MENJADI
LELAKI
Pergulatan
Batin Lelaki dalam Menjadi Lelaki di tengah Kebudayaan Jawa
oleh:
Yohanes Padmo Adi Nugroho (136322009)
Pengantar
Pada
awalnya saya ingin menulis paper mengenai iklan BKKBN di Stasiun Tugu
Yogyakarta. Iklan tersebut menganjurkan usia ideal menikah, lelaki 25 tahun
sedangkan perempuan 21 tahun. Iklan tersebut disertai pula gambar sepasang
muda-mudi tengah sama-sama membawa tulisan “sekolah-kerja-nikah”.
|
dokumen pribadi |
Pada
awalnya saya tergelitik dengan jargon “sekolah-kerja-nikah” tersebut. Imaji
hidup normal yang dipropagandakan pemerintah adalah sangat sederhana, yaitu “sekolah lalu kerja lalu nikah”. Maka, orang yang
selibat seperti Frater Alexander Koko, SJ itu bukanlah orang yang “normal”
menurut kaca mata iklan tersebut. Selain itu, apakah yang dimaksud dengan
“kerja” di sana? Apakah bertani, berdagang di pasar tradisional, atau menjadi
seorang seniman (pelukis misalnya) itu termasuk di dalam paradigma “kerja” yang
ada di dalam iklan tersebut? Atau, “kerja” yang ada di sana masih berhubungan
dengan “sekolah”, yang berarti mengharuskan memiliki ijazah, dan yang berarti
pula “kerja” sebagai seorang karyawan (baca: buruh) pada suatu perusahaan?
Ketika
saya tengah mengamati dan merenungkan foto di atas, perhatian saya kemudian
bergeser pada jargon “lelaki min 25 tahun” dan “perempuan min 21 tahun”.
Mengapa harus berbeda empat tahun? Mengapa lelaki harus lebih tua empat tahun?
Jadi, ideal menikah itu adalah yang lelaki lebih tua empat tahun dari yang
perempuan? Saya kemudian berandai-andai. Katakanlah benar ada seorang lelaki,
sebut saja Joko, menjalani hidup normal
seperti yang diiklankan itu. Katakanlah dia lulus SMA pada usia 17 tahun,
kemudian kuliah S1 selama delapan semester. Maka, dia akan lulus pada usia 21
tahun. Jadi, dia harus bekerja dulu selama empat tahun sehingga pada usia 25
tahun dia bisa menikah.
Akan
tetapi, hal yang berbeda terjadi pada seorang perempuan, katakanlah namanya
Wati. Misalnya saja si Wati ini teman sekelas Joko di SMA. Dia juga lulus SMA
pada usia 17 tahun dan kuliah selama delapan semester. Tentu dia akan lulus
pada usia 21 tahun. Belum juga dia sempat bekerja, dia sudah bisa menikah!
Apakah ada perandaian bahwa Wati akan menikahi seorang lelaki yang lebih tua
empat tahun dari padanya (yang kini berusia 25 tahun dan sudah bekerja (mapan?)
selama 4 tahun)?
Pertanyaan-pertanyaan
itu mengantarkan saya pada pertanyaan tentang posisi lelaki dan imaji tentang
menjadi lelaki. Saya kemudian curhat
kepada Noel Kurniawan. Kami mendapati hal yang sama, bahwa posisi lelaki itu
dilematis. Satu sisi dia dituntut untuk menjadi
lelaki dengan harus bekerja kurang lebih empat tahun lebih lama (baca:
lebih mapan) dari istrinya. Sedangkan di sisi lain, terutama di luar negeri,
banyak kritik dari para feminis tentang menjadi
lelaki ini. Hal ini terus terang menggelisahkan saya, bahkan sampai-sampai
membikin saya susah tidur selama beberapa hari pada hari-hari terakhir
perkuliahan semester gasal ini. Posisi dilematis lelaki adalah menjadi
benar-benar lelaki dianggap negatif oleh para feminis barat tersebut, tidak
menjadi lelaki malah ditinggalkan kekasih hati. Akhirnya, saya memutuskan untuk
membuat paper tentang hal ini, tentang “Menjadi Lelaki”.
Dalam
paper ini saya hanya mengikuti alur utama, yaitu tentang “Menjadi Lelaki”. Saya
membebaskan diri untuk bertanya dan merenung tentang itu tanpa harus merasa
terikat dengan propaganda imaji (lelaki) ideal BKKBN tersebut di atas. Walaupun
iklan itu merupakan trigger, paper
ini tidak akan berakhir dengan sekadar mengkritisi iklan tersebut. Tujuan utama
dari paper ini adalah menarasikan ulang tentang “Menjadi Lelaki”, terutama
lelaki yang hidup di dalam nuansa kultur Jawa yang kental.
Wawancara
dengan Beberapa Orang - Imaji Lelaki yang Dihidupi oleh Orang Yogyakarta dan
Surakarta (Indonesia)
Saya
pribadi memiliki imaji tentang bagaimana menjadi seorang lelaki. Akan tetapi,
kemudian imaji saya tersebut menjadi salah satu yang saya pertanyakan. Maka,
saya pun mulai mengadakan wawancara dengan sepuluh orang lelaki dan sepuluh
orang perempuan. Pada umumnya, latar belakang mereka adalah orang yang hidup,
tinggal, atau sekadar lahir dan besar di Yogyakarta dan Surakarta, serta
pernah/tengah mengenyam pendidikan tinggi (kuliah). Tentu kita bisa berasumsi
bahwa mereka memiliki latar belakang budaya Jawa yang kental sekaligus memiliki
horizon berpikir yang cukup luas. Kepada mereka saya hanya mengajukan tiga
pertanyaan sederhana: imaji lelaki ideal yang mereka hidupi/harapkan, realita
lelaki yang ternyata mereka hidupi/temui/cintai, dan reaksi/posisi mereka
menghadapi dua kutub tersebut. Dua perempuan yang saya wawancarai sangat
spesial bagi saya. Perempuan yang satu adalah kekasih saya sendiri. Perempuan
yang lain pernah menjadi aktor yang memerankan tokoh utama seorang lelaki dalam
sebuah pementasan yang saya sutradarai. Kepada perempuan yang pernah menjadi
aktor saya tersebut, saya menanyakan beberapa pertanyaan tambahan, yaitu perihal
proses dia memerankan sosok lelaki.
Dari
kesepuluh lelaki yang saya wawancarai hanya beberapa yang mementingkan/memberi
tekanan pada penampilan fisik. Satu orang ingin memiliki penampilan yang tampan, yaitu lelaki yang rapi dan
bersih. Akan tetapi, sembilan sisanya tidak menyukai imaji tersebut. Sembilan
lelaki yang lain menolak imaji lelaki metroseksual. Ada yang ingin
berpenampilan seperti suku Indian lengkap dengan potongan rambut mohawk dan tato di tubuh. Beberapa
lelaki ingin memiliki rambut gondrong dan wajahnya dipenuhi dengan brewok yang
dibiarkan tumbuh, sama sekali jauh dari imaji tampan tersebut. Kemudian, ketika saya memperdalam pertanyaan
tentang imaji cowok macho, kebanyakan
dari mereka justru merasa jijik. Mereka tidak menyukai imaji tubuh besar dan
kekar a la Ade Rai (body builder). Mereka tidak memiliki
permasalahan dengan tubuh kurus ataupun gemuk. Kalaupun harus kecil (kurus),
itu adalah kecil yang berisi. Imaji macho
yang ada di dalam benak mereka itu bukanlah macho
seperti yang ada di dalam imaji orang-orang Amerika (besar dan kekar),
melainkan macho dalam hal mentalitas.
Mereka lebih menekankan mentalitas yang lelaki. Lelaki lebih dinilai dari
sikapnya, dari pada penampilannya.
Saya
kemudian bertanya lebih jauh tentang tokoh/figure
yang menjadi ideal lelaki bagi mereka. Saya tidak terkejut dengan jawaban
mereka sebab beberapa figure tersebut
juga ada di dalam imaji saya. Muncul nama-nama seperti Yesus, Sidharta Gautama,
Bhisma Dewabrata, Kresna (Wisnu), Batman (bukan Superman!!!),
Iron Man alias Tony Stark (versi Robert Downey Jr.),
Iwan Fals, Joker (musuh Batman), Wolverine (X-Men), Gambit (X-Men), Night
Crawler (X-Men), I Wayan Sadre (seniman musik), dan nama beberapa teman yang
secara fisik memiliki penampilan kurang lebih gondrong dan/atau brewokan
(Sugeng Utomo, Andi Bramara, Tigana “Ibank” Marbun, dan Abram Widi Wibawa). Figure yang hidup di dalam imaji saya
pribadi adalah Yesus (versi The Passion
of Christ), Bhisma Dewabrata (versi novel Antara Kabut dan Tanah Basah),
Jagal Bilawa (Wrekudara sewaktu muda, sewaktu menyamar selama 12 tahun) dan
Bima dalam lakon Dewa Ruci (Wrekudara muda dengan rambut gondrong diore
dan belum digelung oleh Dewa Ruci), Antasena (versi novel Perjalanan Sunyi
Bisma Dewabrata), Batman (versi trilogi The Dark Knight-nya Christopher Nolan),
dan Joker (versi Heath Ledger, trilogi The Dark Knight). Baik saya maupun para
lelaki itu memiliki imaji yang kurang lebih sama. Imaji lelaki dari Amerika dan
dari Indonesia (Jawa) itu bercampur.
Figure
lelaki yang kami imajinasikan adalah lelaki yang nglanangi.
Bukan lanang dalam arti macho secara fisik (besar dan kekar),
sebab figure seperti itu menjijikkan
bagi kami, tetapi lebih ke lanang (maskulin)
yang memiliki mentalitas kuat, tahan banting, berani face to face, bukan seorang pengecut, tidak mlempem (seperti kerupuk kena air), teguh janji (menepati
kata-kata, konsekuen), tidak menye-menye
(mudah galau, cengeng), dan tidak ngondek
(melambai, banci), tetapi juga sekaligus kalem, tidak brangasan (sok jagoan), gentlemen,
dan meneb (sudah mengendap). Jadi,
meskipun itu adalah figure Super Hero
Amerika, yang diidealkan bukan imaji lelaki Amerikanya, melainkan sifat-sifat/watak
yang menjadikan mereka pada akhirnya seorang hero.
Para
perempuan yang saya wawancarai pun kurang lebih memberikan jawaban yang sama.
Jawaban mereka ini sungguh mengejutkan saya. Saya sengaja mewawancarai beberapa
perempuan yang, menurut perspektif saya, tomboi atau yang dapat mandiri secara
finansial. Dari kesepuluh perempuan tersebut saya dapat menarik benang merah
bahwa mereka mendambakan sosok lelaki yang lebih
dari pada mereka sehingga dapat mengayomi dan melindungi, bahkan memimpin.
Mereka mendambakan sosok lelaki yang secara mentalitas lebih dewasa,
kebapakan (memiliki figure seorang
bapak), bisa dijadikan kakak (memiliki figure
seorang kakak), dan bisa diandalkan (sebagai seorang lelaki). Imaji lelaki
ideal yang para perempuan itu dambakan kurang lebih sama dengan imaji lelaki
yang digambarkan oleh lelaki-lelaki tersebut di atas, walaupun tidak semua dari
mereka saling mengenal satu sama lain. Mereka tidak suka lelaki yang sok jagoan
atau brangasan, apa lagi banci.
Mereka mendambakan sosok lelaki yang justru lebih meneb (dewasa) dari pada mereka, lelaki yang sudah menjadi lelaki
(sudah menjadi man, bukan boy).
Kemudian
saya bertanya tentang tokoh yang para perempuan itu idamkan sebagai seorang
lelaki ideal. Bervariasi jawaban mereka, tetapi ternyata juga tak jauh dari
tokoh ideal yang diidamkan para lelaki tersebut di atas. Ada yang menjawab
Wolverine (versi Huge Jackman), perpaduan antara Mas Plango dan Mas Ginting (tenang,
tidak banyak berbicara, dan sekaligus bijaksana serta mau memahami perempuan), para
lelaki di dalam trilogi The Lord of The Ring (gondrong dan brewokan, seperti
tokoh Aragorn atau para Riders of Rohan),
Bung Karno, Aryo Bayu (pemeran Bung Karno dalam film Soekarno), lelaki
berkacamata dan berjambang, Rio
Dewanto, bahkan ada dua yang mengatakan seperti bapaknya.
Saya
memberikan pertanyaan tambahan kepada perempuan yang menjadi aktor saya di
dalam pertunjukan teater Pada Malam yang Itu. Namanya Dyah Ayu Perwitasari.
Wita panggilannya. Di dalam pertunjukan itu dia menjadi tokoh utama yang
memerankan seorang lelaki. Pada Malam yang Itu mengisahkan tentang Lelaki yang
berjuang mencari dan bertemu mimpinya (yaitu Dia yang Tak Pernah Tiba), bahkan
dia rela menanti lama di suatu taman untuk bertemu mimpinya tersebut, setelah
Sang Waktu berhenti semalam demi penantiannya itu. Di dalam penantian itu, dia
bertemu dengan Masa Kecilmu serta
bergulat dengan Kegelisahan. Lelaki yang kelelahan bergulat itu pun toh tetap
membutuhkan penghiburan dari Angin Sepoi-sepoi.
Wita
pun menceritakan prosesnya menjadi
seorang lelaki. Dia kebingungan, lelaki yang bergulat dengan perasaannya itu
seperti apa? Apakah reaksinya sama seperti perempuan? Galau yang lelaki itu
yang seperti apa? Apakah sama dengan galau dia sebagai perempuan? Akhirnya dia
mengamati para lelaki yang ada di sekitar dirinya. Dia pun berkesimpulan bahwa
lelaki dan perempuan itu adalah sama-sama manusia sehingga dapat memiliki
kegalauan yang sama. Yang membedakan adalah reaksi atas kegalauan itu. Dari
pengamatannya, lelaki yang galau itu lebih banyak diam, dan hanya bercerita
kepada orang yang dipercaya saja. Lelaki tidak lebay (berlebihan) dalam mengungkapkan kegalauannya, apa lagi menye-menye (cengeng).
Dari
banyak model lelaki yang dia amati, dia mengambil beberapa unsur kelelakian mereka tersebut, kemudian
dari unsur-unsur yang dipilih itu dia menciptakan sosok Lelaki versinya
sendiri. Wita pun menjadi lelaki versi Wita, ciptaan Wita. Dia mengaku memang mengalami
kesulitan. Meskipun dia tomboi, karakter laki-laki itu lebih dari sekadar
tomboi. Akan tetapi, dari proses tersebut, dia lebih bisa memahami lelaki.
Lelaki menjadi lelaki lebih karena pembawaannya,
wataknya. Yang membuat seseorang menjadi lelaki adalah ketika dia teguh pada
prinsip hidupnya (konsekuen). Akan tetapi, demi kepentingan pertunjukan, dia
tetap harus membentuk gesture yang
lelaki. Dia pun mengambil beberapa contoh gesture
para lelaki yang diamatinya, yang bagi Wita itu adalah gesture yang tegas dan kaku. Dia mengambil stereotype yang dia amati.
Kritik
Michael S. Kimmel atas Maskulinitas (di Amerika)
Michael S. Kimmel merupakan seorang lelaki
kulit putih Amerika yang lahir di New York pada 26 Februari 1951. Dia adalah
seorang sosiolog Amerika dengan spesialisasi pada Kajian Gender. Pada tahun
1999 dia menerima anugerah dari SWS sebagai “Feminist Lecturer”, dan pada tahun 2010 oleh SWS dia dinamai “Feminist Mentor”. Latar
belakangnya adalah dunia Amerika di mana di sana terdapat rasisme, neo-nazisme,
kapitalisme-liberalisme (persaingan bebas), fanatisme beragama (Protestantisme
yang sangat plural) yang acap kali sangat sempit dan mengarah kepada rasisme
dan seksisme serta anti-LGBT, juga kebijakan-kebijakan politik yang konservatif.
Dari latar belakang seperti itulah saya menyarankan kita sebaiknya memahami
kritik Michael S. Kimmel atas maskulinitas.
Di
dalam Feminism & Masculinities, terutama
di dalam bab berjudul Masculinity as
Homophobia: Fear, Shame, and Silence in the Construction of Gender Identity,
Michael S. Kimmel mengutarakan panjang lebar tentang konstruksi sosial dari
gender, dalam hal ini menjadi lelaki, dan kemudian mengkritik konstruksi
tersebut. Kimel berkata,
“I view masculinity as a constantly changing
collection of meanings that we construct through our relationship with
ourselves, with each other, and with our world. Manhood is neither static nor
timeless; it is historical. Manhood is not the manifestation of an inner
essence, it is socially constructed. Manhood does not bubble up to
consciousness from our biological makeup; it is created in culture (bold
dari saya).”
Kimmel menekankan bahwa
gender itu konstruksi sosial, bahwa menjadi lelaki itu tergantung pada
kebudayaan. Itulah sebabnya, dia berargumentasi, bahwa definisi tentang
kelelakian (manhood) itu selalu
berubah, bahkan dipengaruhi pula oleh kondisi sosial-politis. Kimmel menolak
gagasan esensialisme, bahwa kelelakian itu sudah ada begitu saja dengan
sendirinya.
Dengan
mengubah sudut pandang di dalam memahami kelelakian, Kimmel percaya bahwa kami,
lelaki, tidak sedang kehilangan kelelakian tersebut, tetapi justru memberi kami
suatu hal yang bermakna, sebuah kapasitas untuk bertindak. Kami justru diberi
kesempatan untuk mengubah paham kelelakian.
Kimmel
pun membongkar apa yang disebutnya maskulinitas hegemonis. Kimmel
mengutib kata-kata seorang sosiolog bernama Erving Goffman. Goffman (1963)
menulis bahwa di Amerika hanya terdapat ‘one
complete, unblushing male’:
“[A] young, married, white, urban, northern
heterosexual, Protestant father of college education, fully employed, of good
complexion, weight and height, and a recent record in sports.”
Setiap lelaki Amerika
(kulit putih tentunya, sebab lelaki kulit hitam, cokelat, kuning, ataupun merah
sudah tidak termasuk lelaki di dalam persepktif ini) berjuang mati-matian untuk
memenuhi kriteria tersebut di atas. Setiap lelaki yang gagal memenuhi kriteria
yang sedemikian rumit dan tinggi tersebut akan merasa tidak berharga, tidak
lengkap, dan inferior. Kelelakian adalah menjadi kuat, sukses (dalam karier),
memiliki kemampuan, dapat dipercaya, dan memegang kendali. Lebih dari pada itu,
lelaki yang benar-benar lelaki, menurut perspektif tersebut, adalah lelaki yang
mampu menguasai lelaki-lelaki lain dan bahkan mampu menguasai para perempuan.
Kimmel
mengatakan bahwa maskulinitas sebagai ‘pelarian dari yang feminin’. Lelaki mana
yang tahan dengan ejekan sebagai ‘anak mami’ atau ‘banci’?
Dalam persepktif psikoanalisa freudian, pada fase genital, ketika terjadi
Oedipus Complex, di mana si bocah lelaki menaruh hasrat seksual kepada ibunya
sendiri, hadirlah sang ayah (figur lelaki) yang mengkastrasi/melarang hasrat
tersebut. Kastrasi/pelarangan tersebut oleh Kimmel digambarkan sebagai suatu
penindasan.
Si anak lelaki itu kemudian, demi melepas “pelukan” ibunya, mengidentifikasi
dirinya sebagai si penindas (figur ayah sebagai lelaki) tersebut. Kini, si anak
lelaki tersebut adalah si penindas itu sendiri. Kemudian, Kimmel menjelaskan,
seumur hidupnya, si anak lelaki itu akan terus-menerus mencoba membuktikan diri
bahwa dia bisa lepas dari “pelukan” ibunya tersebut dengan senantiasa menindas. Apakah yang ditindas? Yang
ditindas sebenarnya tidak lain adalah hasratnya untuk kembali ke dalam
“pelukan” ibunya, sebab itu dipandang sebagai sebuah kegagalan menjadi lelaki.
Yang ditindas adalah nilai-nilai feminin, bahkan dia melakukan devaluasi atas
perempuan.
Dari
usaha pembuktian di atas, Kimmel melihat adanya suatu persaingan di dalam dunia
lelaki. Para lelaki bersaing untuk membuktikan siapa yang lebih mampu. Lelaki
selalu memamerkan kemampuan dan keberhasilannya meraih sesuatu kepada lelaki
lain. Yang dibutuhkan lelaki adalah penerimaan dan penghargaan dari lelaki
lain. Dengan demikian, menurut Kimmel, hal tersebut mengantar kepada lahirnya
seksisme, yaitu penilaian perempuan dipandang kurang berharga untuk
diperhatikan.
Itu
semua terjadi jika si anak lelaki mengidentifikasi diri dengan ayahnya, melihat
dunia dari sudut pandang ayahnya. Akan tetapi, bagaimana jika si anak lelaki
tersebut justru melihat dunia dari sudut pandang ibunya? Bagaimana jika si anak
lelaki tersebut mengidentifikasi diri sebagai ibu? Dia akan melihat ayahnya
dengan penuh keterpesonaan, kekaguman, kengerian, dan hasrat. Dia akan menaruh hasrat seksual kepada sesama lelaki. Akan
tetapi, untuk benar-benar menjadi lelaki, dia harus menekan homoerotik
tersebut. Homofobia, Kimmel menerangkan, adalah segenap usaha untuk menekan
hasrat tersebut, untuk memurnikan segenap relasi dengan lelaki-lelaki lain,
bahwa dirinya bukan seorang homoseksual. Homofobia adalah segenap usaha lelaki
untuk membuktikan bahwa mereka bukan seorang banci dan bukan seorang
homoseksual. Kimmel di dalam tulisan ini menulis bagian Masculinity as Homophobia jauh lebih panjang lebar dari pada
bagian-bagian lain seperti misalnya Masculinity
as The Flight from The Feminine.
Akan
tetapi, yang perlu saya hadirkan dalam paper ini adalah analisis Kimmel tentang
lelaki Amerika
yang gagal menjadi lelaki tersebut. Para feminis Amerika mengkritik
maskulinitas, bahwa lelaki itu memiliki kuasa penuh. Tentu saja para lelaki
Amerika tidak terima dengan tuduhan itu. “What
do you mean, men have all the power? What are you talking about? My wife bosses
me around. My kids boss me around. My boss bosses me around. I have no power at
all! I’m completely powerless!”
Mengapa lelaki Amerika justru merasa powerless?
Negara mereka Adikuasa! Namun, para lelakinya merasa tak berkuasa sama sekali.
Ternyata, ini yang hendak saya garis bawahi, standar kelelakian Amerika
begitu tinggi sehingga hanya segelintir lelaki tertentu sajalah yang berhasil
meraihnya.
Siapa
sajakah lelaki Amerika yang mampu meraihnya? Saya pikir, mungkin Barack Obama,
presiden Amerika itu salah satunya. Benarkah demikian? Dia berkulit hitam,
tentu tidak sesuai dengan kriteria tersebut di atas. Lagi pula, ini kejadian
yang menarik dan lucu bagi saya, ketika menghadiri pemakaman Nelson Mandela,
Barack Obama duduk di tengah-tengah antara istrinya di sebelah kiri dan seorang
Perdana Menteri perempuan berkulit putih (saya lupa dari negara mana) di
sebelah kanan. Barack Obama ternyata asyik mengobrol dengan Perdana Menteri
perempuan kulit putih itu, bahkan mereka melakukan selfie (foto narsis) bertiga (bersama dengan seorang pejabat,
lelaki kulit putih lain). Wajah istri Obama yang biasa dihias dengan senyum itu
menampakkan wajah kesal dan tidak senang dengan kelakuan suaminya itu.
Perempuan kulit hitam itu hanya cemberut. Sampai pada suatu saat di mana istri
Obama itu meminta, mungkin memerintahkan, bertukar tempat duduk dengan
suaminya. Apa yang dilakukan lelaki nomor satu di Amerika tersebut? Dia
menurut. Dia berganti tempat duduk dengan istrinya. Senyum ceria di wajah Obama
ketika mengobrol dengan Perdana Menteri perempuan itu lenyap seketika. “Whoever you are, no matter you are The
President of The United States, when your wife says, ‘Change the seat!’ you’ll
just change the seat,” ejek sebuah meme di facebook.
Menarasikan
Kembali ‘Menjadi Lelaki’
Perlu
waktu bagi saya sehingga saya dapat setuju dengan apa yang dikatakan oleh
Kimmel bahwa maskulinitas itu bukanlah suatu esensi yang kita manifestasikan begitu
saja sehingga kelelakian kita sama sekali tidak berubah sejak lebih dari 2000
tahun yang lalu. Saya setuju dengan Kimmel, bahwa gender itu konstruksi sosial,
bahwa menjadi lelaki itu tergantung pada kebudayaan. Itulah sebabnya saya
menekankan kata “Amerika” di belakang kata “lelaki” ketika membahas Kimmel
tersebut di atas. Perjumpaan saya dengan dua puluh orang (sepuluh lelaki dan
sepuluh perempuan) yang menjadi responden saya tersebut di atas menghadirkan
suatu realita yang lain dari pada realita yang ditemui Kimmel di Amerika.
Imaji
Maskulinitas yang Berbeda
Kalau
boleh saya mengatakan, berdasarkan imaji lelaki yang diceritakan oleh
keduapuluh responden saya tersebut di atas, baik lelaki maupun perempuan, maskulinitas
hegemonis yang ada di Indonesia, khususnya di Surakarta-Yogyakarta (Jawa) ini
sangat berbeda dengan yang dibongkar Kimmel di atas. Tidak ada keharusan untuk
menjadi seorang kulit putih. Ketika menyebutkan tokoh Wolverine dan Batman,
yang pertama dihadirkan bukan bahwa Wolverine dan Batman digambarkan sebagai
seorang lelaki kulit putih Amerika Utara (Wolverine seorang Kanada sedangkan
Bruce Wayne seorang warga Gotham, metafora New York), melainkan pertama bahwa
mereka sebagai lelaki mengalami sebuah pergulatan batin, perjalanan batin, dan
akhirnya berhasil melampaui pergulatan tersebut, sehingga mereka hadir sebagai
sosok pahlawan. Hal yang sama hadir ketika mereka menyebutkan tokoh Dewabrata
(dua lelaki, selain saya tentunya, menyebut figur ini) atau ketika saya
menyebutkan tokoh Bima dalam lakon Dewa Ruci. Yang pertama hadir adalah
pergulatan mereka, perjalanan batin mereka, pengalaman rohani-spiritual mereka
yang membuat mereka pada akhirnya hadir sebagai seorang sosok pahlawan. Ega
Mesita Purba atau yang sering dipanggil Gaplek dan AEN (yang bersangkutan tidak
bersedia disebutkan namanya) sama-sama menekankan keteguhan hati Bisma
Dewabrata yang setia kepada sumpah (apa yag diucapkannya). Inilah yang
menjadikan dia lelaki, melakukan apa yang dikatakannya. Dalam novel Antara
Kabut dan Tanah Basah dikisahkan bagaimana Bisma Dewabrata mengalami pergulatan
batin yang cukup serius, dan perjalanan hidupnya membuat dia menjadi lelaki
yang meneb. Lelaki yang meneb ini rupanya juga menjadi gambaran
ideal Yohanes Jatmiko Yuwono, atau yang sering disapa Miko. Meskipun dia
mengidolakan Wolverine dan dua tokoh komik Marvel lainnya, dia tidak memiliki
imaji lelaki yang sok jagoan. Dia mengimajikan lelaki yang family-man yang bertanggung jawab dan tidak cemen. Bahkan, dia mengatakan bahwa wandu itu, walaupun gemulai, tetap bisa dikatakan lelaki, karena
dia tidak cemen.
Miko sendiri adalah pendekar pencak silat. Walaupun demikian, postur tubuhnya
jauh dari ideal lelaki Amerika yang suka bela diri. Dia tidak ingin menjadi sok
jagoan.
Maskulinitas
hegemonis yang dihidupi dan didambakan oleh baik lelaki dan perempuan Surakarta-Yogyakarta
itu justru lelaki yang kalem, meneb
(karena dengan demikian dia lebih dewasa dan bijaksana), serta dapat
diandalkan. Dia memiliki kemampuan, tetapi tidak mengumbar atau menyombongkan
kemampuannya tersebut. Ibaratnya adalah air sungai yang dalam, tenang
menghanyutkan. Lebih dari pada fisik, maskulinitas hegemonis yang dihidupi dan
didambakan itu lebih kepada watak. Kita bisa memahaminya dengan memahami latar
belakang spiritualitas Jawa (Kejawen) yang menekankan ketenangan batin,
kedamaian jiwa, dan harmoni.
Lelaki
yang Lembut, Bukan Lembek
Kimmel
mengatakan bahwa maskulinitas (Amerika) adalah ‘pelarian dari yang feminin’.
Apakah itu berlaku juga di Jawa? Memang benar bahwa lelaki Jawa (bukan hanya
lelaki sebenarnya, perempuan pun juga) diharapkan untuk lepas dari ibu. Lelaki
diharapkan lepas dari orang tua. Mentas
istilahnya. Bisa menghidupi dirinya sendiri, mandiri. Masih ingat di dalam
ingatan saya ketika saya kecil saya dilatih untuk menjadi mandiri. Mandi
sendiri, makan sendiri, bahkan disuruh mengambil barang yang letaknya ada di
atas almari sendiri. Suatu bentuk kemanjaan dan ketergantungan adalah sebuah
kegagalan. Akan tetapi, apakah usaha mandiri tersebut disertai dengan usaha
menindas nilai-nilai feminin seperti yang diutarakan Kimmel di atas? Jika benar
bahwa nilai-nilai maskulinitas itu identik dengan kekerasan dan perjuangan,
sedangkan nilai-nilai femininitas itu identik dengan kelembutan dan kesabaran, orang-orang
Amerika itu bisa saja dengan mudah mengatakan bahwa kami, orang Jawa ini, tidak
sepenuhnya lelaki. Hanya mereka yang brangasan
(sok jagoan) sajalah yang kemudian dapat dikatakan lelaki jika demikian.
Ternyata kami tidak menghidupi konsep itu. Raden Hanung Satrio Pitono, salah
seorang responden saya, masih keturunan ningrat, mengatakan bahwa lelaki yang
benar-benar lelaki itu adalah lelaki yang mampu memadukan unsur-unsur
maskulinitas dan femininitas. Yang dipadukan adalah nilai-nilainya, sebab Itok,
demikian R. Hanung Satrio Pitono disapa, menolak imaji banci yang cengeng dan
melambai. Walaupun ada harmonisasi antara unsur-unsur maskulinitas dan
feminitas, Itok tetap mengidealkan lelaki yang wani atos,
mentalnya kuat.
Ketika tiba saatnya harus berjuang dan ‘berperang’, dia berani ‘mengangkat
senjata’. Dia
mencontohkan tokoh Yesus. Kita bisa membayangkan ketika Yesus memberanikan diri
mengatakan ‘ya’ pada panggilan hidupnya, walaupun sempat mengalami pergulatan
batin yang dahsyat di Taman Getsemani. Apakah Yesus harus berkelahi untuk
menjadi berani?
Menjadi
lelaki bukan berarti harus menolak nilai-nilai femininitas. Akan tetapi,
menerima nilai-nilai femininitas, tidak berarti memandang yang maskulin itu
buruk atau jahat. Lelaki yang meneb
itu tidak sama dengan lelaki yang pasif. Diamnya lelaki yang meneb itu adalah diam yang mencoba
memahami, menelaah dengan bijak, untuk kemudian bertindak. Dewabrata itu diam
ketika pada mulanya Kurawa dan Pandawa bertikai. Dia mencoba memahami
pertikaian dua kubu yang masih saudara sepupu tersebut di dalam konteks sumpah
wadatnya dahulu kala. Andai dia tidak bersumpah wadat dan seumur hidup tidak
menuntut takhta, tentu pertikaian yang berujung pada perang Baratayudha itu
tidak akan pernah terjadi, sebab dialah pewaris paling sah takhta Hastinapura.
Setelah dia memahami, Dewabrata bertindak. Menjadi lelaki yang baik bukan
berarti menjadi lelaki yang manis, pasif, diam, dan takut bertindak. Deshi
Ramadhani, dalam bukunya Adam Harus
Bicara, mengatakan, “Lelaki yang pasif, diam, takut bertindak bukanlah
lelaki baik. Ia bahkan bisa melukai banyak perempuan.”
Hanya
Lelaki yang Dapat Mengafirmasi Kelelakian Lelaki Lain di dalam Solidaritas
Kimmel
melihat adanya suatu persaingan di dalam dunia lelaki Amerika. Mereka saling bersaing
untuk membuktikan bahwa mereka lelaki. Yang dibutuhkan lelaki adalah penerimaan
dari lelaki lain. Apakah hal yang sama terjadi pula di dalam dunia lelaki
Surakarta-Yogyakarta? Benar. Apa yang dilihat Kimmel itu pun terjadi di
Surakarta-Yogyakarta ini. Hario Adi Nugroho, seorang responden saya, bahkan
menghadirkan nama-nama teman lelakinya ketika saya tanyai. Dia ingin seperti
mereka, para lelaki yang dekat dengannya itu. ‘Ingin seperti’ dapat saya ganti
dengan ‘ingin menyaingi’, bukan? Dia ‘ingin menyamai’ apa yang sudah diraih
oleh nama-nama lelaki yang dia sebutkan tersebut. Apa yang telah diraih para
lelaki itu menjadi patokan keberhasilan. Memang benar bahwa lelaki selalu
menjadikan raihan lelaki lain sebagai tolok ukur dirinya. Saya pribadi, sebagai
peyair, selalu membandingkan diri dengan para lelaki lain, yang juga penyair,
untuk mengukur seberapa jauh capaian estetis dan akademis saya. Dan pengakuan
dari satu orang lelaki, apa lagi lelaki yang seprofesi, itu jauh lebih berharga
dari pada pengakuan banyak perempuan. Bukan berarti bahwa penilaian perempuan
itu tidak penting, penilaian seorang ibu atau pertimbangan lain dari seorang
kekasih itu penting, melainkan bahwa seakan-akan kami hendak berkata, “Lihat,
bahkan rivalku, yang bergulat bersama-sama denganku di dalam dunia yang sama
itu, pun mengakuinya.”
Memang
benar bahwa suatu persaingan bisa saja mengarah kepada konfrontasi dan
perselisihan. Akan tetapi, tidak selalu persaingan itu mengarah ke sana. Saya
dan teman-teman lelaki sesama penyair, meskipun dalam pengertian tertentu
saling bersaing sekadar untuk mendapatkan pengakuan dari sesama lelaki, toh
tidak sampai kepada suatu konfrontasi dan perselisihan. Kalaupun ada perbedaan
pendapat di antara kami para lelaki ini, dengan berani kami akan
mengutarakannya dan dengan terbuka kami pun akan menerima serta memahaminya.
Saya dan teman-teman penyair lelaki
itu memiliki perjuangan yang sama. Dan, di dalam kebersamaan itulah kami saling
mengafirmasi kelelakian kami. Kimmel melupakan apa yang disebut
kesetiakawanan/solidaritas. Kesetiakawanan/solidaritas ini menjadi nilai yang
penting di dalam menjadi lelaki. Saya bisa memaklumi mengapa Kimmel tidak
menghadirkan hal tersebut. Latar belakang Amerika yang menjunjung tinggi
persaingan bebas cukup menjawab.
Seorang
lelaki akan dipersatukan dengan lelaki-lelaki lain di dalam suatu
perjuangan/misi/panggilan hidup yang sama. Ikatan antara lelaki-lelaki di dalam
perjuangan yang sama itu adalah ikatan yang ‘sebelah-menyebelah’ (side by side). Dengan ikatan ‘sebelah-menyebelah’
inilah para lelaki dapat berjuang bersama, saling melindungi dan mendukung,
bahkan saling mengafirmasi kelelakian masing-masing. Ikatan itu tidak sengaja
ditimbulkan oleh lelaki, tetapi ikatan itu muncul dengan sendirinya oleh karena
perjuangan bersama itu tadi, apa lagi jika perjuangan itu melibatkan suatu
pengalaman mencekam bersama. Dan, itu semua membutuhkan waktu.
Contoh
yang saya alami dalam menjadi lelaki adalah ketika saya dan teman-teman lelaki
saya touring. Motor-motor sudah kami
siapkan jauh-jauh hari. Kemudian kami berangkat dengan berbaris rapi.
Awalnya dua baris. Lalu kemudian menjadi satu baris yang zig-zag. Dalam formasi
zig-zag ini, kami tengah membentuk ikatan ‘sebelah-menyebelah’, yang depan
melindungi yang belakang dan yang belakang melindungi yang depan. Paling depan
sendiri memimpin barisan, sedangkan yang paling belakang sendiri menyapu
barisan. Ada dua belas sepeda motor. Saya di depan sendiri memimpin barisan. Ketika
harus melewati truck atau bus besar, kami harus saling melindungi supaya tidak
terjadi kecelakaan dan semua pengguna jalan dapat selamat. Yang depan selalu
harus memberi tahu yang di belakang apa saja yang dilihatnya dengan kode-kode
tangan, sebab yang di belakang tentu akan kesulitan melihat jika berada di
dalam situasi melewati truck ini. Yang paling depan berusaha memberi tahu sopir
truck untuk menepikan kendaraannya supaya barisan bisa lewat. Akan tetapi,
pernah pada suatu kali formasi itu kacau. Saya menepikan truck ke kiri, dua
lelaki di belakang saya pun turut serta mendahului truck tersebut dari sebelah
kanan. Namun, salah seorang teman kami yang berada di urutan keempat mengambil
jalur sendiri. Dia hendak melalui truck tersebut dari sebelah kiri. Mengetahui
truck menepi ke kiri, dia mengerem mendadak, lalu terjatuh. Kecelakaan. Dua
orang sweeper mengejar kami, lalu
memberi tahu bahwa one man down. One man down is just too much!!! Kami
pun berbalik arah menuju ke lokasi kejadian. Dia tidak mengalami cedera yang
serius. Rem sepeda motornya ngancing.
Dia bermaksud hendak melanjutkan perjalanan. Setelah kami yakin bahwa dia bisa
melanjutkan perjalanan, kami berangkat kembali. Di tempat tujuan kami
beristirahat sembari tertawa mengenang peristiwa tersebut. Ikatan itu tumbuh
seiring dengan waktu berjalan.
Hubungan
Emosional yang Kuat Antarlelaki
Kimmel
menerangkan bahwa homofobia adalah segenap usaha lelaki untuk membuktikan bahwa
mereka bukan seorang banci dan bukan seorang homoseksual. Definisi homofobia
yang diterangkan oleh Kimmel lebih pada homofobia kepada diri sendiri, bahwa
seorang lelaki akan merasa tidak nyaman (takut) ketika mendapati dirinya
sendiri menjadi seorang banci, bahkan seorang homoseksual. Seumur hidupnya
dipenuhi dengan perjuangan pembuktian ini. Akan tetapi, lebih dari pada sebuah
perjuangan pembuktian bahwa dia bukan seorang banci ataupun homoseksual, seorang
lelaki akan lebih digelisahkan dengan pertanyaan lain yang lebih mendasar.
Kimmel sebenarnya sudah melihat hal ini, akan tetapi di dalam artikel Masculinity as Homophobia: Fear, Shame, and
Silence in the Construction of Gender Identity dia tidak menelusurinya
lebih jauh. Sebenarnya, pertanyaan mendasar yang selalu menggelisahkan setiap lelaki
adalah “Apakah aku mampu?”
Apakah aku mampu menguasai apa yang menjadi duniaku? Apakah aku mampu menguasai
jalan hidup yang aku pilih?
Pengalaman
saya di seminari dan novisiat MSF di Salatiga dulu dapat menjadi contoh yang
eksistensial. Saya hidup bersama para lelaki. Memang ada beberapa perempuan di
sana. Para perempuan itu adalah Bu Parmo dan Bu Semi yang menjadi juru masak,
serta empat orang biarawati yang sekali seminggu belajar bersama kami. Akan
tetapi, perjumpaan yang intens terjadi antara saya dengan kedelapan belas
frater lainnya. Sebuah perjumpaan yang sangat intens dengan para lelaki! Maka,
pertanyaan “Apakah saya mampu?” tersebut semakin menghantui. Afirmasi dari
sesama konfrater (yang laki-laki) itu menjadi sangat dirindukan, bahwa aku
mampu. Mulai dari berkebun dan mengolah tanah (menanam sayur-sayuran seperti
kacang panjang, terong, buncis, cabai, dan sebagainya), memasak (menanak nasi,
merencanakan dan membuat sayuran dan lauk untuk lebih dari dua puluh lelaki
lainnya),
membuat teh/susu/sirup dalam jumlah yang sangat besar, menyapu, mencuci piring
dan alat-alat dapur, membersihkan kandang (kambing, unggas, anjing), olah raga
(sepak bola atau voli), menyiapkan misa, memimpin ibadat, membaca lantang Kitab
Suci, bernyanyi atau mendaraskan mazmur, dan lain sebagainya. Saya hampir belum
pernah melakukan itu semua sebelum itu. Pengalaman seminari itu adalah
pengalaman ketika kelelakian saya ditantang, “Apakah saya mampu melakukan itu
semua?” Belajar mususi,
menanak nasi, berkebun, membuat minuman, dan lain sebagainya. Pujian dari
sesama konfrater terlebih dari pastor itu adalah afirmasi bagi kelelakian kami,
bahwa kami bisa. Pernah kami mengambil terong yang kami tanam, lalu
bersama-sama menggorengnya. Kemudian ada seorang pastor yang turut makan terong
itu sambil bercanda bersama kami. Peristiwa sederhana itu tak terlupakan!
Seiring
berjalannya waktu, ikatan di antara kami menjadi kuat, sebab kami selalu
menjalankan “petualangan” bersama.
Kami saling mengafirmasi kelelakian kami. Akan tetapi, bukan berarti bahwa
menangis adalah tabu. Kami menangis. Namun, kami menangis pada saat ikatan
antarlelaki yang kuat itu harus putus, yaitu ketika ada salah seorang konfrater
kami mengundurkan diri. One man down is
just too much!!! Pada malam itu kami menangis bersama. “Bajingan! Kenapa
kamu keluar? Kenapa kamu meninggalkan kami?” kata kami sambil menangis. Kami
berpelukan. Dan, keesokan harinya orang itu sudah tidak lagi ada bersama-sama
dengan kami. Itu menyakitkan. Hanya saja, solidaritas itu tetap kami bawa.
Beberapa tahun kemudian saya memutuskan keluar dari biara. Beberapa teman pun
juga demikian. Kami berjumpa lagi di Jogja. Kami reuni. Ikatan itu masih ada,
kuat, bahkan di saat saya menulis paper ini. Salah seorang dari kami bekerja di
Malang. Ketika saya pergi ke Bromo November lalu, Jonathan, teman saya itu,
menyambut saya dengan kehangatan dua botol bir. Semalam saya menginap di kosnya
di Malang.
Toleransi
atas Kehadiran Sosok Banci Tidak Mengurangi Kelelakian
Responden
saya, baik lelaki maupun perempuan, mendambakan lelaki yang tidak menye-menye, tidak cemen, bukan pengecut, bahkan mereka menolak figur banci sebagai
lelaki. Dalam paradigma yang hidup di dalam masyarakat (Surakarta-Yogyakarta,
Indonesia), banci itu bukan lelaki juga bukan perempuan. Para responden
tersebut menerima eksistensi banci, tetapi banci bukanlah lelaki.
Penerimaan eksistensi banci ini memang dibarengi dengan perasaan gilo,
itu diakui oleh mereka. Namun, mereka masih bisa menoleransi perasaan itu
sehingga masih bisa memberi ruang bagi kehadiran para banci, bahkan juga
kehadiran para lelaki homoseksual.
Akan tetapi, rasa gilo yang bisa saja
berujung pada kemarahan itu akan muncul ketika seorang banci atau seorang gay (lelaki homoseksual) itu mulai
resek. Miko, salah seorang responden saya tersebut di atas, menceritakan
kemarahannya kepada seorang lelaki homoseksual. Pada malam hari itu ada reuni
sekolah di suatu rumah makan waralaba di Jogja. Miko menghadiri undangan reuni
tersebut. Beberapa teman mengajak pasangannya. Salah seorang teman Miko adalah
seorang lelaki yang kewanita-wanitaan (banci?). Lelaki yang kewanita-wanitaan
itu pun mengajak pasangannya, seorang lelaki (yang homoseksual). Semua orang
tentu bisa menerima kehadiran lelaki yang kewanita-wanitaan tersebut, mereka
menoleransi kehadirannya juga kehadiran kekasihnya. Kemudian, kekasih si lelaki
yang kewanita-wanitaan itu duduk di sebelah Miko. Lelaki, kekasih teman Miko
itu, mulai resek. Dia menggerayangi Miko. Awalnya Miko, seorang lelaki
heteroseksual, memberi peringatan, “Sekali lagi kamu melakukan itu, asbak ini
mendarat di wajahmu.” Namun, lelaki (homoseksual) itu tetap saja nekat
menggerayangi Miko. Apa yang terjadi selanjutnya? Miko yang dipenuhi dengan
rasa gilo dan amarah berdiri lalu
memukul wajah lelaki itu hingga berdarah. Kita bisa membayangkan betapa keras
pukulan yang diberikan Miko, seorang atlet pencak silat, yang dipenuhi dengan
amarah tersebut. Lelaki homoseksual itu sampai secara harafiah tidak mampu
berkata-kata sebab mulutnya bonyok. Teman Miko, kekasih lelaki homoseksual itu,
segera mengajak lelaki yang bonyok itu pulang. Setelah mengantarkan kekasihnya
itu pulang, teman Miko itu kembali ke acara reuni. Lelaki yang
kewanita-wanitaan itu pun meminta maaf kepada Miko. Dia merasa malu atas
kelakuan kekasihnya tersebut. Ketika Miko bertanya bagaimana keadaan kekasih
temannya itu, lelaki yang kewanita-wanitaan itu hanya berkata, “Kami sudah
putus. Setelah kuantar pulang tadi, aku memutuskannya.”
Memang
benar bahwa imaji maskulinitas yang dihidupi oleh masyarakat
Surakarta-Yogyakarta adalah imaji lelaki yang macho dalam arti bahwa lelaki itu tidak menye-menye, tidak cengeng (sedikit-sedikit mudah mengeluh dan
mudah menangis), tidak cemen
(memiliki kemampuan), dan bukan seorang pengecut. Akan tetapi, di saat yang
sama mereka bisa menoleransi keberadaan dan kehadiran sosok banci atau lelaki
homoseksual, sejauh mereka tidak resek. Lagi pula, banyak sosok banci atau
lelaki homoseksual yang baik, tidak resek. Saya mengenal beberapa dari mereka.
Salah satu dari kenalan itu bahkan adalah tetangga rumah dan dulu teman satu
SMA, bahkan pernah satu panggung teater dengan saya. Perjumpaan dan pertemanan
kami dengan orang-orang semacam itu tidak membuat kami merasa kurang lelaki.
Struktur masyarakat di sini berbeda dengan struktur masyarakat yang ditemui
oleh Kimmel.
Imaji
Lelaki Macho a la
Amerika yang Menjijikkan
Dalam
buku What Men Want, Why Men Think, Feel,
& Act The Way They Do, yang ditulis oleh H. Norman Wright kepada para
lelaki Kristen Amerika, dikatakan bahwa imaji lelaki macho itu justru adalah musuh terbesar bagi setiap lelaki. Kata macho dalam masyarakat Amerika
dijelaskan Wright dengan empat kriteria yang kurang lebih senada dengan apa
yang dikutip Kimmel atas Goffman tersebut di atas, yaitu: (1) Apapun
taruhannya, hindari segala sesuatu yang bahkan sedikit saja menyerupai sesuatu
yang feminin, seperti hal-hal yang berkait dengan perasaan, kata-kata yang
menyangkut perasaan, air mata, kelemahan, dll.; (2) Apapun taruhannya, raihlah
status yang mempunyai suatu arti bagi lelaki lain; (3) Pastikan bahwa Anda
tampil keras, kuat, dan bahkan tidak bergantung pada apapun. (4) Jadilah
seagresif mungkin. Macho dipandang Wright sebagai topeng.
Wright tidak mempermasalahkan persaingan antarlelaki. Yang dipermasalahkan
Wright adalah “apapun taruhannya”. “Seorang lelaki macho adalah seseorang yang berusaha terlalu keras untuk menyamai
standar yang keliru yang dibuat oleh masyarakat kita (Amerika) untuk sebuah
kejantanan,” kata Wright.
Lelaki macho adalah lelaki yang tak
tersentuh, jauh, dan tidak realis. Imaji macho
a la Amerika yang digambarkan Wright
dan dikritik oleh Kimmel tersebut jauh dari realita yang saya alami secara
eksistensial dan saya temui dari perjumpaan saya bersama sepuluh responden
lelaki saya, bahkan jauh dari yang diharapkan sepuluh responden perempuan saya
tersebut.
Memang
beberapa responden memakai kata macho,
tetapi kata itu lebih untuk menggambarkan maskulinitas. Sama sekali berbeda
dengan imaji macho a la Amerika
tersebut di atas. Figur lelaki yang lakik
banget yang dihidupi para responden saya tersebut adalah figur seorang
bapak dan/atau kakak, pengayom, pelindung. Bukan sekadar pemimpin (diktator),
tetapi pengayom (yang mengayomi dengan kelembutan dan kedewasaan). Yang macho adalah yang berhasil
mengharmonikan nilai-nilai maskulin dan feminin. Seperti Yesus historis,
seperti Sidharta Gautama, seperti tokoh Dewabrata (yang selain berani teguh
memenuhi janji untuk wadat, juga dengan bijaksana memomong anak-turun dinasti
Kuru, yaitu Pandawa dan Kurawa), dan mungkin seperti Paus Fransiskus yang
sekarang. Wright berkata, “Bukankah amat menarik bahwa justru seorang Lelaki
yang mempunyai kemampuan untuk menjadi seorang Lelaki paling berkuasa di dunia
justru memilih untuk menjadi lembut, untuk menjadi seorang hamba, dan untuk
melayani mereka yang disakiti?”
Mengembalikan
Kembali kepada Lelaki (Kesadaran Lelaki atas) Kuasa
Deshi
Ramadhani mengutip salah satu dialog dalam film berjudul Disclosure yang dibintangi oleh Demi Moore dan Michael Douglas, “Sexual abuse is not about sex! It’s about
power!”
Sexual abuse adalah abuse of power. Orang dengan status
tertentu memiliki kuasa tertentu atas orang lain. Lelaki tertentu memiliki
kuasa tertentu atas lelaki lain dan atas perempuan. Saya sebagai pemimpin
rombongan touring memiliki kuasa
tertentu atas riders yang lain.
Frater yang menjadi bidel umum
memiliki kuasa tertentu atas para frater yang lain. Istri Barack Obama memiliki
kuasa tertentu atas suaminya yang adalah Presiden Amerika Serikat tersebut.
Kimmel
menerangkan bahwa banyak lelaki Amerika merasa powerless, justru karena kriteria macho (menjadi lelaki) di Amerika begitu tinggi sehingga hanya
sedikit sekali lelaki Amerika yang mampu meraihnya. Lelaki yang merasa powerless akan menjadi lelaki yang
lembek (berbeda dengan ‘lembut’). Dia tidak akan mampu mengaum ataupun
‘mengangkat pedang’ ketika hidup menuntut demikian. Dia bahkan menjadi sosok
yang berbahaya bagi dirinya sendiri, bahkan bagi perempuan di sekitarnya.
Ketika tidak mampu melindungi, dia akan menyakiti, atau malah menelantarkan
siapapun. KDRT dan pelecehan seksual (pemerkosaan) biasanya dilakukan oleh
lelaki yang powerless semacam ini
justru untuk mencari pengakuan bahwa dia masih memiliki power yang tersisa. Dia tidak akan memiliki hasrat dan daya hidup.
Atau, dia akan menjadi sosok yang tak berdaya, diinjak oleh sesama lelaki,
bahkan diinjak oleh perempuan, tidak memiliki integritas.
Sedangkan
dengan kriteria yang ada di Surakarta dan Yogyakarta tersebut di atas, lelaki
manapun dapat dengan mudah meraihnya. Seorang lelaki dapat dengan mudah
menemukan komunitas, tempat perjuangan bersama, di sini. Seorang lelaki dapat
memutuskan untuk menghayati hidup selibat atau berkeluarga, dan tetap dapat
menjadi pribadi yang meneb, kebapakan
(seorang pastor selibat pun dipanggil romo/bapa),
dapat menjadi kakak,
bahkan dapat menepati janji (kaul kemurnian atau janji perkawinan). Menjadi
lelaki yang meneb itu dekat sekali
dengan kebudayaan Jawa dan ideal lelaki Jawa. Banyak cara bahkan disediakan,
meditasi misalnya. Banyak lelaki Jawa melakukan perjalanan spiritual (berjalan
kaki dalam diam ke tempat-tempat peziarahan, masuk biara/pondok pesantren,
menekuni bela diri pencak silat, berlatih teater dengan teknik-teknik
tradisional, dsb.). Dengan menjadi lelaki yang meneb, seorang lelaki itu akan terlihat lebih berkharisma,
berwibawa, dengan demikian dia akan memiliki kuasa tertentu. Kita bisa
membayangkan sosok Jokowi (Joko Widodo, mantan Walikota Surakarta yang kini
menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta). Dia jauh dari lelaki macho a la Amerika, tetapi siapa yang
meragukan kharismanya, wibawanya, pesonanya, dan kuasanya?
Akan
tetapi, seorang lelaki harus menyadari kuasa ini. Perjalanannya menghayati
hidup akan memberinya kuasa tertentu yang harus diterimanya dengan penuh
kesadaran, kebijaksanaan, dan tanggung jawab. Menolak kuasa ini adalah ekstrim
yang satu, sedangkan menyalahgunakan kuasa adalah ekstrim yang lain. Baik menolak
maupun menyalahgunakan kuasa menjadikan dirinya gagal menjadi seorang lelaki.
Seorang lelaki harus selalu ingat bahwa hanya sesama lelakilah yang dapat
mengafirmasi kelelakiannya lewat suatu perjuangan bersama. Ketika lelaki itu
mencari afirmasi kepada seorang perempuan, yang dia dapatkan hanyalah
kehampaan, dia akan selalu merasa kekurangan, dan bahkan akan tergoda untuk
melakukan abuse of power. Contoh
kasus adalah penyair SS. Sebagai seorang penyair lelaki, tidak sedikit sesama
lelaki yang telah mengafirmasi kelelakiannya, bahwa dia benar-benar seorang
penyair. Mengetahui bahwa dia punya kuasa sebagai seorang penyair, dia justru
menggunakannya untuk mencari afirmasi lagi kepada (banyak) perempuan yang
bahkan tidak memiliki kuasa apapun terhadapnya. Apa yang terjadi? Sexual abuse. Setiap lelaki yang
memiliki kuasa selalu terancam melakukan abuse
of power. Sebagai seorang sutradara, saya memiliki kuasa tertentu terhadap
keenam aktor perempuan saya itu. Sangat mungkin saya menyalahgunakan kekuasaan
dengan memacari aktor utamanya, misalnya. Akan tetapi, apakah dengan demikian
kelelakian saya, ke-sutradara-an saya, diafirmasi? Kelelakian dan
ke-sutradara-an saya akan diafirmasi ketika saya mampu mengantarkan keenam
aktor perempuan itu mementaskan lakon Pada Malam yang Itu dengan baik, sehingga
senior-senior saya di Teater Seriboe Djendela (yang mayoritas lelaki)
mengapresiasi dan para penonton memberikan applause
yang meriah.
Penutup
Kritik
Kimmel atas maskulinitas di Amerika sangat layak untuk dibaca oleh lelaki. Akan
tetapi, ketika kritik tersebut kita pertemukan dengan konteks Jawa
(Surakarta-Yogyakarta), dengan pribadi-pribadi konkret di sana, kita perlu
melakukan adaptasi. Kita perlu mengindonesiakan, bahkan menjawakan, kritik
Kimmel tersebut. Maskulinitas hegemonis (Amerika) yang dikritik oleh Kimmel dan
juga Wright tersebut harus kita lihat ulang, sebab maskulinitas hegemonis yang
hidup di masyarakat Surakarta-Yogyakarta berbeda dengan yang ada di Amerika.
Imaji yang macho di Amerika berbeda
dengan di Surakarta-Yogyakarta.
Sampai
pada titik ini saya mulai memahami bagaimana harus mengkritisi iklan BKKBN di
atas. Akan tetapi, melihat bahwa saya sudah berbicara panjang lebar, dan bahwa
saya merasa membutuhkan landasan teori yang lain untuk dapat mengkritisinya,
niat itu saya urungkan. Saat menuliskan penutup ini, saya ingat cerita Anne
Shakka tentang buku yang dibacanya, tentang Perempuan Jawa, bahwa di luar rumah
bolehlah lelaki itu berkuasa, tetapi begitu sudah di dalam rumah perempuanlah
yang berkuasa.
Akhir
kata, saya merasa harus mengutip salah satu dialog di dalam lakon Pada Malam
yang Itu,
Lelaki :
Sebatang penis, sebatang rokok, dan secangkir kopi kental tak cukup untuk
membuat seseorang menjadi lelaki. Tetapi, cinta dan harapan, kepercayaan,
loyaitas, rasa memiliki satu sama lain, kesetiaan pada cita-cita, keberanian
bertanggung jawab atas segala keputusan, harga diri, dan kerelaan berkorban
demi mimpi... itu yang membuat laki-laki menjadi Lelaki. Kalau lelaki tak lagi
memiliki semua itu, apa lagi yang dapat dia banggakan di dalam hidup?
Bibliografi
Buku
Dede
Oetomo, “Gender and Sexual Orientation in Indonesia”, dalam Laurie J. Sears
(ed.), Fantasizing the Feminine in
Indonesia, Duke University Press, 1996
Deshi
Ramadhani, Adam Harus Bicara, Sebuah Buku Lelaki, Yogyakarta:
Kanisius, 2010
H.
Norman Wright, What Men Want, Why Men
Think, Feel, & Act The Way They Do, terjemahan Bahasa Indonesia oleh
Tim Dabara, Surakarta: Dabara Publisher, 2000
Michael
S. Kimmel, “Masculinity as Homophobia: Fear, Shame, and Silence in the
Construction of Gender Identity”, dalam Peter F. Murphy (ed.), Feminism & Masculinities, Oxford
University Press: Oxford & New York, 2004
Internet
Lampiran
Daftar responden
A.
Lelaki
1. Yohanes
Eko Budiyanto, “Kribo”, FKIP-PGSD, Universitas Sanata Dharma
2. Hario
Adi Nugroho, Universitas Sanata Dharma
3. Jati
Pradipta, Universitas Sanata Dharma
4. Ega
Meista Purba, “Gaplek”, FKIP-PBI, Universitas Sanata Dharma
5. Emmanuel
Kurniawan, “Noel”, IRB, Universitas Sanata Dharma
6. N.N.,
Universitas Sanata Dharma
7. Yohannes
Jatmiko Yuwono, “Miko”, IRB, Universitas Sanata Dharma
8. Respati
Galang Swastika Adji, ISI Solo
9. Johnfisher
Fahri Ferbian, “Aik”, Diskomvis, UNS Solo
10. Raden
Hanung Satrio Pitono, Fakultas Hukum, UNS Solo
B.
Perempuan
1. Widhiana
Martiningsih, Universitas Sanata Dharma
2. Maria
Anindita, Universitas Sanata Dharma
3. Fenty
Vianarika, FKIP-PBI, Universitas Sanata Dharma
4. Elisabeth
Oseanita Pukan, American Studies, UGM
5. Dyah
Ayu Perwitasari, Psikologi, Universitas Sanata Dharma
6. N.N., UGM
7. Elisabeth
Lesprita Veani, Universitas Sanata Dharma
8. Ratri
Kartika Sari, Teater Garasi
9. Galuh
Asti Wulandari, Teater Garasi
10. Kartika
Indah Prativi, UKSW Salatiga, BIP Jakarta, lahir dan besar di Sukoharjo
(Surakarta) - Jawa Tengah
Comments
Post a Comment