Hujan
Deras dari Delanggu hingga Prambanan
Ini adalah
puisiku tentang hujan
entah untuk yang
keberapa
tapi kali ini
aku tidak bernostalgia
Kemarin aku
berkendara
ke Jogja
dari Kota di
mana ari-ariku dikuburkan
Di Pakis ada
cegatan!
Aih, lihatlah
itu para polisi
sudah siap
memeriksa SIM-STNK
Kusiapkan
surat-surat itu
agak lama memang
karena harus
melepas sarung tangan
Tetapi ketika
tiba giliranku,
polisi itu
menyuruhku untuk terus saja
sebab gerimis
makin jadi hujan
dan hujan pun
menderas
(keparat!)
Aku pun menepi
di depan toko beras
tak jauh dari
lokasi cegatan
Di toko itu ada
banyak karung beras
hatiku pun
diselimuti rasa aman dan puas
Masih ada beras
untuk dibeli
Masih ada untuk
ditanak jadi nasi
Entah berapa
rupiah untuk mengganti
Memang aku
selalu senang melihat sawah
lalu murung
melihatnya tumbuh beton megah
Mungkin suatu
hari nanti aku takkan beli rumah
agar tak perlu
menumbuhkan beton di sawah
Di depan toko
beras itu kupakai mantol
sobek di ketiak,
sobek pula di selangkang
tapi hanya itu
mantol yang kubawa
walau di hadapan
hujan deras ini pasti sia-sia
Hujan melebat di
Delanggu
tapi makin laju
motor kupacu
Berkendara di
tengah hujan lebat
bikin Tuhan
semakin dekat!!!
Air yang
tercurah dari angkasa itu
menabrak kaca helmku
lalu mengalir ke
samping
kanan dan kiri
Di depan hujan
deras itu jadi tirai
warna kelabu
menetak jarak
pandang
Kunyalakan lampu
jauh
kunyalakan pula
lampu hazard
Rajawali besiku
tetap melaju
menembus tirai
kelabu
Air berlompatan
dari ujung spion
Air berlompatan
dari sisi tanki
Air berlompatan
dari sisi spakbor
Berkendara di
tengah hujan lebat
bikin Tuhan
semakin dekat!!!
Namun, di
Prambanan semua itu selesai
Hujan deras berakhir
jadi rinai
mengiringi
sampai ke pondokan
di mana kudapati
celanaku kuyup kehujanan
Ini adalah
puisiku tentang hujan
entah untuk yang
keberapa
tapi kali ini
aku tidak bernostalgia
tepi
Jakal, 21 Januari 2014
Padmo
Adi (@KalongGedhe)
Comments
Post a Comment