AFORISME-AFORISME OKTOBER 2013
1.
Bahasa...
adalah jendela untuk menelusuri sistem, sistem berpikir, sistem masyarakat,
ideologi, kepribadian, bahkan juga ketidaksadaran.
Secara sederhana, kalau ingin mengetahui
kepribadian sejati dari seseorang, suruh dia berdoa! Pelajari diksinya.
Pelajari pilihan intonasi-nada-temponya.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang mengaku diri
atheis?
Suruh mereka menarasikan ketidakpercayaannya
atas Tuhan.
Kuncinya adalah pada bagaimana mengartikulasikan
kata, mengeja kata, berbahasa.
2.
terima
kasih \m/
malam yang merah
menarasikan cinta yang berdarah
3.
"Mas,
kok kowe ora ndang ngrabi aku ta?" ujare Ratmini.
"Aku mung sarjana pengangguran, Dhik. Aku
durung bisa ngupaya upa."
"Lha kan
wong tuwaku sugih. Aku uga uwis kerja."
"Lha ya justru kuwi, Dhik, justru
kuwi!" Parta banjur mbrebes mili.
4.
mooi indie...
hahaha... ada dua gunung... lalu lembah...
sawah... basah :P
aih... ini Jouissance
Lacanian?
5.
Sejauh
ini aku masih menyimpan itu semua pandangan eksistensialisme. Belum juga aku dialektikakan
dengan semua yang baru saja aku dapatkan. Belum saatnya.
6.
"Mengapa
engkau menulis puisi dan cerita-cerita itu, Wahai Penyair?"
"Sekadar menyalurkan renjana tanpa harus
bersanggama."
7.
Kalau
cinta itu Langue (Bahasa)... Parole (Wicara)-nya lalu apa?
Semiotika Cinta... huahahahahaha... Ilmu Kajian
BU(d)AYA
8. Langue
(Bahasa)-mu itu Cinta...
Sedangkan senyummu adalah Parole (Wicara)-nya.
Sebagaimana kita hanya bisa mendekati, melihat,
dan memahami Langue melulu lewat Parole... kudekati, kulihat, dan
kupahami cintamu lewat senyummu.
Semiotika Cinta... Ilmu Kajian BU(d)AYA
9. Oke, jadi menurut Lacan, Individu itu
adalah Subyek yang Lack (baca:
kurang, berlubang, terluka batin, kagol,
rindu, berhasrat, dsb.). Subyek yang Lack
berusaha menutupi/memenuhi Lack-nya
tersebut dengan kehadiran Liyan (L'Autre/Other/Obyek). (Sampai pada titik ini,
aku jadi teringat pada mitologi cinta Platonis.) Akan tetapi, ternyata Liyan
pun juga merupakan Individu yang Lack
pula. Sehingga, Subyek senantiasa mencari dan mencari,
tak pernah puas... walau kemudian Subyek menyadari bahwa usahanya menutupi Lack ini adalah usaha yang sia-sia.
(Sampai pada titik ini, aku jadi teringat Nihilisme Nietzschean). (Dan,
mungkin, perjumpaan Subyek Lack
dengan Liyan yang juga sama-sama mengalami Lack inilah yang membuat mereka
berusaha sama-sama saling mengobyekkan, mereduksi subyek menjadi obyek, lewat
tatapan. Sehingga, situasi yang ada adalah situasi konflik. Hell is others. Ah, pengembangan ini
membawaku kepada Eksistensialisme Sartrean).
Kemudian, lebih jauh, karena Liyan ternyata juga
merupakan Individu yang Lack, Subyek
terus berusaha mencari Liyan yang benar-benar utuh, penuh, bulat, total. Subyek
merasa menemukan Liyan semacam ini di dalam agama dalam wujud Tuhan. Tuhan
adalah Liyan yang absolut, Liyan yang benar-benar lain, yang utuh, penuh,
bulat, total. Sehingga, setiap pendekatan kepada Tuhan, Subyek merasa tak lagi
memiliki Lack, sebab dia mengambil
bagian di dalam kepenuhan Tuhan.
(Akan tetapi, benarkah Tuhan merupakan Liyan yang
utuh, penuh, bulat, dan total? Bagi beberapa Subyek, "ya". Bagi
beberapa yang lain... ehm... ternyata Tuhan pun juga merupakan Liyan yang Lack. Di mana letak Lack Tuhan sebagai Liyan? Setidaknya Tuhan adalah Liyan yang tak
terlihat. Bagaimana mungkin Subyek merengkuh yang tak terlihat? Atau, di dalam
beberapa mitologi, Tuhan diceritakan sebagai "yang mati" (walau
kemudian diceritakan bahwa Tuhan bangkit kembali) atau sebagai "yang
meninggalkan".)
10. Ah... Senin pagi ini... "aku
padamu".
Similarity
Disorder!
11. Belajar Haiku
Minggu
Stasiun Tugu
"Sumedhot"
Senin
Minggu kurang panjang
"Aku padamu"
12. "Tak semua pria laki-laki."
13. Kalau lelaki menangis?
Kalau lelaki menangis karena terharu menonton
film Confusius atau mendengar kisah Bisma Dewabrata?
Bagaimana dengan lelaki yang menangis karena
menonton drama Korea?
14. Aku pribadi lebih senang
mengidentifikasi diri kepada Bisma Dewabrata, Bratasena, atau Antasena.
Akan tetapi, jangan salah, di sana ada sosok Puntadewa yang lebih kalem.
Selain itu, tidak sedikit lelaki yang
mengidentifikasi diri kepada Arjuna yang, meskipun beristri banyak, di dalam
cerita pernah menyamar sebagai seorang "wandu" dan di dalam teater tradisional (Wayang Orang) selalu
diperankan oleh seorang perempuan.
Ehm... Bisma Dewabrata pun pernah menangis oleh
karena haru di saat perang.
15. Kalau kamu mendengar kata
"pria", apa imajimu?
Kalau kamu mendengar kata "lelaki",
apa imajimu?
Lalu, apa reaksimu melihat imaji Yesus yang
begitu mulus, walaupun berbrewok?
Juga, apa reaksimu melihat imaji Yesus yang
begitu lusuh, berpeluh, kotor?
Kemudian, apa imajimu mendengar nama
"Arjuna" atau "Puntadewa"?
Terakhir, apa imajimu mendengar nama
"Bratasena" atau "Gathotkaca"?
Sebentar...
Lalu apa hubungan
semua itu dengan...
Begini... ada seorang lelaki yang begitu naksir dan
jatuh cinta kepada seorang perempuan. Akan tetapi, gelora itu begitu dahsyat
sehingga justru membuat dia tidak mampu mengungkapkannya. Dan... kata yang
keluar hanyalah "Aku padamu."
Dan... ada pula seorang lelaki yang juga begitu
naksir dan jatuh cinta kepada seorang perempuan. Gelora itu juga begitu dahsyat
sehingga hampir-hampir tak terkatakan. Akhirnya, dia pun tetap mencoba
mengungkapkannya lewat sebuah puisi yang penuh dengan metafora.
Ah... aku mulai kesulitan memetakan ini semua.
16. Okelah... ini terakhir untuk Senin
ini... sebelum aku angslup-ambles bumi, kembali bertapa di Kaki Merapi.
Apa reaksi/imajimu mendengar frasa "lelaki
gondrong (berambut panjang)"?
17. "Mengapa kamu tidak segera
menikah?" adalah pertanyaan klasik yang selalu kita jawab secara retoris.
Akan tetapi, Marxisme akhirnya telah menyediakan
jawaban untuk kita yang laten dan hampir-hampir tidak terkatakan... yaitu... DUITE SAPA?!!!
18. Edmund Husserl memperkenalkan "epoche" (penundaan) ketika Subyek
bertemu dengan Fenomena hingga Fenomena itu menelanjangi diri seutuhnya di
hadapan Subyek.
Mungkin, ada baiknya seorang Subyek tidak hanya
melakukan epoche fenomenologis,
tetapi juga menunda judgment... menunda untuk menilai.
(Bisa jadi itu yang dimaksud (mantan) Romo Direktur
dulu... .)
19. "Satu-satunya kesalahan kita
hanyalah... kita bertemu tatkala segala sesuatu sudah terlambat," kata
lelaki itu berat.
"Akan tetapi, bukankah keterlambatan itu
masih bisa diperbaiki?" sanggah perempuan itu.
"Untuk beberapa hal iya. Untuk beberapa
lainnya... hanya kematian yang bisa. Atau ada hati yang harus disakiti."
"Dan, kautelah menyakiti hatiku!"
"Tidak. Aku telah menyakiti hati kita berdua. Dan, aku tak ingin menyakiti satu hati yang
lainnya."
"Aku membencimu!"
"Itu lebih baik."
20. "Manusia memang digerakkan oleh
renjana!" kata perempuan itu.
"Akan tetapi, kita tidak terdeterminasi
olehnya!" sanggah sang lelaki.
"Tapi renjana itu menyelinap lewat
ketidaksadaran kita."
"Kita bebas! Dan, kebebasan kita adalah
untuk menidak!"
"Meskipun itu menidaki hati yang
mencintaimu?"
"Aku sudah beristri."
"Aku pun sudah bersuami."
"Jadi... ?"
"Haruskah berakhir dongeng indah kita
ini?"
21. Brewok gondrong penuh peluh dan darah
= Yesus
Brewok berambut putih = Karl Marx
keduanya Yahudi...
keduanya menggerakkan orang banyak
22. Tuhan dan segala sesuatu yang belum
selesai.
Berawal dari renjana, berakhir di dalam
"Kemuliaan".
Walaupun, segalanya direduksi menjadi
hubungan-ekonomis.
23. Jujur... hingga saat ini aku masih
melakukan "epoche"...
penundaan fenomenologis, penundaan filosofis, dan penundaan penilaian (judgement).
Celakanya, sudah harus membahas itu pada Jumatan
depan. Baiklah.
Suatu hari nanti, setelah segalanya
terang-benderang, aku bisa melakukan dialektika atas dua hal itu dengan lebih
lincah.
Hanya saja, apa hubungan ini semua dengan
lingkaran-lingkaran yang aku hidupi? Justru lingkaran-lingkaran itu tetap harus
menjadi mercusuar berpikir, jika tidak ingin tersesat di dalam samudera
pemikiran.
24. Untuk teman-temanku yang tidak
berbahasa Jawa sebagai bahasa ibu, maafkan kami, orang-orang yang tinggal di
daerah bekas Mataram Islam ini, baik itu orang Jawa maupun orang Cina (maupun
juga hibrid dari keduanya), karena tanpa kami sadari ketika kita semua duduk
melingkar, kami secara otomatis berbahasa Jawa dan bukan berbahasa Indonesia.
Tegurlah kami jika demikian. Sebab, bukannya
kami tidak menghormati Sumpah Pemuda 1928, juga
bukannya kami tidak menghormati kalian yang tidak berbahasa Jawa sebagai bahasa
ibu... hanya saja... ada unsur bahasa yang "langue/parole" itu tidak bahas... yaitu soal
"rasa-bahasa", yaitu bagaimana perasaan dan pikiran dapat jauh lebih
mudah diungkapkan dalam bahasa tertentu, yaitu bahasa ibu.
Ya... memang benar... (struktur) bahasa itu
mencerminkan logika berpikir seseorang (bahkan masyarakat). Sehingga... bahasa
yang satu dapat lebih mudah menjadi media seseorang untuk mengungkapkan sesuatu
dari pada bahasa yang lainnya.
25. Itu iklan Pond's harus mengubah
jargonnya!
"Bikin kulitmu seputih pemain bola Korea!!!"
Wakakakakakakakakakakaka!!!
26. "Hai, Nak... sepuluh tahun yang
lalu kaubegitu rajin mengikuti ekaristi... bahkan selalu duduk di dekat altar
suci. Mengapa sekarang engkau selalu menghindar dan lari?" kata seorang
lelaki itu kepada seorang pemuda.
"Sudah, jangan tanyakan itu lagi. Kamu
punya roti atau tidak? Aku lapar sekali. Belum makan sedari tadi."
"Kalau kamu makan roti ini, kamu tidak akan
pernah kelaparan lagi."
"Kamu?"
Lelaki itu hanya tersenyum.
27. Semalam sehabis menonton pertandingan
Indonesia
vs Korea Selatan, aku senang sekali. Tim Garuda bisa melibas tim boy band itu
3-2.
Selang beberapa menit, aku membuka berita. Aku
membatalkan kesenanganku itu. Sebab, Presiden yang hobi bernyanyi itu
mengizinkan perusahaan-perusahaan Korea Selatan bebas masuk ke Indonesia.
28. Jadi... seks itu menjadi masalah...
justru karena dipermasalahkan.
29. Dan... (dengan sungguh berat hati aku
mengatakan ini)... bahwa gondrong adalah kriminal itu suatu konstruksi sosial.
Lalu? Apakah itu semua ada hubungannya dengan
paradigma gender kita?
Bisa jadi. Bahwa lelaki harus memiliki rambut
pendek yang rapi, sedangkan perempuan diimajinasikan memiliki rambut panjang
selembut sutera... dewasa ini adalah konstruksi iklan
30. (Baiklah... sekarang mari kita
mencoba merangkai dialog berdasarkan perspektif Foucault.)
"Dik... aku mencintaimu apa adanya. Kamu
tahu, Dik, seperti ujare Wong Jawa, 'tresna jalaran saka kulina'," kata
seorang lelaki.
"Mas... menurut Foucault... yang apa adanya
itu tidak ada! Kamu mencintaiku karena kamu sudah dikonstruksi demikian! Kamu
dikondisikan untuk mencintaiku. Itu, 'kan,
yang selama ini kamu maksudkan dengan 'tresna
jalaran saka kulina'?" sanggah seorang perempuan mahasiswi sebuah
universitas humanis di Jogja.
31. Cinta itu adalah hasrat menguasai.
Ketika kita mencinta, kita ingin mengetahui segala sesuatu tentang yang kita
cintai. Kita ingin mengenalnya secara lebih dan lebih.
Pengetahuan, menurut Michel Foucault, itu bergandengan erat dengan
kekuasaan.
Maka, dengan mencintai kita berhasrat untuk menguasai.
(Juga ketika kita mengatakan bahwa kita pecinta Tuhan (amator Dei), kita ingin menguasai Tuhan, memasukkan segenap
ketuhanan ke dalam kepala kita.)
Sehingga, benar kata Haryatmoko itu, bahwa "mencintai tak harus
memiliki" adalah ungkapan orang-orang yang kalah.
32. Ketika perbincangan mengenai
seksualitas itu dilokalisasi, disensor, bahkan dilarang, kapitalisme akan
mengambilnya sebagai komoditas... di dalam pornografi. Sehingga, orang harus
membayar untuk sekadar membicarakannya.
Ini sate kambing sudah habis rupanya.
33. Jadi... orang Jerman dulu itu pernah
"menjajah" Nusantara juga ya? Walau cuma nebeng Belanda? Baru tahu
aku. Selama ini tahunya cuma Landa... hehehe... .
34. Oh... jadi "sekolah" itu
berasal dari kata Yunani "skhole"
yang berarti "waktu luang".
Jadi, mereka yang sekolah itu adalah orang-orang
yang memiliki waktu luang... alias 'sela'!!!
Hidupnya begitu 'sela'... tidak disibukkan dengan keharusan mencari sesuap nasi.
35. Sewaktu aku kecil, aku membaca Kitab
Wahyu. Imaji anak-anakku menghadirkan suatu gambaran yang sungguh mengerikan.
Hingga... pernah... juga waktu masih aku kecil... aku bertanya... "Lalu
untuk apa hidup ini?"
Mungkin, seiring dengan bertambahnya usia,
pertanyaan itu aku represi. Bukannya hilang, melainkan menjadi
ketidaksadaran... yang... ternyata berpengaruh terhadap pandangan hidupku.
Manusia adalah renjana yang sia-sia... walau
renjana itu tetap layak disalurkan.
36. se
ko
lah
ker
ja
ka
win
ber
a
nak
mam
pus
37. Apa itu manusia?
Manusia adalah makhluk yang sekolah, kerja,
kawin, beranak, lalu mampus.
38. Baru awal Agustus lalu aku memaki
hujan yang tak kunjung berhenti. Kini aku sudah merindukan kedatangannya
kembali. Dan... gerimis malam ini belum memuaskan dahagaku. Udana sing deres... nyambela sing pedhes...
.
39. Kebenaran itu lebih pada apa yang
dipercaya, dari pada apa yang dipahami.
Sesuatu yang dipahami bisa mudah dinegasi,
sedangkan yang dipercayai... bahkan membutuhkan pertumpahan darah dan genosida
untuk menegasinya.
40. Aku tidak selalu merokok...
Tapi jika merokok,
kupastikan itu tembakau lokal bercengkeh!!!
41. Negation a la
Zizek
"Duh, Dek... apa yang terjadi di dunia
batinku pasti akan menyakiti perasaanmu jika kunarasikan dengan jujur apa
adanya tanpa distorsi metafora," batin seorang lelaki ketika mengatakan
kepada kekasihnya bahwa tidak ada apa-apa di antara dia dan seseorang di sana.
42. "Aku tidak lahir sebagai seorang
Katolik. Bapak dan Mamahkulah yang mengatolikkan diriku. Pada usia beberapa
bulan itu, mereka membawaku ke depan altar sehingga pastor itu dapat memberiku
"stempel-abadi", sakramen baptis, yang menjadikan aku Katolik. Akan
tetapi, apakah faktisitas tersebut serta-merta membuat imanku Katolik? Ternyata
tidak. Aku memerlukan petualangan iman yang eksistensial untuk mengafirmasi
(atau bahkan menegasi)-nya. Iman pun, kemudian, harus menjadi sesuatu yang
eksistensial, tidak melulu selalu sosial."
"Lalu, mengapa aku 'perlu' untuk mengatakan
hal tersebut di atas? Apakah 'pesan ganda' dari ungkapan di atas?"
43. "Skripsi ini merupakan sebuah
paradoks. Eksistensialisme merupakan suatu filsafat yang memberontak terhadap
sistematisasi filsafat untuk memberi ruang kepada perasaan dan segala sesuatu
yang bersifat pribadi. Akan tetapi, penulis harus membahasakan filsafat yang
menolak sistematisasi filsafat tersebut secara sistematis, bahkan harus
menyingkirkan nuansa intim filsafat ini dengan meminimalisasi kata “aku”, “kamu”, dan “kita”. "
Di atas merupakan kutipan Kata Pengantar dari
Skripsi saya.
Menulis SKRIPSI itu merupakan suatu bentuk alienasi
terhadap seorang individu. Bagaimana tidak, individu tersebut harus
menyingkirkan kata ganti orang pertama tunggal (aku/saya) yang secara
eksistensial mewakili dirinya, dan menggantinya dengan kata ganti orang ketiga
tunggal (Penulis). Meskipun "Penulis" itu tidak lain adalah si
individu yang menulis skripsi tersebut, kediriannya (yaitu subyektivitasnya)
disingkirkan dari ruang pembicaraan dengan kehadiran kata ganti orang ketiga
tunggal tersebut. Bukan 'aku' sebagai individu, melainkan 'dia' si penulis
itulah yang berbicara, menarasikan, dan mengartikulasikan.
Akan tetapi, SKRIPSI yang merupakan alienasi itu
mau tidak mau harus tetap diselesaikan dan dilampaui, justru supaya si individu
itu dapat mengafirmasi diri... sebagai seorang SARJANA. Di sinilah letak
paradoksnya. Di sinilah letak lingkaran jahanamnya. Si individu harus
mengalienasi diri untuk mengafirmasi kediriannya dan sekaligus menyalurkan
serta membahasakan renjananya!
Dan... tepat itulah inti dari kehidupan itu...
penyaluran renjana yang sia-sia... tetapi tetap layak untuk dilakukan!
Akhir kata... selamat mengerjakan Skripsi atau
Tugas Akhirmu
44. Fenomenologi Husserl menawarkan 'epoche'... penundaan.
Kita menunda asumsi ketika berhadapan dengan
suatu fenomena.
Kita bahkan menunda 'judgement'.
Hingga fenomena itu menelanjangi diri sepenuhnya
di hadapan kita.
Maka, ketika kamu melihat suatu fenemona
kejahatan, kesemrawutan, kebrutalan, pelecehan seksual, korupsi, dan segala
sesuatu yang dikatakan dosa... seperti semisal Jakarta (Pelacur Tua itu)...
jangan buru-buru lari kepada segala sesuatu yang moral... jangan buru-buru lari
kepada segala sesuatu yang agama... jangan. Tunda dulu segala asumsi moral dan
agama.
Sebab... ada itu yang dinamakan eksterioritas dosa/kejahatan.
Bisa jadi memang individu-individu di sana
dikondisikan untuk, mau tidak mau, melakukan hal itu.
Segala asumsi moral dan agama itu harus menjadi
yang terakhir... sebagaimana subyektivitas.
45. Hati dan dompet ini proletar...
Pikiran ini borjuis...
Sedangkan asal-usul ini feodal...
duh dek...
46. kita ini bangsa yang pernah
dijajah...
dan kita merepresi kenyataan pahit itu
celakanya... apa yang kita represi itu muncul
lewat ketidak sadaran...
itulah sebab kita lebih suka Jepang, Korea
Selatan, Arab, ataupun US
:P
(mungkin itulah mengapa presiden kita berkata
akan memopulerkan K-Pop)
47. Pada sebuah kampus humanis di kota gudheg di suatu week
end akan diadakan 'Korean Day'.
Kubayangkan cowok-cowok akan pergi ke sana setelah sebelumnya
bedakan dulu... .
Lalu tiba-tiba datang hujan lebat...
Dan bedak itu pun luntur.
48. boyband-mu Korea
smartphone-mu made in China
filmmu Hollywood America
agamamu Arabia
pikiranmu Eropa
mitologimu India
ah welcome
to Indonesia
49. "Le... mbok awake dipersudi. Aja
tuku buku wae, duwite dinggo tuku maem," ngendikane Simbah.
Hadhuh Mbah...
50. Kata Pak Sunardi, "Marx, Freud,
dan Nietzsche mengajak kita harus mencurigai kata-kata."
Jadi... uhuk... kalau ada yang mengatakan
kepadamu, "Aku cinta kepadamu," kita perlu mencurigai kata "cinta"
tersebut!!! Uhuk... uhuk... .
51. Penyair yang tidak mengakar pada
masyarakatnya tak ubahnya penyabun. Sebab, tugas seorang penyair adalah
menarasikan hidup, terutama menyuarakan yang tak terperikan.
Oktober 2013
Padmo Adi (@KalongGedhe)
Comments
Post a Comment