AFORISME-AFORISME
NOVEMBER 2013
1.
Media mulai
mengalihkan perhatian dan menggiring opini kita, bahwa buruh itu materialistis
dan pemalas yang selalu minta gaji besar.
Tanpa kita sadari, bukan hanya buruh, kita semua
pun telah dikondisikan oleh pemerintah (yang kongkalikong dengan pengusaha),
untuk memiliki imaji sukses, bahwa sukses itu bisa punya mobil dan motor mewah,
dan lain sebagainya, dan demikian seterusnya.
Dan... ini yang menyedihkan... tanpa kita
sadari... para buruh itu sering kali berada di dalam posisi sulit. Kamu pernah
hidup dengan buruh? Atau, pernahkah kamu menjadi buruh? Cobalah ambil posisi,
atau setidaknya empati, sebagai seorang buruh. Andai kamu tahu rasanya... .
2.
"Weh,
slamet ya, Jon, wis sida rabi," ujare Joko nalika ketemu Jono, kanca
lawase.
"Weh, matur nuwun, Jok. Lha kowe kapan
nyusul?" wangsulane Jono.
"Wah, kosik, Jon. Eh, aku oleh takon
ora?"
"Takon apa, Jok? Kok sajake wigati?"
"Kowe ki, nuwun sewu lho iki, wingi kowe rabi
ki entek pira je?"
"Telung puluh yuta."
"Akeh men? Nggo pesta wingi kae, Jon?"
"Ya untunge bapa-biyungku isih sugeng. Dadine
ya melu ngragati. Dhuwit semono kuwi amung dinggo lamaran karo tuku uba-rampene
kok."
"Loh, durung pestane?!"
"Iya. Sing mestakke ki mara tuwaku. Dadine
acara resepsi wingi ki sing ngragati wong tuwane bojoku."
"Oalah ngger... . Ya wis. Nuwun. Aku
dakmenyang kutha sik. Ana perlu."
"O ya... ngati-ati, Jok."
"Wis, dipenakke lehmu dadi manten anyar,"
ujare Joko, banjur lunga plencing ninggal Jono.
Joko banjur mampir menyang ATM salah sawijining
bank, niliki saldo tabungane. Nyawang angka sing ana nang layar ATM, Joko
ngunjal ambegan.
Dibukak meneh dompete, dilebokke kertu ATM-e, lan
disawang kanthi permati foto wanodya ayu sing ana sajroning dompet iku. Luh
tumetes ana ing pipine Joko.
Joko ngunandika, "Dhuh Dhik... wanita sing
daktresnani... sabar-sabarna atimu ya. Aku durung bisa nglamar sliramu sanadyan
ta aku tresna tenan marang kowe. Pangapuramu... ."
3.
Bahasa tidak
pernah bebas nilai.
4.
Jadi, sudah lama
ada di dalam benak manusia... bahwa menjadi modern adalah menjadi barat... dan
menjadi barat itu menjadi eropa. Oh, Sultan Mehmed II... .
5.
Cinta itu indah
dan puitik, tetapi ketika harus berbenturan dengan kenyataan (baca: sistem
sosial), cinta itu segera menjadi tragedi.
Dan, cinta yang abadi adalah yang
tragedi.
6.
Kekuasaan itu
ada di mana-mana... direproduksi di mana-mana.
Rumusan doa yang kamu ucapkan. Pakaian (seragam,
dress code) yang kamu kenakan. Rambu-rambu lalu lintas. Liga-liga Sepak Bola
asing yang kamu saksikan. Band-band (alay) dari Korea yang kamu tonton. Teenlit
yang kamu baca. Sekolah, tempat kamu belajar dan dicekoki pengetahuan. Upacara
nikah yang kamu lakukan. Bahkan, aturan-aturan di dalam sanggama.
7.
Waktu itu aku
masih kecil. Aku sekolah di kompleks Purbayan, Solo. Hampir setiap Sabtu aku
pulang ke Kauman, ke rumah Eyang, karena sekolah pulang pagi. Pada hari itu,
Bapak menjemput. Lalu kami membeli babi kuah di depan Gereja Purbayan. Dan,
kami pun menuju Kauman, untuk makan.
Aku selalu senang jika pergi ke Kauman. Di sana
aku bisa bermain dengan saudara-saudari sepupuku yang umurnya tidak jauh berbeda denganku. Biasanya kami bermain di Masjid
Agung atau di TK NDM atau di pelataran BCA atau di lorong-lorong kampung
Kauman. Jikapun saudara-saudariku itu masih belum pulang sekolah, aku bisa
bermain mainan plastik milik saudaraku atau membaca majalah Bobo.
Babi kuah yang kami beli itu cukup banyak. Aku
segera memikirkan saudara sepupuku itu. Namanya Kuntjara, Padma Kuntjara. Pasti
akan sangat menyenangkan makan bersama keluarga. Sesampainya di Kauman, Bapak
memarkir motor, lalu segera pergi ke pendapa. Kami akan makan di sana. Segera
saja dengan polos dan girang aku berteriak memanggil Mas Kuntjara, "Mas
Kun... mangan iwak babi yoh... . Mas... Mas Kun... ayo mangan karo aku."
Tiba-tiba saja Bapak menghardikku. "Hush! Mas
Kun tidak makan babi," kata Bapak. Kenapa Bapak pelit sekali? Bukankah Mas
Kuntjara masih saudara? Kenapa tidak boleh dibagi? "Mas Kun tidak makan
babi. Hanya kita yang makan babi," kata Bapak. Tapi, kenapa Mas Kun tidak
makan babi, sedangkan aku dan Bapak boleh? "Mas Kun Muslim, jadi tidak
makan babi," kata Bapak lagi.
Peristiwa sederhana itu begitu berkesan di dalam
benakku. Itulah pertama kali aku benar-benar menyadari perbedaan. Begitu absurd
saat itu bagi diriku yang masih kecil. Kami adalah saudara seeyang. Bapakku dan
Pakdhe pun saudara sekandung. Ya, Eyang kami sama. Bapak dari Bapak kami sama,
Ibu dari Bapak kami pun sama. Akan tetapi, ternyata kami berbeda... aku Katolik
dan Mas Kuntjara Muslim. Mengapa kami berbeda? Mengapa Bapak dan Pakdhe
berbeda? "Sebab Eyang adalah seorang Pancasilais," jawab Bapak pada
waktu itu.
Jawaban sederhana itu tidak memuaskan rasa
penasaranku pada saat itu. Aku membatinkan peristiwa itu, sehingga kubawa hingga
sekarang. Kita akan selalu bertemu dengan Orang Lain (Liyan) yang berbeda... .
Sekarang, aku bisa mensyukuri perbedaan kami. Walau
kami berbeda, kami tetap bersama. Sering kali kami bertukar pikiran. Tidak
selalu sependapat memang, juga perspektif yang kami ambil tidak jarang berbeda.
Akan tetapi, kami selalu duduk bersama, bertukar pengalaman, bertukar
pandangan, berdiskusi. Walau berbeda, kami tetap saudara. Peristiwa "Babi
di Kauman" itu akan selalu kukenang... dan akan selalu kurefleksikan
ketika harus berpikir tentang Indonesia... Bhinneka Tunggal Ika.
Kini, Padma Kuntjara ada di Sulawesi. Aku selalu
rindu untuk mengulang kembali membaca puisi di tepi jalan raya bersama dengan
dia... lagi... dan lagi.
8.
A-Mrican
English... :) So, let me speak English in a "medhok" way, may I :)
9.
Hujan malam ini
Cahaya lilin menari
Orphaned-Land bernyanyi Sapari
(burjo Banteng, 111113)
10.
Seorang penyair
itu memiliki beban tanggung jawab yang tidak main-main. Sebagai penyair, dia
adalah ‘nabi’. Dia memiliki tanggung jawab profetis untuk menyuarakan
kebenaran, membahasakan yang tak terperikan, dan menarasikan kenyataan...
bahkan bernubuat!
Memang mungkin pada awalnya dia memakai puisi
sekadar untuk menyalurkan renjana. Akan tetapi, ketika berhenti melulu di sana
saja, dia tak ubahnya seorang penyabun yang gemar merancap.
Seorang penyair itu harus mampu di saat yang
bersamaan menjadi seorang Salomo sekaligus seorang Amos.
11.
Baru saja aku
memahami mengapa Nietzsche menarasikan pemikiran filosofisnya melalui
aforisme-aforisme justru setelah aku membaca Dhammapada.
12.
tu kan... apa
aku bilang...
cinta yang abadi adalah yang tragedi
13.
Sinisme dan
kenaifan...
ada gak sih cara lain untuk menelan hidup yang
pahit selain dua cara di atas?
14.
Keadaan
sosial-masyarakat kita bisa kita lihat dari kesenian (sastra)-nya. Ya, di sana
ada sinetron, ada dagelan OVJ yang memandang mengepruk teman itu lucu, ada
goyang caesar, ada lagu-lagu dangndut dengan liriknya yang mengangkat tema
semacam "Cinta Satu Malam"... .
Lalu Pramoedya? Lalu Chairil Anwar? Lalu Rendra?
Siapakah yang membaca mereka? Buku-buku mereka
menjadi semacam Alkitab yang hanya dibaca elit-elit tertentu saja. Makanan
keseharian masyarakat kita adalah "Goyang Itik"... bahkan
"Suster Keramas" dan "Sumpah Pocong". Akui saja.
15.
Waktu itu aku
kelas 3 Jurusan Bahasa SMA. Saat itu Guru Bahasa Indonesia kami mengangkat
diskusi tentang Kebudayaan. Tiba-tiba saja, salah satu teman kami, Ko Bo Chan (Bayu), berpendapat bahwa KORUPSI itu adalah KEBUDAYAAN Bangsa
Indonesia karena sudah dilakukan oleh banyak kalangan. Guru Bahasa Indonesia
itu menyanggah. Intinya adalah, bahwa kebudayaan itu adalah yang adiluhung.
Waktu itu aku hanya diam. Aku tak paham. Tujuh-delapan
tahun kemudian baru aku memahami paradigma berpikir temanku tersebut. Aku
terlambat tujuh-delapan tahun.
16.
Hm... ini nih...
yang bikin imaji Oedipus Complex dibatinkan -_-'
"Bibi Lung Complex" :P
17.
O... jadi ini ya
masalahnya... mengapa aku selalu ketiduran sewaktu misa. Bahwa misa hanya
berhenti pada "yang simbolis" saja, dan belum mampu untuk membawaku
sampai kepada "penyaluran renjana".
Sik... sik... . Sebenarnya aku enggan berbicara
tentang hal ini. Akan menjadi paradoks yang lucu jika aku berbicara tentang hal
ini. Alih-alih mengkritisi para pastor yang hanya mampu membawa misa ke ranah "yang simbolis" saja, aku justru jadi ingin
menertawakan diriku sendiri.
Satu-satunya calon pastor yang aku kenal baik dan
memiliki cita-cita untuk membawa misa sampai kepada ranah "penyaluran
renjana" itu pun kini sudah menjadi ateis... atau setidaknya enggan
berbicara serius tentang hal ini.
O... jadi 2009 yang lalu itu alasannya ini ya...
jouissance lacanian... .
18.
Mengapa saya
berbicara dengan Bahasa Indonesia, ora nganggo Basa Jawa (punapa malih Basa
Krama), not even in English, walaupun mahir menggunakan ketiganya?
19.
berangkat dari
cinta...
melalui puisi...
menuju revolusi...
20.
rambut kriwil
itu...
(kini sudah direbonding!)
menghantu!
21.
Wong Mardika
ingkang Marsudi Kasusastran Jawi ing Surakarta itu sudah tiada. Walau, tidak
sulit untuk mengakses karya-karyanya. Cukup untuk membayar beberapa ribu (kalau
tidak salah hanya Rp 2.000,00) untuk biaya masuk Radya Pustaka. Mungkin yang
bikin sulit adalah kebanyakan tulisan Wong Mardika ingkang Marsudi Kasusastran
Jawi ing Surakarta itu dia tulis dalam aksara Carakan, walau bahasanya ngoko.
Ya, tentu dia adalah anak zamannya (lahir pada
tanggal 20 April 1843 di Sraten Surakarta, meninggal pada 01 Februari 1926).
Seorang priyayi Jawa keturunan ningrat, murid Ranggawarsita, yang lahir, besar,
dan hidup di dalam nuansa feodalisme Jawa. Yang membuat dia menjadi "Wong
Mardika" adalah dia berani menulis di luar pakem sastra yang ada.
Alih-alih menulis macapat yang penuh aturan itu, dia menulis geguritan,
cerita-cerita carangan, bahkan cerita tentang Kancil! Pernah aku membaca
karyanya tentang manusia. Mungkin aku terlalu muluk berharap, sebab ternyata
yang kudapati adalah "katuranggan". Dan, tulisannya tentang
perjalanan hidup manusia (Jawa) itu sungguh mencekam. Mencekam, karena kalau
dipraktekkan di zaman sekarang, aku tidak bisa membayangkan berapa rupiah harus
dikeluarkan demi setia terhadap tradisi tersebut.
Tapi, satu hal yang patut jadi perhatian, bahwa
Wong Mardika ingkang Marsudi Kasusastran Jawi ing Surakarta itu benar-benar
membebaskan Sastra Jawa dari aturan-aturan pakem yang ketat dan membawanya
keluar dari tembok kraton yang wingit. Dan... setidaknya eksistensinya menegasi
statement Benedict Anderson yang mengatakan bahwa Sastrawan Jawa ditutup pada
tahun 1873.
Memang benar, banyak Sastrawan (yang berasal dari)
Jawa menggunakan sastra (baca: pers) untuk melawan kekuasaan. Wong Mardika
ingkang Marsudi Kasusastran Jawi ing Surakarta itu pun turut pula terlibat
aktif di dalam pers. Hanya saja, ini asumsi saya, kesan yang ada pada waktu
itu, sama seperti yang terjadi sekarang, berbicara dengan bahasa daerah di
dalam konteks masa pergerakan itu berarti semata hanya melokalisasikan diri di
dalam sudut sempit Nusantara. Itulah mengapa banyak Sastrawan (yang berasal
dari) Jawa meninggalkan Bahasa Jawa (bahkan yang ngoko sekalipun), dan mulai
menggunakan Bahasa Melayu (yang kemudian menjadi Bahasa Indonesia itu). Dan,
bisa jadi konteks inilah yang membuat Benedict Anderson membaca bahwa (seolah-olah)
Sastra Jawa itu habis di tangan Ranggawarsita. Lagi pula, saya tidak yakin Wong
Mardika ingkang Marsudi Kasusastran Jawi ing Surakarta itu juga bersemangat
menggunakan Bahasa Indonesia, setidaknya karena saya belum pernah menemukan
karyanya yang dia tulis sendiri di dalam Bahasa Indonesia.
Eksistensinya cukup menginspirasi, walau
membutuhkan ketekunan tersendiri untuk secara serius mengaji karya-karyanya di
Radya Pustaka agar inspirasinya semakin berdasar. Sebuah ketekunan yang
terbengkalai oleh karena ketidakmampuan saya pada banyak kesempatan waktu itu
bangun pagi. Setidaknya, tokoh itu menginspirasi Hampir Mati Berlayar Karam dan
Wong Kiwa Mardika... meskipun dua orang itu sudah tidak menulis dengan Bahasa
Jawa lagi.
22.
O... jadi...
Marhaenisme adalah versi lokal dari Marxisme oleh
Soekarno.
Sedangkan Soekarnoisme itu merupakan versi lokal
dari Marxisme oleh Njoto.
(Dan, dua orang itu pun sudah terlebih dulu
(di-)mati(-kan) berpuluh-puluh tahun jauh sebelum RUU Antimarxisme itu
diwacanakan.)
23.
If you can speak
in English, then... what will you say? What will you be talking about? And, why
must you talk it in English, instead of your mother tongue?
25.
"Tidak,
Nak... aku tidak ingin kamu menjadi seorang Katolik yang sungguh-sungguh.
Begitu kamu menjadi seorang Katolik yang sungguh-sungguh, bisa jadi kamu akan dihilangkan
seperti Mas Petrus Bima Anugerah ini. Tidak, Nak... jangan sekali-kali jadi
seorang Katolik sejati."
26.
Wong Ayu... aja
nesu... bengi iki aku maca geguritan meneh. Pangapuramu, aku mengko bali
lingsir wengi. Nalika awake dhewe ketemu, aku janji, bakal maca geguritan lirih
ing sandhingmu... amung kanggo sliramu.
27.
Sebagai seorang
penyair, kita harus turba (turun ke bawah).
Gagasan ini pertama kali bukan aku pelajari dari
membaca Lekra,
tetapi justru dari pendidikan seminari.
Bahwa, khotbah-khotbah yang tidak membumi, yang
jauh di menara gading,
hanyalah meninabobokan.
Dan, ya, gagasan bahwa penyair itu adalah
"nabi"
serta memiliki "tanggung jawab profetis"
pun berasal dari seminari.
November 2013
Padmo Adi
(Wong Kiwa
Mardika)
Comments
Post a Comment