BERDIKARI
Pada suatu hari ada seorang aktivis
dari Komnas Perlindungan Anak mendatangi rumah seorang petani. Aktivis itu
heran karena anak si petani itu, yang berusia kira-kira seusia anak kelas 4 SD,
hanya bermain-main di tepi sawah bapaknya, sementara anak-anak seusianya sejak
pagi sudah memakai seragam putih merah dan pergi ke SD Impres terdekat.
Aktivis itu bertanya kepada si
petani, “Mengapa Bapak tidak menyekolahkan anak Bapak? Apakah Bapak tidak
memiliki cukup uang untuk itu? Kalau memang benar bapak tidak mampu menyekolahkannya,
Bapak bisa mengajukan beasiswa. Lagi pula, ada dana BOS dari pemerintah.”
“Tidak, mBak,” jawab si petani itu
santai, “Bukannya saya tidak memiliki uang untuk menyekolahkannya. Saya punya
cukup uang untuk menyekolahkan, bahkan tiga anak sekaligus. Hanya saja, saya
tidak ingin mereka sekolah.”
“Loh, ada apa, Pak?” aktivis itu
terlihat marah mendengar jawaban dari si petani, “Mengapa Bapak tidak ingin
menyekolahkan anak Bapak? Anak Bapak punya hak untuk mendapatkan pendidikan
yang layak!”
“Hak pendidikan, ‘kan? Bukan hak
untuk sekolah,” jawab petani itu santai, “Kalau hak untuk pendidikan, anak saya
sudah mendapatkannya, bahkan dengan berkecukupan. Saya selalu membelikan anak
saya buku-buku untuk dia baca. Istri saya dengan sabar mengajari anak saya
matematika dan bahasa. Kini, anak saya tengah berada di sawah, untuk melihat
apakah yang tertulis di buku tentang ekosistem itu benar atau tidak.”
Aktivis itu menahan amarahnya, lalu
berkata lebih lanjut, “Akan tetapi, dengan demikian anak Bapak tidak akan
pernah mendapatkan ijazah!”
“Apa guna ijazah?” tanya si petani
itu.
“Anak Bapak tidak akan dapat
bekerja di Jakarta jika sama sekali tidak memiliki ijazah dan surat tanda lulus
serta transkrip nilai. Kalaupun dapat bekerja di sana, anak Bapak hanya akan
menjadi seorang buruh kasar, mungkin di pelabuhan atau di pabrik. Dengan
sekolah, anak Bapak bisa memiliki kesempatan untuk menjadi karyawan berjas dan
berdasi di kantor,” kata aktivis itu penuh semangat.
“O... jadi pemerintah itu
menyelenggarakan pendidikan semata hanya untuk mencetak ulang para pekerja ya?
Jadi, anak saya harus sekolah itu supaya kelak dapat menjadi seorang buruh ya?
Seorang yang tidak memiliki hak atas alat-alat produksi dan bahkan pekerjaannya
sendiri. Apa beda karyawan berdasi itu dengan buruh kasar, toh mereka sama-sama
tidak memiliki hak atas alat-alat produksi dan pekerjaan mereka sendiri?
Lihatah anak saya di sana, mBak, dia tengah mempelajari alat-alat produksinya
sendiri walaupun kini dia tidak saya sekolahkan,” kata petani itu sembari
menunjuk kepada anaknya yang tengah bermain di pematang sawah milik ayahnya.
***
Anak
itu pun tumbuh dewasa. Dia mewarisi sawah ayahnya. Dia memiliki alat-alat
produksinya sendiri. Dia memiliki pekerjaannya sendiri. Dia begitu rajin menggarap
sawahnya itu sebab dia memiliki pekerjaannya itu sehingga dia tidak terasing
dari dirinya. Akan tetapi, dia malah jatuh miskin. Ya, walaupun dia memiliki
alat-alat produksinya sendiri, dia malah menjadi miskin. Tidak tahan dengan
kemiskinannya, anak itu pun mengadu kepada ayahnya. Jawab sang ayah yang kini
sudah renta itu, “Ada yang salah dengan sistem kehidupan kita. Rakus. Walaupun
pada awalnya aku berusaha mengajakmu untuk hidup di luar sistem, ternyata
sistem itu menjadi gurita yang kini turut serta mencaplokmu. Tidak, Nak, jangan
salahkan Tuhan. Bukan Tuhan yang menciptakan sistem ini.”
November
2013
Padmo
Adi
Comments
Post a Comment