ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA

  ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA *kepada Hugo   Lukisan Sri Yesus Kristus bersama dengan Sri Krishna setelah Tuhan mereka bunuh berkali-kali... yang terjadi adalah kemanusiaan yang mati... akhirnya menjelma jadi jiwa yang mengembara di padang belantara... ke selatan, ke utara... ke timur, ke barat... ke sana... entah ke mana... mencoba menemukan Tuhan yang telah tiada   walaupun demikian, itu lebih baik bagi mereka daripada mulut ngaku ikut Sang Lelaki Galilea tapi membela anak ular beludak sampai mati atau mewarnai semua dengan mejikuhibini Ah, Hug, Barat itu arah terbenamnya matahari bacalah Wahyu, semuanya sedang digenapi...   Malang, 07 Oktober 2024 Padmo Adi

Bapakmu Ini Akan Kembali, Nak

Bapakmu Ini Akan Kembali, Nak


Kamu pernah pacaran? Kapan pertama kali kamu pacaran? Mungkin kamu pertama kali pacaran ketika kamu SMA. Bisa jadi kamu mulai pacaran ketika kamu SMP. Beberapa temanku bahkan ketika SD sudah berkelahi gara-gara masalah pacar. Apakah pacar pertamamu itu cinta pertamamu? Lalu, kapankah kamu merasakan cinta pertama? Ah, maafkan aku memberondongmu dengan berbagai pertanyaan konyol itu. Semua pertanyaan itu muncul begitu saja. Kamu tidak harus menjawabnya langsung kepadaku, sebab aku pun ingin menjawab pertanyaanku sendiri itu. Tiba-tiba saja aku rindu pada seorang perempuan.
Perempuan itu dulu adalah kekasihku. Kami berpacaran ketika SMA. Waktu itu aku sekolah di sebuah sekolah negeri di Solo. Aku sendiri bukan berasal dari kota itu. Asalku dari Jakarta. Mungkin karena papa adalah alumni sekolah negeri itu, aku disekolahkan di sana. Awalnya memang aku tinggal di rumah paman. Akan tetapi, karena aku merasa tidak nyaman, dan karena rumah paman itu di Karanganyar yang berjarak kurang lebih 20 kilometer dari sekolah, aku minta pada papa supaya aku indekos di dekat sekolah saja. Papa menyetujui keinginanku itu. Papa selalu memanggilku “Koboi Kecil”. Maka, keinginan indekos itu papa pandang sebagai sebuah cara untuk mendidikku mandiri, menjadi “koboi besar”. Hingga kini aku belum mampu memahami jalan pikiran papa, mengapa pada waktu itu dia begitu saja menyetujui anak lelakinya yang baru berusia 16 tahun itu hidup indekos sendiri.
Waktu itu aku kelas 2 SMA. Aku berpacaran dengan seorang gadis cantik. Dia adalah cinta pertamaku. Dia adalah pacar pertamaku. Annisa namanya, Annisa Puspita Sari. Tentu waktu itu kami berdua, selayaknya remaja-remaja seumuran kami, tidak mengetahui dengan pasti apa itu cinta. Kata “cinta” yang sering saling kami ucapkan itu tidak memiliki imaji apa-apa di dalam benak kami. Kami pacaran karena kami saling suka dan saling naksir. Itu saja. Sama sekali tidak pernah terlintas di dalam benak kami bahwa kelak kami akan menikah. Kami pacaran semata karena kami ingin bersenang-senang dan semata karena “memiliki pacar” di mata remaja seusia kami waktu itu dipandang sebagai status sosial yang bergengsi dibandingkan dengan mereka yang jomblo.
Kami berpacaran hingga kelas 3. Tidak, kami tidak putus. Setidaknya pada waktu itu tidak ada kata “kita putus” atau “kita udahan” diucapkan. Bahkan, sampai kini pun, walau aku sudah berkali-kali berganti kekasih, aku masih menyimpan rasa sayang kepadanya. Bagiku, hubungan kami tidak pernah tuntas. Ada hal yang masih menggantung. Kisah kami yang tak selesai itu menjadi titik balik perjalanan hidupku selanjutnya. Berhati-hatilah dengan cinta pertama, sebab seluruh perjalanan hidupmu, yang mungkin penuh dengan petualangan atau mungkin penyesalan, bisa berawal dari sana.
Kini usiaku memang baru 25 tahun, tetapi aku telah menjadi seorang ayah. Hanya saja, aku tidak pernah berjumpa dengan anakku itu, juga dengan ibunya, Annisa. Sebelum-sebelumnya aku tidak pernah memikirkan atau merisaukan hal ini. Akan tetapi, sebagaimana segala hal yang direpresi dan sengaja dilupakan, hal itu akan muncul kembali secara tiba-tiba tanpa kita sempat bersiap untuk menyambutnya. Tanpa aku sadari, pilihan-pilihan hidup yang aku buat dilandasi oleh rasa bersalahku kepada Annisa dan jabang bayi itu. Aku pikir, rasa bersalah yang kurepresi itulah penyebab hubunganku dengan kekasih-kekasihku yang lain tidak pernah berjalan lama. Dan, beberapa malam itu rasa bersalah itu menyelinap keluar kembali, mewahyukan dirinya yang sebenarnya. Rasa bersalah, yang selama ini hanya menghantui lewat ketidaksadaranku, tiba-tiba saja muncul tepat di depan hidungku. Kemudian, tiba-tiba saja hati ini diselimuti oleh rasa rindu yang aneh, rasa rindu pada seorang bocah yang belum pernah aku jumpai, juga pada perempuan yang melahirkannya.
Rasa bersalah dan rasa rindu itu bersama-sama menggedor-gedor pintu kesadaranku. Mereka mendobrak dan mendapatiku meringkuk bersembunyi di balik kesadaran. Mereka menghadirkan kembali kenangan delapan tahun silam, kenangan akan saat-saat terakhir bersama Annisa. Waktu itu kami pulang sekolah. Dia mampir ke kosku. Kami hendak mengerjakan tugas. Mendung saat itu. Gelap. Namun, gerah. Aku melepaskan baju seragamku. Keringat membasahi punggung dan dadaku.
“Panas ya?” kataku.
“Nyalain aja kipasnya,” kata Annisa.
Aku menyalakan kipas angin. Es teh yang aku bungkus dari kantin itu pun kuminum habis, tapi masih belum mampu menghardik kegerahan itu.
“Semoga hujan. Biar lebih segar.”
“Jangan hujan dong. Nanti aku pulangnya bagaimana?
“Nanti aku antar. Aku ada mantol kok.”
“Nanti kamu sakit.”
“Kan sakit demi cinta... .”
“Gombal!”
“Eh, ini, bagaimana ini? Aku gak paham,” kataku sambil menyalakan komputer.
“Ayo, sini, kita bikin bareng.”

Annisa duduk di depan monitor. Membuka file tugas yang harus kami kumpulkan minggu depan. Aku duduk di belakangnya.
“Kamu gak kepanasan, Nis?” kataku.
“Ya panas sih.”
“Kenapa gak kamu lepas kerudungmu?”
“Ini kan hari pertama aku pakai.”
“Udah niat ya?”
“Aku lebih cantik ‘kan, Ndre, pakai ini?”
Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Aku tidak menjawabnya. Kami berdua terperanjat mendengar suara halilintar yang menggelegar tiba-tiba. Semakin gelap. Mendung semakin pekat. Halilintar itu diikuti oleh hujan deras yang tiba-tiba mengguyur. Begitu deras. Suara air hujan menghantam genting, pucuk-pucuk pohon, aspal, dan tanah begitu nyaring terdengar. Bau tanah basah itu memenuhi kamarku. Kunyalakan lampu. Halilintar lain menggelegar. Annisa menjerit.
“Jangan takut. Aku tutup saja ya kamarnya,” kataku.
“Iya. Tapi, ini nanti aku pulangnya bagaimana?”
“Tenang, nanti aku antar kalau hujan sudah tidak deras.”
“Ya sudah, kita buat tugas dulu saja.”

Annisa tengah mengetik di depan monitor ketika tiga halilintar lain menggelegar kejar-mengejar. Dan... lampu padam. Annisa kembali berteriak. Dia mendekapku yang duduk di belakangnya. Ketakutan.
“Sudah... sudah... aku nyalakan lilin dulu,” kataku sembari melepas pelukannya.
“Jangan tinggalin aku... .”
“Ada di almari kok. Aku gak jauh-jauh.”
Lilin yang kunyalakan menghasilkan cahaya kuning yang aneh. Di luar hujan deras dengan halilintar sahut-menyahut. Sedang di dalam tercipta suasana aneh oleh karena cahaya kuning yang membuat bayangan kami menari-nari. Kulihat Annisa menangis. Aku mendekatinya yang masih duduk di depan monitor. Aku jongkok dan kuseka air matanya. Akan tetapi, cahaya kuning aneh itu seperti mengajakku menari bersama bayang-bayang kami. Cahaya itu membuatku ingin melakukan hal yang lebih dari pada sekadar menyeka air mata Annisa. Aku memberanikan diriku untuk mencium bibir Annisa. Dia menolak dengan memalingkan wajah.
“Maaf... .” bisikku.
Namun, “maaf” yang kuucapkan itu justru kulanjutkan dengan memeluk erat tubuh Annisa dari belakang. Dia menoleh. Kerudungnya tertarik tanganku dan tersingkap. Aku memberanikan diri untuk mencium bibirnya lagi. Kali ini dia tidak menolak. Dan, kami pun tidak jadi melanjutkan membuat tugas. Bersama bayang-bayang itu, kami menari-nari diiringi cahaya kuning lilin dan suara hujan senja hari yang menghantam bumi.
“Bagaimana nanti kalau ada yang tahu?” tanya Annisa.
“Aku mencintaimu,” jawabku.
Kejadian itu terjadi dua bulan sebelum kami menjalani Ujian Nasional. Aku sendiri memang masih ingat detail peristiwa itu, tetapi tak berani membicarakannya dengan siapapun, juga dengan Annisa. Akan tetapi, beberapa minggu sebelum ujian itu tiba, Annisa mengajakku berbicara serius. Dia hamil. Aku terkejut, seakan tak percaya. Dia menangis. Awalnya dia juga tidak percaya. Namun, terlambat datang bulan lebih dari sebulan itu bukanlah hal yang wajar. Dia sendiri tidak berani bercerita pada kedua orang tuanya. Mereka pun tak menaruh curiga, sebab Annisa tetap mengambil jatah pembalut yang disediakan ibunya pada hari-hari ketika seharusnya dia “dapat”. Dicekam rasa takut, Annisa mencoba melakukan tes urin. Positif.
“Temani aku menggugurkan!” katanya sembari sesenggukan.
“Uang dari mana?”
“Kalau begitu dipijat saja.”
“Jangan dibunuh!”
“Apa maksudmu?”
“Dia anak kita.”
“Lalu bagaimana dengan aku? Masak aku harus ikut ujian sambil hamil?”
“Tapi dia anak kita.”
“Mengapa kamu egois? Kamu tidak memikirkan aku? Masa depanku? Bagaimana aku harus bilang pada orang tuaku? Lalu cita-citaku? Kamu, cowok, tidak tahu perasaanku!” tangisnya semakin menjadi.
“Aku mencintaimu,” jawabku.
Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku tanpa aku ketahui dengan pasti apa maknanya. Saat itu aku begitu gamang. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Pacarku hamil. Akulah yang bertanggung jawab. Akan tetapi, tanggung jawab yang seperti apa? Aku hanya seorang bocah berusia 17 tahun! Bagaimana aku harus berkata kepada orang tuaku? Yang lebih membuatku gentar, bagaimana aku harus menghadapi kedua orang tua Annisa? Haruskah aku berkata, “Maaf, Pak... Bu... saya telah menghamili putri Bapak dan Ibu... .” Ah, aku ingin mati saja rasanya. Aku saat itu merasa benar-benar tak mampu menanggung beban sedemikian berat. Annisa yang menangis sesenggukan. Bayangan wajah kecewa papa-mamaku. Bayangan wajah geram ayah dan ibu Annisa. Para guru dan kepala sekolah. Ujian Nasional itu. Teman-teman. Aku tidak bisa menahan teror yang mengguncang imaji dan perasaanku. Untuk menenangkan Annisa, aku hanya mampu berkata “aku mencintaimu”. Namun, untuk menenangkan diriku sendiri? Kutenggak itu satu botol ciu dan kuhisap satu pak Dji Sam Soe. Aku ingin lari dari kenyataan.
Kemabukan hanya membuatku sembunyi dari masalah. Ketika aku sudah cukup siap, kuberanikan diri untuk menemui Annisa. Aku berkata kepadanya untuk tetap tenang. Kami akan menjalani Ujian Nasional selayaknya tidak pernah terjadi apa-apa pada kami. Aku berjanji akan menyelesaikan masalah ini begitu Ujian Nasional itu usai. “Menyelesaikan masalah” bagiku saat itu berarti berkata kepada kedua orang tua kami apa yang sebenarnya terjadi dan kuharap kami dapat dinikahkan. Annisa sendiri pun akan membuat perutnya tidak tampak membesar.
Ujian Nasional pun telah kami lalui. Tidak ada yang curiga kalau Annisa hamil. Akan tetapi, “Menyelesaikan masalah” itu tidak semudah seperti yang aku bayangkan. Orang tua Annisa yang marah itu menolak lamaran orang tuaku yang jauh-jauh datang dari Jakarta, karena kami berbeda agama. Walaupun jarang ke Gereja, aku tetap memiliki dan memakai nama baptis, Andreas. Acara lamaran itu justru berubah menjadi pertengkaran mulut antara ayah Annisa dengan papa, yang tersinggung dengan ucapan ayah Annisa yang berkata bahwa aku hanya boleh menikahi Annisa kalau sudah bertobat dan mengucap dua kalimat syahadat. Mama meminta kepada papa untuk beranjak saja dari rumah Annisa. Mama malu bertengkar seperti itu.
“Ndre... jangan pergi!” teriak Annisa.
“Masuk!” hardik ayahnya.
“Aku mencintaimu!” teriakku.
“Andre!!! Masuk mobil!” bentak papa.
“Aku mencintaimu... ,” tangisku.
Dan, papa tancap gas. Kami pun pergi meninggalkan rumah Annisa. Kami pergi meninggalkan Solo dan belum pernah kembali.

***

“Ayolah, Bung, dia sudah menjadi masa lalumu. Lanjutkanlah hidupmu. Cukuplah dengan segala kenangan akan dia,” kata sahabatku.
“Aku tak bisa benar-benar melupakannya, Bung... atau mencari penggantinya.”
“Aih... bull shit! Aku lihat kini kau dekat dengan mahasiswi baru itu. Dia juga cukup cantik,” lanjut sahabatku sembari merampas foto Annisa waktu SMA yang tengah aku genggam, mengamatinya, “Hei... sekilas mirip dengan... .”
“Kembalikan!” kuambil kembali foto itu, “Justru di situlah permasalahannya, Bung.”
“Maksudmu?”
“Tidakkah engkau menyadari, kita, lelaki, selalu tertarik pada tipe perempuan yang sama dengan cinta pertama kita?”
“Benarkah demikian? Aku tidak mengetahuinya. Sebab aku bercinta dengan bebas bersama perempuan manapun yang aku suka.”
“Itu kau hanya bersenang-senang saja. Keparat! Tapi, tidakkah engkau merasa janggal pada perempuan-perempuan yang, bahkan sebelum engkau mengenalnya, tiba-tiba saja kautaksir... dan seakan-akan pernah bertemu dengannya lama?”
“Mungkin. Entahlah. Aku tidak semelankolis dirimu. Tapi, apa poinmu?”
“Setelah kami berpisah, beberapa kali aku sempat ingin melanjutkan hidup... maksudku, mencoba berkenalan dengan perempuan-perempuan lain. Aku bertemu dengan beberapa perempuan yang seakan-akan pernah kutemui sebelumnya, seakan-akan kami pernah kenal dekat. Aku bingung dengan perasaan itu. Aku mencoba mengamat-amati foto mereka. Tebak apa yang aku temukan?”
“Apa?”
“Perempuan-perempuan yang sempat aku taksir itu memiliki kemiripan pola wajah dengan dia!”
“Itu bagus dong. Itu namanya mati satu tumbuh seribu... hahaha... .”
“Ah... justru di sanalah letak kegundahanku. Apakah benar aku naksir dengan perempuan-perempuan itu... atau aku naksir dengan bayangan dia, yang muncul begitu saja lewat kemiripan wajah mereka. Aku masih mencintainya, Bung. Dan, aku tidak ingin menggandeng salah satu dari perempuan itu, juga mahasiswa baru itu, sedangkan hatiku masih tertuju kepada dia.”
“Mungkin kau butuh discernment, Bung. Kau luka batin. Luka hatimu sepertinya begitu dalam.”
“Sepertinya begitu. Aku begitu merindukan Annisa. Sebagai lelaki, wajar dan manusiawi aku naksir kepada setiap perempuan cantik yang aku temui. Akan tetapi, cinta itu pilihan, Bung. Dan, celakanya, sudah sejak awal aku menjatuhkan pilihanku kepada Annisa.”
“Aih... kau hanya mengharap yang tak pernah tiba! Atau, kau pergi saja ke Solo sana. Siapa tahu dia masih di kota itu. Berapa umurmu? 25, ‘kan? Kau sudah tak butuh persetujuan orang tuamu untuk kawin!”
“Tepat seperti itu yang akan aku lakukan.”
“Lalu, mengapa kau masih bercerita kepadaku? Kau tak butuh nasehat, Bung! Yang kauperlukan adalah eksekusi! Praksis!”

***

Malam itu segera kuraih jaket dan helm, lalu kustarter Ninja-ku. Aku sudah siap dengan 13 jam perjalanan lebih berkendara malam dari Jakarta ke Solo. Memang itu merupakan solo-riding pertamaku. Modalku hanyalah kartu ATM dan GPS dari smartphone serta kenekatan yang timbul dari rasa bersalah dan kerinduan yang aneh terhadap Annisa dan anakku yang tak pernah aku temui. Aku ingin melihat mereka, menanyakan apa kabar mereka, meluapkan kerinduanku kepada mereka, dan melakukan apa yang dulu tak jadi kulakukan karena ayahnya dan papa bertengkar.
Jam 10 siang. Kartasura. Tujuh kilometer lagi dan aku sampai di kota masa remajaku. Namun, pada waktu itu mataku begitu berat. Aku mencari SPBU terdekat untuk mengisi bahan bakar, membeli roti dan minuman, serta mengistirahatkan mesin, bahu, dan mata. Aku terlelap, bersandar di tembok luar mushala SPBU tersebut.
Terik matahari siang membangunkanku. Pukul 12. Segera kulanjutkan perjalananku ke timur, menuju rumah Annisa. Solo kini semakin padat, walau belum separah Jakarta. Kemacetan terjadi di beberapa persimpangan. Jika walikotanya tidak tanggap, merevitalisasi transportasi umum, sepuluh tahun ke depan Jalan Slamet Riyadi itu bisa lumpuh. Dan, sepuluh tahun berikutnya, seluruh sudut kota akan lumpuh. Namun, bukan itu saja yang berubah dari Solo. Kini kota itu lebih hijau. Jalur-jalur hijau, taman-taman kota, bahkan hutan kota pun direvitalisasi. Kalau aku jadi menikah dengan Annisa, aku mau tinggal di sini.
Aku hampir lupa arah rumah Annisa oleh karena walikota yang kini menjadi gubernur Jakarta itu benar-benar berhasil mengubah kota itu. Namun, pagar hijau menghadap selatan itu tampak familiar. Rumah itu masih seperti delapan tahun lalu. Hanya saja terlihat lebih kusam.
“Permisi,” teriakku.
Mangga, sinten, nggih?” suara perempuan itu menyahut dari dalam. Bukan suara Annisa. Suara itu lebih tua. “Madosi sinten?
“Ah, Ibu. Bu, Annisa ada?”
“An... Annisa tidak ada itu, Mas. Masnya siapa ya?” kata ibu Annisa tergagap karena pertanyaannya menggunakan Bahasa Jawa Krama aku jawab dengan Bahasa Indonesia. Aku paham sedikit-sedikit Bahasa Jawa, tapi tak berani menggunakannya secara aktif. Dan, perempuan di hadapanku ini tak mampu mengingat siapa aku. Mungkin karena semenjak membaca Karl Marx, aku memelihara brewok dan memanjangkan rambut.
“Oh, saya teman Annisa waktu SMA kok, Bu. Kebetulan saja lewat Solo, jadi iseng mampir rumah Annisa,” kataku bohong. “Dia di mana sekarang, Bu?”
“Dia sekarang sudah menikah, Mas, jadi ndak lagi tinggal di sini. Dia sekarang di Semarang.”
“Menikah? Sama pacarnya yang dulu itu? Lalu... anaknya? M... maksud saya, sudah punya anak?” aku tergagap dan berusaha pura-pura tidak tahu apa-apa.
“Anaknya perempuan, Mas. Sekarang baru tiga tahun, masih lucu-lucunya.”
Tiga tahun? Astaga! Anak perempuan itu bukan anakku! Lalu, di mana anakku? Dia kini pasti sudah SD. Tapi, di mana dia? Apakah Annisa menggugurkannya? Tidak... tidak mungkin! Di mana anakku? Aku hampir tak mampu menguasai diriku. Hampir saja aku menangis di hadapan ibu Annisa karena dihajar asumsi-asumsiku sendiri. Jika sekiranya Annisa tak sudi memeliharanya, aku mau memeliharanya sendiri. Itu anakku. Itu darah dagingku. Dia adalah pewarisku. Dia adalah buah cintaku yang infantil dan terburu-buru.
“Kalau bapak, apa kabar, Bu?” tanyaku untuk mengalihkan diriku dari asumsi-asumsi itu.
“Bapak sudah dua tahun ini meninggal, Mas. Kena stroke. Mungkin karena terlalu banget le mikir gendhuk itu. Mari... mari... pinarak dulu. Duduk-duduk di dalam dulu. Mau minum apa ini?”
“Air putih saja, Bu,” kataku sembari masuk ke ruang tamu, tempat papa dan ayah Annisa bertengkar delapan tahun lalu.
“Bu... di mana?” suara anak kecil berteriak dari dalam.
“Ibu di luar, Le. Mrenea, Ngger. Ini lho, ada tamu, teman-e mbakmu.”
Temannya kakakmu? Sejak kapan Annisa punya adik? Dari dalam keluar seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tujuh-delapan tahun. Baru saja bangun tidur dia. Anak itu mengusap-usap matanya. Berjalan enggan mendekati kami.
“Ini, salim dulu sama masnya,” kata ibu Annisa meminta anaknya bersalaman denganku.
Aku pegang tangan mungilnya. Matanya tajam. Anak lelaki itu sama sekali tidak mirip bapak, ibu, atau bahkan Annisa itu sendiri. Anak lelaki itu sekilas mirip dengan... mirip dengan masa kecilku. Matanya yang bulat tajam itu... sama persis dengan mataku.
“Sini, duduk sama Om,” pintaku. Anak itu menurut. Dia duduk di sampingku.
“Kelas berapa?” tanyaku lagi. Namun, anak itu diam. Dia justru menatapku tajam. Dia mungkin bertanya-tanya, siapakah gerangan lelaki gondrong brewokan di hadapannya tersebut.
“Kelas berapa, Ngger? Ditanya itu lho,” kata ibu.
“Kelas dua.”
Kelas dua? Berarti usianya kurang lebih seusia anakku! Tapi, ibu Annisa berkata bahwa dia... .
“Ini adik Annisa, Mas. Ini metune telat. Mbakyune lulus SMA dulu baru dia nongol.”
Tidak! Ibu bohong! Dia bukan adik Annisa. Delapan tahun lalu ketika aku dan papa-mama pergi ke rumah ini untuk melamar Annisa, ibu Annisa tidak sedang hamil. Jadi, anak itu pasti anakku. Syukurlah, aku lega, Annisa tidak menggugurkannya. Akan tetapi, dia tidak mau mengakui bahwa ini adalah buah rahimnya?! Keterlaluan. Akan tetapi, mungkin itu usaha kedua orang tua Annisa untuk menyelamatkan masa depan putri semata wayangnya tersebut, dengan mengakui anak Annisa itu sebagai anak mereka. Kini Annisa sudah berumah tangga, dikaruniai seorang anak perempuan, dan tinggal di Semarang. Anak kami dia tinggal bersama ibunya yang kini sudah janda.
Anakku! Akhirnya aku bertemu juga dengan anakku. Aku merasakan perasaan bahagia yang bercampur dengan rasa bersalah yang mendalam. Anakku sama sekali tidak memiliki figur ayah, sebab ayah Annisa sudah meninggal. Sedangkan, aku, ayah kandungnya, tidak juga berani membuka identitasku di hadapannya dan ibu Annisa.
“Sekolah di mana?”
“Di SD Negeri,” kata anakku singkat.
“Yang membiayai ibu?” tanyaku.
“Untunglah SD Negeri tempat thole ini sekolah tidak memungut biaya. Paling ya hanya untuk seragam dan beberapa buku LKS. Cuma, untuk biaya makan dan lain-lain, Annisa yang mengirim tiap bulannya,” jawab ibu, “juga almarhum bapak masih dapat pensiun. Cukup.”
Terkutuklah aku! Di Jakarta sana aku bisa kuliah di universitas ternama dan tak perlu merisaukan tentang biaya hidup. Di Solo anakku hanya sekolah di SD Negeri Inpres! Ini keterlaluan! Aku semakin tak bisa memaafkan diriku sendiri.
“Kelak mau jadi apa?”
“Mau jadi pilot, Om.”
“Wah, itu harus pintar itu... ,” kata-kataku dipotong oleh suara adzan. Pukul 15.
Ngashar sik sana, Ngger,” kata ibu kepada anakku.
Nggih, Bu,” jawab anakku menurut. Dia lalu berdiri masuk ke dalam. Sebelumnya dia menyalami tanganku, lalu menciumnya. Tanganku dicium anakku! Aku benar-benar menikmati momentum tersebut. Aku telah menjadi ayah, dan kini aku bertemu dengan darah dagingku, bahkan kami bertatapan wajah, bersalaman, bersentuhan, dan tanganku diciumnya.
“Ya sudah, Bu, saya mohon pamit, biar ibu juga bisa shalat,” aku meminta diri.
“Lho ya ndak pa-pa, ta Mas. Istirahat dulu di sini. Dari jauh ta ini tadi?
“Kapan-kapan saya mampir lagi, Bu. Ini saya keburu ada urusan,” kataku bohong.
“Lha apa saya kasih alamat Annisa di Semarang?”
“Tidak perlu, Bu. Tidak apa-apa. Nanti kapan-kapan saya mampir lagi,” kataku seraya menuju tempat di mana motor kuparkir. Kukenakan jaketku, kupakai helmku, lalu kustarter motorku.
“Eh, njenengan tadi namanya siapa, Mas? Kalau-kalau nanti saya bisa menyampaikan salam kepada Annisa.”
“Andre, Bu. Mari... ,” kataku. Kemudian, segera aku meluncur ke jalan. Kulihat sekilas dari kaca spion, roman wajah ibu Annisa berubah setelah mendengar aku menyebutkan nama. Sepertinya perempuan itu tak pernah lupa nama remaja lelaki yang menghamili anak gadisnya.

Sepanjang perjalanan di balik helm full-face­ aku berurai air mata. Tak bisa lagi kubendung segala perasaan ini. Aku adalah lelaki bajingan! Aku merusak cinta pertamaku. Seumur hidup aku dihantui oleh cinta pertama itu. Kini, cinta pertamaku itu hidup bahagia bersama suami dan anak perempuannya. Sedangkan anak kami, buah dari cintaku yang infantil dan terburu-buru itu, tak diakui sebagai anak oleh perempuan yang melahirkannya. Anakku kini hidup bersama nenek yang dia percaya dan panggil sebagai ‘ibu’, sama sekali tanpa figur seorang ayah, sebab kakeknya telah meninggal. Sedangkan aku? Kekayaan orang tuaku masih menopang hidupku, sementara gemerlap Jakarta meninabobokanku.
Anakku, aku akan kembali! Bapakmu ini akan kembali, Nak, mendukungmu menjadi seorang pilot.
Aku mencintaimu.

tepi Jakal, 20 September 2013

Padmo Adi (@KalongGedhe)

Comments

  1. Saya tunggu kelanjutan ceritanya pak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha... ini tidak ada kelanjutannya... hehehe... .

      Walaupun begitu, cerita ini adalah salah satu cerita dari rangkaian trilogi-lelaki yang aku buat. Masing-masing cerita tidak ada sambungannya sih, kecuali bahwa semua berbicara tentang lelaki.

      Terima kasih sudah mampir dan membacanya :)

      Delete
  2. Replies
    1. Terima kasih, Yiska... hehehe... .
      Kamu juga semangat menulis ya ;)

      Delete

Post a Comment