MENGKRITISI
FUNDAMENTALISME AGAMA DI INDONESIA
-Yohanes Padmo Adi Nugroho-
Pengantar
Tulisan
ini berangkat dari rasa prihatin saya akan realita fundamentalisme beragama di
Indonesia. Seperti yang kita ketahui bersama, ada enam agama resmi yang diakui
Negara Indonesia dan ada banyak sekali agama tradisional dan aliran kepercayaan.
Selain itu ada pula beberapa agama di Indonesia ini yang bukan termasuk agama
tradisional atau aliran kepercayaan manapun, tetapi tidak diakui oleh Negara.
Fundamentalisme beragama ini dapat menjangkiti semua agama itu.
Efek
dari fundamentalisme beragama ini selalu negatif. Fundamentalisme beragama erat
berkaitan dengan pemahaman kita akan “orang lain” (liyan). Tatkala kita
menganggap liyan itu berbahaya dan menganggap agama kita yang paling benar dan
penganutnya merupakan orang-orang pilihan, saat itulah kita terjangkit
fundamentalisme beragama. Ketika kita menganggap liyan berbahaya, pastilah kita
akan melakukan mekanisme pembelaan diri. Kemudian, terjadilah kekerasan dan
bahkan pembunuhan. Efek yang lebih mengerikan lagi adalah ketika agama
bergandengan tangan dengan politik. Kekerasan yang dihadirkan tidak hanya
kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikologis. Jika kita tidak menurut pada
otoritas yang berwenang, kita tidak hanya akan mendapatkan hukuman fisik,
tetapi juga diancam dengan hukuman neraka.
Agama
yang mengaku membawa cinta kasih dan perdamaian pun tak luput dari ancaman
fundamentalisme beragama. Justru dari nilai-nilai luhur “cinta kasih” dan
“perdamaian” itu kita tergoda untuk menjadi arogan, angkuh, dan sombong. Kita
kemudian memandang sebelah mata orang-orang yang tidak menganut agama kita itu,
bahkan menganggap orang-orang yang melakukan kekerasan atas nama agama yang
lain sebagai “bukan manusia”. Nilai-nilai luhur agama itu justru tidak
dihayati, tetapi malah menjadi kesombongan. Kita menganggap diri paling hebat
dengan menganut agama pembawa cinta kasih dan perdamaian.
Agama
di Indonesia ini rentan pula menjadi ideologi. Agama menawarkan penafsiran yang
luas sekali terhadap klaim kebenaran dan kekuasaan, sebab agama merupakan
sumber pengetahuan. Ketika agama bergandengan tangan dengan kekuasaan, agama
justru kehilangan jati dirinya. Jati diri agama tidak lain adalah sarana kita berziarah
iman, berjumpa dengan Yang Ilahi. Namun, ketika agama bergandengan tangan
dengan kekuasaan, agama justru hanya menjadi alat mobilisasi dan kontrol masa.
Tulisan
sederhana ini berusaha menyingkap ada apa di balik fundamentalisme beragama itu.
Saya tidak akan menyoroti fundamentalisme beragama dari dalam agama, tetapi
dari luar agama. Saya akan memakai filsafat sebagai pisau bedah. Walau
demikian, saya tidak bisa lepas begitu saja dari kehidupan eksistensial saya
sebagai seorang Katolik, sehingga beberapa contoh nyata saya ambil dari
pengalaman eksistensial saya.
Tulisan
ini saya persembahkan khususnya bagi teman-teman facebook saya yang telah
menemani saya berdiskusi dan bertukar informasi. Tulisan ini juga saya tujukan
bagi Anda yang ingin beragama dengan bebas dan damai di Negeri Indonesia ini.
Saya
berharap tulisan saya ini dapat dengan mudah mengantarkan Anda melakukan petualangan
singkat filosofis. Dan, semoga Anda dapat berdialektika dengan tulisan ini, ada
“pertukaran” pemahaman yang akan terjadi. Akhir kata, saya mengucapkan,
“Selamat membaca.”
Yogyakarta,
24 Juli 2012
Padmo
Adi
Mengapa
Orang Beragama?
Sejarah
Tuhan
Sudah
sejak lama bangsa manusia memiliki rasa religiusitas. Manusia memiliki sejarah
yang panjang dengan agamanya. Bahkan, pascaproklamasi kematian Tuhan oleh
Nietzsche, orang masih saja berbondong-bondong memeluk agama. Mengapa orang
beragama? Mengapa orang masih saja beragama meskipun tidak sedikit tokoh yang
menyerukan ketiadaan Tuhan dan mengkritik praktek-praktek beragama?
Manusia
adalah satu-satunya makhluk yang memiliki rasa religiusitas. Manusia adalah homo religiosus, makhluk yang beragama.
Hanya manusia yang beragama, makhluk selain manusia tidak. Manusia di dalam dirinya
memiliki kesadaran bahwa ada suatu kekuatan yang diluar kekuatannya. Kekuatan
itu diluar kapasitasnya, bahkan di luar kendalinya. Manusia menyebut “kekuatan”
diluar kendalinya itu dengan sebutan Tuhan. Kebanyakan peradaban manusia
kemudian mempersonifikasikan Tuhan itu seturut gambar dan rupa manusia. Itulah
sebabnya mengapa kita sekarang memiliki gambaran Tuhan sebagai “lelaki tua berambut
dan berjenggot putih”. Dan, itulah mengapa pada kebanyakan kebudayaan kekuatan
alam tertentu mendapatkan wujud personifikasi ilahinya, misalnya Zeus sebagai
dewa langit dan petir, Poseidon sebagai dewa air dan samudera, serta Hades
sebagai dewa kematian dan dunia akhirat.
Bahasa
manusia terbatas. Manusia tidak mampu secara lengkap menggambarkan dan
menjelaskan kekuatan di luar dirinya tersebut. Itulah sebabnya kemudian manusia
menggunakan mitologi untuk mengungkapkan apa yang mereka sebut Tuhan itu. Kalau
kita menilik sejenak cerita-cerita yang ada dalam Alkitab, khususnya Kitab
Kejadian, dan membandingkannya dengan beberapa kisah mitologi, kita akan
menemukan kemiripan atau setidaknya cerita-cerita itu pararel satu sama lain.
Kisah Nuh di dalam Kitab Kejadian, misalnya, pararel dengan cerita Atrahasis,
Ziusudra (versi Sumeria), Utnapishitim (versi Epos Gilgames), Xisuthros (versi
Berreseus),
dan Deucalion (versi mitologi Yunani).
Dengan
mitologi itu manusia mencoba menggambarkan dan menceritakan apa dan bagaimana
Tuhan itu sekaligus bagaimana Tuhan dan manusia menjalin relasi sepanjang
sejarah. Dengan bahasa mitologi, manusia memiliki keleluasaan di dalam
menggambarkan Yang Ilahi yang tak terkatakan tersebut. Manusia pun dapat
menjawab pertanyaan “mengapa” terjadi ini, terjadi itu, ada ini, dan ada itu.
Dengan menggunakan bahasa mitologi tersebut, manusia mengalami Tuhan, yang
memiliki kekuatan yang tak mampu dikuasai manusia itu, begitu dekat dengan
kehidupan manusia. Tuhan digambarkan terlibat di dalam kehidupan sehari-hari
manusia. Bahkan, terkadang Tuhan digambarkan menyamar sebagai manusia untuk
menemui umat manusia. Dikatakan pula bahwa manusia ini atau manusia itu
merupakan keturunan langsung dari Tuhan. Hubungan manusia dengan Tuhannya berpengaruh
besar terhadap hubungan manusia dengan orang lain. Manusia menghormati
kehadiran orang lain sebab jangan-jangan orang asing yang hadir di hadapan
mereka itu merupakan Tuhan yang tengah menyamar.
Seiring
berjalannya waktu, pemahaman manusia akan Tuhan terus berkembang. Ide mengenai
monoteisme muncul ke permukaan. Pada mulanya, monoteisme tidaklah seketat
sekarang, hanya ada satu Tuhan. Bangsa yang pertama kali mengembangkan paham
monoteisme adalah Bangsa Yahudi. Pada awalnya mereka memang mengenal banyak
Tuhan, mulai dari Tuhan orang Babel, Kanaan, hingga Mesir. Meskipun demikian,
mereka hanya menyembah El, Tuhan nenek moyang mereka. Pemahaman mereka pun
berkembang. Akhirnya, mereka tidak lagi mengakui dewa-dewa bangsa asing itu
sebagai Tuhan. Pemahaman ini memuncak ketika Musa memperkenalkan satu-satunya
Tuhan yang harus disembah Bangsa Israel, YHWH.
Figur YHWH dicampur dengan figur El, maka dikenallah figur YHWH Elohim.
YHWH Elohim kemudian menjadi satu-satunya Tuhan yang nyata, sedangkan Tuhan
bangsa-bangsa lain sebenarnya tidak ada. Bangsa Israel percaya bahwa YHWH
Elohim merupakan Tuhan semesta alam dan Tuhan segala bangsa.
Nama
‘YHWH’ (hwhy) berkaitan erat dengan
peristiwa teofani
kepada Musa di Gunung Sinai. Ketika Musa bertanya siapakah nama Tuhan yang
berbicara dengannya dan mengutusnya itu, Tuhan menjawab dengan memberikan
semacam teka-teki, “Ehyeh asher ehyeh”
(hyha rva hyha).
Di dalam Bahasa Inggris kalimat itu diterjemahkan menjadi “I am who am”. Di dalam Bahasa Indonesia kalimat ini diterjemahkan
menjadi “Aku adalah aku”, karena Bahasa Indonesia tidak mengenal kata kerja “to be”. Secara literal, kalimat itu
dapat diterjemahkan menjadi “Aku yang ada”. Kata “ehyeh” berasal dari kata “hayah”
(hyh) atau “hawah” (hwh)
yang artinya “hidup” atau “ada”. Jadi, nama YHWH hendak menunjukkan bahwa Tuhan
itu hidup dan senantiasa ada bagi umatnya.
Paham
Tuhan yang monoteis ini menyingkirkan tuhan-tuhan yang lain selain yang
dipahami. Baal yang merupakan Tuhan bagi orang-orang di Kanaan oleh orang
Israel dijadikan nama penghulu setan, Baalzebul (Beelzebul). Di dalam sepuluh
perintah Tuhan yang dibawa Musa tertulis jelas: “Jangan ada padamu allah lain
di hadapan-Ku.”
Selain itu, Tuhan yang awalnya dekat sekali dengan manusia hingga terkadang
berjalan-jalan di bumi dengan menyamar sebagai manusia, mulai dijauhkan dari
manusia. Tuhan tidak lagi menyamar sebagai manusia ketika menampakkan diri-Nya.
Tuhan mulai menampakkan diri dengan segenap keilahian-Nya. Tuhan hadir di dalam
semak yang berkobar, lewat awan yang menyelimuti gunung, lewat kilat serta
petir, dan bahkan manusia yang melihat wajah-Nya akan mati seketika. Tuhan
menjadi eksklusif. Tuhan menjadi jauh tak terjangkau di langit biru. Untuk
menjangkau Tuhan, manusia membutuhkan perantaraan para imam. Sedangkan Tuhan
membutuhkan perantaraan para nabi untuk menyapa manusia.
Akan
tetapi, pemahaman bahwa “orang lain bisa jadi adalah Tuhan yang menjelma” tidak
lenyap begitu saja dari pemahaman manusia. Pada beberapa peradaban, pemahaman
“Tuhan yang bersemayam pada diri manusia” tumbuh beriringan dengan “Tuhan
monoteis yang jauh di langit biru”. Tuhan bersemayam pada diri setiap manusia.
Manusia adalah Bait Tuhan. Bahkan, ada pula yang memahami bahwa Tuhan ada pada
setiap makhluk di semesta ini. Di dalam kepercayaan Orang Jawa, berkembang
pemahaman “manunggaling kawula Gusti”. Di
sini saya tidak akan mengupas “manunggaling
kawula Gusti” lebih dalam, sebab hal itu dapat menjadi pokok bahasan
sendiri yang membutuhkan lebih banyak halaman. Saya hanya ingin menunjukkan
bahwa pemahaman Tuhan yang begitu dekat dengan manusia tidak serta-merta lenyap
ketika paham Tuhan monoteis yang begitu jauh di langit biru itu hadir.
Kristianitas yang memiliki akar dari agama Yahudi, mengembangkan pula
paham-paham tersebut. Orang-orang Kristiani percaya bahwa Roh Tuhan (Roh Kudus)
tinggal dan berkarya pada segenap umat manusia, dan di saat yang sama mereka
mengimani Tuhan yang satu yang ada di surga. Bahkan, Yesus di dalam perumpamaan
memerintahkan orang-orang Kristiani untuk memperlakukan sesama manusia,
terutama mereka yang membutuhkan, seakan-akan mereka memperlakukan Tuhan itu sendiri.
Penghayatan
Religius
Hingga
pembahasan ini kita belum menemukan jawaban mengapa manusia beragama.
Penghayatan religius merupakan suatu hal yang manusiawi. Manusia menemukan
Tuhan di dalam pencariannya akan siapa dirinya sebenarnya. Manusia menyadari
keberadaan Tuhan di dalam kesadaran mengenai keberadaannya sendiri. Pencarian
dan perjalanan religiusnya mengantarkan manusia kepada Tuhan. Aku menyadari
keberadaanku. Aku pun menyadari engkau yang juga berada bersama-sama dengan
aku. Aku dan engkau bersama-sama menjadi kita. Di dalam kebersamaan kita itu,
aku menyadari keberadaan Engkau (dengan E kapital) yang mendasari dan menjadi
model dari keberadaan aku dan engkau.
Di
dalam hidup ini, kita mengalami banyak sekali keterpesonaan akan sesuatu.
Keindahan dan keteraturan alam, atau bahkan kekuatan mematikan dari alam yang
dahsyat, membuat kita berdecak kagum. Perasaan takjub semacam itu tak
terperikan. Kata-kata kita tak cukup untuk menampung luapan ketakjuban
tersebut. Perasaan itu tidak hanya menyentuh emosi kita, tetapi juga
menggerakkan segenap jiwa-badan kita, sebab jiwa-badan kita merupakan suatu
kesatuan utuh. Kita akan merinding dibuatnya, bahkan terbata-bata.
Keterpesonaan itu mengantarkan kita kepada Tuhan. Di hadapan Tuhan, kita
mengalami misteri yang sangat menakutkan, tetapi sekaligus menakjubkan sehingga
membuat kita ingin mendekat. Kita mengalami situasi yang dinamakan tremendum et fascinosum, ketakutan
sekaligus ketertarikan. Kita ketakutan karena Tuhan begitu lain dengan aku,
tetapi di sisi lain aku rindu untuk mendekat sebab dia begitu sama dengan aku.
Di hadapan Tuhan, kita mengalami pergolakan yang sangat emosional, sehingga
menggerakkan kita untuk tersungkur dan menyembah. Perjumpaan dengan Tuhan yang
begitu berbeda itu mendasari perjumpaan kita dengan orang lain.
Pengalaman
religius itu pula yang mendasari mengapa kita beragama. Kita ingin tetap berada
di dekat Tuhan. Kita membutuhkan sarana untuk dapat berjumpa dengan Tuhan. Aku
menyadari bahwa bukan hanya aku saja yang mengalami perjumpaan dengan Tuhan,
tetapi orang lain pun juga. Maka, aku memerlukan agama sebagai sarana untuk
dapat berjumpa dengan Tuhan bersama-sama dengan orang-orang lain. Akan tetapi,
Y.B. Mangunwijaya, atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Romo Mangun,
memperingatkan kita bahwa religiusitas tidak sama dengan agama. Agama lebih
menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada ‘Dunia Atas’
dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya,
serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya, yang melingkupi
segi-segi kemasyarakatan. Sedangkan religiusitas lebih melihat aspek yang
berada ‘di dalam hati’, riak getaran nurani pribadi; sikap personal yang sedikit
banyak misteri bagi orang lain, karena menafaskan intimitas jiwa, ‘du coeur’ dalam arti Pascal, yakni cita
rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman
pribadi si manusia. Agama hanya merupakan sarana belaka. Yang pokok adalah
religiusitas, bukan agama.
Alasan
Lain
Akan
tetapi, tidak dapat kita pungkiri bahwa kita memiliki segenap alasan lain untuk
beragama. Di Indonesia orang yang tidak beragama, atau tidak mencantumkan satu
dari enam agama resmi yang diakui negara di dalam kartu identitasnya, akan
diidentikkan dengan ateis. Ateisme di Indonesia, sejak pergolakan
sosial-politik 1966, dianggap kriminal. Maka, orang-orang yang tak beragama
atau orang yang terang-terangan mengaku ateis di Indonesia sama dengan
kriminal.
Untuk mendapatkan rasa aman, maka mereka berbondong-bondong menuliskan salah
satu agama di dalam kartu identitas mereka. Selain itu, agama memberi mereka
identitas yang jelas. Identitas ini meneguhkan jati diri mereka. Agama memberi
mereka “baju” yang dapat membedakan aku dengan orang lain. Ada pula yang
memeluk agama tertentu sebagai syarat menduduki jabatan tertentu. Ada pula yang
melakukan untuk uang. Dan, masih banyak alasan non-religius lain yang dipakai
orang untuk memutuskan memeluk suatu agama.
Agama
Memberiku Identitas di dalam Perjumpaanku dengan Orang Lain
Agama
Menawarkan Identitas
Pada
bab sebelumnya kita telah membahas mengenai mengapa orang beragama. Manusia
memiliki rasa religiusitas. Manusia ingin menghayati rasa religiusitasnya ini.
Agama menjadi sarana dari penghayatan religius. Mengikuti rasa religiusitasnya
itu, manusia ingin menemukan siapakah Tuhan. Di dalam pencariannya akan Tuhan,
manusia menemukan siapa sebenarnya dirinya. Agama, selain menjadi sarana
penghayatan religiusitas ini, menawarkan suatu identitas. Dengan memeluk agama
tertentu, orang dapat membedakan dirinya dengan orang lain.
Agama
menawarkan suatu pegangan. Dengan memegang pegangan itu, orang memperoleh arah
yang pasti di dalam menghayati hidup ini. Orang mendapatkan jalan yang jelas
menuju keselamatan. Segala hal di dalam hidup ini seakan-akan menjadi gamblang,
termasuk hal-hal yang pribadi. Demi kejelasan jalan keselamatan itulah kemudian
agama memasuki area pribadi seseorang. Agama mulai mengatur bagaimana seseorang
berpakaian, kapan dia harus bangun, kapan dia harus makan, apa yang boleh dan
tidak boleh dimakan, bagaimana dia harus bersyukur sebelum mulai makan, kapan
saja saat seseorang harus menyepi dan berdoa, orang boleh menikah atau tidak,
bagaimana orang harus menikah, bahkan agama mengatur urusan ranjang seseorang.
Semuanya itu memberi identitas kepada seseorang. Orang itu seorang Kristiani
sebab dia mengenakan kalung salib. Orang ini seorang Muslimah sebab dia
mengenakan jilbab. Orang itu seorang Katolik dan bukan seorang Protestan sebab
dia pergi ke Gereja dengan membawa Puji Syukur dan bukan Alkitab. Orang itu
Katolik Orthodox sebab dia shalat menghadap ke timur.
Dengan
identitas ini aku membangun kesadaranku. Pertama-tama aku membangun kesadaran
akan diriku sendiri. Aku seorang Katolik, sebab ada nama baptis Yohanes di
depan nama panjangku. Aku pergi ke Sekolah Minggu dan mendapat pelajaran moral
pertamaku di sana. Aku pun pergi misa setiap Minggu bersama kedua orang tuaku.
Aku berdoa dengan terlebih dahulu membuat tanda salib. Menerima Tubuh Kristus
akan menjadi kebahagiaan tersendiri di dalam hidup ini. Perbuatan kasih adalah
aturan moral pertama yang harus aku lakukan sebab Alkitab mengatakannya
demikian. Dan seterusnya. Dengan identitas yang diberikan oleh agama ini pula aku
pun melihat dunia di sekitarku. Aku mendapati diriku unik sebab aku bertemu
orang dengan identitas yang berbeda-beda. Dengan agama aku menjadi individu,
yang terbedakan, sebab aku menemukan orang-orang yang sungguh lain denganku. Aku
unik dengan kekatolikanku sebab aku bertemu dengan orang yang memiliki
identitas berbeda, dia memakai jilbab. Ada pula di sana orang mengenakan peci,
memelihara janggut panjang, dan membawa tasbih. Sedangkan di sebelah sana ada
orang yang berkepala plontos dan hanya berbalut selembar kain merah.
Sebelumnya
aku telah memiliki gambaran identitas. Ketika hendak keluar memandang dunia,
aku berharap dunia tidak jauh berbeda dengan identitas yang telah aku
gambarkan. Akan tetapi, ternyata dunia begitu berbeda dengan aku, terlebih di
Indonesia, negeri yang multikultur ini. Aku Katolik, ayah ibuku pun Katolik,
tetapi ketika aku pergi ke rumah saudara sepupuku, aku sadar bahwa mereka bukan
Katolik, sebab mereka tidak makan babi. Saudara sepupuku ternyata seorang
Muslim. Ketika di sekolah ada perayaan ekaristi, aku terkejut, sebab tidak
semua orang Kristiani menerima komuni. Ternyata beberapa teman sekelasku
beragama Kristen Protestan. Realita dunia yang begitu berbeda dengan realita
aku ini mengguncangkan. Apa yang harus aku lakukan berhadapan dengan yang
sungguh-sungguh berbeda?
Kita
semua mengalami keterkejutan ketika berhadap-hadapan dengan dunia yang
menampakkan hal-hal yang sangat berbeda dengan kita. Perjumpaan kita dengan
dunia tidak hanya memberi gambaran kepada kita tentang siapa itu orang lain,
tetapi juga memberikan gambaran kepada kita tentang siapa diri kita sebenarnya.
Kita pun akan bereaksi, atau takut lalu menghindar, atau justru penasaran dan
ingin lebih mengenal. Orang lain akan menjadi cermin bagi kita untuk memandangi
wajah kita sebenarnya. Pada umumnya, kita enggan memandang wajah buruk kita,
kemudian lebih suka menghindar. Kita terguncang. Kita mengalami apa yang
dinamakan cognitive-dissonance.
Cognitive Dissonance
Apa
itu cognitive-dissonance? Teori ini
disampaikan oleh Festinger. Unsur dasar dari teori ini mencakup unsur-unsur
kognitif yang ada dalam diri manusia, yaitu pemahaman, pengetahuan, atau
keyakinan seseorang tentang dirinya sendiri, tentang sikap dan tindakannya,
atau tentang lingkungan hidupnya.
Semua keputusan yang kita ambil berkaitan erat dengan unsur-unsur kognitif di
atas. Aku tahu mengendarai sepeda motor tanpa helm itu tidak baik, maka aku
tidak melakukannya, atau minimal aku melakukannya tanpa diketahui polisi. Ada
konsistensi dari apa yang kita ketahui dengan yang kita lakukan.
Namun,
benarkah selalu ada konsistensi dari apa yang kita ketahui dengan keputusan
yang kita ambil? Ternyata tidak. Misalnya saja tentang toilet stasiun kereta
api, di toilet itu tertulis dengan jelas “toilet gratis”, tetapi di dalamnya
ternyata ada seseorang yang duduk di bibir pintu dengan sebuah kotak uang.
Walaupun telah membaca “toilet gratis”, setelah kencing, kita pasti akan dengan
sungkan membayar setidaknya Rp 1.000,00 kepada penjaga tadi. Inkonsistensi ini,
menimbulkan ketegangan psikologis. Situasi ini mendorong kita melakukan sesuatu
untuk dapat mengatasi atau menghilangkan ketegangan tersebut. Teori cognitive-dissonance Festinger
menawarkan tiga solusi untuk mengatasi situasi ketegangan tersebut. Pertama
adalah rasionalisasi (explanatory schemes),
dukungan kelompok (social support),
atau menghindari sumber ketidakselarasan (avoidance
of dissonance).
a. Rasionalisasi
Rasionalisasi atau
menjelaskan mengapa terjadi dissonance (ketegangan)
merupakan cara yang paling umum dilakukan. Bentuknya bisa memodifikasi
unsur-unsur yang menimbulkan dissonance
atau membuat interpretasi alternatif keyakinan yang ada. Teori-teori teologi
dan filsafat bisa merupakan salah satu bentuk rasionalisasi dissonance ini. Kita kembali ke kasus
perbedaan agama antara tokoh aku dengan saudara sepupunya di atas. Dunia dan
pengetahuan yang pertama kali dikenal dan membentuk identitasku adalah Katolik.
Akan tetapi, begitu aku berkunjung ke rumah pamanku, aku menyadari saudara
sepupuku, yang satu kakek denganku itu, beragama Muslim. Aku di lingkungan
keluarga inti dapat dengan bebas makan babi atau menawarkan makanan babi kepada
ayah dan ibu. Tetapi, aku tidak dapat dengan ramah menawarkan makanan babi itu
kepada saudara sepupuku karena dia tentu tidak makan babi. Hal ini menimbulkan
ketegangan di dalam diriku. Kemudian, aku merasionalisasi, secara sederhana aku
mengatakan bahwa “perbedaan itu indah”, atau “kakekku seorang pancasilais
sejati sebab menghargai perbedaan agama anak-anak dan cucu-cucunya”. Secara
lebih canggih, kemudian aku membawa dissonance
itu kepada perenungan teologis dan filosofis. Bisa saja kemudian aku
menyimpulkan bahwa “manusia dilahirkan bebas dan berbeda dari yang lain, bahkan
saudaranya sendiri, sehingga mereka bebas memilih siapa mereka dan agama apa
yang akan mereka anut” atau “walau berbeda agama, toh kami menyembah Tuhan yang
satu dan sama, ibarat planet-planet yang mengitari satu matahari yang sama”.
Tradisi-tradisi yang panjang dan kaya merupakan sumber kekuatan untuk
menghadapi atau merelativisasi unsur-unsur yang menimbulkan dissonance.
b. Dukungan
Sosial
Suatu kelompok dapat
menjadi sumber dan sekaligus sarana efektif untuk mengurangi dissonance. Perjumpaan kita dengan dunia
mungkin akan mengakibatkan terjadinya dissonance.
Akan tetapi, dengan mencari dan bertemu dengan orang lain yang memiliki
pandangan atau keyakinan yang sama, seseorang bisa mengatasi atau setidaknya
mengurangi dissonance.
Dukungan sosial dari
kelompok agama yang sama dengan kita bisa menjadi sarana yang sangat nyaman
untuk mengurangi dissonance.
Keberadaan kelompok sosial seperti ini sebenarnya sudah merupakan pengakuan
sosial atas keyakinan-keyakinan dan paham-paham tertentu. Semakin banyak orang
bergambung bersama kelompok tersebut, makin besar pula kekuatan untuk mengatasi
dissonance. Semakin banyak orang
bergabung ke dalam kelompok tersebut berarti makin banyak pula orang yang
mengamini keyakinan atau pemahaman kelompok itu. Komitmen yang kuat untuk
menarik sebanyak mungkin orang masuk ke dalam kelompok (convertion) merupakan cara yang efektif untuk mengurangi ketegangan
yang ada.
Agama-agama yang
memiliki sejarah yang panjang dan tradisi yang kaya menyediakan banyak sekali
sarana untuk melindungi anggota kelompok dari dissonance. Agama-agama ini akan memberikan penjelasan yang
melemahkan unsur-unsur yang menimbulkan dissonance
atau menyampaikan gagasan alternatif yang meyakinkan anggota-anggotanya bahwa dissonance sebenarnya tidak perlu
terjadi. Kita kembali mengambil contoh tokoh aku di atas. Untuk menghilangkan dissonance bahwa saudara sepupuku
sendiri berbeda agama dengan aku, aku bisa menarik diri kepada Gereja dengan
segenap aktivitasnya. Di Gereja aku menemukan teman-teman sebaya yang seagama
denganku, bahkan Gereja mengajarkan untuk menyebut mereka sebagai saudara seiman.
Kemudian lebih jauh, setelah dewasa bisa saja aku membaca Karl Rahner, teolog
Katolik terbesar di masanya itu, dan menyetujui pemikirannya bahwa Roh Kudus
pun berkarya melalui orang-orang non-Kristiani dan ikut-ikutan Karl Rahner
menyebut mereka “Kristen Anonim”.
c. Menghindari
Sumber Ketidakselarasan
Menghindari sumber dissonance merupakan cara yang paling
mudah. Dissonance harus dihindari
sekarang dan di masa depan. Secara sederhana, supaya tidak terjadi dissonance, kita semata-mata
menghindari, menutup mata, acuh tak acuh, atau bahkan memusnahkan sumber dissonance tersebut. Untuk lebih
jelasnya, kita kembali ke contoh tokoh aku di atas. Untuk menghindari dissonance bahwa saudara sepupuku
berbeda agama denganku, bisa saja aku tidak pernah lagi mengunjungi dan
menemuinya. Atau, ketika aku ingin sekali makan babi di warung, aku tidak
mengajaknya. Atau, aku pura-pura tidak peduli apa agama dia, sebab hal ini
bukan urusanku dan hanya mengganggu ketenanganku. Atau, aku kemudian menjadi
agnostik, tidak peduli pada agamanya juga tidak peduli pada agamaku sendiri,
walau di dalam hati aku masih memercayai Yang Ilahi. Atau, aku memutuskan
hubungan persaudaraan dengan dia. Atau, ini contoh yang sangat ekstrim, tetapi
terjadi di Indonesia, aku mendatanginya, mengajaknya masuk agamaku, dan jika
dia tidak bersedia, aku membunuhnya, melenyapkannya.
Perjumpaan
dengan Orang Lain (Liyan)
Perjumpaan
dengan orang lain selalu menuntut kita untuk bertanggung jawab. “Tanggung jawab
mendahului kebebasan,” kata Emmanuel Levinas. Kita dituntut untuk melakukan
sesuatu terhadap orang lain yang hadir di hadapan kita itu. Akan tetapi,
perlakuan kita terhadap orang lain itu tidak lepas dari gambaran kita akan
manusia. Gambaran tentang manusia (humanisme) ini diajarkan pula pada semua
agama, bahkan bisa dikatakan bahwa agama-agama itu merupakan suatu humanisme
tersendiri. Humanisme, atau pandangan mengenai manusia ini, memang sangat luas
dan banyak sekali macamnya, mulai dari humanisme-ateisme,
humanisme-eksistensialisme, humanisme-religius, dan sebagainya. Masing-masing
humanisme memiliki pandangan yang khas mengenai manusia. Pada umumnya semua
humanisme itu, baik yang ateis maupun yang religius, ingin memberikan gambaran
tentang manusia dan menempatkan manusia di tempat yang semestinya di alam
semesta ini. Agama, sejauh memikirkan tentang keselamatan manusia, sebenarnya
merupakan humanisme juga. Akan tetapi, pada umumnya kalangan religius yang
menganggap bahwa agamanya merupakan satu-satunya jalan keselamatan yang paling
benar menuduh humanisme sebagai suatu musuh yang sesat. Di lain sisi,
orang-orang yang merasa terhimpit oleh dogma-dogma agama menggandeng humanisme
sebagai pahlawan pembebasan.
Di
dalam humanisme itu kita mendapatkan gambaran tentang apa itu manusia, siapa
itu manusia, dan bagaimana itu manusia. Kita akan mendapat gambaran tentang
siapa kita dan siapa yang tengah hadir di hadapan kita. Sayangnya, humanisme
yang selama ini kita kenal adalah humanisme yang eropasentris. Kita akan merasa
benar-benar menjadi manusia ketika kita berdandan a la Eropa, misalnya. Kita bisa melihat raja-raja kita yang
kemudian mengadaptasi gaya berpakaian bangsawan Eropa, atau bahkan presiden
pertama kita yang gemar memakai jas.
Kesadaran ini membuat kita memandang sebelah mata manusia yang tidak eropa.
Bahkan, di dalam alam bawah sadar kita, kita merasa rendah diri di hadapan
orang-orang Eropa. Kita begitu bangga jika bisa menguasai salah satu bahasa
Eropa, Bahasa Jerman misalnya. Kita begitu heboh ketika bertemu dengan para
turis dari Eropa, kita berebut meminta foto bersama turis Eropa tersebut
seakan-akan dia adalah artis terkenal. Akan tetapi, di sisi lain, justru oleh
karena kerendahan-diri di hadapan orang-orang Eropa itu, kita begitu membenci
segala sesuatu yang berasal dari Eropa seakan-akan hanya kejahatan dan amoral
yang dihasilkan oleh orang-orang Eropa. Kemudian kita mencari padanan. Jika
selama ini kita menjadikan Eropa sebagai kiblat kebudayaan, kemudian kita
mencari kiblat yang lain, misalnya Arab (Timur Tengah) atau Korea Selatan dan
Jepang. Kita mengagung-agungkan yang satu dan membenci yang lain. Yang lebih
menyedihkan adalah, kita justru kehilangan jati diri sebagai bangsa yang
memiliki identitas yang khas, sistem kebudayaan yang tak kalah canggih
dibanding kebudayaan lain, dan kemampuan yang bisa disandingkan dengan
bangsa-bangsa tersebut di atas.
Inferiority complex
tersebut mengebiri kemampuan kita untuk senantiasa mengadaptasi unsur-unsur
asing. Nenek moyang kita mampu mengadaptasi unsur-unsur asing. Kebudayaan
Hindhu yang khas India itu mampu diadaptasikan dengan iklim tropis Nusantara,
sehingga kemudian kita “memiliki” kebudayaan itu tanpa harus menjadi “India”.
Nenek moyang kita pun mampu mengadaptasikan Islam sehingga selaras dengan rasa
religius bangsa ini. Ketika Kekristenan tiba di Nusantara pun nenek moyang kita
berhasil menyelaraskan dengan kebudayaan yang telah ada serta menyelaraskan
dengan rasa religius bangsa ini.
Akan
tetapi, sekarang kita justru menganggap rendah jati diri kita sendiri dan
memandang agung bangsa-bangsa dari luar Nusantara. Orang-orang Katolik Roma dan
Kristen Protestan mengagung-agungkan orang-orang Eropa dan Amerika Serikat.
Orang-orang Katolik Timur dan Islam mengagung-agungkan orang-orang Arab dan
Timur Tengah pada umumnya. Hal ini tidak disertai dengan rasa bangga sebagai
suatu bangsa yang memiliki ciri khas, justru kita mulai kehilangan ciri khas
tersebut. Satu sisi kita mendapatkan identitas baru, kita menjadi penganut
agama tertentu. Akan tetapi, di sisi lain kita kehilangan identitas kita,
sebagai bagian dari Bangsa Nusantara.
Dengan
situasi yang demikian itulah kita bertemu dengan tetangga kita sesama Warga
Negara Indonesia. Kita memiliki identitas baru sebagai penganut agama tertentu.
Akan tetapi, kita kehilangan kemampuan untuk mengadaptasi kebudayaan tempat
agama itu berasal dengan lingkungan tropis kita. Sehingga, ketika kita berjumpa
dengan sesama Warga Negara Indonesia yang menganut agama lain, seakan-akan kita
bertemu dengan orang-orang dari kebudayaan yang sangat lain dengan kita.
Ketika
kita bertemu dengan sesama orang Indonesia, kita justru merasa bertemu dengan
orang lain yang benar-benar lain. Kita lupa bahwa kita sama-sama Warga Negara
Indonesia, hanya karena kita menganut agama yang berbeda-beda. Mengapa hal ini
bisa terjadi? Agama adalah humanisme sebab memberikan gambaran tentang manusia.
Agama menjelaskan manusia yang bagaimana yang layak mendapatkan keselamatan.
Pada umumnya gambaran agama mengenai manusia ini bernuansa dualistis, hitam atau
putih, baik atau buruk, teis atau ateis, beriman atau kafir, pengikut Tuhan
atau pengikut setan. Kita menempatkan cap negatif kepada mereka yang tidak
seagama dengan kita. Kita terlebih dahulu berasumsi negatif (negative thinking/suudzon) terhadap
penganut agama lain. Kita merasa iman kita terancam ketika berjumpa dengan
penganut agama lain, seakan-akan mereka datang hanya untuk memurtadkan kita
saja. Inferiority complex yang
sebelumnya kita rasakan terhadap bangsa-bangsa asing kini kita rasakan terhadap
sesama Bangsa Indonesia sendiri hanya karena kita berbeda agama dengan mereka.
Kita
tidak memiliki kepercayaan diri dan tidak memiliki integritas diri. Kita membatinkan
hal tersebut hingga masuk ke dalam alam bawah sadar kita. Kemudian kita mencari
pegangan yang kokoh supaya kita merasa memiliki jati diri yang jelas. Pegangan
kokoh itu ada pada agama. Akan tetapi, ternyata ada banyak agama selain agama
yang kita anut. Hal ini membangkitkan kembali rasa ketidakpercayaan diri
tersebut. Kita menjadi ragu. Maka, untuk mengelak dari keraguan itu dan kembali
memiliki jati diri yang jelas, kita mengafirkan, mengecap sesat, dan
menyetankan pemeluk agama-agama yang lain.
Ketika
Tuhan Begitu Dekat dengan Kita
Ketika
kita memahami Tuhan sebagai Yang Mahakuasa yang dapat turun ke bumi dan
berjalan-jalan dengan menyamar sebagai manusia, kita selalu menaruh hormat
kepada orang lain. Jangan-jangan orang asing yang tengah mengetuk pintu rumah
kita dan meminta segelas air putih itu adalah Tuhan yang tengah menyamar
sebagai manusia. Maka, kita menjadi ramah pada setiap orang yang kita jumpai.
Masih segar di dalam ingatan kita cerita mengenai Abraham yang kedatangan tamu
tiga orang asing.
Abraham begitu tergopoh-gopoh menyambut mereka dengan keramahan termewah yang
dia bisa. Abraham kemudian menjamu mereka dengan hidangan terbaik yang dia
miliki. Ternyata tiga orang asing itu tak lain adalah Tuhan bersama dua
Malaikat-Nya.
Akan
tetapi, tatkala kita memahami Tuhan sebagai Yang Mahatinggi, yang demikian jauh
tak terjangkau kemanusiaan kita, kita menaruh Tuhan di tempat yang sangat
eksklusif. Hanya orang-orang eksklusiflah yang kemudian dapat menjangkau Tuhan.
Kita kemudian mulai membangun mitos mengenai “bangsa terpilih” atau “umat
pilihan”. Hanya “umat pilihan” inilah yang dapat menjangkau Tuhan beserta
segala keselamatan yang telah dijanjikan. Di luar “umat pilihan” ini hanya ada
kekafiran, kenajisan, dosa, amoral, dan hal-hal menjijikkan lainnya. Hal ini
memengaruhi pandangan kita mengenai orang lain. Kita sedemikian waspada
terhadap orang lain. Bahkan, di dalam benak kita, kita memandang orang lain
bukan sebagai manusia, semata hanya karena dia tidak menganut agama yang sama dengan
kita. Mereka yang di luar agama atau mazhab kita adalah binatang, bukan
manusia, yang halal darahnya, dapat kita lukai atau kita bunuh sesuka hati
kita. Di dalam pandangan kita hanya ada hitam atau putih. Jika aku dan agamaku
adalah puith, maka yang di luar agamaku adalah hitam, demikian sebaliknya.
Pandangan hitam-putih ini sangat naif, apa lagi mengingat Indonesia merupakan
negeri multikultur. Memang kita harus berhati-hati terhadap orang lain. Tidak
mungkin kita begitu saja menaruh kepercayaan atas sesuatu yang pribadi kepada
orang yang baru saja kita jumpai. Akan tetapi, kewaspadaan terhadap orang lain
ini yang sedemikian ekstrim hanya menghasilkan asumsi negatif terhadap orang
lain. Asumsi negatif ini kemudian disusul dengan kekerasan terhadap orang lain.
Padahal, belum tentu asumsi kita sesuai keadaan yang ada.
Di
sisi lain, ketika kita telah meuniversalkan mitos “umat pilihan” ini, lalu
membangun paham bahwa keselamatan ditujukan untuk semua manusia, bukan berarti
kita telah lepas begitu saja dari godaan. Godaan yang lain di dalam beragama
adalah arogansi religius. Kita begitu bangga memeluk agama yang telah
meuniversalkan mitos “umat pilihan” tersebut. Kita begitu bangga memeluk agama
yang mengajarkan cinta kasih dan damai sejahtera. Kita begitu bangga memeluk
agama yang telah melampaui proses transformasi dan transvaluasi. Kita selalu
mengutib kata-kata bijaksana yang dipenuhi kata cinta, kasih, dan damai. Kita
asyik up-date status facebook atau
menge-tweet di twitter kata-kata
mutiara dari para nabi dan orang-orang suci. Tanpa kita sadari kemudian kita
tergoda untuk memandang rendah dan hina orang-orang yang memeluk agama lain,
terutama agama yang tidak secara eksplisit mengajarkan cinta kasih dan damai
sejahtera, atau kepada pemeluk suatu agama yang memiliki sejarah berdarah yang
berisi perjuangan dan peperangan. Kita tergoda untuk memandang sebelah mata
orang-orang yang tidak menjalankan ritus agama dengan baik atau bahkan membenci
orang-orang yang menolak memeluk agama tertentu (agnostik
dan ateis).
Kita menjadi sombong dan arogan. Kita bahkan tidak mampu memahami dan menghargai
situasi dan kondisi pemeluk agama lain. Lalu, untuk apa semua ajaran cinta
kasih dan damai sejahtera yang diajarkan agama itu kalau kemudian kita justru
menjadi pribadi yang sombong dan arogan? Percuma saja kita mengaku memeluk
agama yang mengajarkan cinta kasih dan damai sejahtera jika kita tetap saja
tidak mampu menghormati kemanusiaan. Agama kemudian hanya menjadi baju yang
kita kenakan di luar, hanya menjadi pelampiasan narsisme kita, tetapi tidak
menjadi semangat yang menjiwai setiap tindakan kita, tidak mengubah apa-apa di
dalam hidup kita, dan tidak mengantarkan kita lebih dekat dengan Yang Ilahi.
Tuhan
adalah yang sedemikian lain dari pada kita. Kita tidak akan pernah bisa
merangkum Tuhan yang tak terbatas di dalam kemanusiaan kita yang terbatas.
Memang benar bahwa kemanusiaan kita tak mampu menjangkau Tuhan secara
paripurna. Akan tetapi, justru karena wajah Tuhan begitu diselimuti oleh tabir
yang pekat, kita mencoba untuk menyingkapkan wajah Tuhan itu dengan menampakkan
wajah ramah terhadap orang lain, menghormati orang lain, pemahaman lain, dan
kepercayaan lain. Justru oleh karena kesadaran bahwa kita tidak mampu merangkum
Tuhan di dalam pemahaman kita, kita menghargai perbedaan yang ada. Perjumpaan
religius antara kita dengan Tuhan (melalui agama) menjadikan kita mampu ramah
terhadap orang lain yang berbeda dengan kita sebab kita sadar bahwa orang lain
pun berjumpa dengan Tuhan dengan cara mereka sendiri yang unik dan khas.
Kehadiran
Tuhan merupakan suatu suasana misteri, kata Gabriel Marcel.
Di dalam keadaanku sebagai manusia, aku merasakan bahwa aku diliputi suatu
misteri, suatu kehadiran yang melampaui jangkauan kemanusiaanku. Perjumpaanku
dengan Tuhan itu kemudian mendasari perjumpaanku dengan orang lain. Kita tidak
perlu membuktikan kehadiran Tuhan tersebut sebab kita “percaya” dan ditarik
oleh “cinta” Tuhan yang mengundang kita untuk mencintai pula. Orang lain dengan
caranya yang unik dan khas juga hadir di hadapanku. Sebagaimana kita menerima
kehadiran Tuhan tanpa perlu menjadikan Tuhan obyek pembuktian, kita pun
menerima kehadiran orang lain apa adanya tanpa hasrat menguasainya (menjadikan
orang lain obyek keinginan kita) dan menghakiminya (menilai atau melabeli).
Undangan
untuk Mencintai
Gabriel
Marcel merumuskan perjumpaan aku dan kamu menjadi kita di dalam cinta. Di dalam
perjumpaan aku dan kamu, aku dan kamu saling mengundang untuk menjadi kita.
Kita mencoba untuk membangun communion.
Di dalam perjumpaan itu aku hadir di hadapan kamu dan kamu hadir di hadapanku.
Kehadiran ini secara istimewa terdapat di dalam cinta. Aku mencintaimu, aku
mengundangmu untuk menjadi kita. Maka, untuk menjadi kita, cinta itu harus
mutual, yaitu ketika kamu pun mencintaiku.
Karena aku dan kamu saling mengundang untuk bersatu menjadi kita di dalam
cinta, masing-masing aku dan kamu harus bersedia untuk saling mendengarkan dan
kemudian menerima. Aku dan kamu harus saling terbuka supaya dapat menjadi kita
di dalam suasana cinta.
Di
dalam konteks Indonesia, aku dan kamu saling mengundang untuk membangun suatu communion bernama “Bangsa Indonesia”.
Aku hadir di hadapanmu dengan segenap identitasku yang khas dan unik (identitas
agama, budaya, suku, dll.), kamu pun hadir dengan segenap identitasmu yang khas
dan unik. Di dalam perjumpaan itu aku dan kamu saling menerima apa adanya,
tanpa hasrat ingin menguasai satu sama lain, supaya menjadi kita. Cinta yang
timbul dari kehadiran kita adalah cinta terhadap tanah air kita, kita ingin
membangun tanah air bersama, kampung halaman bersama, yang sejahtera. Maka,
kita harus memiliki kemampuan untuk saling terbuka dan mendengarkan satu sama
lain. Kita saling menghargai dan menerima kekhasan masing-masing.
Akan
tetapi relasi aku-kamu itu tetap rapuh. Kebersamaan kita ini tidak hanya untuk
satu waktu saja, tetapi harus berlangsung terus. Kita menjadi Bangsa Indonesia
tidak untuk satu waktu saja, tetapi untuk terus-menerus. Maka, aku dan kamu
saling mengikat diri (engagement) dan
saling setia (fidelite), dua tema
yang sering disinggung oleh Gabriel Marcel.
Di dalam konteks berbangsa, bagaimana kita saling mengikat diri dan setia?
Pancasila. Kita begitu berbeda, begitu beragam, begitu unik satu dengan yang
lain, dan masing-masing memiliki kekhasan. Supaya aku dan kamu tetap menjadi
kita di dalam Bangsa Indonesia dengan tetap mempertahankan keunikan kita
masing-masing, kita sama-sama menghormati dan mengamalkan Pancasila.
Agama
untuk Manusia Bukan Manusia untuk Agama
Agama
merupakan sarana di dalam penghayatan rasa religiusitas kita. Tom Jacobs
menjelaskan, “Agama selaku lembaga yang berunsur manusiawi tidak dapat
mengklaim ketaatan mutlak dari warga, karena agama tidak pernah identik dengan
Allah. Peraturan agama manapun pada hakikatnya diadakan selaku lambang dan
ekspresi spiritual, selaku sarana pendidikan belaka, namun yang ternyata
sepanjang zaman telah terangkat tanpa sengaja maupun sengaja menjadi tujuan.
Namun, lambang hanyalah sarana, bukan tujuan. Simbolisasi hanya cara
pendidikan, bukan hakikat isi pendidikan itu sendiri. Maka, agama tidak pernah
boleh dilepaskan dari religiusitas, terutama kalau religiusitas itu sudah
berkembang menjadi iman, artinya suatu hubungan personal selaku aku (hamba) dan
Engkau.”
Ketika
agama itu menjadi tujuan pada dirinya sendiri, agama sangat rawan menjadi
ideologi. Apa lagi, ketika agama itu berjumpa dengan politik, agama akan
menjadi alat kontrol yang paling dahsyat, efektif, dan mematikan. Sistem
totalitarian-teosentrisme akan lahir. F. Budi Hardiman menerangkan, “Tidak ada
sumber otoritas yang begitu menghasilkan kepatuhan dan kesediaan berkorban
seperti aturan-aturan politis yang dibenarkan dengan nama Tuhan. Mempertanyakan
aturan-aturan sakral seperti itu tidak hanya beresiko kematian di dunia ini,
melainkan juga diyakini beresiko untuk dijebloskan ke neraka jahanam. Karena
itu tidak ada teror yang lebih efektif dari pada teror atas nama Tuhan yang
menyembul ke luar dari doktrin-doktrin agama yang memusuhi kehidupan duniawi.”
Agama,
kata Michel Foucault, merupakan lembaga produksi kekuasaan dan pengetahuan yang
dahsyat. Demi identitas, seperti yang telah kita bahas di atas, agama masuk ke
dalam ruang pribadi seorang yang satu dengan seorang yang lain, lalu mengatur
mereka dengan penyeragaman. Agama menyeragamkan perilaku, bahasa, pakaian, maupun
ritus. Dengan keseragaman ini agama mampu mengontrol dan memobilisasi umatnya,
dan di saat yang sama umat memberikan ketaatan dan kesetiaan. Kesetiaan dan
ketaatan umat itu semata karena mereka merasa terikat akan janji keselamatan
yang ditawarkan oleh agama. Ketika taat, seseorang dijanjikan kenikmatan surga.
Sebaliknya, ketika tidak taat, seseorang diancam dengan neraka. Menggunakan
janji surga dan ancaman neraka, agama mengontrol segenap kemanusiaan
pemeluknya, terutama perihal seksualitas. Dengan keseragaman tersebut di atas agama
pun akhirnya mampu membedakan siapa yang menjadi umatnya dan siapa yang bukan.
Maka, ketika agama menjadi ideologi, kontrol total serta diskriminasi dapat
bekerja dengan baik.
Oleh
karena agama merupakan sumber pengetahuan, agama selalu di dalam ancaman
kekuasaan. Kekuasaan dan pengetahuan itu saling berkaitan. Siapa yang menguasai
pengetahuan, dia memiliki kuasa. Di sinilah kerentanan agama. Ketika agama
menjadi ideologi dan bergandengan tangan dengan kekuasaan, agama telah
kehilangan jati dirinya sebagai sarana peziarahan religiusitas, tetapi melulu
menjadi alat mobilisasi masa. Siapa yang mampu memonopoli penafsiran tunggal
atas agama, dia memiliki kontrol terhadap umatnya. Ketika penafsir tunggal
agama itu memiliki minat politik, dia bisa memobilisasi masa untuk mendapatkan
suara di pemerintahan. Contoh yang paling nyata di kehidupan perpolitikan kita
adalah kampanye hitam yang terjadi pada Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil
Gubernur Jakarta periode 2012-2017.
Kita
harus mewaspadai tafsir tunggal atas agama. Dengan waspada dan kritis itu bukan
berarti kita murtad atau menjadi tidak beriman. Kita harus berhati-hati
terhadap suatu tafsir sebab suatu penafsiran atas agama rentan terhadap
tafsiran-tafsiran yang mendukung kekerasan. Di dalam sejarah panjang
agama-agama kita mengetahui bersama bahwa banyak sekali pertumpahan darah yang
terjadi justru karena agama. Agama-agama yang mengklaim membawa cinta kasih dan
damai sejahtera justru melegitimasi peperangan-peperangan itu dengan ayat-ayat
suci. Kita harus yakin di dalam hati nurani bahwa apapun penafsiran atas agama
itu, jika merendahkan martabat manusia, penafsiran itu harus kita pertanyakan
dan kritisi. Hans Küng, sebagaimana dikutib oleh Haryatmoko, menjelaskan,
“Menurut suatu kriterium etika umum suatu agama dikatakan benar dan baik bila
dan sejauh agama itu manusiawi, tidak menghilangkan dan menghancurkan
kemanusiaan, namun melindungi dan memajukannya.”
Agama
rentan dijadikan ideologi kekuasaan, dan ketika agama bergandengan tangan dengan
kekuasaan, agama telah kehilangan jati dirinya sebagai sarana peziarahan iman. Dengan
sedikit mengambil jarak dan mengkritisi suatu penafsiran atas agama, kita tidak
sedang membuang iman kita, tetapi kita justru sedang memurnikan agama kita. Kita
mencoba menempatkan kembali agama kepada tempatnya yang semestinya, sebagai
sarana bagi kita untuk melakukan peziarahan iman, sehingga kita mampu lebih
dekat dengan Yang Ilahi. Kita harus sadar bahwa ada jarak antara cita-cita
agama dengan realita kehidupan beragama.
Agama itu untuk manusia, bukan manusia untuk agama. Agama itu merupakan sarana
bagi manusia untuk melakukan peziarahan iman, bukan menjadi tujuan bagi hidup
manusia. Herwig Arts, sebagaimana dikutib oleh F. Budi Hardiman, mengatakan,
“Orang beriman harus berterima kasih selalu kepada para ateis.”
Bukan berarti bahwa kita setuju terhadap paham ateisme, melainkan bahwa
orang-orang ateis, melalui kritik agama mereka, memurnikan penghayatan agama
kita. Kritik agama yang dilemparkan oleh orang-orang ateis itu membangunkan
kita dari tidur dogmatis
kita. Kita tidak melulu taat buta, tetapi juga leluasa menggunakan akal-rasio
dan bisikan hati nurani. Kita dapat membedakan penafsiran mana yang hanya
digunakan untuk kepentingan politik atau ekonomi, penafsiran mana yang melulu
merupakan pelampiasan kebencian dan diskriminasi, penafsiran mana yang justru
melukai kemanusiaan dengan menghalalkan kekerasan, atau penafsiran mana yang
justru mengembangkan kehidupan spiritual dan iman religius kita. Kita menjadi
lebih bijaksana.
Penutup
Agama
memberi kita identitas. Dengan identitas ini kita berjumpa dengan orang lain.
Di dalam perjumpaan itu, kita menyadari bahwa ada perbedaan antara aku dengan
kamu, agamaku berbeda dengan agamamu. Aku tidak bisa memaksakan klaim kebenaran
agamaku atasmu, demikian juga kamu tidak dapat memaksakan klaim kebenaran
agamamu atasku. Maka, kita memerlukan landasan yang sama. Landasan itu di
Indonesia ini dapat kita temukan di dalam Pancasila. Di sana terdapat lima
tesis yang memiliki kandungan moral etis. Itulah yang kita perlukan. Perjumpaan
aku dan kamu selalu merupakan momentum etika. Lebih dari pada itu, kita
sama-sama memiliki akal-budi dan hati nurani. Akan tetapi, kita harus tetap
saling menghormati dan menghargai kekhasan masing-masing, supaya tidak jatuh di
dalam relativisme. Salah satu cara menghormati dan menghargai itu adalah dengan
duduk mendengarkan penuh empati.
Agama
merupakan sarana kita di dalam melakukan peziarahan iman berjumpa Tuhan yang
Mahaesa. Kita menyadari bahwa agama bukanlah Tuhan itu sendiri. Agama merupakan
institusi manusiawi, maka ada banyak hal yang sangat manusiawi di sana. Setiap
penafsiran agama rentan terhadap tafsir-tafsir yang melegitimasi kekerasan.
Oleh sebab itu kita mengambil jarak dari agama untuk mengkritisinya. Dengan
mengkritisi agama, bukan berarti bahwa kita menjadi ateis atau murtad. Kita
justru ingin memurnikan agama dari kepentingan-kepentingan politik, ekonomi,
atau pelampiasan kebencian. Kita memurnikan agama supaya kita tetap memiliki
sarana yang nyaman di dalam peziarahan iman kita berjumpa dengan Tuhan yang
Mahaesa.
Fundamentalisme
beragama sebenarnya tidak lain merupakan manifestasi dari inferiority complex. Aku tidak memiliki kepercayaan dan integritas
diri. Aku tidak yakin dengan diriku sendiri dan dengan kemampuan-kemampuanku.
Aku membutuhkan pengakuan. Selain itu, aku begitu naif, sehingga tidak mampu
mendengarkan hati nurani dan menggunakan akal budi dengan baik. Di saat aku
kebingungan tentang siapa aku, aku terkejut melihat dunia, sebab dunia begitu
berbeda dengan diriku. Aku tidak mampu menerima yang berbeda itu. Maka, aku
memeluk erat apa yang memberiku identitas, yaitu agama. Di sisi lain, ada
berbagai kepentingan yang menggunakan agama sebagai sarana untuk berkuasa. Oleh
karena kenaifanku, aku dimobilisasi oleh kepentingan itu dengan menggunakan
agama.
Di
dalam konteks Indonesia yang multikultur ini, kita perlu mengkritisi penafsiran
tunggal atas agama dengan menggunakan akal budi dan hati nurani kita. Penafsiran itu baik dan layak diikuti sejauh
mengembangkan kemanusiaan dan menghormati martabat manusia. Setiap penafsiran
yang menggiring kita kepada kebencian, perpecahan, dan pertikaian antarwarga
Negara Indonesia layak kita pertanyakan keabsahannya.
Daftar
Pustaka
Armstrong,
Karen, 2011, Sejarah Tuhan, Kisah 4.000
Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-agama Manusia, terjemahan Zaimul Am,
Bandung: Mizan Media Utama
Bertens,
K., 2006, Filsafat Barat Kontemporer,
Prancis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Budi
Hardiman, F., 2012, Humanisme dan
Sesudahnya, Meninjau Ulang Gagasan Besar tentang Manusia, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia
Haryatmoko,
2010, Dominasi Penuh Muslihat, Akar
Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Indra
Sanjaya, V., Bagian Tafsir Kitab Nabi-nabi
- Amos, Hosea, Yesaya, diktat tidak diterbitkan, Yogyakarta: Fakultas
Teologi Wedabhakti
----------------,
2001, Kitab Taurat - Kejadian, Keluaran,
Imamat, Bilangan, Ulangan, ad usum privatum tantum, Yogyakarta: Fakultas
Teologi Wedabhakti
----------------,
2007, Membaca Lima Kitab Pertama Alkitab
I, Pengantar Umum - Kitab Kejadian, Yogyakarta: Kanisius
Jacobs,
Tom, 2006, Paham Allah - dalam Filsafat,
Agama-agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius
Kapuściński,
Ryszard, 2012, The Other, terjemahan
Endes Runi Anisah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Russel,
Bertrand, 2008, Bertuhan Tanpa Agama,
terjemahan Imam Baehaqi, Yogyakarta: Resist Book
Snijders,
Adelbert, 2009, Antropologi Filsafat -
Manusia, Paradoks dan Seruan, Yogyakarta: Kanisius
Comments
Post a Comment