Saya Mengaku kepada Allah yang
Mahakuasa...
“Jadi, kalian akan menikah
sebulan lagi?”
“Benar, Romo. Persiapan kami
sudah matang,” jawab pemuda itu dengan bangga.
“Namun, kalian masih muda.
Kamu sendiri masih dua puluh lima.”
“Justru itu, Romo. Justru
karena kami masih muda.”
“Orang tua kalian setuju?”
“Akhirnya
orang tuanya menyetujui hubungan kami. Ya, awalnya mereka keberatan oleh karena
ayah saya tidak jelas siapa.”
“Lalu
ibumu?”
“Ya?”
“Ibumu.
Emmm, Maria Anastasia Anindita,” kataku sembari membaca berkas.
“Beliau
selalu mendukung semua keputusan saya, Romo.”
“Hei,
ngomong-ngomong, apa kabar ibumu?”
“Baik,
Romo. Romo mengenalnya?”
“Tentu.
Aku pernah Tahun Orientasi Pastoral di
parokinya sewaktu masih menjadi frater
lebih dari dua dasawarsa lalu. Ibumu masih di sana?”
“Masih,
Romo. Ibu tidak pernah meninggalkan kota kelahirannya. Bahkan, ibu menolak saya
boyong ke kota ini, pindah ke paroki
ini. Namun, pasti ibu hadir pada hari H nanti.”
***
Lebih
dari dua dasawarsa yang lalu aku adalah seorang frater muda yang baru saja
mengucapkan pembaruan kaul.
Aku pun ditugaskan untuk menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral di sebuah
paroki di Kota Surakarta. Waktu itu aku adalah seorang frater muda yang penuh
semangat. Aku sungguh bergairah untuk segera menjadi seorang imam Gereja
Katolik dan melayani umat. Di dalam imajinasiku, aku adalah seorang ksatria
Kristus yang diutus untuk melindungi umat-Nya. Aku begitu idealis saat itu,
bahkan pelajaran filsafat selama kuliah delapan semester di fakultas teologi
itu tidak mampu melumpuhkan idealismeku. Tidak... mungkin kata “idealis” kurang
tepat kurasa, tetapi “optimis”. Ya... waktu itu aku adalah seorang frater muda
yang terlalu optimis. Terlalu optimis terhadap imanku, kesucianku, pandangan
teologiku, dan kehendakku. Aku membayangkan bahwa aku adalah seorang Dewabrata
muda yang akan melakukan apapun, bahkan membunuh seseorang yang dicintainya,
sekadar untuk memegang teguh sumpah brahmacarya
yang dia ucapkan.
Akan
tetapi, dua tahun masa Orientasi Pastoralku di paroki itu membuatku
menginjakkan kakiku ke bumi. Aku harus mengakui bahwa meskipun aku adalah
seorang frater yang mengucapkan kaul kemurnian, aku masih tetaplah seorang
lelaki dengan segenap seksualitasnya. Aku masih seorang manusia, bukan
malaikat.
Selama
menjalani masa Orientasi Pastoral itu, aku ditugasi romo paroki untuk
mendampingi Mudika di sana. Dulu Mudika, Muda-mudi Katolik. Sekarang istilahnya
OMK, Orang Muda Katolik. Itulah awal perjumpaanku dengan Maria Anastasia
Anindita. Waktu itu dia adalah seorang gadis yang berusia empat tahun lebih
muda dari padaku. Dia kuliah di sebuah Universitas Negeri di Surakarta,
mengambil jurusan Sastra Indonesia. Kegemarannya kepada sastra dan puisi
membuat kami menjadi sahabat dekat. Sastra dapat menjadi pelarian yang manis
bagi seorang frater yang terkadang jengah dengan buku-buku teologi dan
filsafat. Ani, demikian aku memanggil Maria Anastasia Anindita, memang bukan
seorang aktivis... tidak di Gereja... tidak pula di kampus. Akan tetapi, dia
gemar bertukar pikiran tentang sastra, khususnya puisi. Kami dulu sering sekali
bertukar informasi tentang sastra... atau novel... atau puisi. Pablo Neruda
adalah penyair favoritnya. Dari Anilah aku mendapatkan referensi untuk menulis
tentang fenomena gerakan sastra Amerika Latin dan benang merahnya dengan
praksis Teologi Pembebasan Gereja. Hanya saja, hingga sekarang aku masih belum
puas dengan paperku itu. Paper yang secara akademis sudah selesai, karena sudah
aku kumpulkan kepada dosenku berpuluh-puluh tahun silam, tetapi yang secara
personal masih meninggalkan rasa penasaran dan lubang yang gelap. Ada sebuah
proses membaca yang belum selesai.
“Membaca
apa, Ter?”
“Paolo
Coelho.”
“Eleven Minutes?”
“Di
Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis.”
“Tentang
apa?”
“Pilar.”
“Pilar?”
“Itu
nama tokoh utamanya. Bersama seorang teman masa kecilnya.”
“Kekasihnya?”
“Hahahaha...
dia seorang Imam.”
“Lalu?”
“Ini,
kamu baca saja sendiri, setelah aku menyelesaikannya ya. Mungkin besok.”
“Baik.
Besok, ya Ter... .”
“Eh,
barter!”
“Twilight?”
“Hell no!!!”
“Hahahaha...
bercanda. Ronggeng Dukuh Paruk ya?”
“Satu
untuk tiga!”
“Lintang
Kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala?”
“Yup.”
“Deal!”
Dua
tahun adalah waktu yang cepat ketika kita menikmati setiap prosesnya. Masa
Orientasi Pastoralku telah berakhir. Aku harus kembali ke Seminari Tinggi.
Aku harus mengucapkan sampai jumpa kepada paroki yang telah membuat segenap
renungan teologi dan filsafatku membumi. Aku pun harus mengucapkan salam
perpisahan kepada Ani. Perjumpaan itu biasa, perpisahanlah yang membuatnya
istimewa. Perpisahan.
Perpisahan?
Aku memang telah mengucapkan “sampai jumpa” terhadap paroki tempatku Orientasi
Pastoral. Akan tetapi, aku tidak benar-benar berpisah dengan Ani. Hampir setiap
malam sehabis makan malam aku menyempatkan diri ke ruang internet sekadar untuk
membaca atau menulis email kepadanya. Kami tidak pernah berkirim surat. Romo
rektor tentu akan menyensornya. Kami juga hampir tidak pernah berkirim sms. Aku
sudah kembali ke Seminari Tinggi di mana aku sama sekali tidak boleh memiliki
ponsel. Namun, aku menyimpan nomor ponsel Ani, sehingga ketika orang tua atau
adikku mengunjungiku, aku bisa meminjam ponsel untuk saling berkirim sms dengan
Ani. Tentu aku segera menghapus sms-sms kami tersebut.
Pada
hari Sabtu dan Minggu para frater Seminari Tinggi biasanya melakukan pastoral.
Oleh karena jumlah kami yang cukup banyak, ada jadwal yang mengatur kapan kami
pergi. Pada Hari Minggu di saat aku tidak mendapat giliran pastoral, biasanya
aku segera mengendarai sepeda seusai misa
pertama, mengayuhnya dengan senyum bahagia di wajahku, memarkir sepeda itu di
penitipan sepeda, dan membeli tiket Kereta Api ke Surakarta. Tentu aku tidak
melakukan itu setiap Minggu. Jika aku terlalu sering melakukan itu, masa depan
panggilan imamatku bisa terancam punah.
Entah
mengapa, aku yang masih muda itu selalu begitu bersemangat setiap kali ada
kesempatan mencuri waktu ke Surakarta. Tidak seperti kota kelahiranku, Jakarta,
Surakarta saat itu tidak canggih. Tidak megah! Hampir mirip Yogyakarta, tapi
memiliki atmosfer yang berbeda. Tidak ada apa-apa di sana... kecuali bahwa
Surakarta memiliki Ani.
***
“Romo,
pengakuan saya yang terakhir adalah sebulan yang lalu,”
“Baiklah,
Frater. Silakan, langsung saja,” kata Romo itu dingin.
“Dosa
saya adalah...” aku kelu, tak mampu melanjutkan.
“Iya,
Frater... silakan.”
“Dosa
saya...”
“Iya...
.”
“Dosa
saya adalah saya jatuh cinta pada seorang wanita, Romo,” kataku lega.
“Frater,
Cinta itu bukan dosa. Cinta itu anugerah Tuhan yang paling indah. Tidak akan
pernah ada manusia di dunia ini jika tidak ada cinta. Manusia diciptakan Allah
oleh karena kasih Allah. Bahkan, panggilan utama seorang manusia adalah untuk
mencintai. Akan tetapi, Frater, ingatlah selalu akan siapa dirimu. Tidak semua
cinta harus dimanifestasikan ke dalam hubungan lelaki-perempuan. Banyak imam,
biarawan, dan biarawati menyublimasi cinta mereka ke dalam karya dan pelayanan
harian mereka. Syukur-syukur cinta yang engkau rasakan itu kaupersembahkan
kepada Tuhan sebagai persembahanmu yang paling indah, sebagai kurban syukur
atas anugerah Ilahi. Kecuali bahwa... kamu menemukan panggilan yang lain, yaitu
hidup berkeluarga. Maka, kamu bebas untuk menanggalkan jubahmu itu, dan memeluk
panggilan berkeluarga itu. Baiklah, Frater, ada dosa lain yang ingin kauakui?”
“Tidak,
Romo. Saya rasa, itu dosa saya yang paling besar. Saya merasa mengkhianati
Tuhan.”
“Jangan
pernah merasa demikian, Frater. Baiklah, untuk penitensi, silakan sekeluarmu
dari ruangan ini, doakanlah Madah Bakti
nomor 15 dan 16, sekali Bapa Kami, dan tiga kali Salam Maria. Dan, lakukanlah
sekali Ibadat Jalan Salib pada Hari Jumat besok.”
“Baik,
Romo.”
“Dengan
perantaraan Gereja Kudus Tuhan kita Yesus Kristus yang telah mengampuni segala
dosa, saya melepaskan kamu dari segala dosamu, dalam Nama Bapa, dan Putera, dan
Roh Kudus.”
“Amin.”
Aku
telah mengaku dosa jutaan kali. Akan tetapi pengakuan dosa yang itu adalah
satu-satunya pengakuan dosa yang tidak pernah aku lupakan. Aku mengakui bahwa
aku telah berdosa, jatuh cinta kepada Ani, pada suatu hari di masa Pra-Paskah,
sekitar dua tahun sebelum aku ditahbiskan. Butuh keberanian besar untuk
mengakuinya. Waktu itu aku pun tak cukup berani mengakui dosa yang itu di
hadapan Romo staf seminari. Aku mengakui itu di hadapan seorang romo paroki
dari sebuah Paroki di tengah Kota Yogyakarta.
Setelah
keluar dari bilik pengakuan dosa itu, lalu menjalankan segenap penitensi,
memang batin ini terasa lega. Rasanya seperti melayang di udara. Akan tetapi,
hal itu tidak berlangsung lama. Bayangan wajah Ani senantiasa menghantui.
Ketika aku meditasi, saat aku doa ofisi,
sewaktu menerima komuni
suci... aku ingat pada Ani. Celakanya, ternyata Ani juga memendam rasa yang
sama.
Aku
sudah mengakui segala dosa itu dan lewat sakramen
tobat dosa-dosaku telah diampuni. Namun, itu bukan berarti aku serta-merta bisa
lepas-bebas dari dosa yang sama. Ada yang dinamakan eksterioritas dosa.
Lingkungan membuat kita mau tidak mau melakukan dosa. Eksterioritas dosa bagiku
itu tidak lain adalah aku dapat dengan mudah mengakses internet sehingga dengan
lebih leluasa aku dapat berhubungan dengan Ani baik lewat email, facebook,
dan/atau twitter. Eksterioritas dosa yang kedua adalah bahwa konfraterku
mendiamkan aku melakukan semua itu, seakan-akan ada kesepakatan diam-diam di
antara kami untuk tahu-sama-tahu ketika salah satu di antara kami melakukan
kesalahan, bahkan dosa. Konfrater
yang sok suci justru akan kami kucilkan hingga akhirnya dia melepaskan jubah
dengan sendirinya. Apa lagi, pada suatu hari ada seorang konfrater yang secara
diam-diam memiliki ponsel. Dengan memberi dia uang pulsa Rp. 6000,00 atau
membagi dia beberapa batang rokok, pada saat itu aku sudah dapat meminjam
ponselnya untuk saling berkirim sms dengan Ani.
Pada
suatu waktu Ani memberi tahu bahwa dia akan menemuiku di Yogyakarta. Akan
tetapi, dia enggan untuk berkunjung ke Seminari Tinggi. Dia memintaku untuk
menjemputnya di Stasiun Lempuyangan. Aku sudah beralasan bahwa di Yogyakarta
aku tidak memiliki kendaraan selain sepeda ontel. Aku merayunya supaya aku saja
yang mencuri-curi waktu untuk pergi ke Surakarta di mana keadaan akan jauh lebih
mudah untuk diatasi. Namun, Ani bersikeras. Dia mengancam akan naik motor
sendiri dari Surakarta ke Yogyakarta yang kurang lebih berjarak 60 kilometer.
Sebagai lelaki yang mencintainya, aku tidak tega. Aku luluh.
Konfrater
yang menjadi petugas bidel sepeda
motor adalah sahabat karibku. Dengan prinsip tahu-sama-tahu tadi, aku berhasil
meminjam sepeda motor darinya.
“Bagaimana
jika Romo rektor bertanya?” tanyaku gentar.
“Sudah.
Serahkan padaku. Aku akan bilang, sedang diservis rutin.”
“Makasih
ya.”
“Cantik
ya? Masih ada lagi, gak?”
“Hush!”
“Hahahahaha...
. Cintamu bunuh panggilanku...” dia meledek.
“Sialan
kau!”
Waktu
itu Ani mengajakku ke Kaliurang. Dia ingin melepas rindu kepadaku. Aku pun
mengajaknya mendaki sebuah bukit di sana. Kami berdua lupa bahwa aku adalah
seorang biarawan, sedangkan dia adalah seorang umat dari paroki yang mungkin
suatu saat nanti akan aku gembalakan. Yang kami pikirkan saat itu adalah kami
berdua saling menanggung rindu dan cinta yang menggebu. Dan, tidak ada saat
yang lebih baik dari pada waktu itu. Mungkin ini yang dinamakan abuse of power itu.
“Mas...”
dia tak lagi memanggilku ‘frater’.
“Iya?”
“Aku
kangen.”
“Aku
juga... . Aku... aku cinta kamu,” kataku sembari memeluknya erat.
“Aku
juga cinta kamu, Mas.”
Kami
pun berpagutan. Kuat. Angin berdesir. Tumbuh-tumbuhan menjadi saksi cinta kami
yang terlarang itu. Waktu pun seakan berhenti, memberi kami kesempatan untuk
memadu kasih yang sebenarnya tak boleh ada. Monyet-monyet ekor panjang saling
menjerit, seolah-olah menyoraki dua anak manusia yang telah kalah, memakan buah
terlarang, dan jatuh ke dalam dosa. Namun, ironisnya, kami berdua justru merasa
menjadi manusia yang merdeka! Tidak ada lagi surga, tidak ada lagi neraka.
Hanya ada kami di dalam gemuruh asmara.
***
“Aku
memutuskan untuk keluar, An,” kataku.
“Kenapa,
Mas?”
“Aku
ingin menikahimu.”
“Kamu
sudah memikirkannya, Mas? Atau ini hanya emosi sesaat?
“Aku
mencintaimu, Ani!”
“Aku
tidak ingin egois, Mas,” kata Ani, mulai berurai air mata.
“Apa
maksudmu egois, An?”
“Aku
tidak ingin bersaing dengan Tuhan.”
“Kamu
tidak bersaing dengan Tuhan, An. Justru, kalau kita menikah, kita bisa semakin
memuliakan Tuhan dengan membangun miniatur Gereja, yaitu keluarga kita.”
“Lalu,
apa arti segala perjuanganmu bertahun-tahun menggeluti panggilanmu ini?”
“Semuanya
sia-sia, An, semua sia-sia dan tak berharga. Setelah bertemu denganmu, semua
kuanggap sampah!”
“Jangan
memperolok Kitab Suci, Mas!”
“Aku
tidak memperolok, An, tapi aku mengutip semua itu oleh karena aku ingin
menunjukkan kepadamu betapa aku mencintaimu.”
“Kalau
kamu memang mencintaiku, jadilah imam.”
“Kalau
aku keluar?”
“Aku
tidak akan pernah sudi menemuimu. Seorang lelaki pengecut! Sebulan lagi kamu
ditahbiskan, Mas! Tinggal beberapa langkah, dan impian masa kecilmu itu menjadi
kenyataan. Kamu adalah milik Kristus. Kamu bukan hanya milikku seorang. Dengan
ditahbiskan, kamu akan menjadi milik seluruh umat Katolik, dan aku pun termasuk
di sana.”
“Tapi,
bisakah aku seumur hidup menjadi imam yang wadat, sedangkan di saat yang sama
aku memendam cintaku kepadamu?”
“Kamu
bisa, Mas. Kamu bisa. Kamu bisa sejauh ini. Kamu akan bisa nanti. Aku akan
menemanimu.”
“Apa
maksudmu?”
“Kamu
pikir aku akan bisa dengan mudah mencintai lelaki lain setelah kamu ditahbiskan
nanti? Aku tidak bisa, Mas. Tidak ada lelaki yang bisa menggantikanmu di
hatiku.”
“Dan,
kamu tetap tidak mengizinkan aku melepas jubahku ini sehingga kita bisa
bersatu?”
“Menjadi
imam itu tidak mudah, Mas. Kamu sudah sejauh ini. Dan, Gereja kita membutuhkan
banyak tenaga imam. Aku tidak bisa egois.”
“Aku
tidak memahami jalan pikiranmu, An.”
“Kamu
dulu pernah bercerita kepadaku, bahwa menjadi imam adalah cita-citamu sejak
kecil, bukan?”
“Benar.”
“Sekarang
kamu berpikir untuk meninggalkan cita-cita masa kecilmu itu hanya oleh karena
aku, bukan?”
“Kamu
lebih berharga!”
“Mas...
aku tidak ingin menjadi alasanmu untuk keluar. Apa kata umat nanti, Mas? Umat
akan mencemoohmu. Umat akan mengatakan bahwa kamu adalah lelaki lemah, frater
yang keluar karena tersandung wanita. Seorang manusia yang tidak mampu memegang
teguh kaul-kaulnya, sumpah-sumpahnya.”
Ani
menangis sejadi-jadinya seusai berkata demikian. Aku pun memeluknya erat. Tak
kusangka, itu adalah pertemuan kami yang terakhir. Ani tidak datang pada saat
aku dan dua orang konfraterku yang lain ditahbiskan. Ani pun juga tidak
menghadiri misa perdana kami di gereja parokinya di Surakarta. Dia seperti
menghilang ditelan bumi.
Aku
tidak memiliki akses untuk menghubungi Ani. Nomor ponselnya tidak aktif. Akun
facebook dan twitternya dideaktivasi. Emailku pun tidak pernah dibalasnya. Lagi
pula, setelah menjalani tour misa perdana di beberapa paroki di Keuskupan Agung
Semarang, aku diutus untuk menjadi tenaga misi di luar Jawa. Aku harus membantu
seorang pastor mengurus sebuah paroki terpencil di pedalaman Papua selama beberapa
tahun. Setelahnya, aku kembali diutus menjadi tenaga misi di pedalaman
Kalimantan. Baru setelah lebih dari lima belas tahun di tanah misi, aku diutus
untuk menjadi pastor pembantu paroki di Jawa. Dan, kini, aku bertugas di paroki
tempat anak Ani merantau.
Sempat
aku mendengar kabar dari konfraterku yang bertugas di paroki tempat Ani
tinggal, bahwa Ani tidak menikah seumur hidupnya. Lalu, dari mana dia bisa
memiliki seorang putera? Anak adopsikah? Tidak. Ani tidak pernah mengadopsi
anak. Pemuda itu adalah anak kandung Ani. Lima bulan setelah aku ditahbiskan,
Ani melahirkan seorang anak jadah tak berayah. Ani sendiri tidak pernah mengaku
siapa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas jabang bayi laki-laki itu,
sehingga sempat ayahnya mengucilkannya. Ani pun harus hidup sendiri dan bekerja
demi menghidupi si jabang bayi.
***
“Atas
nama Gereja Allah, dan di hadapan para saksi dan hadirin sekalian, saya
menegaskan bahwa perkawinan yang telah diresmikan ini adalah perkawinan Katolik
yang sah. Semoga Sakramen ini menjadi bagi Saudara sumber kekuatan dan
kebahagiaan. Yang dipersatukan Allah...”
“...Jangan
diceraikan manusia,” kedua mempelai itu menyahut bersamaan.
Aku
menyaksikan pemuda itu begitu berbahagia. Anak lelaki Ani itu menatap
mempelainya dengan penuh kasih. Hangat. Mereka tersenyum bahagia. Aku turut
bahagia menyaksikan pemandangan penuh cinta ini. Memang aku tidak pernah
menikahi orang yang aku cintai sebelumnya, tetapi aku telah menikahkan banyak
sekali pasangan yang saling mencintai di dalam suka duka, di dalam untung
maupun malang. Semoga saja, doaku, mereka tidak pernah berurusan dengan
Tribunal Gereja.
Menyaksikan kebahagiaan anak manusia yang tengah dimabuk cinta itu selalu
menjadi momentum yang berharga dan patut disyukuri.
Aku
tatap tajam mata pemuda itu, anak lelaki Ani itu. Dia memandangi wajah
mempelainya dengan hangat dan tatapannya sangat familiar. Seakan-akan aku
mengenal dekat tatapan mata itu. Tatapan itu... seperti tatapanku saat
memandang wajah Ani.
“Berkah Dalem,
Romo. Terima kasih,” sapa seorang perempuan separuh baya.
“Berkah Dalem. Sama-sama, Bu, ah...
Ani...” jawabku kaku. Sudah lebih dari dua dasawarsa aku tidak pernah melihat
wajah satu-satunya perempuan yang aku cintai. “Kapan tiba di kota ini?” tanyaku
basa-basi.
“Dua
hari lalu. Dijemput anak lanang.”
“Anak
lelakimu tampan. Istrinya juga cantik. Mereka pasangan serasi. Kuharap mereka
menjadi miniatur Gereja dan dapat njembaraken
Kraton Dalem.”
“Iya,
anakku memang tampan. Seperti ayahnya,” kata Ani seraya menatapku tajam. Lalu,
matanya berkaca-kaca.
tepi
Jakal, 22 Agustus 2013
Padmo
“Kalong Gedhe” Adi
Waaaa jangan-jangan jangan-jangaaaannn :O wkekek
ReplyDeleteJangan-jangan apa? :P
Deletenice. jos. interpretasi dr byk pergulatan. mungkin krn byk mendengar. hingga pd akhirnya lahirlh sebuah karya. plot dan alur cukup menggemaskan. permainan emosi sudah cukup menggetarkan unt mereka yg emosional. ttp unt yg awam dg dunia kita (wkt itu) mungkin perlu da catatn kakinya hehehe...
ReplyDeleteTerima kasih, Mas, untuk apresiasinya :)
DeleteEh, iya, benar juga, bahkan tidak semua orang Katolik mengetahui istilah-istilah yang aku pakai di dalam cerpen di atas. Baiklah, aku akan mencoba untuk mengeditnya kembali, dan memberinya catatan kaki :D
Terima kasih saranmu. Aku terima ;) Tunggu editannya ya... .
Makjleb.......
ReplyDeleteIki ono lagune to?
"Ani, Ani apa kabarmu? Kabarku baik-baik saja".....
Eh... ada yang "makjleb" :P
DeleteItu lagu apa, Jon? Link please ;) Biar greget :D
Saniii
DeleteSani? Jadi ingat seseorang :P
Deletepas maca iki, kok sing terlintas nang pikiranku ki Dewi Sukesi ya...
ReplyDeleteWeh... kok bisa?
DeleteDewi Sukesi?
gugel... mana gugel?
Ah... ya... ya... seorang Reshi menyetubuhi Dewi Sukesi saat seharusnya mengajarkan Sastra Jendra.
Deletejadi ayahnya ??
ReplyDeletemenurutmu?
DeleteCerpen Esai! :p
ReplyDeleteampun, ndaaaaan....
Deletehuahahahahahaha...
aku tidak pernah memaksudkannya demikian :P
itu catatan kaki sekadar alat bantu bagi pembaca yang bukan berlatar belakang katolik...
huahahahahahaha... catatan kaki itu kutambahkan setelah ada seorang teman menyarankan demikian :D