Tulisan ini pertama kali dimuat di
Joe's News edisi IVXI Des. 2013, untuk adik-adik kelasku di SMA PL Santo Yosef. Pada kesempatan ini, tulisan ini saya muat ulang di blog ini untuk mereka yang menginspirasi saya menulis ini:
Kenan Fabri Hartanto,
Bayu "Haohao", dan Silvia Ajeng Dewanti.
Tugas Kita
09 November 2013
Sebenarnya
sudah lama aku ingin membuat tulisan ini. Akan tetapi, keasyikan menjadi
seorang mahasiswa itu membuatku terlena. Untunglah ada Pak Triyas yang
mengingatkan janji ini. Sebelumnya, perkenalkan, namaku Padmo Adi. Panggil saja
Padmo. Aku alumni SMA St. Yosef Jurusan Bahasa. Tulisan ini aku buat karena aku
ingin menyapa kalian, adik-adik kelasku, terutama siswa-siswi Jurusan Bahasa.
Walau demikian, kepada kalian yang merupakan siswa-siswi Jurusan Pengetahuan
Alam dan Sosial, tidak ada salahnya turut serta membaca tulisan ini.
Aku
hendak berbicara tentang manusia dan tugas kita sebagai seorang manusia muda
yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan. Mengapa manusia? Karena kita
adalah manusia. Ada baiknya sesekali kita berbicara tentang diri kita sendiri.
Manusia itu dapat didekati dari tiga sisi, yaitu segi biologinya, segi
sosial-ekonominya, dan segi bahasanya. Dari segi biologi, kita bisa maju lebih
lanjut, membicarakan manusia dari segi psikenya. Maka, kita bisa mendekati
manusia dari sudut pandang psikologi. Kita bisa memakai berbagai macam metode
psikologi. Silakan bertanya kepada Bu Agustin atau guru BK lainnya yang lebih
paham dari pada aku. Aku pribadi lebih suka metode Carl Gustav Jung,
psikoanalisa Sigmund Freud, atau Jacques Lacan. Silakan mencari mereka di
google. Aku takkan membicarakan mereka di sini.
Dari
segi sosial-ekonomi, manusia bisa didekati dari bagaimana cara dia berhubungan
dengan liyan (orang lain). Banyak sudut pandang yang mencoba melihat bagaimana
manusia berhubungan dengan liyan. Moralitas, agama, ilmu politik, sosiologi,
juga ilmu ekonomi (pertukaran barang). Untuk moralitas, aku perkenalkan sebuah
nama, Emmanuel Levinas. Untuk (filsafat tentang) cinta, aku perkenalkan nama
Gabriel Marcel (yang mengatakan, “Ketika seseorang berkata ‘Aku cinta
kepadamu,’ sebenarnya dia sedang berkata bahwa orang yang dia cintai itu takkan
pernah mati,”) dan Søren Kierkegaard. Tidak... aku tidak akan memperkenalkan
filsuf favoritku, Jean-Paul Sartre, sebelum kalian cukup umur! Hubungan
antarmanusia akhirnya sampai kepada hubungan pertukaran barang. Kita sebut
hubungan ini hubungan ekonomi. Sebenarnya aku ingin memperkenalkan sebuah nama
yang membahas hubungan ekonomi ini secara kritis. Akan tetapi, hukum legal di Indonesia
masih melarang kita secara akademis mempelajari Karl Marx. Amien Rais, yang
waktu itu adalah ketua MPR, terlebih dahulu menurunkan Gus Dur, sebelum
presiden eksentrik itu sempat mencabut peraturan konyol tersebut.
Dan,
terakhir, kita bisa mendekati manusia dari segi bahasanya. Apa yang membedakan
manusia dengan vertebrata lainnya, juga dengan segenap makhluk hidup lain di
muka bumi ini? Bahasa. Manusia adalah satu-satunya makhluk di muka bumi ini
yang menggunakan bahasa (baca: kata-kata) sebagai suatu sistem yang rumit untuk
berkomunikasi. Di sana ada huruf, ada fonem, ada kata, ada frasa, ada klausa,
ada kalimat, ada paragraf, ada teks, ada gramatika, ada pronounciation, ada dialek, ada majas (misalnya: metafora dan
metonimia), kemudian ada wacana, dan sebagainya. Hanya manusia yang memiliki
sistem bahasa serumit itu, anjing husky yang makanannya lebih mahal dari
makanan kalian itu pun tidak!
Sebelum
kita lanjutkan, aku bertanya kepada diriku sendiri, apa alasan aku mengharuskan
diriku menulis ini. Baiklah, izinkan aku curcol
sedikit di sini. Setelah lulus dari Jurusan Bahasa SMA St. Yosef, sebenarnya
aku ingin melanjutkan studi di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma, tetapi Mamaku menolaknya (sama seperti ketika Bapakku
melarangku sekolah di Santo Yosef dan mengambil Jurusan Bahasa). Oleh karena
frustasi (rasanya seperti habis putus dengan pacar), aku memutuskan untuk
belajar filsafat-teologi di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma. Di sana
aku belajar Alkitab sebagai sebuah karya sastra. Coba, silakan tanya kepada Pak
Andreas Heri tentang Sastra Kebijaksanaan Israel. Aku pun berkenalan secara
akademis dengan beberapa nama yang aku sebutkan di atas. Dan, dari empat tahun
studiku di fakultas tersebut, tebak apa yang aku dapatkan? Bahasa dan sastra.
Aku mendapatkan “seperangkat alat” untuk kembali menulis puisi dan cerpen! Kemudian,
aku melanjutkan studi di Ilmu Religi dan Budaya pada universitas yang sama.
Coba tebak apa yang kudapatkan? Lagi-lagi bahasa dan sastra!!! (Aku mendapatkan
“alat” untuk menulis status facebook dan ngetweet,
hehehe... .) Bahasa itu sebegitu penting di dalam hidup kita. Kita senantiasa
memakainya di dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, justru karena kita
terbiasa memakai bahasa di dalam keseharian kita, kita justru begitu
meremehkannya. Padahal, tanpa kita sadari, dari bahasa, kita bisa menelusuri
cara berpikir, ideologi, kedalaman batin, bahkan kepribadian seseorang. Ingat
Vicky Prasetyo? Selain itu, juga tanpa kita sadari, struktur masyarakat kita
pun dibentuk oleh struktur bahasa, demikian juga sebaliknya. Kalian yang
beretnis Jawa pasti sangat mengenal sistem Basa Jawa dengan Ngoko, Krama, dan
Krama Inggilnya. Tahukah kalian bahwa sistem bahasa yang seperti itu dipakai
untuk melanggengkan sistem feodalisme kraton? Seniman-seniman Jawa Banyumasan
dan Jawa Timuran kerap kali membangkang dari struktur ini. Dan, lebih dari pada
itu, Lacan pernah berkata bahwa ketidaksadaran kita pun terstruktur seperti
halnya bahasa.
Beberapa
tahun kuliah di Universitas Sanata Dharma, aku bertemu dengan beberapa alumni
SMA St. Yosef. Beberapa di antara mereka adalah adik kelasku dulu. Malah, kini
aku sekelas dengan seseorang, yang dulu merupakan kakak kelas ketika sekolah di
SMA St. Yosef. Di dalam perjumpaan itu aku terkejut. Kebanyakan dari mereka
memilih fakultas yang sangat berkaitan erat dengan bahasa: Sastra Inggris dan
Pendidikan Bahasa Inggris. Padahal, sewaktu mereka SMA, mereka adalah
siswa-siswi Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial! Hampir tidak ada dari mereka yang
sebelumnya studi di Jurusan Bahasa. Ada apakah gerangan? Mengapa mereka dengan
mudah mengganti rumus-rumus matematika, fisika, dan kimia yang dengan
mati-matian mereka pahami bertahun-tahun itu dengan rumus-rumus grammar and structure? Jawaban yang
mereka utarakan sungguh membuatku ingin menangis! Beberapa di antara mereka
berkata bahwa mereka tidak berani melawan orang tua yang berpandangan bahwa
menjadi siswa/i di Jurusan Pengetahuan Alam itu jauh lebih bergengsi. Beberapa
lagi berkata bahwa pada saat itu, kuota siswa tidak mencukupi, sehingga Jurusan
Bahasa terpaksa harus ditiadakan. (Aku bersyukur mendengar kabar dari Pak Tri
bahwa pada tahun ini Bruder Kepala Sekolah dengan berani tetap membuka Jurusan
Bahasa walau hanya dengan 12 orang siswa/i saja. Ini sungguh langkah maju yang
patut disyukuri dengan kegirangan yang sangat.) Sedangkan, sisanya bercerita
bahwa pada saat itu mereka masih belum menyadari dan memahami passion hidup mereka.
Menyadari
dan memahami passion hidup memang
bukanlah hal yang mudah. Butuh bertahun-tahun proses memang. Kalian yang masih
sangat remaja ini masih memiliki kesempatan yang sangat banyak (terkecuali jika
besok Tuhan memanggil kalian, itu lain cerita). Sedangkan untuk persoalan kuota
siswa/i, kalian tidak perlu khawatir lagi. Bruder Kepala Sekolah kalian itu
sepertinya cukup berani melawan arus mainstream.
Just do it! Nah... yang jadi masalah
adalah bagaimana jika orang tua kalian tidak menyetujui panggilan hidup kalian
untuk belajar di Jurusan Bahasa. Tentu aku tidak akan mengajari kalian menjadi
anak-anak durhaka yang berani membangkang orang tua. Tidak! Yang perlu kalian
lakukan adalah menjelaskan kepada mereka tentang faedah belajar bahasa. Lalu,
apa faedah kita belajar bahasa?
Dengan
belajar bahasa, kalian memiliki “alat-alat” untuk bersuara. Dengan belajar
bahasa, kalian bisa berekspresi, membuat puisi, cerpen, novel, naskah drama.
Dengan belajar bahasa, kalian bisa memahami diri kalian sendiri sebagai
manusia; kalian bisa membahasakan diri kalian sendiri. Kalian tahu bahwa
perasaan konyol bertemu si dia itu bernama cinta, justru karena kalian belajar
kata-kata, sehingga kalian yakin bagaimana harus menamai perasaan konyol
bertemu si dia tersebut. Kalian bisa berkata bahwa “cinta tak harus memiliki
adalah ungkapan seorang yang kalah” justru karena kalian belajar bahasa
sehingga memiliki perangkat untuk membahasakannya. Kalian bisa membahasakan
perasaan-perasaan yang tak terkatakan, sehingga kalian bisa lebih mengenal diri
kalian sendiri. Setelah itu, kalian pun memiliki “alat-alat” untuk membahasakan
keadaan-keadaan sosial-masyarakat kalian. Tentang remaja cowok yang sok ingin
menjadi lelaki, sehingga dia berpikir bahwa dengan merokok dia telah menjadi
lelaki, misalnya. Atau, tentang remaja cewek yang, meskipun cantik jelita,
tetapi membuang bungkus permen sembarangan. Dari yang sederhana itu dulu,
sebelum akhirnya kalian memiliki cukup “alat” untuk menyuarakan kaum marjinal,
rasisme, seksisme, korupsi, nasionalisme, historisitas bangsa Indonesia,
kelas-kelas sosial, ketimpangan sosial, intoleransi beragama, dan sebagainya.
Katakanlah kepada orang tua kalian, tugas kalian adalah belajar, sesuai dengan
panggilan Tuhan, sehingga kalian mampu menyuarakan yang tak terkatakan.
Bagaimana jika itu semua hanyalah sebuah wacana? Mungkin kalian masih sangat
kecil ketika peristiwa pergerakan mahasiswa 1998 yang menggulingkan Soeharto, presiden
fasis itu. Ketahuilah, gerakan mahasiswa yang dahsyat itu bermula dari wacana.
Wacana itu dari apa? Para mahasiswa itu secara legal dilarang membaca Karl
Marx, bukan? Wacana itu berasal dari sastra... ya... sastra. Bahasa. Mereka
membaca Pramoedya Ananta Toer! Mungkin saat ini kalian bisa dengan mudah
mendapatkan karya Pram, tetapi pada waktu itu, membaca karya Pram itu dilarang!
Sebuah gerakan itu bermula dari wacana. Wacana itu ada jika ada yang
membahasakan. Hanya orang yang memiliki “perangkat bicara” sajalah yang dapat
membahasakan itu semua. Maka, jangan ragu untuk mempelajari “perangkat bicara”
tersebut.
“Kowe ngapa meh mlebu Jurusan Bahasa Santo
Yosef? Meh dadi iwak?” kata bapakku suatu waktu dulu. Maksudnya adalah,
jika aku masuk Jurusan Bahasa Santo Yosef, kelak aku akan bekerja sebagai apa?
Pertanyaan itu pasti menghantui pula benak orang tua kalian. Aku punya teman.
Dia dulu sekelas denganku di Jurusan Bahasa. Oleh karena alasan ekonomi, dia
tidak mampu melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Dia harus bekerja.
Dia kini mengendarai truk. Dia bercerita kepadaku bahwa dia bersyukur bisa
mempelajari sastra ketika sekolah di Jurusan Bahasa SMA St. Yosef, sebab dia
bukan sekadar sopir truk pada umumnya, melainkan sopir truk yang memiliki
horizon berpikir yang luas.
Non scholae sed vitae discimus.
Kita belajar bukan demi nilai, tetapi demi kehidupan! Kalian masih muda. Belajarlah
sungguh-sungguh. Jangan takut jika memang passion
kalian adalah Bahasa. Juga bagi kalian yang (terlanjur) belajar di Jurusan
Pengetahuan Alam dan Sosial, belajarlah baik-baik. Kalian sekolah bukan semata
agar kelak mendapatkan pekerjaan yang layak. Bukan sekadar itu! Kalian belajar
justru untuk membebaskan kemanusiaan kalian; kalian belajar untuk memperluas
cakrawala berpikir kalian! Jangan pernah menjadi burung beo yang hanya
mengulang-ulang hafalan tanpa tahu maknanya. Tugas kita sebagai akademisi pada
dasawarsa kedua pascareformasi ini adalah mempelajari “perangkat bicara”,
kemudian dengan berani menyuarakan yang tak tersuarakan. Kita perlu menarasikan
ulang diri kita dahulu setelah 32 tahun hidup di dalam ilusi. (Aku tidak
berharap kalian bisa memahami kalimat terakhir ini segera setelah kalian
membacanya. Akan tetapi, aku yakin, empat-tujuh tahun setelah ini kalian akan
paham.)
Akhir
kata, selamat belajar (membacalah!!!). Selamat membahasakan hidup. Jika kalian
ingin bertanya tentang satu-dua hal berkaitan dengan tulisan ini, silakan
kirimkan email ke padmo.adi@facebook.com atau langsung saja mention
@KalongGedhe. Dan, kalau kalian sedang iseng, boleh juga mampir ke
www.sarang-kalong.blogspot.com. Sampai jumpa.
Salam
hangat,
Padmo
Adi
Sampai jumpa di rekoleksi tesis berikutnya, Mo. Hihihi...
ReplyDeleteSampai jumpa, Mas Adit :) Misyuol alredi :D
Delete