai pahaku
sebagai bantal. Tiba-tiba, seekor serangga menggigit pahaku dan menyedot
darahku. Sakit memang. Akan tetapi, jika aku membunuh serangga itu, pasti
Guruku terganggu dan terbangun. Aku tak ingin mengganggu istirahat yang
kuhormati. Biarlah aku menahan rasa sakit itu, selama Guruku dapat beristirahat
dengan nyaman.
Setelah Guruku bangun,
dia mendapati kakiku berlumuran darah. Dia membunuh serangga itu. Kemudian
menatapku tajam.
“Kautelah berdusta
terhadapku. Kaubukan seorang brahmana. Brahmana takkan mampu menahan rasa sakit
yang sedemikian. Kau adalah seorang ksatria sejati! Darah ksatria mengalir di
dalam ragamu!”
Alih-alih membunuhku,
dia mengusirku serta mengutukku. Kelak ketika aku bertempur dengan musuh
bebuyutanku, aku akan lupa semua jurus dan mantra yang telah diajarkannya.
Aku Radeya. Aku anak
Radha, seorang perempuan sederhana, istri Adirata. Dia bukan ibu kandungku,
tapi mengasuhku dengan kasih yang jauh melebihi kasih rahim yang pernah
mengandungku. Dia mengangkatku dari sungai tempat aku dihanyutkan. Dialah yang
memberiku sari pati kehidupan hingga aku tumbuh sehat. Aku tahu benar apa itu
menjadi jelata, karena aku mengambil bagian darinya. Itulah yang membuatku
selalu membantu orang-orang miskin dan sederhana, sebab aku tahu persis
bagaimana rasanya.
Aku tahu persis
bagaimana rasanya menjadi papa. Aku tahu persis bagaimana rasanya menjadi hina.
Aku tahu persis bagaimana rasanya dipinggirkan dan tidak diharapkan. Aku tahu
persis bagaimana rasanya menjadi korban kesombongan dunia.
Itulah mengapa aku tak
ingin sekadar menjadi kusir seperti ayahku. Aku ingin mengabdi kepada bangsa
dan negara sebagai seorang ksatria, supaya aku dapat membantu sebanyak mungkin
rakyat jelata.
Belasan tahun yang lalu
Kerajaan Hastinapura mengadakan unjuk kebolehan. Para ksatria berlaga di sana
mempertunjukkan kemahirannya. Drona, yang dulu pernah menolakku itu,
membanggakan Arjuna sebagai murid terbaiknya. Arjuna mampu memanah burung kayu
di dalam sangkar. Benarkah Arjuna merupakan pemanah terbaik di seluruh dunia?
Kutarik busur panahku... dan anak panahku melesat... . Suaranya menggemuruh,
mengejutkan segenap orang yang berada di alun-alun. Dan, menancap tepat di burung
kayu, membelah panah Arjuna. Semua orang memandang ke arahku.
“Izinkanlah aku
mengikuti unjuk kebolehan ini.”
Melihat diriku tampil ke
muka, Drona untuk kedua kalinya menghardikku.
“Hanya para ksatria yang
boleh mengikuti unjuk kebolehan ini!”
Sedangkan yang lain
mencemoohku.
“Apa kata dunia? Seorang
ksatria beradu tanding dengan seorang anak kusir sepertimu?”
Aku diam. Aku malu. Aku
marah. Aku memang hanya seorang anak kusir. Terlebih lagi, aku hanya seorang
anak pungut. Aku tidak tahu siapa gerangan diriku. Yang aku tahu, dunia
menghardikku selalu. Dunia menolakku. Dunia mencampakkanku. Dunia menepikanku.
Sedari bayi aku dicampakkan. Berulang kali aku ditolak. Berkali-kali aku
dihardik. Hanya di sudut kecil dunia itu, tempat di mana orang-orang papa
bertahan hidup, aku diterima.
|
Menembus Batas, Adipati Karna ketika menikahi Surtikanti (karya Herjaka HS) |
Aku Karna, Adipati
Karna, Raja Angga. Ketika para Pandawa yang konon kabarnya utama dan patut
diteladani itu menolak kehadiranku, para Kurawa justru menerimaku, memberiku
kehormatan dan harga diri, dan menjadikanku seorang Adipati.
Aku paham
sepaham-pahamnya, perilaku Kurawa lebih bejat dari pada Pandawa. Tapi aku ingin
mengabdi kepada negaraku, tidak sekadar sebagai seorang kusir seperti ayahku.
Dengan menjadi Adipati, aku bisa berbuat jauh lebih banyak bagi bangsaku, bagi
negaraku, bagi rakyatku.
Aku adalah Karna yang
melampaui sekat-sekat pembatas antara kawula dan bangsawan. Aku adalah Karna
yang menyungsangkan tatanan dunia lama. Aku adalah Karna yang membuat segala
kasta menjadi sederajat dan sama.
Mungkin karena itulah
semesta menaruh murka terhadapku. Atau, memang demikiankah kehendak Tuhan
terhadapku?
Aku tidak pernah
menyesali keberadaanku di dunia ini. Aku tidak pernah menyesal hidup sebagai
manusia, sebagai seorang Karna. Aku bahkan memilih hidup sebagai seorang Karna.
Dan, aku memilih mati sebagai seorang Karna, seorang anak kusir yang mampu
melampaui batas dan sekat-sekat hingga menjadi seorang Adipati yang belapati
terhadap bangsa dan negara.
Aku, Suryaputra, anak
dari Sang Bathara Surya, Dewa Matahari, dan mewarisi segenap keagungan dan
kesaktian Sang Surya. Walau dibesarkan oleh seorang kusir kereta, aku tak bisa
mengingkari darah yang mengalir di dalam tubuh ini. Benar kata Guru Ramaparasu,
aku sebenar-benarnya ksatria. Aku tak bisa menyangkalnya. Aku adalah seorang
ksatria, anak dewa, yang tinggal di tengah-tengah rakyat jelata. Kehidupan yang
semacam itu tidak aku lihat sebagai suatu kutukan, melainkan sebuah anugerah,
sebab aku boleh berbagi penderitaan dengan yang paling terpinggirkan.
Beberapa hari yang lalu,
ketika aku tengah berdoa di tepi Sungai Gangga, ibu menemuiku. Bukan, bukan
Radha... melainkan Kunthi. Ya, ibu para Pandhawa itu menemuiku. Aku adalah
sulung dari para Pandhawa. Aku adalah sulung dari mereka yang menepikanku. Aku
adalah anak yang lahir dari keisengan Kunthi. Pada masa mudanya, sebelum dia
bersuami, Kunthi pernah memanggil Bathara Surya yang kemudian menganugerahkan
kepadanya seorang anak. Karena malu belum bersuami, Kunthi melahirkan anak itu
melalui telinganya, agar tetap perawan. Itulah sebabnya aku diberi nama Karna,
karena lahir melalui telinga Kunthi. Dan, oleh karena rasa malu itu, perempuan
yang mengandungku itu membuangku di sungai.
Perempuan yang membuang
aku di sungai itu kembali menemuiku di tepian Sungai Gangga. Dia memintaku
untuk memanggilnya ‘ibu’ dan memaafkan segala sesuatu yang telah terjadi di
antara kami. Dia mengaku terkejut dan pingsan ketika aku pertama kali
memperkenalkan diriku di tengah alun-alun saat unjuk kebolehan dulu itu. Dia
langsung mengenaliku sebagai putra sulungnya dengan melihat baju perang dan
anting-anting pemberian Bathara Surya.
Namun, kenapa tidak pada
saat itu saja dia menyelamatkan aku dari rasa malu? Demi menutupi rasa malunya,
dia membiarkan darah dagingnya sendiri terjerembab di dalam kehinaan yang
sedemikian rupa. Tapi, sudahlah... tanpa keisengannya dulu itu, aku takkan
pernah ada di dunia ini. Entah bagaimana, aku justru mensyukuri segala hal yang
telah terjadi, sebab semua itu telah mengantarku kepada keberadaanku sekarang.
Aku memaafkan perempuan itu.
“Ibu. Ada apa gerangan
Ibu menemuiku?”
Perempuan itu pun
menangis dan memelukku. Dia memintaku untuk meninggalkan Kurawa dan bergabung
bersama Pandhawa. Dia tak kuasa melihat anak-anaknya saling bunuh dan saling
bantai. Dia telah menemui Yudhistira, dan Yudhistira merelakan hak sulung dan
takhta kerajaan kepadaku jika sekiranya aku sudi bergabung bersama Pandhawa.
Ah... ibu... aku tak
ingin mengambil apa yang bukan hakku. Malah aku lebih suka memberikan sebagian
milikku untuk membahagiakan orang lain. Aku mensyukuri hidup ini, Ibu. Walau
dunia selalu menyingkirkanku sejak lahirku, aku selalu memiliki cara untuk
tetap merayakan hidup dan menjalankan semua dharmaku. Aku selalu mengatakan
“ya” pada hidup, Ibu, dan tak pernah menyesalinya.
Ibu, kautahu, beberapa
hari sebelum kaumenemuiku Bapaku di Surga datang di hadapanku. Dengan kereta
perang-Nya yang berkobar Bathara Surya mewahyukan diri-Nya dan memanggilku
putera-Nya yang dikasihi. Peristiwa itu membuatku yakin, tidak selamanya dunia
menolakku. Sang Surya adalah perwakilan semesta yang menerimaku dan mengakui
keberadaanku. Sejak saat itu aku tahu, bahwa Sang Surya selalu menyertaiku
sejak lahirku, bahkan ketika aku berada di dalam jurang-jurang nestapa. Hanya
saja, dia tidak ingin mengusik dan mencampuri kehidupanku, semata agar aku
tumbuh dewasa menjadi aku yang sekarang ini. Akan tetapi, pada banyak peristiwa
Sang Surya membantuku untuk memenuhi dharmaku. Bapa memberiku kekuatan untuk
menuntaskan dharmaku. Aku ingat, ketika matahari menjadi sedemikian panas,
sehingga raksasa yang aku lawan meleleh dan aku menghancurkannya dengan
pusakaku. Bapa selalu membantu dengan cara-cara yang tak langsung, agar aku
dewasa dan berani menghayati hidup.
Pada saat itulah kali
pertama Sang Surya turun langsung kepadaku, untuk menyatakan siapa aku
sesungguhnya. Dan, Bapa mewanti-wanti, jika nanti di dalam perjalanan aku
bertemu dengan seorang pengemis tua yang meminta baju perang dan
anting-antingku, pastilah itu Bathara Indra yang tak ingin putera terkasih-Nya,
Arjuna, mati tak berdaya melawan kekuatanku. Dan, benarlah Ibu... di dalam
perjalanan itu aku bertemu dengan seorang pengemis tua. Sebelum pengemis itu
sempat mengutarakan keinginannya, aku telah melepaskan baju perang dan
anting-antingku, lalu menyerahkannya kepadanya, sambil berkata, “Ambillah
pusakaku ini, Hai Bathara Indra, pusaka yang telah ada padaku sedari lahirku.
Biarlah aku yang menjemput ajal bersama panah-panah putramu Arjuna. Sebab,
dengan pusaka ini, Arjuna takkan pernah mampu menggores kulitku. Jika Arjuna
yang mati, aku tak bisa membayangkan betapa hancur hati Kunthi. Akan lebih
mudah bagi Kunthi jika aku yang mati.” Bathara Indra pun membuka samaran-Nya,
menangis terharu, dan memelukku. Dia pun memberkatiku, takkan terluka dan
terkalahkan oleh siapapun sebelum bertemu dengan Arjuna.
Ibu, dharmaku adalah
membela tanah airku. Inilah perutusan dan panggilan jiwaku. Satu-satunya
alasanku untuk hidup adalah membela bangsa dan negaraku. Kini para Pandhawa
hendak menyerang bangsa dan negaraku. Sudah kewajibanku untuk melindungi bangsa
dan negaraku. Apa yang dihasilkan dari perang selain duka dan penderitaan?
Ketika para raja dan ksatria mengangkat senjata, kaum sudra dan rakyat
jelatalah yang menderita, Ibu. Maka, biarlah aku turut serta mengambil bagianku
untuk segera menyelesaikan konflik saudara berkepanjangan ini.
Aku paham, kelima adikku
itu tiada yang mampu menandingi kesaktianku. Maka, aku bersumpah di hadapanmu,
Ibu, aku takkan membunuh adik-adikku, terkecuali Arjuna.
(mengangkat pedang/tombak
serta perisainya)
Ibu... atau aku... atau
Arjuna yang harus mati. Pandawa itu lima, ibu, bukan enam.
Surtikanthi...
jelitaku... permata di hatiku... engkaulah cinta sejatiku... . Biarlah seisi
dunia menolak keberadaanku, asalkan kau menerimaku dengan lembut dan penuh
kasih di dalam pelukanmu. Jika aku harus pulang dengan tanpa nyawa,
ceritakanlah kepada dunia, Karna adalah seorang sudra yang menjadi ksatria.
Karna adalah seorang Suryaputra yang berani menghadapi kehidupan yang paling
getir sekalipun. Karna adalah seorang manusia yang berani melampaui segala
keterbatasan yang ada. Karna adalah seorang ksatria yang berani mengatakan ya
pada hidup, walau kematian menjadi konsekuensinya. Surtikanthi... pun kakang pamit palastra... .
(Lampu blackout. Diakhiri
dengan musik “Die With Honor - Manowar”)
-end-
Sarang
Kalong, 27 November 2012
Padmo
“Kalong Gedhe” Adi
jawara! hahaha...ini joss banget. Karna memang sangat manusiawi.
ReplyDeleteTerima kasih :)
DeleteIya... dia adalah ksatria yang mampu melampaui batas-batas yang ada. Seorang manusia terbuang yang bangkit kembali. Seorang sulung yang merelakan kesulungannya. Bisa jadi... dia adalah Ubermensch, Sang Adimanusia, yang Nietzsche maksud itu... seorang yang mengatakan "ya" pada hidup.
hahaha...aku suka kalimat itu mas, "seorang yang mengattakan "ya" pada hidup." satu hal yang masih sulit dilakukan oleh kebanyakan orang di muka bumi. buatku yang menarik adalah bagaimana ada dua sisi dalam diri Karna yang dilihat sebagai tokoh protagonis dan antagonis sekaligus menjadikan dirinya seorang pribadi yang sangat manusiawi. dan ia seorang yang taat pada janjinya. terima kasih buat tulisannya, mas... :)
ReplyDeleteIya, aku melihat semangat Nietzschean di dalam kisah Karna. Kalaupun itu subyektif, bisa jadi, karena aku melihat dan merenungkan kembali kisah Karna dari perspektif eksistensialisme. Kiranya bisa mengajak kita semua (kamu, bahkan aku, juga khususnya teman-teman pemuda) untuk berani hidup. Berani mati itu biasa, berani hidup... itu yang luar biasa... apa lagi di era seperti ini.
DeleteTerima kasih kembali atas apresiasimu :)
sepakat. berani hidup. dan dicontohkan dengan baik sekali oleh Karna. hahaha...aku menyukai tokoh ini mas, dan sedang agak giat mencari tahu lebih banyak tentangnya, eh...ndilalah e ketemu tulisanmu. dan akhirnya percaya itu bukan 'ndilalah' tapi memang sudah wayahnya ketemu tulisan ini. hahahaha....
Deletehahahaha :D jadi ingat sebuah kata-kata...
Delete"Kalau kamu sungguh-sungguh berusaha mewujudkan impianmu dan mengikuti suara hatimu, semesta akan membukakan pintu-pintunya bagimu."
kurang lebih gitu... hihihihi... :P
hahahahaha....iya benar. percaya. :)
Deleteterharuu... narasi mu keren banget padmo :)
ReplyDeleteterima kasih, Vin :)
DeleteAku sendiri memang mengagumi tokoh Karna ini :D
"Apa yang dihasilkan dari perang selain duka dan penderitaan? Ketika para raja dan ksatria mengangkat senjata, kaum sudra dan rakyat jelatalah yang menderita, Ibu. Maka, biarlah aku turut serta mengambil bagianku untuk segera menyelesaikan konflik saudara berkepanjangan ini." saya suka dengan cuplikannya mas. keren pokoke
ReplyDeleteTerima kasih :)
Deletebagus pak
ReplyDeleteTerima kasih :)
DeleteKereen
ReplyDeletethank you :)
DeleteSae Mas,
ReplyDeleteditunggu tulisan tentang Suwandha dan Kumbakarna
DeleteMatur nuwun.
Delete