ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA

  ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA *kepada Hugo   Lukisan Sri Yesus Kristus bersama dengan Sri Krishna setelah Tuhan mereka bunuh berkali-kali... yang terjadi adalah kemanusiaan yang mati... akhirnya menjelma jadi jiwa yang mengembara di padang belantara... ke selatan, ke utara... ke timur, ke barat... ke sana... entah ke mana... mencoba menemukan Tuhan yang telah tiada   walaupun demikian, itu lebih baik bagi mereka daripada mulut ngaku ikut Sang Lelaki Galilea tapi membela anak ular beludak sampai mati atau mewarnai semua dengan mejikuhibini Ah, Hug, Barat itu arah terbenamnya matahari bacalah Wahyu, semuanya sedang digenapi...   Malang, 07 Oktober 2024 Padmo Adi

Tugas Kita

Tulisan ini pertama kali dimuat di Joe's News edisi IVXI Des. 2013, untuk adik-adik kelasku di SMA PL Santo Yosef. Pada kesempatan ini, tulisan ini saya muat ulang di blog ini untuk mereka yang menginspirasi saya menulis ini: Kenan Fabri Hartanto, Bayu "Haohao", dan Silvia Ajeng Dewanti.


Tugas Kita

09 November 2013
Sebenarnya sudah lama aku ingin membuat tulisan ini. Akan tetapi, keasyikan menjadi seorang mahasiswa itu membuatku terlena. Untunglah ada Pak Triyas yang mengingatkan janji ini. Sebelumnya, perkenalkan, namaku Padmo Adi. Panggil saja Padmo. Aku alumni SMA St. Yosef Jurusan Bahasa. Tulisan ini aku buat karena aku ingin menyapa kalian, adik-adik kelasku, terutama siswa-siswi Jurusan Bahasa. Walau demikian, kepada kalian yang merupakan siswa-siswi Jurusan Pengetahuan Alam dan Sosial, tidak ada salahnya turut serta membaca tulisan ini.
Aku hendak berbicara tentang manusia dan tugas kita sebagai seorang manusia muda yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan. Mengapa manusia? Karena kita adalah manusia. Ada baiknya sesekali kita berbicara tentang diri kita sendiri. Manusia itu dapat didekati dari tiga sisi, yaitu segi biologinya, segi sosial-ekonominya, dan segi bahasanya. Dari segi biologi, kita bisa maju lebih lanjut, membicarakan manusia dari segi psikenya. Maka, kita bisa mendekati manusia dari sudut pandang psikologi. Kita bisa memakai berbagai macam metode psikologi. Silakan bertanya kepada Bu Agustin atau guru BK lainnya yang lebih paham dari pada aku. Aku pribadi lebih suka metode Carl Gustav Jung, psikoanalisa Sigmund Freud, atau Jacques Lacan. Silakan mencari mereka di google. Aku takkan membicarakan mereka di sini.
Dari segi sosial-ekonomi, manusia bisa didekati dari bagaimana cara dia berhubungan dengan liyan (orang lain). Banyak sudut pandang yang mencoba melihat bagaimana manusia berhubungan dengan liyan. Moralitas, agama, ilmu politik, sosiologi, juga ilmu ekonomi (pertukaran barang). Untuk moralitas, aku perkenalkan sebuah nama, Emmanuel Levinas. Untuk (filsafat tentang) cinta, aku perkenalkan nama Gabriel Marcel (yang mengatakan, “Ketika seseorang berkata ‘Aku cinta kepadamu,’ sebenarnya dia sedang berkata bahwa orang yang dia cintai itu takkan pernah mati,”) dan Søren Kierkegaard. Tidak... aku tidak akan memperkenalkan filsuf favoritku, Jean-Paul Sartre, sebelum kalian cukup umur! Hubungan antarmanusia akhirnya sampai kepada hubungan pertukaran barang. Kita sebut hubungan ini hubungan ekonomi. Sebenarnya aku ingin memperkenalkan sebuah nama yang membahas hubungan ekonomi ini secara kritis. Akan tetapi, hukum legal di Indonesia masih melarang kita secara akademis mempelajari Karl Marx. Amien Rais, yang waktu itu adalah ketua MPR, terlebih dahulu menurunkan Gus Dur, sebelum presiden eksentrik itu sempat mencabut peraturan konyol tersebut.
Dan, terakhir, kita bisa mendekati manusia dari segi bahasanya. Apa yang membedakan manusia dengan vertebrata lainnya, juga dengan segenap makhluk hidup lain di muka bumi ini? Bahasa. Manusia adalah satu-satunya makhluk di muka bumi ini yang menggunakan bahasa (baca: kata-kata) sebagai suatu sistem yang rumit untuk berkomunikasi. Di sana ada huruf, ada fonem, ada kata, ada frasa, ada klausa, ada kalimat, ada paragraf, ada teks, ada gramatika, ada pronounciation, ada dialek, ada majas (misalnya: metafora dan metonimia), kemudian ada wacana, dan sebagainya. Hanya manusia yang memiliki sistem bahasa serumit itu, anjing husky yang makanannya lebih mahal dari makanan kalian itu pun tidak!
Sebelum kita lanjutkan, aku bertanya kepada diriku sendiri, apa alasan aku mengharuskan diriku menulis ini. Baiklah, izinkan aku curcol sedikit di sini. Setelah lulus dari Jurusan Bahasa SMA St. Yosef, sebenarnya aku ingin melanjutkan studi di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, tetapi Mamaku menolaknya (sama seperti ketika Bapakku melarangku sekolah di Santo Yosef dan mengambil Jurusan Bahasa). Oleh karena frustasi (rasanya seperti habis putus dengan pacar), aku memutuskan untuk belajar filsafat-teologi di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma. Di sana aku belajar Alkitab sebagai sebuah karya sastra. Coba, silakan tanya kepada Pak Andreas Heri tentang Sastra Kebijaksanaan Israel. Aku pun berkenalan secara akademis dengan beberapa nama yang aku sebutkan di atas. Dan, dari empat tahun studiku di fakultas tersebut, tebak apa yang aku dapatkan? Bahasa dan sastra. Aku mendapatkan “seperangkat alat” untuk kembali menulis puisi dan cerpen! Kemudian, aku melanjutkan studi di Ilmu Religi dan Budaya pada universitas yang sama. Coba tebak apa yang kudapatkan? Lagi-lagi bahasa dan sastra!!! (Aku mendapatkan “alat” untuk menulis status facebook dan ngetweet, hehehe... .) Bahasa itu sebegitu penting di dalam hidup kita. Kita senantiasa memakainya di dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, justru karena kita terbiasa memakai bahasa di dalam keseharian kita, kita justru begitu meremehkannya. Padahal, tanpa kita sadari, dari bahasa, kita bisa menelusuri cara berpikir, ideologi, kedalaman batin, bahkan kepribadian seseorang. Ingat Vicky Prasetyo? Selain itu, juga tanpa kita sadari, struktur masyarakat kita pun dibentuk oleh struktur bahasa, demikian juga sebaliknya. Kalian yang beretnis Jawa pasti sangat mengenal sistem Basa Jawa dengan Ngoko, Krama, dan Krama Inggilnya. Tahukah kalian bahwa sistem bahasa yang seperti itu dipakai untuk melanggengkan sistem feodalisme kraton? Seniman-seniman Jawa Banyumasan dan Jawa Timuran kerap kali membangkang dari struktur ini. Dan, lebih dari pada itu, Lacan pernah berkata bahwa ketidaksadaran kita pun terstruktur seperti halnya bahasa.
Beberapa tahun kuliah di Universitas Sanata Dharma, aku bertemu dengan beberapa alumni SMA St. Yosef. Beberapa di antara mereka adalah adik kelasku dulu. Malah, kini aku sekelas dengan seseorang, yang dulu merupakan kakak kelas ketika sekolah di SMA St. Yosef. Di dalam perjumpaan itu aku terkejut. Kebanyakan dari mereka memilih fakultas yang sangat berkaitan erat dengan bahasa: Sastra Inggris dan Pendidikan Bahasa Inggris. Padahal, sewaktu mereka SMA, mereka adalah siswa-siswi Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial! Hampir tidak ada dari mereka yang sebelumnya studi di Jurusan Bahasa. Ada apakah gerangan? Mengapa mereka dengan mudah mengganti rumus-rumus matematika, fisika, dan kimia yang dengan mati-matian mereka pahami bertahun-tahun itu dengan rumus-rumus grammar and structure? Jawaban yang mereka utarakan sungguh membuatku ingin menangis! Beberapa di antara mereka berkata bahwa mereka tidak berani melawan orang tua yang berpandangan bahwa menjadi siswa/i di Jurusan Pengetahuan Alam itu jauh lebih bergengsi. Beberapa lagi berkata bahwa pada saat itu, kuota siswa tidak mencukupi, sehingga Jurusan Bahasa terpaksa harus ditiadakan. (Aku bersyukur mendengar kabar dari Pak Tri bahwa pada tahun ini Bruder Kepala Sekolah dengan berani tetap membuka Jurusan Bahasa walau hanya dengan 12 orang siswa/i saja. Ini sungguh langkah maju yang patut disyukuri dengan kegirangan yang sangat.) Sedangkan, sisanya bercerita bahwa pada saat itu mereka masih belum menyadari dan memahami passion hidup mereka.
Menyadari dan memahami passion hidup memang bukanlah hal yang mudah. Butuh bertahun-tahun proses memang. Kalian yang masih sangat remaja ini masih memiliki kesempatan yang sangat banyak (terkecuali jika besok Tuhan memanggil kalian, itu lain cerita). Sedangkan untuk persoalan kuota siswa/i, kalian tidak perlu khawatir lagi. Bruder Kepala Sekolah kalian itu sepertinya cukup berani melawan arus mainstream. Just do it! Nah... yang jadi masalah adalah bagaimana jika orang tua kalian tidak menyetujui panggilan hidup kalian untuk belajar di Jurusan Bahasa. Tentu aku tidak akan mengajari kalian menjadi anak-anak durhaka yang berani membangkang orang tua. Tidak! Yang perlu kalian lakukan adalah menjelaskan kepada mereka tentang faedah belajar bahasa. Lalu, apa faedah kita belajar bahasa?
Dengan belajar bahasa, kalian memiliki “alat-alat” untuk bersuara. Dengan belajar bahasa, kalian bisa berekspresi, membuat puisi, cerpen, novel, naskah drama. Dengan belajar bahasa, kalian bisa memahami diri kalian sendiri sebagai manusia; kalian bisa membahasakan diri kalian sendiri. Kalian tahu bahwa perasaan konyol bertemu si dia itu bernama cinta, justru karena kalian belajar kata-kata, sehingga kalian yakin bagaimana harus menamai perasaan konyol bertemu si dia tersebut. Kalian bisa berkata bahwa “cinta tak harus memiliki adalah ungkapan seorang yang kalah” justru karena kalian belajar bahasa sehingga memiliki perangkat untuk membahasakannya. Kalian bisa membahasakan perasaan-perasaan yang tak terkatakan, sehingga kalian bisa lebih mengenal diri kalian sendiri. Setelah itu, kalian pun memiliki “alat-alat” untuk membahasakan keadaan-keadaan sosial-masyarakat kalian. Tentang remaja cowok yang sok ingin menjadi lelaki, sehingga dia berpikir bahwa dengan merokok dia telah menjadi lelaki, misalnya. Atau, tentang remaja cewek yang, meskipun cantik jelita, tetapi membuang bungkus permen sembarangan. Dari yang sederhana itu dulu, sebelum akhirnya kalian memiliki cukup “alat” untuk menyuarakan kaum marjinal, rasisme, seksisme, korupsi, nasionalisme, historisitas bangsa Indonesia, kelas-kelas sosial, ketimpangan sosial, intoleransi beragama, dan sebagainya. Katakanlah kepada orang tua kalian, tugas kalian adalah belajar, sesuai dengan panggilan Tuhan, sehingga kalian mampu menyuarakan yang tak terkatakan. Bagaimana jika itu semua hanyalah sebuah wacana? Mungkin kalian masih sangat kecil ketika peristiwa pergerakan mahasiswa 1998 yang menggulingkan Soeharto, presiden fasis itu. Ketahuilah, gerakan mahasiswa yang dahsyat itu bermula dari wacana. Wacana itu dari apa? Para mahasiswa itu secara legal dilarang membaca Karl Marx, bukan? Wacana itu berasal dari sastra... ya... sastra. Bahasa. Mereka membaca Pramoedya Ananta Toer! Mungkin saat ini kalian bisa dengan mudah mendapatkan karya Pram, tetapi pada waktu itu, membaca karya Pram itu dilarang! Sebuah gerakan itu bermula dari wacana. Wacana itu ada jika ada yang membahasakan. Hanya orang yang memiliki “perangkat bicara” sajalah yang dapat membahasakan itu semua. Maka, jangan ragu untuk mempelajari “perangkat bicara” tersebut.
Kowe ngapa meh mlebu Jurusan Bahasa Santo Yosef? Meh dadi iwak?” kata bapakku suatu waktu dulu. Maksudnya adalah, jika aku masuk Jurusan Bahasa Santo Yosef, kelak aku akan bekerja sebagai apa? Pertanyaan itu pasti menghantui pula benak orang tua kalian. Aku punya teman. Dia dulu sekelas denganku di Jurusan Bahasa. Oleh karena alasan ekonomi, dia tidak mampu melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Dia harus bekerja. Dia kini mengendarai truk. Dia bercerita kepadaku bahwa dia bersyukur bisa mempelajari sastra ketika sekolah di Jurusan Bahasa SMA St. Yosef, sebab dia bukan sekadar sopir truk pada umumnya, melainkan sopir truk yang memiliki horizon berpikir yang luas.
Non scholae sed vitae discimus. Kita belajar bukan demi nilai, tetapi demi kehidupan! Kalian masih muda. Belajarlah sungguh-sungguh. Jangan takut jika memang passion kalian adalah Bahasa. Juga bagi kalian yang (terlanjur) belajar di Jurusan Pengetahuan Alam dan Sosial, belajarlah baik-baik. Kalian sekolah bukan semata agar kelak mendapatkan pekerjaan yang layak. Bukan sekadar itu! Kalian belajar justru untuk membebaskan kemanusiaan kalian; kalian belajar untuk memperluas cakrawala berpikir kalian! Jangan pernah menjadi burung beo yang hanya mengulang-ulang hafalan tanpa tahu maknanya. Tugas kita sebagai akademisi pada dasawarsa kedua pascareformasi ini adalah mempelajari “perangkat bicara”, kemudian dengan berani menyuarakan yang tak tersuarakan. Kita perlu menarasikan ulang diri kita dahulu setelah 32 tahun hidup di dalam ilusi. (Aku tidak berharap kalian bisa memahami kalimat terakhir ini segera setelah kalian membacanya. Akan tetapi, aku yakin, empat-tujuh tahun setelah ini kalian akan paham.)
Akhir kata, selamat belajar (membacalah!!!). Selamat membahasakan hidup. Jika kalian ingin bertanya tentang satu-dua hal berkaitan dengan tulisan ini, silakan kirimkan email ke padmo.adi@facebook.com atau langsung saja mention @KalongGedhe. Dan, kalau kalian sedang iseng, boleh juga mampir ke www.sarang-kalong.blogspot.com. Sampai jumpa.

Salam hangat,

Padmo Adi

Comments

  1. Sampai jumpa di rekoleksi tesis berikutnya, Mo. Hihihi...

    ReplyDelete

Post a Comment