Bapakmu
Ini Akan Kembali, Nak
Kamu
pernah pacaran? Kapan pertama kali kamu pacaran? Mungkin kamu pertama kali
pacaran ketika kamu SMA. Bisa jadi kamu mulai pacaran ketika kamu SMP. Beberapa
temanku bahkan ketika SD sudah berkelahi gara-gara masalah pacar. Apakah pacar
pertamamu itu cinta pertamamu? Lalu, kapankah kamu merasakan cinta pertama? Ah,
maafkan aku memberondongmu dengan berbagai pertanyaan konyol itu. Semua
pertanyaan itu muncul begitu saja. Kamu tidak harus menjawabnya langsung
kepadaku, sebab aku pun ingin menjawab pertanyaanku sendiri itu. Tiba-tiba saja
aku rindu pada seorang perempuan.
Perempuan
itu dulu adalah kekasihku. Kami berpacaran ketika SMA. Waktu itu aku sekolah di
sebuah sekolah negeri di Solo. Aku sendiri bukan berasal dari kota itu. Asalku
dari Jakarta. Mungkin karena papa adalah alumni sekolah negeri itu, aku
disekolahkan di sana. Awalnya memang aku tinggal di rumah paman. Akan tetapi,
karena aku merasa tidak nyaman, dan karena rumah paman itu di Karanganyar yang
berjarak kurang lebih 20 kilometer dari sekolah, aku minta pada papa supaya aku
indekos di dekat sekolah saja. Papa menyetujui keinginanku itu. Papa selalu
memanggilku “Koboi Kecil”. Maka, keinginan indekos itu papa pandang sebagai
sebuah cara untuk mendidikku mandiri, menjadi “koboi besar”. Hingga kini aku belum
mampu memahami jalan pikiran papa, mengapa pada waktu itu dia begitu saja
menyetujui anak lelakinya yang baru berusia 16 tahun itu hidup indekos sendiri.
Waktu
itu aku kelas 2 SMA. Aku berpacaran dengan seorang gadis cantik. Dia adalah
cinta pertamaku. Dia adalah pacar pertamaku. Annisa namanya, Annisa Puspita
Sari. Tentu waktu itu kami berdua, selayaknya remaja-remaja seumuran kami,
tidak mengetahui dengan pasti apa itu cinta. Kata “cinta” yang sering saling
kami ucapkan itu tidak memiliki imaji apa-apa di dalam benak kami. Kami pacaran
karena kami saling suka dan saling naksir. Itu saja. Sama sekali tidak pernah
terlintas di dalam benak kami bahwa kelak kami akan menikah. Kami pacaran
semata karena kami ingin bersenang-senang dan semata karena “memiliki pacar” di
mata remaja seusia kami waktu itu dipandang sebagai status sosial yang
bergengsi dibandingkan dengan mereka yang jomblo.
Kami
berpacaran hingga kelas 3. Tidak, kami tidak putus. Setidaknya pada waktu itu
tidak ada kata “kita putus” atau “kita udahan”
diucapkan. Bahkan, sampai kini pun, walau aku sudah berkali-kali berganti
kekasih, aku masih menyimpan rasa sayang kepadanya. Bagiku, hubungan kami tidak
pernah tuntas. Ada hal yang masih menggantung. Kisah kami yang tak selesai itu
menjadi titik balik perjalanan hidupku selanjutnya. Berhati-hatilah dengan
cinta pertama, sebab seluruh perjalanan hidupmu, yang mungkin penuh dengan
petualangan atau mungkin penyesalan, bisa berawal dari sana.
Kini
usiaku memang baru 25 tahun, tetapi aku telah menjadi seorang ayah. Hanya saja,
aku tidak pernah berjumpa dengan anakku itu, juga dengan ibunya, Annisa. Sebelum-sebelumnya
aku tidak pernah memikirkan atau merisaukan hal ini. Akan tetapi, sebagaimana
segala hal yang direpresi dan sengaja dilupakan, hal itu akan muncul kembali
secara tiba-tiba tanpa kita sempat bersiap untuk menyambutnya. Tanpa aku
sadari, pilihan-pilihan hidup yang aku buat dilandasi oleh rasa bersalahku kepada
Annisa dan jabang bayi itu. Aku pikir, rasa bersalah yang kurepresi itulah
penyebab hubunganku dengan kekasih-kekasihku yang lain tidak pernah berjalan
lama. Dan, beberapa malam itu rasa bersalah itu menyelinap keluar kembali,
mewahyukan dirinya yang sebenarnya. Rasa bersalah, yang selama ini hanya
menghantui lewat ketidaksadaranku, tiba-tiba saja muncul tepat di depan
hidungku. Kemudian, tiba-tiba saja hati ini diselimuti oleh rasa rindu yang
aneh, rasa rindu pada seorang bocah yang belum pernah aku jumpai, juga pada
perempuan yang melahirkannya.
Rasa
bersalah dan rasa rindu itu bersama-sama menggedor-gedor pintu kesadaranku.
Mereka mendobrak dan mendapatiku meringkuk bersembunyi di balik kesadaran.
Mereka menghadirkan kembali kenangan delapan tahun silam, kenangan akan
saat-saat terakhir bersama Annisa. Waktu itu kami pulang sekolah. Dia mampir ke
kosku. Kami hendak mengerjakan tugas. Mendung saat itu. Gelap. Namun, gerah.
Aku melepaskan baju seragamku. Keringat membasahi punggung dan dadaku.
“Panas
ya?” kataku.
“Nyalain
aja kipasnya,” kata Annisa.
Aku
menyalakan kipas angin. Es teh yang aku bungkus dari kantin itu pun kuminum
habis, tapi masih belum mampu menghardik kegerahan itu.
“Semoga
hujan. Biar lebih segar.”
“Jangan
hujan dong. Nanti aku pulangnya bagaimana?
“Nanti
aku antar. Aku ada mantol kok.”
“Nanti
kamu sakit.”
“Kan
sakit demi cinta... .”
“Gombal!”
“Eh,
ini, bagaimana ini? Aku gak paham,” kataku sambil menyalakan komputer.
“Ayo,
sini, kita bikin bareng.”
Annisa
duduk di depan monitor. Membuka file
tugas yang harus kami kumpulkan minggu depan. Aku duduk di belakangnya.
“Kamu
gak kepanasan, Nis?” kataku.
“Ya
panas sih.”
“Kenapa
gak kamu lepas kerudungmu?”
“Ini
kan hari pertama aku pakai.”
“Udah
niat ya?”
“Aku
lebih cantik ‘kan, Ndre, pakai ini?”
Aku
hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Aku tidak menjawabnya. Kami berdua
terperanjat mendengar suara halilintar yang menggelegar tiba-tiba. Semakin
gelap. Mendung semakin pekat. Halilintar itu diikuti oleh hujan deras yang
tiba-tiba mengguyur. Begitu deras. Suara air hujan menghantam genting,
pucuk-pucuk pohon, aspal, dan tanah begitu nyaring terdengar. Bau tanah basah
itu memenuhi kamarku. Kunyalakan lampu. Halilintar lain menggelegar. Annisa
menjerit.
“Jangan
takut. Aku tutup saja ya kamarnya,” kataku.
“Iya.
Tapi, ini nanti aku pulangnya bagaimana?”
“Tenang,
nanti aku antar kalau hujan sudah tidak deras.”
“Ya
sudah, kita buat tugas dulu saja.”
Annisa
tengah mengetik di depan monitor ketika tiga halilintar lain menggelegar
kejar-mengejar. Dan... lampu padam. Annisa kembali berteriak. Dia mendekapku
yang duduk di belakangnya. Ketakutan.
“Sudah...
sudah... aku nyalakan lilin dulu,” kataku sembari melepas pelukannya.
“Jangan
tinggalin aku... .”
“Ada
di almari kok. Aku gak jauh-jauh.”
Lilin
yang kunyalakan menghasilkan cahaya kuning yang aneh. Di luar hujan deras
dengan halilintar sahut-menyahut. Sedang di dalam tercipta suasana aneh oleh
karena cahaya kuning yang membuat bayangan kami menari-nari. Kulihat Annisa menangis.
Aku mendekatinya yang masih duduk di depan monitor. Aku jongkok dan kuseka air
matanya. Akan tetapi, cahaya kuning aneh itu seperti mengajakku menari bersama
bayang-bayang kami. Cahaya itu membuatku ingin melakukan hal yang lebih dari
pada sekadar menyeka air mata Annisa. Aku memberanikan diriku untuk mencium
bibir Annisa. Dia menolak dengan memalingkan wajah.
“Maaf...
.” bisikku.
Namun,
“maaf” yang kuucapkan itu justru kulanjutkan dengan memeluk erat tubuh Annisa
dari belakang. Dia menoleh. Kerudungnya tertarik tanganku dan tersingkap. Aku
memberanikan diri untuk mencium bibirnya lagi. Kali ini dia tidak menolak. Dan,
kami pun tidak jadi melanjutkan membuat tugas. Bersama bayang-bayang itu, kami
menari-nari diiringi cahaya kuning lilin dan suara hujan senja hari yang
menghantam bumi.
“Bagaimana
nanti kalau ada yang tahu?” tanya Annisa.
“Aku
mencintaimu,” jawabku.
Kejadian
itu terjadi dua bulan sebelum kami menjalani Ujian Nasional. Aku sendiri memang
masih ingat detail peristiwa itu, tetapi tak berani membicarakannya dengan
siapapun, juga dengan Annisa. Akan tetapi, beberapa minggu sebelum ujian itu
tiba, Annisa mengajakku berbicara serius. Dia hamil. Aku terkejut, seakan tak
percaya. Dia menangis. Awalnya dia juga tidak percaya. Namun, terlambat datang
bulan lebih dari sebulan itu bukanlah hal yang wajar. Dia sendiri tidak berani
bercerita pada kedua orang tuanya. Mereka pun tak menaruh curiga, sebab Annisa
tetap mengambil jatah pembalut yang disediakan ibunya pada hari-hari ketika
seharusnya dia “dapat”. Dicekam rasa takut, Annisa mencoba melakukan tes urin.
Positif.
“Temani
aku menggugurkan!” katanya sembari sesenggukan.
“Uang
dari mana?”
“Kalau
begitu dipijat saja.”
“Jangan
dibunuh!”
“Apa
maksudmu?”
“Dia
anak kita.”
“Lalu
bagaimana dengan aku? Masak aku harus ikut ujian sambil hamil?”
“Tapi
dia anak kita.”
“Mengapa
kamu egois? Kamu tidak memikirkan aku? Masa depanku? Bagaimana aku harus bilang
pada orang tuaku? Lalu cita-citaku? Kamu, cowok, tidak tahu perasaanku!”
tangisnya semakin menjadi.
“Aku
mencintaimu,” jawabku.
Kalimat
itu meluncur begitu saja dari mulutku tanpa aku ketahui dengan pasti apa
maknanya. Saat itu aku begitu gamang. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
Pacarku hamil. Akulah yang bertanggung jawab. Akan tetapi, tanggung jawab yang seperti
apa? Aku hanya seorang bocah berusia 17 tahun! Bagaimana aku harus berkata
kepada orang tuaku? Yang lebih membuatku gentar, bagaimana aku harus menghadapi
kedua orang tua Annisa? Haruskah aku berkata, “Maaf, Pak... Bu... saya telah
menghamili putri Bapak dan Ibu... .” Ah, aku ingin mati saja rasanya. Aku saat
itu merasa benar-benar tak mampu menanggung beban sedemikian berat. Annisa yang
menangis sesenggukan. Bayangan wajah kecewa papa-mamaku. Bayangan wajah geram
ayah dan ibu Annisa. Para guru dan kepala sekolah. Ujian Nasional itu.
Teman-teman. Aku tidak bisa menahan teror yang mengguncang imaji dan
perasaanku. Untuk menenangkan Annisa, aku hanya mampu berkata “aku
mencintaimu”. Namun, untuk menenangkan diriku sendiri? Kutenggak itu satu botol
ciu dan kuhisap satu pak Dji Sam Soe. Aku ingin lari dari kenyataan.
Kemabukan
hanya membuatku sembunyi dari masalah. Ketika aku sudah cukup siap, kuberanikan
diri untuk menemui Annisa. Aku berkata kepadanya untuk tetap tenang. Kami akan
menjalani Ujian Nasional selayaknya tidak pernah terjadi apa-apa pada kami. Aku
berjanji akan menyelesaikan masalah ini begitu Ujian Nasional itu usai.
“Menyelesaikan masalah” bagiku saat itu berarti berkata kepada kedua orang tua
kami apa yang sebenarnya terjadi dan kuharap kami dapat dinikahkan. Annisa
sendiri pun akan membuat perutnya tidak tampak membesar.
Ujian
Nasional pun telah kami lalui. Tidak ada yang curiga kalau Annisa hamil. Akan
tetapi, “Menyelesaikan masalah” itu tidak semudah seperti yang aku bayangkan.
Orang tua Annisa yang marah itu menolak lamaran orang tuaku yang jauh-jauh
datang dari Jakarta, karena kami berbeda agama. Walaupun jarang ke Gereja, aku tetap
memiliki dan memakai nama baptis, Andreas. Acara lamaran itu justru berubah
menjadi pertengkaran mulut antara ayah Annisa dengan papa, yang tersinggung
dengan ucapan ayah Annisa yang berkata bahwa aku hanya boleh menikahi Annisa
kalau sudah bertobat dan mengucap dua kalimat syahadat. Mama meminta kepada papa
untuk beranjak saja dari rumah Annisa. Mama malu bertengkar seperti itu.
“Ndre...
jangan pergi!” teriak Annisa.
“Masuk!”
hardik ayahnya.
“Aku
mencintaimu!” teriakku.
“Andre!!!
Masuk mobil!” bentak papa.
“Aku
mencintaimu... ,” tangisku.
Dan,
papa tancap gas. Kami pun pergi meninggalkan rumah Annisa. Kami pergi
meninggalkan Solo dan belum pernah kembali.
***
“Ayolah,
Bung, dia sudah menjadi masa lalumu. Lanjutkanlah hidupmu. Cukuplah dengan
segala kenangan akan dia,” kata sahabatku.
“Aku
tak bisa benar-benar melupakannya, Bung... atau mencari penggantinya.”
“Aih...
bull shit! Aku lihat kini kau dekat
dengan mahasiswi baru itu. Dia juga cukup cantik,” lanjut sahabatku sembari
merampas foto Annisa waktu SMA yang tengah aku genggam, mengamatinya, “Hei...
sekilas mirip dengan... .”
“Kembalikan!”
kuambil kembali foto itu, “Justru di situlah permasalahannya, Bung.”
“Maksudmu?”
“Tidakkah
engkau menyadari, kita, lelaki, selalu tertarik pada tipe perempuan yang sama
dengan cinta pertama kita?”
“Benarkah
demikian? Aku tidak mengetahuinya. Sebab aku bercinta dengan bebas bersama perempuan
manapun yang aku suka.”
“Itu
kau hanya bersenang-senang saja. Keparat! Tapi, tidakkah engkau merasa janggal
pada perempuan-perempuan yang, bahkan sebelum engkau mengenalnya, tiba-tiba
saja kautaksir... dan seakan-akan pernah bertemu dengannya lama?”
“Mungkin.
Entahlah. Aku tidak semelankolis dirimu. Tapi, apa poinmu?”
“Setelah
kami berpisah, beberapa kali aku sempat ingin melanjutkan hidup... maksudku,
mencoba berkenalan dengan perempuan-perempuan lain. Aku bertemu dengan beberapa
perempuan yang seakan-akan pernah kutemui sebelumnya, seakan-akan kami pernah
kenal dekat. Aku bingung dengan perasaan itu. Aku mencoba mengamat-amati foto mereka.
Tebak apa yang aku temukan?”
“Apa?”
“Perempuan-perempuan
yang sempat aku taksir itu memiliki kemiripan pola wajah dengan dia!”
“Itu
bagus dong. Itu namanya mati satu tumbuh seribu... hahaha... .”
“Ah...
justru di sanalah letak kegundahanku. Apakah benar aku naksir dengan
perempuan-perempuan itu... atau aku naksir dengan bayangan dia, yang muncul
begitu saja lewat kemiripan wajah mereka. Aku masih mencintainya, Bung. Dan,
aku tidak ingin menggandeng salah satu dari perempuan itu, juga mahasiswa baru
itu, sedangkan hatiku masih tertuju kepada dia.”
“Mungkin
kau butuh discernment, Bung. Kau luka
batin. Luka hatimu sepertinya begitu dalam.”
“Sepertinya
begitu. Aku begitu merindukan Annisa. Sebagai lelaki, wajar dan manusiawi aku
naksir kepada setiap perempuan cantik yang aku temui. Akan tetapi, cinta itu
pilihan, Bung. Dan, celakanya, sudah sejak awal aku menjatuhkan pilihanku
kepada Annisa.”
“Aih...
kau hanya mengharap yang tak pernah tiba! Atau, kau pergi saja ke Solo sana.
Siapa tahu dia masih di kota itu. Berapa umurmu? 25, ‘kan? Kau sudah tak butuh
persetujuan orang tuamu untuk kawin!”
“Tepat
seperti itu yang akan aku lakukan.”
“Lalu,
mengapa kau masih bercerita kepadaku? Kau tak butuh nasehat, Bung! Yang
kauperlukan adalah eksekusi! Praksis!”
***
Malam
itu segera kuraih jaket dan helm, lalu kustarter Ninja-ku. Aku sudah siap dengan 13 jam perjalanan lebih berkendara malam
dari Jakarta ke Solo. Memang itu merupakan solo-riding
pertamaku. Modalku hanyalah kartu ATM dan GPS dari smartphone serta kenekatan yang timbul dari rasa bersalah dan
kerinduan yang aneh terhadap Annisa dan anakku yang tak pernah aku temui. Aku
ingin melihat mereka, menanyakan apa kabar mereka, meluapkan kerinduanku kepada
mereka, dan melakukan apa yang dulu tak jadi kulakukan karena ayahnya dan papa
bertengkar.
Jam
10 siang. Kartasura. Tujuh kilometer lagi dan aku sampai di kota masa remajaku.
Namun, pada waktu itu mataku begitu berat. Aku mencari SPBU terdekat untuk
mengisi bahan bakar, membeli roti dan minuman, serta mengistirahatkan mesin,
bahu, dan mata. Aku terlelap, bersandar di tembok luar mushala SPBU tersebut.
Terik
matahari siang membangunkanku. Pukul 12. Segera kulanjutkan perjalananku ke
timur, menuju rumah Annisa. Solo kini semakin padat, walau belum separah
Jakarta. Kemacetan terjadi di beberapa persimpangan. Jika walikotanya tidak
tanggap, merevitalisasi transportasi umum, sepuluh tahun ke depan Jalan Slamet
Riyadi itu bisa lumpuh. Dan, sepuluh tahun berikutnya, seluruh sudut kota akan
lumpuh. Namun, bukan itu saja yang berubah dari Solo. Kini kota itu lebih
hijau. Jalur-jalur hijau, taman-taman kota, bahkan hutan kota pun
direvitalisasi. Kalau aku jadi menikah dengan Annisa, aku mau tinggal di sini.
Aku
hampir lupa arah rumah Annisa oleh karena walikota yang kini menjadi gubernur
Jakarta itu benar-benar berhasil mengubah kota itu. Namun, pagar hijau
menghadap selatan itu tampak familiar. Rumah itu masih seperti delapan tahun
lalu. Hanya saja terlihat lebih kusam.
“Permisi,”
teriakku.
“Mangga, sinten, nggih?” suara perempuan
itu menyahut dari dalam. Bukan suara Annisa. Suara itu lebih tua. “Madosi sinten?”
“Ah,
Ibu. Bu, Annisa ada?”
“An...
Annisa tidak ada itu, Mas. Masnya siapa ya?” kata ibu Annisa tergagap karena
pertanyaannya menggunakan Bahasa Jawa Krama aku jawab dengan Bahasa Indonesia.
Aku paham sedikit-sedikit Bahasa Jawa, tapi tak berani menggunakannya secara
aktif. Dan, perempuan di hadapanku ini tak mampu mengingat siapa aku. Mungkin
karena semenjak membaca Karl Marx, aku memelihara brewok dan memanjangkan
rambut.
“Oh,
saya teman Annisa waktu SMA kok, Bu. Kebetulan saja lewat Solo, jadi iseng
mampir rumah Annisa,” kataku bohong. “Dia di mana sekarang, Bu?”
“Dia
sekarang sudah menikah, Mas, jadi ndak
lagi tinggal di sini. Dia sekarang di Semarang.”
“Menikah?
Sama pacarnya yang dulu itu? Lalu... anaknya? M... maksud saya, sudah punya
anak?” aku tergagap dan berusaha pura-pura tidak tahu apa-apa.
“Anaknya
perempuan, Mas. Sekarang baru tiga tahun, masih lucu-lucunya.”
Tiga
tahun? Astaga! Anak perempuan itu bukan anakku! Lalu, di mana anakku? Dia kini
pasti sudah SD. Tapi, di mana dia? Apakah Annisa menggugurkannya? Tidak...
tidak mungkin! Di mana anakku? Aku hampir tak mampu menguasai diriku. Hampir
saja aku menangis di hadapan ibu Annisa karena dihajar asumsi-asumsiku sendiri.
Jika sekiranya Annisa tak sudi memeliharanya, aku mau memeliharanya sendiri.
Itu anakku. Itu darah dagingku. Dia adalah pewarisku. Dia adalah buah cintaku
yang infantil dan terburu-buru.
“Kalau
bapak, apa kabar, Bu?” tanyaku untuk mengalihkan diriku dari asumsi-asumsi itu.
“Bapak
sudah dua tahun ini meninggal, Mas. Kena stroke. Mungkin karena terlalu banget le mikir gendhuk itu. Mari... mari... pinarak dulu. Duduk-duduk di dalam dulu. Mau minum apa ini?”
“Air
putih saja, Bu,” kataku sembari masuk ke ruang tamu, tempat papa dan ayah
Annisa bertengkar delapan tahun lalu.
“Bu...
di mana?” suara anak kecil berteriak dari dalam.
“Ibu
di luar, Le. Mrenea, Ngger. Ini lho, ada tamu, teman-e mbakmu.”
Temannya
kakakmu? Sejak kapan Annisa punya adik? Dari dalam keluar seorang anak
laki-laki berusia kurang lebih tujuh-delapan tahun. Baru saja bangun tidur dia.
Anak itu mengusap-usap matanya. Berjalan enggan mendekati kami.
“Ini,
salim dulu sama masnya,” kata ibu Annisa meminta anaknya bersalaman denganku.
Aku
pegang tangan mungilnya. Matanya tajam. Anak lelaki itu sama sekali tidak mirip
bapak, ibu, atau bahkan Annisa itu sendiri. Anak lelaki itu sekilas mirip
dengan... mirip dengan masa kecilku. Matanya yang bulat tajam itu... sama
persis dengan mataku.
“Sini,
duduk sama Om,” pintaku. Anak itu menurut. Dia duduk di sampingku.
“Kelas
berapa?” tanyaku lagi. Namun, anak itu diam. Dia justru menatapku tajam. Dia
mungkin bertanya-tanya, siapakah gerangan lelaki gondrong brewokan di
hadapannya tersebut.
“Kelas
berapa, Ngger? Ditanya itu lho,” kata
ibu.
“Kelas
dua.”
Kelas
dua? Berarti usianya kurang lebih seusia anakku! Tapi, ibu Annisa berkata bahwa
dia... .
“Ini
adik Annisa, Mas. Ini metune telat. Mbakyune lulus SMA dulu baru dia
nongol.”
Tidak!
Ibu bohong! Dia bukan adik Annisa. Delapan tahun lalu ketika aku dan papa-mama
pergi ke rumah ini untuk melamar Annisa, ibu Annisa tidak sedang hamil. Jadi,
anak itu pasti anakku. Syukurlah, aku lega, Annisa tidak menggugurkannya. Akan
tetapi, dia tidak mau mengakui bahwa ini adalah buah rahimnya?! Keterlaluan.
Akan tetapi, mungkin itu usaha kedua orang tua Annisa untuk menyelamatkan masa
depan putri semata wayangnya tersebut, dengan mengakui anak Annisa itu sebagai
anak mereka. Kini Annisa sudah berumah tangga, dikaruniai seorang anak
perempuan, dan tinggal di Semarang. Anak kami dia tinggal bersama ibunya yang
kini sudah janda.
Anakku!
Akhirnya aku bertemu juga dengan anakku. Aku merasakan perasaan bahagia yang
bercampur dengan rasa bersalah yang mendalam. Anakku sama sekali tidak memiliki
figur ayah, sebab ayah Annisa sudah meninggal. Sedangkan, aku, ayah kandungnya,
tidak juga berani membuka identitasku di hadapannya dan ibu Annisa.
“Sekolah
di mana?”
“Di
SD Negeri,” kata anakku singkat.
“Yang
membiayai ibu?” tanyaku.
“Untunglah
SD Negeri tempat thole ini sekolah
tidak memungut biaya. Paling ya hanya untuk seragam dan beberapa buku LKS.
Cuma, untuk biaya makan dan lain-lain, Annisa yang mengirim tiap bulannya,”
jawab ibu, “juga almarhum bapak masih dapat pensiun. Cukup.”
Terkutuklah
aku! Di Jakarta sana aku bisa kuliah di universitas ternama dan tak perlu
merisaukan tentang biaya hidup. Di Solo anakku hanya sekolah di SD Negeri
Inpres! Ini keterlaluan! Aku semakin tak bisa memaafkan diriku sendiri.
“Kelak
mau jadi apa?”
“Mau
jadi pilot, Om.”
“Wah,
itu harus pintar itu... ,” kata-kataku dipotong oleh suara adzan. Pukul 15.
“Ngashar sik sana, Ngger,” kata ibu kepada anakku.
“Nggih, Bu,” jawab anakku menurut. Dia
lalu berdiri masuk ke dalam. Sebelumnya dia menyalami tanganku, lalu
menciumnya. Tanganku dicium anakku! Aku benar-benar menikmati momentum
tersebut. Aku telah menjadi ayah, dan kini aku bertemu dengan darah dagingku,
bahkan kami bertatapan wajah, bersalaman, bersentuhan, dan tanganku diciumnya.
“Ya
sudah, Bu, saya mohon pamit, biar ibu juga bisa shalat,” aku meminta diri.
“Lho
ya ndak pa-pa, ta Mas. Istirahat dulu di sini. Dari jauh ta ini tadi?
“Kapan-kapan
saya mampir lagi, Bu. Ini saya keburu ada urusan,” kataku bohong.
“Lha
apa saya kasih alamat Annisa di Semarang?”
“Tidak
perlu, Bu. Tidak apa-apa. Nanti kapan-kapan saya mampir lagi,” kataku seraya
menuju tempat di mana motor kuparkir. Kukenakan jaketku, kupakai helmku, lalu
kustarter motorku.
“Eh,
njenengan tadi namanya siapa, Mas?
Kalau-kalau nanti saya bisa menyampaikan salam kepada Annisa.”
“Andre,
Bu. Mari... ,” kataku. Kemudian, segera aku meluncur ke jalan. Kulihat sekilas
dari kaca spion, roman wajah ibu Annisa berubah setelah mendengar aku
menyebutkan nama. Sepertinya perempuan itu tak pernah lupa nama remaja lelaki
yang menghamili anak gadisnya.
Sepanjang
perjalanan di balik helm full-face
aku berurai air mata. Tak bisa lagi kubendung segala perasaan ini. Aku adalah
lelaki bajingan! Aku merusak cinta pertamaku. Seumur hidup aku dihantui oleh
cinta pertama itu. Kini, cinta pertamaku itu hidup bahagia bersama suami dan
anak perempuannya. Sedangkan anak kami, buah dari cintaku yang infantil dan
terburu-buru itu, tak diakui sebagai anak oleh perempuan yang melahirkannya.
Anakku kini hidup bersama nenek yang dia percaya dan panggil sebagai ‘ibu’,
sama sekali tanpa figur seorang ayah, sebab kakeknya telah meninggal. Sedangkan
aku? Kekayaan orang tuaku masih menopang hidupku, sementara gemerlap Jakarta
meninabobokanku.
Anakku,
aku akan kembali! Bapakmu ini akan kembali, Nak, mendukungmu menjadi seorang
pilot.
Aku mencintaimu.
tepi
Jakal, 20 September 2013
Padmo
Adi (@KalongGedhe)
Joss
ReplyDeleteterima kasih :)
Deleteyes you :D
Saya tunggu kelanjutan ceritanya pak
ReplyDeleteHahaha... ini tidak ada kelanjutannya... hehehe... .
DeleteWalaupun begitu, cerita ini adalah salah satu cerita dari rangkaian trilogi-lelaki yang aku buat. Masing-masing cerita tidak ada sambungannya sih, kecuali bahwa semua berbicara tentang lelaki.
Terima kasih sudah mampir dan membacanya :)
Arrrghhhhhh, bagussss😭
ReplyDeleteSemangat, Om, nulisnyaaaa!!!!🔥
DeleteTerima kasih, Yiska... hehehe... .
DeleteKamu juga semangat menulis ya ;)