Menganalisa
Tulisan “Proses Kreatif Saya” W.S.
Rendra
oleh:
Yohanes Padmo Adi Nugroho (136322009)
Pengantar
- Rangkuman Tulisan Rendra, Proses
Kreatif Saya
Saya
menggunakan tulisan W.S. Rendra berjudul Proses
Kreatif Saya yang dimuat di buku Dua
Puluh Sastrawan Bicara. Di dalam tulisan tersebut, Rendra menuliskan
pergulatan rohaninya di dalam menulis puisi. Bisa dikatakan, tulisan ini adalah
pengantar Rendra untuk menyelami karya-karya puisinya, tulisan ini adalah behind the scene-nya puisi-puisi Rendra.
Dalam
tulisan tersebut Rendra menerangkan perjalanannya bereksperimen dengan “bentuk
seni” untuk menampung “isi seni”-nya. “Bentuk seni” yang Rendra temui, sejauh
yang ditulisnya di dalam tulisan ini, adalah bentuk sajak angkatan 45 yang
liris-ekspresif atau realistis-ekspresif dan seni yang terlibat a la Lekra
yang mutlak dan didikte oleh keputusan-keputusan sentral partai.
Akan tetapi, semua bentuk yang melingkungi Rendra pada saat itu dirasa tidak
mampu menampung “isi rohani” yang bergejolak di dalam batinnya.
Alih-alih
mengikuti kecenderungan liris-ekspresif a
la Chairil Anwar, Rendra membiarkan dirinya hanyut di dalam apa yang
disebutnya keadaan stoned, di mana
rohani dan pikirannya melebur dengan alam, sehingga dia melahirkan bentuk sajak
seperti yang ada pada kumpulan sajak Ballada
Orang Tercinta, Nyanyian dari Jalanan, Sajak-sajak Dua Belas Perak, dan Malam Stanza.
Rendra
bahkan bersikap reaktif terhadap pandangan-pandangan mutlak yang mengharuskan
seni untuk terlibat di dalam masalah sosial-politik.
Keadaan rohaninya yang masih asyik stoned
membuatnya menolak untuk didikte oleh politik. Lagi pula, Rendra merasa bahwa
pengetahuannya dalam bidang ilmu politik, sosial, dan ekonomi masih minim
sekali, sehingga dia merasa tidak memiliki perangkat berbicara yang bisa
membuatnya menghayati masalah-masalah sosial-politik-ekonomi tersebut secara
tuntas. Meskipun begitu, dia tidak pernah anti kepada seni yang “terlibat”.
Baru
setelah dia belajar ilmu-ilmu sosial, politik, ekonomi di Amerika selama 3,5
tahun, dia merasa telah memiliki perangkat berbicara. Walau demikian, tidak
mudah bagi Rendra untuk menyeberang dari alam stoned ke alam common-sense.
Rendra mengalami ketegangan kreatif yang sangat. Dia merasa bahwa “bentuk seni”
yang bernuansa mistis, penuh misteri, dan memakai metafora surealis seperti
yang ada pada sajak-sajaknya terdahulu, seperti Khotbah dan Nyanyian Angsa
itu, tidak lagi mampu menampung “isi rohani” Rendra yang mulai terlibat di
dalam perkara-perkara sosial-politik-ekonomi tersebut.
Ketegangan itu tidak main-main. Rendra harus memilih antara tetap
mempertahankan “bentuk seni” lamanya itu atau harus rela melepaskannya dan
mencari bentuk yang baru supaya “isi rohaninya” tersebut dapat tertampung.
Akhirnya, dia memilih untuk mengikhlaskan seluruh pesona misteri dan ambiguitas
yang menjadi kekuatan Nyanyian Angsa
dan Khotbah. Metafora surealis itu
Rendra ganti dengan “struktur sajak yang mengandung skema dan metafora yang
mempunyai kekuatan grafis”.
Analisa
Psikoanalitis atas Tulisan Rendra Tersebut di Atas
Tentulah
saya selalu membutuhkan graf
di atas untuk berbicara suatu hal yang berkaitan dengan psikoanalisa
(lacanian), terlebih lagi ketika saya harus menganalisa suatu hal tersebut.
Keadaan Rendra yang dituliskannya tersebut di atas sangat menarik, sebab dia
tidak hanya sekali mengalami histeria, tetapi bahkan berkali-kali. Bahkan, di
dalam tulisannya itu, kita bisa melihat setidaknya dia mengalami tiga kali
histeria.
Ketika
Rendra remaja, rohani dan pikirannya asyik melebur ke dalam alam.
Pada saat-saat itu dia mengalami apa yang disebutnya sebagai keadaan trance atau stoned. Keadaan ini adalah keadaan di mana Rendra mengalami apa
yang disebut sebagai suatu persatuan primordial. Inilah fase cermin dalam
proses kepenyairan Rendra.
Apa yang menjadi cermin / i(o)
Rendra? Peleburannya ke dalam alam itulah cermin Rendra. Kemudian, dikatakannya
bahwa pada saat itu dia senang sekali menonton wayang kulit, mendalami
suluk-suluk sang Dalang, dan juga dekat kepada teknik dan bentuk tembang
dolanan anak-anak Jawa yang penuh dengan imajinasi orang yang sedang stoned atau in trance. Wayang kulit, suluk Dalang,
dan tembang dolanan Jawa inilah Wacana
Tuan (Nama Bapa) Rendra. Dia mengamati,
memeluk, menyetubuhi, dan menghayati
alam di luar dan alam di dalam dirinya. Dia pun menemukan ego-nya. Dia harus bersajak! Dan, Rendra bersajak dengan gaya
seorang Dalang menggelar sebuah lakon.
Rendra
pun disapa/diinterpelasi oleh Liyan (O) sehingga dia dapat berbicara/bersajak.
Siapakah Liyan yang dominan pada saat itu? Rendra mengatakan bahwa “bentuk
seni” yang dominan dan juga dia kagumi
adalah gaya Angkatan 45 yang liris-ekspresif atau realistis-ekspresif. Jadi, treasure of signifier (lumbung penanda)
yang disediakan oleh Liyan pada saat itu adalah gaya Angkatan 45. Akan tetapi,
Rendra mengalami misrecognition
ketika membawa ego-nya ke masyarakat
dengan lumbung penanda yang disediakan oleh Liyan tersebut. Rendra
ingin bersajak (afirmasi atas ego),
tetapi “bentuk seni” yang disediakan masyarakat tidak mampu menampungnya
(negasi atas afirmasi tersebut di atas). Rendra mengalami alienasi, dia menjadi
subject lack. “Bentuk seni” yang
disediakan oleh Liyan (Angkatan 45) tidak bisa dipakai untuk membahasakan
keadaan stoned-nya secara paripurna.
Liyan (Agkatan 45) dengan gaya bersajaknya itu Rendra dapati sebagai Liyan yang
juga lack.
Keadaan
stoned-nya itulah desire-nya. Desire-nya ini membawa Rendra kembali kepada keadaan
kebertubuhannya ($<>D). Dia meditasi. Dia membiarkan dirinya terlena di
dalam keadaan stoned-nya tersebut. Rendra
mempertimbangkan master of signifier
/ S(Ø) / Wacana Tuannya. Rendra
menemukan bahwa Liyan pun juga lack. Keadaan
ini harus dikastrasi, dia harus bersajak! Tapi dengan “bentuk seni” yang
bagaimana? Rendra kemudian menjadi Subyek Lack
yang dengan putus asa mencari Obyek yang hilang ($<>a).
Keadaan stoned-nya itu, desire-nya itu, membuat Rendra
berfantasi, terus mencari cara agar dapat menemukan a kecil (lost object),
sehingga akhirnya dia menemukan metafora baru, dia menemukan “bentuk seni”
baru, yang berbeda dengan gaya Angkatan 45, seperti yang ada di dalam kumpulan
sajak Ballada Orang-orang Tercinta,
Nyanyian dari Jalanan, Sajak-sajak Dua Belas Perak, dan Malam Stanza. Fantasi Rendra adalah
bahwa dia ingin dapat membahasakan (menyajakkan) keadaan stoned masa remajanya itu.
Agar
kita dapat membandingkan sajak Rendra dengan sajak Angkatan 45, pada paper ini
akan saya hadirkan sajak Rendra berjudul Ballada
Terbunuhnya Atmo Karpo dan sajak legendaris penyair yang menjadi ikon
Angkatan 45, Chairil Anwar, berjudul Aku.
Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo
W.S. Rendra
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut
burni
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya
di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut penunggang
perampok yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun
telanjang.
Segenap warga desa mengepung hutan itu
dalam satu pusaran pulang-balik Atmo
Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang
malang
berpancaran bunga api, anak panah di
bahu kiri.
Satu demi satu yang maju tersadap
darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki
muka.
- Nyawamu barang pasar, hai orang-orang
bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh
orang papa.
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang
kukandung dosa
Anak panah empat arah dan musuh tiga
silang
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh
liang.
- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Bedah perutnya tapi masih setan ia
menggertak kuda, di tiap ayun menungging
kepala.
- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Berberita ringkik kuda muncullah Joko
Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda
hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang
tiba.
Pada langkah pertama keduanya sama baja
pada langkah ke tiga rubuhlah Atmo Karpo
panas luka-luka, terbuka daging
kelopak-kelopak angsoka
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh
luka
pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah.
Joko Pandan menegak, menjilat darah di
pedang
la telah membunuh
bapanya.
Aku
Chairil Anwar
Kalau sampai
waktuku
‘Ku mau tak
seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu
sedan itu
Aku ini binatang
jalang
Dari kumpulannya
terbuang
Biar peluru
menembus kulitku
Aku tetap
meradang menerjang
Luka dan bisa
kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang
pedih peri
Dan aku akan
lebih tidak perduli
Aku mau hidup
seribu tahun lagi
Maret 1943
Berbeda
dengan sajak Aku Chairil Anwar yang
ekspresif,
Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo Rendra
tersebut di atas dekat sekali dengan bentuk yang ditontonnya, dan yang pertama
kali menginterpelasinya, sewaktu remaja, yaitu wayang kulit, suluk dalang, dll.
Dengan puisi, Rendra ingin menarasikan suatu cerita/kisah/lakon, mirip seperti
para pujangga Mataram yang mengisahkan suatu cerita dengan bentuk Tembang
Macapat. Bentuk puisi semacam Ballada
Terbunuhnya Atmo Karpo itu adalah cara Rendra menarasikan Nama Bapanya.
Akan
tetapi, perjalanan rohani (kalau boleh saya katakan demikian) Rendra belum
selesai. Pada era Lekra, kesenian (juga termasuk puisi) mutlak harus terlibat
di dalam masalah sosial-politik. “Politik adalah panglima” demikianlah
jargonnya. Rendra sebenarnya tidak anti kepada seni yang terlibat. Yang
dipermasalahkan Rendra adalah pemutlakkan
yang dilakukan Lekra, bahwa seni harus, tidak boleh tidak, terlibat! Bagaimana
mungkin Rendra bisa terlibat ketika rohaninya masih dalam keadaan stoned dan dia pun belum juga mampu
menguasai alat-alat bicaranya (ilmu sosial, politik, dan ekonomi)? Rendra
kembali menjadi subyek lack ($), Rendra
kembali teralienasi. Pada era itu Rendra tidak pernah sampai pada apa yang
dimutlakkan oleh para seniman Lekra. “Jadi paling banter sentuhan saya dengan
masalah-masalah tersebut (sosial-politik-ekonomi) hanya mendorong saya untuk
melakukan introspeksi sebagai langkah pertama saya (bold dari saya) untuk melihat letak diri
saya dalam peradaban sehari-hari,” kata Rendra.
Untuk
dapat lebih memahaminya, saya hadirkan salah satu puisi Rendra pada era itu
yang ada pada Sajak-sajak Sepatu Tua
dan sebuah sajak dari salah satu pendiri Lekra.
Moranbong,
Pyongyang
W.S. Rendra
Aku akan tidur
di rumputan
di tepi kolam.
Sementara undan
dan belibis
berenangan.
Lihatlah, aku
berdosa.
Aku akan tidur
di bawah pohon
liu
yang rindang.
Dalam waktu yang
mewah
tapi hampa
aku berjalan
dalam taman
mengintip
pasangan bersembunyi
di dalam hutan.
Sambil makan
jagung bakar
dan apel Korea
mendengarkan
lagu rakyat
dinyanyikan
orang.
Kantongkupun
penuh dosa.
Lalu kupilihlah
tempat ini
tempat tidurku
di rumputan
dekat tembok
pagar yang tua
memandang kuil beratap
merah
dan angin lewat
untuk pergi ke
lembah yang jauh.
Mencuri dosa.
Aku akan tidur
di tepi kolam
di bawah pohon
liu
yang rindang.
Aku payah oleh
dosa.
Catatan Peking
Njoto
Awas gelisah
lari-berlari mengandung mendung
tiba-tiba
matahari menyala tidak semena-mena
hari ini bulan sepuluh
tanggal satu
tahun datang kali sepuluh
Tiongkok Rakyat sudah negara kelas Saturday
Alangkah hebat
dihati alangkah dekat!
kaum tani mengolah besi
kaum buruh disawah berpeluh
bajak dan baja tukar-bertukar
mahasiswa pada pekerja
kaum pekerja menjadi siswa
berjuta milisia angkut senjata
siapa berani serang Sosialisme?
Di Tien An Men gadis-gadis berbaris
pipinya merahmerah
citacitanya merah-merah
pionirpionir pipinya seperti tomat
tekadnya ketatketat
dan bungabunga masih ketawa, biar musimrontok
menyalami buruh tani pemuda yang montokmontok
dan tiga angkatan yang bersenjata
siap revans -- kalau perlu -- lawan Amerika
Ah, haru ini begini seru
menyelam dalamdalam
kesandi hati --
haru dunia baru
manusia baru
Tiongkok Baru mengubah wajah Asia
Tiongkok Baru mengubah wajah dunia
langit pagi memerah sudah
dan magrib siap
menelan kapitalisme mentahmentah
Siapa itu.
ditanahair masih kepalabatu?
kelam malam
juga tersedia buat mereka-!
Peking, Yenan 6.10.59
Meskipun
sama-sama dibuat di Tiongkok, meskipun sama-sama memandang realita yang sama,
karena Nama Bapa Rendra berbeda, dan dia belum menguasai treasure of signifier yang dimutlakkan oleh Lekra, Rendra hanya
mampu berlitani “aku berdosa... aku payah oleh dosa”.
Sebenarnya
Rendra sudah berhasrat untuk terlibat di dalam masalah-masalah
sosial-politik-ekonomi.
Namun, dia harus menguasai dulu alat bicaranya, ilmu sosial-politik-ekonomi. Di
dalam proses tersebut, Rendra mengalami ketegangan yang luar biasa. Nama
Bapa/Wacana Tuannya tidak lagi bisa dia pakai untuk menata penanda-penanda yang
disediakan oleh perjumpaannya dengan Liyan. Rendra sekali lagi terbelah. Rendra
sebagai ($<>a), subyek lack
yang dengan putus asa mencari lost object,
ingin menjadi seorang penyair yang “terlibat”, tetapi sekaligus juga terlibat
dengan “bentuk seni” yang bermutu, tidak seperti mayoritas sajak-sajak Lekra
yang kering (karena hanya berisi jargon-jargon “ganyang Kapitalisme” yang
senantiasa diulang-ulang). Fantasi Rendra adalah menjadi subyek politik
(seniman) yang, meskipun tidak ikut berkuasa, sah dan wajar kalau menyuarakan
hasrat dan pendapat mengenai keadilan sosial, ekonomi, dan politik di dalam
karyanya.
Wacana Tuan Rendra berubah menjadi Wacana Histeria. Wacana Histeria Rendra pun
berubah menjadi Wanaca Analitik, Rendra menganalisa keadaannya sendiri. Jika
Rendra hendak mengikuti fantasi/($<>a)-nya, dia harus meninggalkan
“bentuk seni” lamanya yang penuh dengan nuansa mistis dan ambiguitas. Rendra
membutuhkan sarana (bahasa) yang konkret dan lugas untuk dapat menarasikan
hasratnya tersebut. Rendra pun menemukan metafora baru, metafora yang mempunyai kekuatan grafis.
Lahirlah sajak-sajak pamflet Rendra.
Inilah
salah satu contoh dari sajak pamflet Rendra.
Sajak Anak Muda
W.S. Rendra
Kita adalah angkatan
gagap
yang diperanakkan oleh angkatan takabur.
Kita kurang pendidikan resmi
di dalam hal keadilan,
karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum
Kita melihat kabur pribadi orang,
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.
Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
karena tidak diajar filsafat atau logika.
Apakah kita tidak dimaksud
untuk mengerti itu semua ?
Apakah kita hanya dipersiapkan
untuk menjadi alat saja ?
inilah gambaran rata-rata
pemuda tamatan SLA,
pemuda menjelang dewasa.
Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.
Bukan pertukaran pikiran.
Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
dan bukan ilmu latihan menguraikan.
Dasar keadilan di dalam pergaulan,
serta pengetahuan akan kelakuan manusia,
sebagai kelompok atau sebagai pribadi,
tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.
Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.
Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,
tidak bisa kita hubung-hubungkan.
Kita marah pada diri sendiri
Kita sebal terhadap masa depan.
Lalu akhirnya,
menikmati masa bodoh dan santai.
Di dalam kegagapan,
kita hanya bisa membeli dan memakai
tanpa bisa mencipta.
Kita tidak bisa memimpin,
tetapi hanya bisa berkuasa,
persis seperti bapak-bapak kita.
Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.
Di sana anak-anak memang disiapkan
Untuk menjadi alat dari industri.
Dan industri mereka berjalan tanpa berhenti.
Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa ?
Kita hanya menjadi alat birokrasi !
Dan birokrasi menjadi berlebihan
tanpa kegunaan -
menjadi benalu di dahan.
Gelap. Pandanganku gelap.
Pendidikan tidak memberi pencerahan.
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan
Gelap. Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam pengangguran.
Apakah yang terjadi di sekitarku ini ?
Karena tidak bisa kita tafsirkan,
lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.
Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini ?
Apakah ini ? Apakah ini ?
Ah, di dalam kemabukan,
wajah berdarah
akan terlihat sebagai bulan.
Mengapa harus kita terima hidup begini ?
Seseorang berhak diberi ijazah dokter,
dianggap sebagai orang terpelajar,
tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.
Dan bila ada ada tirani merajalela,
ia diam tidak bicara,
kerjanya cuma menyuntik saja.
Bagaimana ? Apakah kita akan terus diam saja.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
dianggap sebagi bendera-bendera upacara,
sementara hukum dikhianati berulang kali.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
dianggap bunga plastik,
sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.
Kita berada di dalam pusaran tatawarna
yang ajaib dan tidak terbaca.
Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.
Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.
Dan bila luput,
kita memukul dan mencakar
ke arah udara
Kita adalah angkatan gagap.
Yang diperanakan oleh angkatan kurangajar.
Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
Kita adalah angkatan yang berbahaya.
Pejambon,
Jakarta, 23 Juni 1977
Ketika saya mencoba membandingkan metafora yang dipakai Rendra
di dalam Sajak Anak Muda ini dengan Moranbong, Pyongyang, dan dengan Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo, saya
menemukan metafora yang sangat lain. Di dalam Moranbong, Pyongyang dan di dalam Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo, metafora yang dipakai membawa kita
berkhayal mengenai kisah, yaitu kisah seorang muda yang justru merasa berdosa
di tengah realita yang dihadapinya dan kisah epik pertempuran sengit semacam
kisah wayang Mahabarata antara ayah dan anak lelakinya. Sedangkan di dalam Sajak Anak Muda, metafora yang kita
temui adalah gugatan-gugatan. Kepala kita seakan-akan dihantamkan kepada
realita yang dihadapi. Rendra tidak lagi memposisikan diri sebagai “seseorang
yang berdosa oleh karena suatu realita” (moralistis), tetapi sebagai “orang
yang berorasi menggugat realita yang ada” (struktural). Ketika saya
membandingkan dengan sajak Njoto di atas, sajak Rendra dapat dikatakan jauh
lebih menggelegar; tidak semata-mata mengulang-ulang jargon “lawan Amerika”, sajak
Rendra dengan berani mengkritik pemerintahan Orde Baru yang otoriter itu dan
yang kurang lebih telah sepuluh tahun berkuasa.
Penutup
- Membaca Rendra
Membaca
puisi-puisi Rendra muda (yang salah satunya berbentuk balada) tersebut, kita
bisa menjadi subyek mistis, sebab kita senantiasa diajak oleh Rendra untuk
kembali ke alam kebatinan kita, kita selalu diajak untuk bersama-sama dengannya
memasuki keadaan stoned di mana kita
mengalami, meminjam istilah Rendra, “kesadaran alam”. Kita diajak untuk menjadi
pribadi yang meditatif, tenang merenungkan. Pada sajak-sajak semacam ini Rendra
muda memakai metafora surealis.
Membaca Proses Kreatif Saya, kita dibantu untuk
memahami puisi-puisi Rendra tua (yang mayoritas berbentuk sajak pamflet),
sehingga ketika kita membaca sajak-sajak pamflet tersebut, kita tidak sekadar
terbakar amarah kita oleh kekecewaan (berputar-putar di ‘yang simbolik’), kita
diantarkan untuk menjadi subyek politis yang secara sadar, walau tidak ikut
berkuasa, turut serta menyuarakan hasrat dan pendapat mengenai keadilan sosial,
ekonomi, dan politik. Kita diantarkan untuk menyadari ketimpangan
sosial-politik-ekonomi secara struktural, menggugatnya, dan melampauinya
(mengubahnya). Pada sajak-sajak pamflet Rendra memakai bahasa yang konkret dan
lugas.
Bibliografi
Boucher, Geoff, The Charmed Circle of Ideology, A Critique
of Laclau & Mouffe, Butler & Zizek, Melbourne: Re.Press, 2008
DKJ, Dua Puluh Sastrawan Bicara, Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan, 1984
Stavrakakis, Yannis,
Lacan and the Political, London and
New York.: Routledge, 1999
Verhaeghe, Paul, From Impossibility to Inability, Lon’s
Theory on the Four Discourses
Comments
Post a Comment