STRUKTURALISME
Saya
pribadi merupakan seseorang yang berada di dalam tradisi eksistensialis.
Perjumpaan saya dengan strukturalisme mengakibatkan gegar budaya.
Strukturalisme merupakan fenomena yang baru bagi saya, maka saya melakukan epoche, penundaan. Akan tetapi, pada
kesempatan ini, penundaan itu harus saya akhiri.
Tidak
ada negara selain Perancis yang menjadikan filsafat sebagai suatu mode seperti
mode pakaian atau musik. Setelah Perang Dunia II, Perancis dilanda demam eksistensialisme.
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang berbicara tentang Ada (eksis),
tentang manusia sebagai individu (subyek), dan tentang kebebasan.
Eksistensialisme begitu menekankan subyektivitas individu, bahkan Kierkegaard,
bapak eksistensialisme dari Denmark, pernah berkata bawah kebenaran itu
subyektif. Di Perancis sendiri eksistensialisme dikembangkan oleh Jean-Paul
Sartre dan kawan-kawannya. Eksistensialisme-Sartrean merupakan pengembangan
dari Fenomenologi Husserl.
Pada
tahun 1960-an yang menjadi mode berfilsafat di Perancis adalah strukturalisme.
Aliran filsafat ini merupakan bentuk perlawanan terhadap eksistensialisme dan
fenomenologi. Jika eksistensialisme mengajak kita untuk terlebih dahulu
memandang individu sebagai subyek di dalam pembicaraan mengenai manusia,
strukturalisme mengajak kita untuk terlebih dulu melihat struktur/sistem di
mana individu itu berada. Individu tidak pernah terlepas dari struktur yang
membentuknya. Aliran filsafat ini menggunakan dasar-dasar ilmu linguistik
modern dari Ferdinand de Saussure. Ketika orang berbicara mengenai
“strukturalisme”, dia harus kembali kepada linguistik Saussurean.
Linguistik
Saussurean
Beberapa
prinsip dasar yang digunakan oleh tokoh-tokoh strukturalisme berasal dari buku Cours de Linguistique Generale (1916)
yang diterbitkan setelah Saussure meninggal. Saussure menggunakan beberapa
istilah yang khas, yaitu sinkroni-diakroni,
signifiant-signifie, dan langage-langue-parole.
Linguistik-saussurean menempatkan bahasa sebagai ilmu yang otonom sehingga
tidak perlu lagi menghiraukan realitas di luar bahasa (termasuk subyek yang
berbicara).
Pendekatan
Bahasa oleh Saussure (Pendekatan Sinkronis Mendahului Diakronis)
Pada
umumnya orang mempelajari etimologi suatu kata. Hal ini mengandaikan sebuah
pendekatan yang historis. Bahasa diyakini sebagai sebuah proses panjang
penamaan atas benda-benda (nomenklatur), sehingga arti suatu kata selalu
berkaitan erat dengan obyek di luar kata itu. Pendekatan ini adalah sebuah
pendekatan diakronis. “Diakronis” berasal dari kata ‘dia’ yang berarti ‘melalui’ dan ‘khronos’ yang berarti ‘waktu’. Pendekatan diakronis adalah sebuah
pendekatan yang ‘menelusuri waktu’, sehingga disebut suatu pendekatan historis.
Saussure
mengajak mendekati bahasa dengan melihat unsur intrinsik bahasa terlebih
dahulu. Pendekatan diakronis menjadi tidak begitu berarti sebelum melakukan
pendekatan sinkronis. Kata “sinkronis” sendiri berasal dari kata ‘syn’ yang berarti ‘bersama’ dan ‘khronos’. Pendekatan sinkronis adalah
sebuah pendekatan yang “bertepatan dengan waktu”, sehingga disebut suatu
pendekatan yang ahistoris. Linguistik-Saussurean melepaskan bahasa dari segala
sesuatu di luar bahasa. Bahasa itu merupakan suatu struktur/sistem yang tertata
dengan cara tertentu. Saussure mengajak kita untuk melihat hubungan antarunsur
bahasa di dalam suatu struktur/sistem bahasa itu dalam suatu totalitas
(keseluruhan). Kita harus mengkaji bahasa sebagai suatu struktur/sistem pada
waktu tertentu terlebih dahulu sebelum melihat perkembangannya di dalam
sejarah. Penyelidikan sinkronis harus mendahului penyelidikan diakronis.
Penanda
(Signifiant / Signifier) dan Petanda
(Signifie / Signified)
Berdasarkan
perspektif pendekatan diakronis, makna suatu kata selalu berkaitan dengan suatu
obyek di dalam realitas (nomenklatur). Akan tetapi, Saussure berpendapat bahwa
makna suatu kata itu justru berkaitan dengan konsep tentang benda, bukan benda
itu sendiri. Makna suatu kata berkaitan erat dengan kata. Kata (tanda bahasa) tidak
lain adalah sebuah bunyi atau coretan ditambah makna. Menurut Saussure tanda
bahasa terdiri atas dua unsur yaitu penanda
(yang menandai) dan petanda (yang
ditandakan).
Penanda
adalah aspek material dari bahasa (apa yang diucapkan/didengar atau apa yang
ditulis/dibaca). Petanda adalah aspek mental dari bahasa, yaitu gambaran
mental, pikiran, konsep, imaji. Tanda bahasa selalu memiliki penanda dan
petanda. Kedua unsur itu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Penanda
tanpa petanda itu tidak berarti apa-apa karena bukan tanda bahasa. Petanda
tidak mungkin disampaikan tanpa penanda. Penanda dan petanda berhubungan secara
arbitrer (sewenang-wenang/harus) dan bukan secara natural.
Langage,
Langue
(Bahasa), dan Parole (Wicara)
Istilah
langage merupakan istilah untuk
menunjukkan fenomena bahasa secara umum. Bahasa secara umum (langage) ini di dalam persepktif
Saussure terdiri dari dua unsur yaitu langue
(bahasa) dan parole (wicara). Langue merupakan
bahasa sejauh merupakan milik bersama suatu golongan bahasa tertentu. Langue dipandang sebagai suatu struktur/sistem.
Bahasa adalah ‘aturan bermain’ dan yang penting di dalam bahasa adalah
aturan-aturan tersebut. Langue
merupakan unsur sosial dari bahasa. Individu tidak bisa mengubah langue sendirian.
Parole
merupakan pemakaian bahasa yang individual. Parole
merupakan peristiwa “berbicara”. Parole merupakan
unsur individual dari bahasa. Akan tetapi, seseorang hanya dapat mendekati parole melulu melalui langue, sebab kajian linguistik tidak
mempelajari bagaimana individu-individu tertentu menggunakan bahasa.
Tidak
ada bahasa tanpa wicara dan tidak ada wicara tanpa bahasa. Individu dibentuk
oleh bahasa sebagaimana individu-individu itu membentuk bahasa. Bahasa tidak
dapat berubah kecuali berevolusi melalui proses historis wicara. Bahasa
merupakan instrumen dan sekaligus produk wicara.
Bahasa
merupakan totalitas yang terdiri dari unsur-unsur yang berbeda dan mempunyai
fungsi masing-masing. Unsur-unsur itu hanya dapat dibandingkan atau ditukarkan
di dalam sistem bahasa yang sama.
Semiologi
(Semiotika)
Prinsip-prinsip
dasar linguistik di atas dapat diterapkan ke dalam ilmu-ilmu lain di luar
bahasa. Penerapan dasar-dasar linguistik ke dalam bidang-bidang lain di luar
bahasa ini disebut semiologi.
Linguistik sendiri akhirnya menjadi salah satu cabang dari semiologi ini.
Metode studi bahasa bisa diterapkan pada bidang studi lain sejauh bidang studi
lain itu memuat tanda.
Psikoanalisa
Rasa Strukturalisme a la Jacques
Lacan
Lacan
adalah seorang freudian. Freud telah menggeser cogito cartesian ke dalam ketidaksadaran. Filsafat sejak Rene
Descartes hingga fenomenologi dan eksistensialisme begitu menekankan kesadaran
ego. Imannuel Kant dan Hegel pun berfilsafat di dalam tradisi ini. Akan tetapi,
menurut psikoanalisa, bukan kesadaran ego yang penting, melainkan
ketidaksadaran. Ketidaksadaran inilah yang menggerakkan ego.
Lacan
mengikuti tradisi Freud. “Kembalilah kepada Freud,” kata Lacan. Namun, dia
membaca Freud di dalam perspektif strukturalisme. Lacan menciptakan suatu
psikoanalisa yang merupakan “suatu antropologi otentik” dengan mengambil ilmu
bahasa “sebagai pedoman”.
Bahasa
merupakan suatu sistem. Manusia tidak merancang sistem tersebut, tetapi tunduk
kepadanya, sehingga manusia mungkin untuk berbicara. Hal yang sama juga terjadi
atas ketidaksadaran. Ketidaksadaran mendahului ego. Ego digerakkan oleh
ketidaksadaran. Dan, ketidaksadaran itu terstruktur, sama seperti bahasa. Ketidaksadaran
mengungkapkan diri melalui bahasa. Bahasa berperan penting di dalam proses
psikoanalisa. Analisan mengungkapkan segalanya kepada analis melalui bahasa.
Ketidaksadaran yang diungkapkan melalui bahasa tersebut kemudian menjadi
penanda. Akan tetapi, Lacan, mengikuti perspektif Freud bahwa ego telah
tergeser, mengatakan bahwa yang berkata itu bukan subyek. Subyek itu
dibicarakan. Ada yang lain yang berbicara di dalam diri subyek (it speaks in me). Ketidaksadaran
merupakan “wacana dari liyan”.
Marxisme
Strukturalis - Althusser
Althusser
adalah seorang marxis Perancis. Dia memperkenalkan cara membaca Marx yang
menolak pandangan humanistis. Ilmu-ilmu linguistik, psikoanalisa, dan
antropologi telah menyatakan bahwa “manusia telah digeser dari pusatnya”,
sehingga dalam cahaya itulah kita seharusnya membaca Marx. Althusser menentang
gagasan bahwa Marxisme adalah humanisme. Ada diskontinuitas antara Marx muda
dengan Marx tua. Memang Marx muda itu bersifat humanis (menempatkan manusia
berada di pusat alam semesta seturut tradisi feuerbachian). Akan tetapi, Marx
yang sejati adalah Marx tua yang memisahkan diri dari Hegel dan Feuerbach. Marx
muda adalah Marx yang ideologis sedangkan Marx tua adalah Marx yang ilmiah.
Meskipun
Althusser menentang pandangan humanistis akan Marx yang seakan-akan lebih
menekankan Marx muda yang humanis dan ideologis, dia tidak menyingkirkan
pembahasan ideologi sama sekali. Di dalam ideologi manusia justru menjadi sadar
akan pertentangan kelas dan berjuang untuk menghapuskannya. Althusser justru
menawarkan ideologi yang bersifat marxis. Negara terdiri atas aparat-aparat
ideologis (gereja, sekolah, sistem hukum, keluarga, komunikasi, parpol, dsb.)
dan atas aparat-aparat represif (polisi, tentara, penjara, dsb.). Ideologi
adalah alat kaum borjuis untuk melanggengkan status quo. Melalui ideologi dominasi suatu kelas direproduksi.
Manusia
bukanlah subyek yang otonom dari ekonomi dan sejarahnya. Manusia adalah produk
dari struktur-struktur sosio-ekonomis. Unsur-unsur sosio-ekonomis (infrastruktur)
itu nampak di dalam ideologi (suprastruktur). Akan tetapi, ideologi itu menurut
Althusser memiliki otonominya sendiri. Ideologi membentuk subyek-subyek dengan
meletakkan mereka di dalam sistem hubungan yang diperlukan sehingga hubungan antarkelas
yang ada dapat langgeng. Ideologi memberi identitas kepada individu sehingga
situasi yang ada bisa berjalan. Ideologi justru bekerja melalui praktek-praktek
ritual yang praktis dan spontan, yang seakan-akan lumrah dilakukan oleh seorang
individu. Ketika individu-individu itu berdoa, berjabat tangan, memilih barang
belanjaan, sekolah, dan tindakan-tindakan lumrah lainnya, mereka tidak bebas
nilai, sebab berada di bawah pengaruh ideologi.
Memberanikan
diri untuk Mengajukan Kritik
Oleh
karena strukturalisme menempatkan diri sebagai aliran filsafat yang
antihumanisme, filsafat ini mengesampingkan subyek. Subyek dipandang sebagai
yang tidak bebas dan terdeterminasi oleh sistem/struktur, baik itu struktur
bahasa, masyarakat, maupun ketidaksadaran. Peran manusia sebagai subyek bebas
yang menjadi agen sejarah juga direduksi. Kaum strukturalis mengulang apa yang
pernah Nietzsche sampaikan bahwa alih-alih ada yang disebut sejarah linear,
yang ada adalah “terulangnya segala sesuatu secara abadi”.
Sebagai
suatu metode berfilsafat, kita bisa dengan bebas dan lincah menggunakan
strukturalisme (linguistik saussurean). Strukturalisme akan memberi kita pisau
bedah baru di dalam mendedah dan mengartikulasikan kehidupan. Strukturalisme
juga membuat kita tidak terlampau optimis terhadap humanisme. Akan tetapi, jika
segala sesuatu direduksi ke dalam struktur dan hanya strukturlah yang nyata
sehingga subyek yang bebas itu disangkal, saya pribadi perlu mendekatkan diri
kepada Sartre untuk menolak hal tersebut. Ketika strukturalisme berani
mengatakan bahwa yang nyata hanyalah struktur dan subyek manusiawi hanyalah
ilusi semata, strukturalisme telah melampaui batas-batas metodenya.
Pembicaraan
mengenai struktur dan sistem mengandaikan adanya individu bebas yang berbicara.
Struktur/sistem sendiri tidak berbicara! Langue
memang adalah sistem/struktur bahasa, tetapi ada parole di sana, tempat individu mengartikulasikan bahasa. Memang
sering kali individu digerakkan oleh renjana bawah sadar, tetapi individu yang
bebaslah yang mengartikulasikan ketidaksadaran itu ke dalam bahasa untuk
kemudian menelaahnya. Sartre mengatakan bahwa manusia itu tidak terkurung di
dalam struktur! Manusia melampaui struktur. Subyektivitas bagi Sartre selalu
menjadi hal yang terakhir. Penolakan subyektivitas itu merupakan usaha yang
sia-sia dan penuh ironi sebab penolakan itu sendiri sudah mengandaikan suatu
subyektivitas dari suatu subyek. “Yang penting bukan apa yang diperbuat atas
manusia, melainkan apa yang manusia perbuat atas apa yang diperbuat atasnya,”
kata Sartre.
Bahan
Bacaan
K. Bertens, 2006, Filsafat Barat Kontemporer Prancis,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
John
Lechte, 2007, 50 Filsuf Kontemporer, dari
Strukturalisme sampai Postmodernitas, terj. Bahasa Indonesia oleh A.
Gunawan Admiranto, Yogyakarta: Kanisius
St.
Sunardi dan A. Supratikna (ed.), Dasar-dasar
Kajian Budaya, Bahan Bacaan Kuliah, Yogyakarta: IRB - USD
Padmo Adi
untuk tambahan Jumat di
Palma 18 Oktober 2013
Comments
Post a Comment