Teori
metafora-metonimia menurut Roman Jakobson bisa dipakai untuk menjelaskan orang
yang menderita afasia sebagai berikut...*
Tanda-tanda bahasa itu
berhubungan satu sama lain. Tanda-tanda bahasa itu harus berhubungan
satu dengan yang lain supaya dapat bermakna. Hubungan antartanda ini ada dua
jenis, yaitu metafora dan metonimia.
Roman Jakobson
menjelaskan METONIMIA sebagai
hubungan antartanda secara sintagmatik. Analoginya adalah seperti “hubungan
tetangga”. Tanda dihubungkan dengan tanda lain di sekitarnya sehingga
menghasilkan rangkaian sintagma. Hubungannya ibarat sebuah gerendel rantai yang
saling terkait satu dengan yang lain; bergandengan dengan kanan-kirinya.
Hubungannya pun berurutan/berangkaian, yang satu mengikuti yang lain.
Beberapa tanda pokok
membentuk suatu tanda. Tanda tersebut kemudian dikombinasikan dengan
tanda-tanda yang lain sehingga menjadi suatu unit tanda yang sederhana. Unit
tanda yang sederhana itu menemukan makna/konteksnya ketika dihubungkan dengan
(atau bersama unit tanda sederhana lain membentuk suatu) unit tanda yang lebih
rumit. Secara sederhana, saya mengkombinasikan tanda-tanda menjadi suatu unit
tanda, misalnya “Saya lapar.” Kemudian, unit tanda sederhana itu saya
kombinasikan dengan unit tanda sederhana lain, misalnya “Saya lapar dan tepat
di tepi jalan ada Warung Makan Tegal. Maka saya menepikan sepeda motor, masuk
ke warung tersebut, dan memesan nasi opor ayam serta es teh manis.” Saya
dinilai dari gabungan tanda yang saya buat, yaitu bahwa “saya lapar” dan
kemudian “saya makan”. Gabungan tanda yang saya buat itu pun menjadi konteks,
yaitu “peristiwa saya lapar dan makan di Warung Makan Tegal”.
METAFORA
dijelaskan Roman Jakobson sebagai hubungan antartanda secara paradigmatik.
Analoginya adalah seperti hubungan saudara. Jadi, suatu tanda memiliki kesamaan
(similarity) dengan tanda-tanda yang
lain. Hubungannya adalah kesamaan tersebut. Maka, menggunakan metafora,
seseorang berarti harus melakukan seleksi; dia harus memilih salah satu
dari antara tanda-tanda yang sama tersebut. Sehingga, suatu tanda berhubungan
dengan tanda-tanda lain yang mirip (similar)
dengannya, dan tanda-tanda lain tersebut hadir secara laten (in absentia).
Makna akan muncul dari
hubungan tanda satu dengan tanda-tanda lain yang hadir secara laten tersebut.
Semakin kuat suatu tanda menghadirkan tanda-tanda lain yang laten tersebut,
semakin kuat pula tanda tersebut menghadirkan makna. Misalnya, kata “lapar”
seperti dalam contoh di atas, dapat diganti dengan “perut keroncongan” (perut
kok bisa main keroncong?); dan frasa “sepeda motor” dalam contoh di atas dapat
diganti dengan frasa “kuda besi” (kuda yang terbuat dari besi?). Sehingga,
contoh kalimat di atas dapat saya ubah seperti berikut, “Perut saya
keroncongan dan tepat di tepi jalan ada Warung Makan Tegal. Maka saya
menepikan kuda besi, masuk ke warung tersebut, dan memesan nasi opor
ayam serta es teh manis.” Contoh lain, misalnya kita pakai kata “manis”. “Wajah
gadis itu manis.” Wajah kok “manis”? Yang manis itu es teh atau permen atau
gula. Wajah itu “cantik”. Akan tetapi, kata “manis” dalam “Wajah gadis itu
manis,” menghadirkan kata “cantik”. Frase “perut keroncongan” menghadirkan kata
“lapar”. Dan, frasa “kuda besi” menghadirkan frasa “sepeda motor”.
AFASIA
merupakan suatu ketidakmampuan untuk mengungkapkan atau memahami
bahasa. Ada dua jenis afasia, yaitu Similarity
Disorder dan Contiguity Disorder.
Similarity
Disorder adalah afasia di mana seorang individu tidak mampu memaknai
suatu kata. Dia tidak mampu mencari padanan kata. Dia tidak mampu membuat
definisi atas suatu kata. Dia tidak mampu secara abstrak menghadirkan tanda-tanda lain yang laten, yang sama dengan tanda
yang sedang dia ucapkan/dengarkan. Individu tersebut tidak mampu menggunakan metafora. Dia tidak mampu melakukan seleksi
(substitusi). Dia hanya mampu mengombinasikan suatu tanda (komposisi) dengan
baik (SPOK-nya benar), tetapi akan kesulitan ketika diminta untuk menjelaskan
maknanya. Ketika dia berkata (atau mendengar orang berkata), “Di tepi jalan ada
Warung Makan Tegal,” penderita afasia similarity
disorder tersebut akan kesulitan menerangkan/mengabstraksikan apa itu “Warung
Makan Tegal”. Dia hanya bisa menerangkan/mengabstraksikan “Warung Makan Tegal”
jika warung makan tersebut ada/hadir secara konkret di hadapannya. Dia pun akan
kesulitan menjelaskan bahwa “sepeda motor adalah kuda besi, sehingga kuda besi
adalah sepeda motor”. Biasanya penderita afasia similarity disorder ini sangat realis dan lebih mampu menggunakan
metonimia (rangkaian sintagma).
Contiguity
Disorder adalah afasia di mana seorang individu tidak mampu
merangkai kata-kata, tidak mampu membuat kalimat sempurna (SPOK benar). Dia
tidak mampu merangkai kata/tanda menjadi suatu unit tanda yang lebih
rumit. Dia mengalami agrammatism.
Yang dapat dia lakukan adalah menumpuk
kata-kata yang sama (word heap).
Ketika penderita afasia contiguity
disorder ini berbicara, kata-kata yang dia ucapkan akan menjadi kacau (chaos). Seluruh kalimat yang hendak dia
ucapkan direduksi menjadi satu kata saja (one
word sentence), dan itu biasanya merupakan suatu kata pokok (kernel subject word) yang hendak dia
utarakan. Dia lebih mampu menggunakan metafora dan kesulitan untuk menggunakan metonimia. Dia bisa melakukan seleksi
(substitusi), tetapi kesulitan melakukan kombinasi (komposisi). Ketika
harus berkata “Di tepi jalan ada Warung Makan Tegal”, penderita afasia contiguity disorder ini hanya akan
mengulang-ulang kata utama (yang menjadi inti pesan) tersebut, atau dengan
kata-kata lain yang mirip (similar / sinonim),
dan mengandaikan lawan bicara sudah paham. Dia hanya akan berkata, “Warung...”
atau “Restoran... .”
*Tulisan ini pada mulanya adalah jawaban ujian akhir Mata Kuliah Kajian Budaya yang diolah dari buku catatan kuliah dan reader (St. Sunardi dan A. Supratiknya) oleh Padmo Adi.
Comments
Post a Comment