ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA

  ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA *kepada Hugo   Lukisan Sri Yesus Kristus bersama dengan Sri Krishna setelah Tuhan mereka bunuh berkali-kali... yang terjadi adalah kemanusiaan yang mati... akhirnya menjelma jadi jiwa yang mengembara di padang belantara... ke selatan, ke utara... ke timur, ke barat... ke sana... entah ke mana... mencoba menemukan Tuhan yang telah tiada   walaupun demikian, itu lebih baik bagi mereka daripada mulut ngaku ikut Sang Lelaki Galilea tapi membela anak ular beludak sampai mati atau mewarnai semua dengan mejikuhibini Ah, Hug, Barat itu arah terbenamnya matahari bacalah Wahyu, semuanya sedang digenapi...   Malang, 07 Oktober 2024 Padmo Adi

BANALITAS GENOSIDA 1965

Banalitas Genosida 1965
-Padmo Adi-

Pendahuluan
     Pada akhir tahun 2014 Indonesia mengadakan acara menonton bersama film Senyap (The Look of Silence) secara serentak di berbagai kota. Film itu merupakan sekuel dari film Jagal (The Act of Killing). Berbeda dengan Jagal, senyap menyajikan kisah pasca-pembantaian 1965 dari sisi korban. Adi, adik kandung dari salah satu korban genosida masal 1965, berkeliling menemui para penjagal kakaknya. Meskipun ada pertemuan yang melahirkan rekonsiliasi kecil antara Adi dengan keluarga penjagal, lebih banyak pertemuan yang melahirkan ketegangan: keluarga penjagal tidak ingin apa yang telah dilakukan oleh bapak/suami mereka di masa lalu itu diungkit-ungkit oleh Adi, si penjagal sendiri tidak ingin diingatkan oleh Adi atas apa yang telah mereka lakukan, atau Adi yang merasa terteror karena si penjagal masih berkuasa (sebagai anggota Dewan, misalnya) dan masih bisa melakukan hal buruk kepada keluarga korban genosida 1965 yang masih hidup. Banyak kritik dan ulasan dilancarkan oleh Orang-orang Kiri di Indonesia atas film tersebut, salah satunya adalah bahwa Senyap, tidak jauh berbeda dari Jagal, merupakan sebuah film orientalis yang menggambarkan bahwa si sutradara, Joshua Oppenheimer, seorang bule Amerika, datang sebagai “pahlawan” yang mencerahkan Orang-orang Indonesia atas kekejaman yang pernah mereka lakukan terhadap keluarganya sendiri di tahun 1965-1966 tanpa memberi perspektif bahwa kepentingan (perusahaan-perusahaan) Amerika Serikat (seperti Freeport, misalnya) ada di balik panggung drama berdarah tersebut. Ada juga Orang Kiri Indonesia yang mengkritik bahwa sudut pandang film itu melulu humanis-moralis karena mengesampingkan faktor kekerasan sistematis yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru beserta aparatus militernya yang didukung (dengan dana dan senjata) oleh Amerika Serikat. Bahkan, ada juga Orang Muslim yang menilai bahwa film Senyap itu islamofobia, dengan menghadirkan tokoh protagonis Adi, yang mahir yoga dan berprofesi sebagai optometris (tukang kacamata), datang berkeliling menemui dan memberi pencerahan kepada tokoh-tokoh antagonis (para penjagal kakanya) yang kini sudah tua, rabun, dahulu gemar meminum darah (secara harafiah), tapi taat shalat lima waktu. Kritik dan ulasan itu muncul dari Orang-orang Indonesia yang menonton film itu. Kita bisa membayangkan ada banyak Orang Indonesia dengan ‘usus yang panjang’ bersedia melihat film yang menghadirkan kembali luka-luka dan ingatan sejarah 1965 dari persepktif si Joshua, sebelum mengutarakan pendapat mereka. Akan tetapi, ternyata jauh lebih banyak jaringan organisasi massa, bersama dengan Angkatan Darat, melakukan pelarangan, intimidasi, pengancaman, dan bahkan pembubaran (dengan kekerasan) acara nonton bareng film Senyap (The Look of Silence) tersebut.

Paper ini dibuat pada hari-hari terakhir tahun 2014. Ada waktu sekitar 49 tahun antara kita dengan peristiwa pembantaian 1965 itu. Akan tetapi, kita belum juga berani menatap peristiwa itu dari sudut pandang alternatif, sudut pandang korban. Sudut pandang yang ditanamkan ke dalam kepala kita adalah sudut pandang para pahlawan: bahwa korban 1965, baik yang sudah mati, maupun yang masih hidup, juga keluarga dan anak-cucu mereka, layak menerima dan mengalami kekerasan tersebut karena mereka (dituduh) komunis, dan komunis itu kejam, jahat, dan bengis, sehingga mereka yang berani membunuh komunis adalah pahlawan. Gambaran bahwa komunis itu kejam-jahat-bengis, bahkan diidentikkan dengan iblis itu, menjadi legitimasi kekerasan berdarah dan diskriminasi yang dilakukan terhadap para korban 1965 dan keluarga mereka. Kita boleh membunuh Si A atau Si B, dan dapat melenggang santai tanpa diadili, bahkan boleh merasa menjadi pahlawan, semata karena Si A atau Si B itu dituduh komunis. Kita boleh memperkosa dan memutilasi Si C atau Si D, tanpa harus takut dengan dosa, selama Si C atau Si D itu dituduh Gerwani. Pertanyaan saya adalah: Mengapa Orang-orang Indonesia begitu ketakutan dengan komunisme, bahkan hanya mendengar kata “komunis” saja bulu kuduk Orang Indonesia merinding? Dan, mengapa ketakutan atas komunisme, yang diikuti dengan kekerasan, intimidasi, dan diskriminasi terhadap keluarga korban kekerasan 1965, itu masih bercokol kuat di dalam benak Orang Indonesia, bahkan setelah Orde Baru, kekuatan politik-budaya-militer yang mengusung ide antikomunisme, tumbang?

Sebenarnya Wijaya Herlambang menyajikan salah satu alternatif jawaban dari pertanyaan semacam itu lewat bukunya Kekerasan Budaya Pasca 1965. Wijaya Herlambang menemukan bahwa para budayawan yang mengusung ideologi Humanisme-Universal, atau yang secara praktis turut serta menandatangani Manifesto Kebudayaan, adalah para aktor yang menghadirkan kondisi, suasana, nuansa, dan atmosfir antikomunis melalui karya-karya seni mereka. Akan tetapi, sebelum saya mengulas jawaban yang ditemukan Wijaya Herlambang, saya akan terlebih dahulu menelusuri tulisan Marshall Green, seorang Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia  yang bertugas di Indonesia saat peristiwa 1965 itu terjadi. Kita akan mencoba melihat dari kaca mata Paman Sam, lewat mulut salah satu Duta Besarnya, bagaimana negara Adidaya itu melihat posisi Indonesia pada masa Perang Dingin. Pada masa itu, Amerika Serikat memiliki harapan kepada Republik Indonesia, bahwa negara kepulauan terbesar di kawasan Asia Tenggara tersebut semakin bergerak ke Kanan, semakin menjadi liberal, semakin kondusif bagi kapitalisme, dibawah kekuatan militer yang menjaga status quo.

Pada Mulanya
Segala kekerasan berdarah, pembunuhan sadis, penangkapan tanpa peradilan, diskriminasi, intimidasi, dan segala perlakuan biadab lainnya yang dilakukan kepada puluhan ribu, bahkan jutaan penduduk sipil Indonesia yang dituduh kader PKI itu mendapatkan legitimasinya. Para penjagal (baik Angkatan Darat maupun ormas sipil) yang melakukan itu merasa bahwa mereka tengah melakukan “tindakan kepahlawanan”, menegakkan keadilan, membasmi iblis dari muka bumi, membalaskan dendam tujuh perwira Angkatan Darat yang darahnya tak berdosa, dan menegakkan kembali Kesaktian Pancasila yang hendak ditumbangkan. Peristiwa penculikan dan pembunuhan enam Jendral dan satu letnan Angkatan Darat itu merupakan puncak dari persaingan antara Angkatan Darat dan PKI untuk meraih dominasi kekuasaan dan pengaruh politik di seluruh Indonesia. Pada saat itu Presiden Soekarno sudah beranjak tua dan sakit-sakitan. Ada sebuah pertanyaan, jika sang proklamator kemerdekaan ini wafat, siapakah yang akan menggantikannya berkuasa di Indonesia? PNI, partai yang didirikan oleh Soekarno, sudah tidak lagi menjadi mesin politik yang efisien baginya. Basis massa yang menjadi kekuatan berdiri Soekarno adalah justru ada pada PKI, partai komunis terbesar ketiga di dunia, dan partai komunis pertama dan terbesar di Asia Tenggara. Soekarno semakin condong ke Kiri, semakin dekat dengan PKI, bahkan berkata, “Ya sanakku, ya kadangku, yen PKI mati, aku melu kelangan.[1] Sementara TNI terpecah menjadi dua: satu kelompok setia pada Soekarno bahkan mendukung PKI (AL, AU, sebagian AD, dan POLRI) dan satu kelompok antikomunis (AD). Dua lawan politik ini, PKI dan AD, saling curiga bahwa pihak yang satunya hendak mengambil alih kekuasaan itu lewat suatu kudeta di saat Soekarno masih hidup. Angkatan Darat menginginkan ada alasan kuat untuk menyerang PKI, akan tetapi enggan mengambil langkah pertama. Di sisi lain, PKI dan para pendukungnya di dalam TNI percaya bahwa akan segera terjadi kudeta militer dari sayap Kanan, sehingga mereka hendak mendahuluinya dengan mempermalukan pemimpin tentara dengan cara menculik mereka.[2] Sejarah pun mencatat bahwa pada 30 September 1965 malam (01 Oktober 1965 dini hari) para pasukan pengawal presiden, Cakrabirawa, pimpinan Kolonel Untung, melancarkan operasi militer untuk menculik tujuh pemimpin senior Angkatan Darat: Nasution, Ahmad Yani, Suprapto, Soetoyo, Haryono, Panjaitan, dan S. Parman. Namun, Nasution berhasil meloloskan diri. Pasukan Cakrabirawa mengejar Nasution, tetapi mereka keliru menangkap Tendean, ajudan Nasution.[3] Rencana yang awalnya hanya ingin mempermalukan Angkatan Darat (yang dipercaya akan segera melakukan aksi kudeta militer sayap Kanan dengan membentuk Dewan Jendral) itu berjalan terlalu jauh. Orang-orang Angkatan Darat yang diculik itu kemudian dibunuh, bahkan ada yang ditembak di tempat karena melawan. Gerakan itu oleh Kolonel Untung diberi nama Gerakan 30 September. Salah satu petinggi Angkatan Darat yang tidak dijadikan target operasi itu adalah Jendral Soeharto, komandan Kostrad.

Marshall Green, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia yang sedang bertugas pada waktu itu, mencatat bahwa Menteri Pertahanan Jendral Nasution adalah target terbesar di antara yang lainnya. “Untung bagi Tentara dan sebuah Indonesia yang non-komunis di masa depan,” kata Green, “bahwa Jendral Soeharto rupanya tidak dijadikan target, mungkin karena dia bukan staf langsung Jendral Yani atau berada di garis teratas komando.”[4] Soeharto sendiri mengaku bahwa pada malam itu dia tengah berada di rumah sakit untuk menunggui anaknya yang sakit. Bahkan, kabar mengenai penculikan para Jendral itu didengarnya bukan dari staf Angkatan Darat, melainkan dari sipil.

Amerika Serikat bergerak dengan dua tangan dalam menangani Indonesia dan Soekarno. Satu tangan adalah tangan yang legal, yaitu Duta Besarnya, Marshall Green, sedangkan tangan yang lain adalah tangan yang bergerak di bawah meja, yaitu CIA. Sebagai Duta Besar Amerika Serikat, Green bingung atas apa yang terjadi pada 30 September 1965 malam (01 Oktober 1965 dini hari) tersebut. Green mengaku bahwa pada malam itu dia tengah menyaksikan pertunjukan wayang. Green mengatakan bahwa dia pulang dari pertunjukan itu setelah lewat tengah malam. Jalan-jalan sepi, senyap, tak ada suara senjata sama sekali, juga tak ada kendaraan lapis baja lewat, meskipun Jendral Ahmad Yani, salah satu korban yang ditembak di tempat, adalah tetangganya. Keesokan harinya, tanggal 01 Oktober 1965, pada pukul 08.00 RRI melaporkan bahwa “Gerakan September Tiga Puluh” telah menyelamatkan Presiden Soekarno dari kudeta CIA yang melibatkan “Dewan Jendral”.[5] Berita RRI itu disusul dengan sebuah dekrit di bawah nama Letnan Kolonel Untung, pemimpin pasukan elit pengaman presiden, Resimen Cakrabirawa, bahwa negara akan dipimpin di bawah sebuah “Dewan Revolusioner Indonesia”. Nama-nama anggota “Dewan Revolusioner Indonesia” tersebut diumumkan pada tanggal 01 Oktober 1965 siang hari. Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia segera menyimpulkan bahwa kudeta itu adalah prokomunis. Kedutaan Besar Amerika Serikat pun menyadari bahwa nama-nama anggota “Dewan Revolusioner Indonesia” itu disusun secara mentah. Kedutaan Besar Amerika Serikat pun segera mengirimkan telegram kepada Washington. Kedutaan Besar Amerika Serikat menduga bahwa Letkol Untung dan pasukannya semata hanyalah pion PKI. Mereka mencatat bahwa dalang di balik peristiwa itu adalah Komandan AU Marsekal Omar Dhani dan Ketua PKI D.N. Aidit. Mereka juga mencatat bahwa Marsekal Omar Dhani dan Aidit pada waktu itu berada di markas besar gerakan kudeta, yaitu Lanud Halim, bersama dengan Presiden Soekarno sendiri dan Brigadir Jendral Supardjo.[6] Brigjend Supardjo, salah satu ajudan Soekarno, seharusnya berada di Kalimantan sebagai pemimpin perang terhadap Malaysia, tetapi Green mencatat bahwa dia kembali ke Jakarta untuk mengomando kudeta.

Mimpi yang Menjadi Nyata: Kudeta Gagal
Gerakan itu segera mendapatkan perlawanan sengit dari Jendral Soeharto. Pada tanggal 01 Oktober 1965 sore, Jendral Soeharto dan pasukannya segera menyerbu Lanud Halim. Gerakan itu diminta untuk menyerahkan diri atau akan dihajar oleh Soeharto dan pasukannya yang jauh lebih kuat. Sebuah kudeta gagal PKI yang diimpikan Amerika Serikat sepertinya terwujud menjadi nyata. Amerika Serikat memang menghendaki PKI melakukan sebuah upaya kudeta yang gagal, sehingga ada cukup dalih dan alasan bagi elemen antikomunis Indonesia untuk menyingkirkan mereka, sehingga pada akhirnya menumbangkan Soekarno. Green mencatat bahwa Soekarno dengan frustasi segera pergi ke Istana Bogor meninggalkan Gerakan itu. Sementara itu, Ketua PKI, D.N. Aidit, melarikan diri ke Jawa Tengah, meninggalkan sisa-sisa dari Gerakan itu.[7]

Pada tanggal 03 Oktober 1965 Presiden Soekarno baru menyadari bahwa Jendral Nasution selamat dari Gerakan itu. Soeharto pun semakin kuat memegang kendali Angkatan Darat. Presiden Soekarno berusaha untuk tidak mengasosiasikan dirinya dengan para dalang dari Gerakan itu. Walaupun demikian, dengan kekuasaan Presiden yang dia miliki, Soekarno terus berusaha untuk melindungi PKI. Di sisi lain, Soekarno sendiri semakin dicurigai terlibat dengan Gerakan September Tiga Puluh (GESTAPU) tersebut. Perlindungan yang diberikannya kepada para pemimpin PKI, kehadirannya di Lanud Halim pada tanggal 01 Oktober 1965 pagi, dan sikapnya yang tidak menunjukkan simpati terhadap para jendral yang dibantai semakin membuatnya dicurigai terlibat. Apa lagi, Soekarno menyadari bahwa satu-satunya yang menentang keras atas NASAKOM, dan termasuk ide Angkatan Kelima itu, adalah Angkatan Darat, terutama para petingginya. Maka, untuk mewujudkan gagasan NASAKOM, para petinggi Angkatan Darat itu harus dienyahkan.

Dimulainya Genosida
Franz Magnis-Suseno, SJ, mengatakan bahwa sebaiknya kita membedakan peristiwa “1965” itu ke dalam tiga tahap.[8] Tahap pertama adalah peristiwa penculikan dan pembunuhan Dewan Jendral oleh Gerakan 30 September. Tahap kedua dimulai kira-kira pada pertengahan Oktober 1965. Tahap ini adalah tahap yang paling mengerikan. Pada tahap ini, penduduk sipil yang dituduh kader atau simpatisan PKI dibantai dengan sadis. “Pembersihan” secara total dilakukan di beberapa daerah seperti di Jawa bagian tengah (Jawa Tengah dan Yogyakarta), Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, bahkan Flores. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, pembantaian itu dilakukan oleh Angkatan Darat (RPKAD, sekarang Kopassus). Franz Magnis-Suseno mencatat bahwa aksi pembantaian di Jawa Tengah dan Yogyakarta itu sama sekali tidak melibatkan masyarakat sipil nonmiliter.[9] Pembantaian sadis dalam jumlah yang luar biasa terjadi antara bulan November 1965 hingga Januari 1966 di Jawa Timur, Bali, dan daerah lainnya. Di Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Flores, dan daerah-daerah lain di Indonesia pembantaian itu dilakukan oleh masyarakat sipil nonmiliter, walaupun sebenarnya didorong dan didukung oleh militer. RPKAD yang membantai masyarakat sipil yang dituduh kader/simpatisan PKI itu dipimpin oleh Sarwo Edhi. John Roosa membuktikan bahwa sebenarnya Soehartolah yang bertanggung jawab atas genosida massal tersebut.[10] Soeharto memerintahkan pembekuan media-media massa (koran-koran), hanya memberi izin terbit kepada beberapa surat kabar tertentu (terutama surat kabar dari militer), dan merebut kembali RRI supaya memastikan bahwa hanya ada satu versi kebenaran yang disebarkan dan memastikan bahwa propaganda antikomunis tersebar dengan cepat dan efektif. Genosida itu dilakukan secara sistematis, bukan reaksi spontan massa yang sporadis. “Pada akhir tahun 1965,” kata John Roosa, “utusan-utusan Soeharto bertanya kepada kedutaan besar AS, berapa harga mayat-mayat komunis itu. Berapa banyak imbalan yang akan mereka dapatkan atas kesetiaan mereka mengabdi pada kerajaan AS?”[11]

Jumlah korban sipil genosida itu tidak pernah diketahui secara pasti. Marshall Green mencatat bahwa kira-kira ada 40.000 hingga jutaan korban.[12] Pangkopkamtib Sudomo, sebagaimana ditulis oleh Franz Magnis-Suseno, menyebutkan angka 1,9 juta orang korban.[13] Jumlah tersebut belum termasuk mereka yang menjadi “korban” pada tahap ketiga. Tahap ketiga adalah tahap di mana Soeharto menanamkan  dalam alam bawah sadar seluruh masyarakat Indonesia bahwa apapun yang berbau komunis adalah jahat semata-mata. Tahap ini adalah tahap di mana masyarakat dicekoki teror sehingga mengalami trauma yang mendalam, bahkan saking dalamnya, trauma itu tidak begitu saja hilang setelah Soeharto dilengserkan pada 21 Mei 1998. Secara sistematik dan birokratis jutaan orang yang dituduh kader/simpatisan komunis atau merupakan sanak-keluarga/anak-cucu dari orang yang dituduh demikian mengalami diskriminasi. Mereka tidak dianggap sepenuhnya Warga Negara Indonesia. Nama baiknya dicemarkan. Perekonomiannya dihancurkan. Hak-hak politiknya dikebiri. Mereka disiksa secara fisik dan/atau ditahan tanpa peradilan, seperti yang terjadi di Pulau Buru. Yang perempuan diperkosa. Kemerdekaan hidupnya dirampas. KTP-nya diberi tanda khusus. Mereka tidak boleh bekerja di lapangan pekerjaan tertentu. Mereka harus melapor ke markas polisi/tentara secara berkala. Anak-cucu mereka mengalami kesulitan mengakses pendidikan, susah masuk sekolah. Teror dan propaganda antikomunis pada tahap ketiga ini dilakukan pula lewat produk-produk budaya, seperti misalnya ideologi negara (reinterpretasi Pancasila sehingga sejalan dengan program antikomunisme dari Orde Baru), museum, monumen, diorama, relief, folklor, agama, buku-buku pegangan siswa, materi penataran, film (Pengkhianatan G30S/PKI yang pada rezim Orde Baru selalu diputar setiap tanggal 30 September malam), ideologi kebudayaan (“Humanisme-Universal”-nya Manikebu), karya sastra, dan karya seni lainnya.[14] Bahkan, kata “komunis” dan singkatan “PKI” menjadi kata makian.[15]

Tanggapan Dunia
Peristiwa 30 September 1965 di Indonesia itu harus kita lihat di dalam konteks Perang Dingin antara ideologi komunisme Uni Soviet melawan ideologi liberalisme-kapitalisme Amerika Serikat. Sebagai pemenang Perang Dunia II, dua negara Adikuasa itu berlomba-lomba menancapkan pengaruhnya seluas-luasnya ke seluruh dunia. Dunia seakan-akan terbagi ke dalam dua kutub raksasa. Jerman terpecah menjadi Jerman Barat dan Timur, Korea terpecah menjadi Korea Utara dan Selatan, Vietnam terpecah menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan.[16] Sementara itu, ketika China Daratan menjadi komunis (Republik Rakyat China), orang-orang China nasionalis melarikan diri dan meneruskan riwayat negara nasionalis China (Republik China) di Taiwan.

Amerika Serikat telah memiliki NATO di Eropa Barat untuk mencegah komunisme. Amerika pun menjalin persahabatan dengan Inggris Raya, sehingga juga menjalin persahabatan dengan negara-negara di bawah persemakmuran Inggris, termasuk Australia dan Selandia Baru. Di Pasifik Amerika menjalin persahabatan dengan bekas musuhnya, Jepang. Akan tetapi, mereka hampir tidak memiliki akses untuk memegang Asia Tenggara. Indonesia di bawah Soekarno enggan menjalin kerja sama dengan Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa dan Asia lainnya di bawah SEATO. Padahal, Indonesia mencakup daerah paling besar dan strategis di Asia Tenggara. Sementara itu, Indonesia di bawah Soekarno, yang pada awalnya bersikap bebas-aktif (netral) terhadap Perang Dingin, bahkan menjadi salah satu negara pelopor Gerakan Non-Blok, semakin bergerak ke Kiri mendekati Uni Soviet dan terutama Republik Rakyat China.

Untuk mencegah komunisme bergerak semakin ke Selatan, Amerika Serikat mengadakan perang terbuka di Vietnam. Semua perhatian petinggi Amerika terarah ke Vietnam, sehingga Indonesia dengan segala tingkah Soekarno hanya dipandang sebelah mata saja. Kebijakan-kebijakan Soekarno yang membuat Indonesia semakin bergerak ke Kiri pun hanya dipandang sebagai tingkah nyentrik saja. Washington memang tetap berang terhadap keputusan Soekarno berperang dengan Malaysia, ancaman Soekarno menasionalisasi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat termasuk Caltex dan Goodyear, pidato “to hell with your aid” Soekarno, keputusan Soekarno menarik Indonesia dari keanggotaan PBB, dan hubungan dekat Indonesia dengan Uni Soviet, RRC, Vietnam Utara, dan Korea Utara. Akan tetapi, Washington hanya menganggap bahwa Soekarno melulu melakukan gertak sambal saja. RRC bahkan jauh lebih serius dalam menanggapi Indonesia dari pada Amerika Serikat pada waktu itu.[17] Indonesia memang memiliki Partai Komunis terbesar di Asia Tenggara dan bahkan sangat dekat dengan negara-negara komunis, tetapi Amerika Serikat tidak menganggap Indonesia sebagai kekuatan komunis yang potensial.

Jikapun Amerika Serikat harus berurusan dengan Indonesia di bawah Soekarno perihal komunisme, Amerika Serikat tidak menginginkan pendekatan yang sama seperti yang mereka lakukan terhadap Vietnam: perang terbuka. Jikapun komunisme harus dilenyapkan dari bumi Indonesia, Amerika Serikat ingin agar tangannya tetap bersih. Kita semua tahu bahwa Amerika Serikat mendapat kecaman dan protes hebat dari para akademisi Eropa dan pemuda di Amerika Serikat sendiri perihal perang Vietnam, dan bahwa Amerika Serikat kalah di sana.

Amerika Serikat pun bergerak dengan dua tangan. Satu tangan yang legal adalah melalui para Duta Besarnya, sedangkan satu tangan lainnya bergerak di bawah meja (CIA). Pada awalnya mereka mengutus Howard P. Jones. Namun, Duta Besar itu justru menunjukkan simpatinya terhadap Soekarno, bahkan mengaguminya. Howard P. Jones seakan-akan jatuh cinta dengan eksotisme Indonesia. Kemudian, dia ditarik pada tanggal 24 Mei 1965 dan digantikan oleh Marshall Green.

Hampir seluruh karir Marshall Green yang menyangkut Hubungan Luar Negeri berhubungan dengan usaha Amerika Serikat mengakarkan pengaruhnya di Asia Timur dan Pasifik Barat. Marshall Green sangat berpengalaman soal urusan Amerika Serikat di Asia Timur. Marshall Green sudah bertugas untuk urusan Amerika Serikat di Asia Timur ketika Perang Dunia II. Kemudian, dia terus melanjutkan tugasnya berurusan dengan Asia Timur pascaperang; dia berkesempatan melihat negara-negara Asia Timur dan Tenggara bangkit dari perang dan kolonialisme. Tidak seperti Howard P. Jones, Marshall Green sama sekali tidak menyukai Soekarno. Dia bertugas di Indonesia 26 Juli 1965 hingga 26 Maret 1969.

Amerika Serikat memang ingin mencegah komunisme berkembang di Asia Timur, juga di Indonesia, tetapi mereka enggan untuk terlibat secara langsung. Amerika Serikat melihat bahwa sebenarnya di Indonesia terdapat gerakan-gerakan antikomunis, juga di dalam tubuh Angkatan Darat. Akan tetapi, mereka tidak kunjung melakukan apa-apa untuk melawan arus komunisme yang cepat dan massif di Indonesia. Angkatan Darat pun diam tak bergeming. Di tubuh TNI sendiri, kebanyakan tentara sangat setia kepada Soekarno. Kehadiran John F. Kennedy dan persahabatannya dengan Soekarno sebenarnya meredakan ketegangan hubungan Jakarta-Washington, tetapi ternyata dia ditembak mati di dalam sebuah konspirasi besar yang melibatkan “orang dalam”.

Pascagenosida 1965, Soekarno perlahan-lahan dilucuti dari segala kekuasaannya. Soekarno, yang sudah ditetapkan sebagai presiden sumur hidup itu, dipaksa untuk menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Surat itu menjadi dasar legitimasi munculnya Soeharto sebagai pemimpin Indonesia. Soekarno pun dijadikan “presiden boneka”. Soekarno memang secara de iure adalah Presiden Indonesia pada saat itu, tetapi de facto yang menjadi presiden adalah Soeharto. Soekarno akhirnya menyerahkan kekuasaannya pada tanggal 20 November 1967 setelah dilengserkan melalui sidang MPRS yang diketuai oleh Jendral Nasution. Soeharto kemudian dilantik sebagai presiden menggantikan Soekarno. Semenjak itu, Indonesia berbalik arah, bergerak ke Kanan. Kran investasi asing dibuka kembali selebar-lebarnya.

Jatuhnya Soekarno ini tentu disambut dengan tempik-sorak oleh negara-negara Barat yang selamanya menganggap Soekarno sebagai penghalang terakhir untuk mengeksploitasi alam Indonesia. Barat segera menawarkan hutang, bahkan ketika Soekarno masih menjadi presiden de iure. Indonesia segera bergabung kembali dengan IMF dan Bank Dunia. Pada Februari 1967 di Amsterdam diadakan pertemuan IGGI (the Inter-Governmental Group on Indonesia), yang beranggotakan empat belas negara donor dan lima organisasi internasional (IMF, Bank Dunia, Development Program dari PBB, OECD, dan the Asian Development Bank).[18] Tak ketinggalan pula Jepang turut masuk menawarkan investasi.

Koran-koran borjuis Prancis turut serta memberitakan peristiwa Genosida 1965 itu dan memberi kesimpulan yang bisa membuat kita yang hidup di masa ini mengernyitkan dahi. Heinz Schüte mencatat, “Pesan yang disampaikan pers borjuis Prancis itu jelas: Pembantaian mengerikan itu --yang para korbannya bagaimanapun juga dikatakan kurang lebih pasrah menerima hal-hal yang tak terelakkan, yakni untuk membersihkan masyarakat dan membangun masa depan yang lebih baik-- harus diterima, meskipun dengan rasa sesal. Dikatakan bahwa orang-orang yang dibunuh itu merupakan  collateral damage (korban-korban yang jatuh tanpa disengaja) --tapi tak terhindarkan-- demi meraih tujuan yang konon baik dan lebih tinggi.”[19]

Richard Tanter menulis bahwa pembunuhan massal itu tentunya merupakan prasyarat bagi dukungan berikutnya yang diberikan oleh Australia, Amerika, dan Jepang untuk Orde Baru.[20] Bagaimana media massa Australia melihat dan memberitakan peristiwa berdarah mengerikan itu? Australia, sebagaimana Amerika Serikat, pada waktu itu memandang Indonesia sebagai yang benar-benar Liyan, yang ditandai dengan ketidakdewasaan. Mereka memakai pandangan stereotipe khas orientalis. Genosida itu dipandang sebagai aksi irasional orang-orang Indonesia (dibandingkan dengan orang-orang Australia yang rasional). Koran-koran Australia menggambarkan bagaimana pembantaian mengerikan itu hanyalah semata aksi amuk haus darah penuh dendam antarmasyarakat sipil. Mereka mengabaikan peran langsung Angkatan Darat dengan senjata dan bayonetnya. Bahkan, mereka enggan melihat bahwa ada peran asing di balik peristiwa pembantaian jutaan warga sipil Indonesia tersebut. Yang lebih membikin kita merasa ngeri adalah pernyataan Perdana Menteri Australia, Harold Holt. Richard Tanter mengutip kata-kata Harold Holt:
Dengan dibunuhnya (knocked off) 500.000 sampai 1 juta simpatisan komunis, saya pikir aman untuk berasumsi bahwa perubahan orientasi telah terjadi.[21]
Memang dia dan rekan-rekannya tidak menyembunyikan kegembiraannya atas dibasminya PKI, tetapi pernyataannya sungguh bisa dijadikan contoh bagaimana Barat (Amerika, Eropa, dan Australia) telah “mati rasa”. Bagaimana mungkin sebuah genosida, pembunuhan massal, dianggap sesuatu yang normal?

Lalu, bagaimana dengan Uni Soviet? Bagaimana sikap Uni Soviet, negara komunis terbesar itu, melihat dibantainya orang-orang PKI (beserta semua penduduk sipil yang dituduh kader/simpatisan PKI)? Kita tentu berpikir bahwa sudah layak dan seharusnya Uni Soviet, sebagai negara komunis terbesar, memberikan dukungan, bantuan, dan aksi-aksi yang relevan untuk mencegah partai komunis terbesar ketiga di dunia itu musnah. Hubungan Jakarta-Moskow itu seperti cinta segitiga. Walaupun sama-sama komunis, hubungan Moskow-Beijing retak. Terdapat friksi China-Soviet. Uni Soviet membantu Indonesia mengadakan serangan ke Papua Barat dan mengganyang Malaysia. Uni Soviet juga membantu Indonesia membangun proyek-proyek prestisius seperti pembangunan kompleks olah raga di Senayan. Akan tetapi, ketika Soekarno semakin dekat dengan PKI (yang lebih pro-China dari pada pro-Soviet), bahkan benar-benar mendekati Republik Rakyat China, Moskow memutuskan hubungannya dengan Jakarta. Hubungan itu dijalin kembali pada akhir tahun 1964 dan awal tahun 1965. Walaupun antara Komunis Soviet dengan PKI terjadi ketidakharmonisan, keduanya masih menjalin hubungan resmi. Sudah sejak 1926 Soviet selalu melarang PKI untuk memberontak, “Waktunya belum tiba!” sehingga bisa dipastikan bahwa Uni Soviet sama sekali tidak turut terlibat di dalam Gerakan 30 September itu, mencium gelagat rencana peristiwa itu pun tidak.[22] Sehingga, ketika peristiwa pada tanggal 30 September 1965 malam hari itu terjadi, dan diikuti dengan pembantaian terhadap orang-orang PKI, Uni Soviet tetap bersikap tenang, sebuah sikap yang bahkan membuat Kedutaan Jerman Barat di Indonesia terkejut. Ragna Boden menulis, “[S]oviet mungkin lebih menyukai jika PKI dibasmi, dari pada tetap hidup sambil terus mendukung China dan semakin berorientasi anti-Soviet.”[23] Akan tetapi, akhirnya Uni Soviet berbicara juga ketika pembantaian itu mencapai puncaknya. Walaupun demikian, Uni Soviet tidak berbuat sesuatu hal pun yang berarti untuk mencegahnya. Malah, Uni Soviet berusaha menjalin hubungan dengan rezim militer Indonesia (Soeharto), bahkan memasok senjata untuk pemerintahan baru Indonesia tersebut.

Pengkondisian
Propaganda antikomunisme itu disebarkan salah satunya lewat produk-produk budaya. Justru propaganda lewat produk-produk budaya itu jauh lebih efektif menyusup dan berakar kuat dalam alam bawah sadar masyarakat Indonesia. Jika di tempat lain sejarah menjadi karya seni, di Indonesia rumor menjadi karya seni lalu menjadi sejarah. Masyarakat mengingat detail peristiwa 30 September 1965 malam itu melalui film Pengkhianatan G30S/PKI dan lewat versi novelnya. Padahal, kekerasan dan penyiksaan yang ditampilkan di film itu tidak dapat diafirmasi oleh data-data visum et repertum dokter. Tidak ada luka sayatan silet, tidak ada pencungkilan mata, dan tidak ada pengebirian penis. Yang ada adalah luka tusukan benda tajam, lubang peluru, dan patah tulang akibat pukulan keras benda tumpul. Wijaya Herlambang, lewat bukunya Kekerasan Budaya Pasca 1965, menemukan bahwa Genosida 1965 itu mendapatkan pembenarannya lewat kebudayaan. Para agen-agen kebudayaan yang bergerak di bawah ideologi Humanisme-Universal, lewat produk-produk budaya mereka, menghadirkan atmosfir, nuansa, dan suasana yang mendukung antikomunisme dan trauma Genosida 1965 langgeng hingga sekarang.

Melalui produk-produk kebudayaan itu, masyarakat dicekoki dengan teror. Masyarakat wajib membatinkan bahwa komunis itu sama dengan iblis: kejam, sadis, biadab. Hal itu membuat para penjagal sama sekali tidak merasa bersalah atas apa yang telah mereka lakukan, bahkan menganggap diri pahlawan. Masyarakat pun dihantui dengan ingatan bahwa mereka yang dituduh dan dicap PKI begitu saja hilang tak berbekas. Hal itu membuat kekejian Genosida 1965 hampir tidak pernah dibicarakan, ditutup rapat-rapat, seakan-akan tidak pernah terjadi. Kalaupun dibicarakan, Genosida 1965 itu dibicarakan dengan bisik-bisik, dengan penuh rasa takut.

Melalui produk-produk kebudayaan itu pula ideologi liberalisme, yang merujuk pada semangat ideal Barat (Eropa Barat dan Amerika Serikat), disuntikkan. Masyarakat dikondisikan untuk membatinkan ideologi liberalisme dan pandangan Humanisme-Universal. Cara berpikir dan sudut pandang masyarakat diset sedemikian rupa supaya kepentingan politik-ekonomi jangka panjang Barat, khususnya Amerika Serikat, di Indonesia memiliki jaminan keamanan. Pembangunan sistem perekonomian dan model masyarakat yang berorientasi ke Barat (Amerika Serikat) menjadi tujuannya. Ideologi liberalisme dan pandangan Humanisme-Universal itu menciptakan suatu masyarakat seri, yang tidak lagi terorganisasi, sehingga tidak lagi kritis dan tidak lagi memiliki basis massa yang cukup kuat untuk meresistensi kepentingan Barat di Indonesia. Para agen kebudayaan yang turut serta di dalam usaha itu hingga kini masih hidup, bahkan masih memiliki pengaruh dan legitimasi terhadap kebudayaan Indonesia.

Penutup
Genosida 1965 harus dilihat di dalam konteks Perang Dingin dan juga harus dilihat pula dalam konteks friksi China-Soviet. Pada era 1960-an, banyak rezim yang didekati secara intens oleh Moskow tumbang: Ben Bella di Aljazair (Juni 1965), Nkrumah di Ghana (Februari 1966), dan Keita di Mali (1968). Genosida 1965 adalah sebuah tindakan pelenyapan basis massa Soekarno, sehingga dengan sendirinya proklamator itu tumbang. Dengan tumbangnya “penghalang terakhir kepada kekayaan alam Indonesia” tersebut, negara-negara Barat (beserta segenap korporasinya) bertempik-sorak dan bergegas berebut masuk ke Indonesia.

Jika benar bahwa PKI harus bertanggung jawab atas pembunuhan enam jendral dan satu letnan Angkatan Darat itu, eksekusi Letnan Kolonel Untung dan D.N. Aidit serta para petinggi PKI lainnya sudah cukup untuk menegakkan keadilan. Akan tetapi, ternyata beberapa bulan setelah 30 September 1965 malam itu jutaan rakyat sipil Indonesia dibantai dengan sadis dan mengerikan. Genosida itu sebenarnya tidak hanya menimpa kader/simpatisan PKI, tetapi juga dijadikan momentum bagi semua Orang Indonesia untuk melakukan balas dendam berdarah dengan alasan apapun. Di Sumatera Utara misalnya, momentum Genosida 1965 itu dijadikan kesempatan untuk menyingkirkan etnis Jawa di sana. Di Bali momentum Genosida 1965 itu terjadi dengan cara yang lebih dramatis: saudara merelakan diri dijadikan tumbal untuk dibunuh saudaranya yang lain demi pulihnya ketentraman di tanah itu. Sementara di Jawa bagian tengah, Genosida 1965 itu menimpa bukan hanya para kader/simpatisan PKI, tetapi juga menimpa orang-orang soekarnois (marhaenis), sebab memang basis massa Soekarno tengah dihancurkan.

Genosida 1965 tidak dilakukan sebagai reaksi yang spontan. Genosida 1965 dilakukan secara sistematis oleh Angkatan Darat, didukung oleh Barat (Amerika Serikat). Jikapun di daerah-daerah lain di luar Jawa bagian tengah Genosida 1965 itu dilakukan oleh masyarakat sipil, mereka melakukannya atas desakan, provokasi, dan dukungan Angkatan Darat. Genosida 1965 itu menjadi prasyarat mutlak bagi sebuah pergantian rezim yang benar-benar berbeda dari sebelumnya. Genosida 1965 itu menjadi prasyarat bagi berubahnya haluan politik-ekonomi-sosial-budaya Indonesia dari Kiri menuju ke Kanan. Genosida 1965 itu adalah sebuah taktik Soeharto untuk meraih kekuasaan tertinggi di Indonesia. Genosida 1965 adalah bagian dari kudeta merangkak Soeharto.

Akan tetapi, narasi-narasi sejarah yang demikian itu ditutupi dan disamarkan oleh narasi sejarah resmi Orde Baru yang, walaupun memutarbalikkan fakta dan menjadikan rumor sebagai kebenaran, masih terus diamini hingga detik ini. Kita masih dihantui oleh mitos yang ditanamkan Orde Baru dengan kuat ke dalam benak kita. Kita masih trauma atas teror yang wajib kita terima melalui produk-produk budaya semasa Orde Baru. Bahkan, di antara kita masih menganggap bahwa para korban Genosida 1965 itu pantas menerima kekejaman yang tidak terperikan itu karena semata mereka adalah kader/simpatisan PKI. Diskriminasi terhadap para keluarga korban Genosida 1965 masih terjadi, bahkan setelah Soeharto dilengserkan. Sebagian dari kita masih enggan untuk melihat kembali sejarah dan mendengarkan narasi-narasi alternatif.

Selama kita masih enggan untuk melihat kembali sejarah dan enggan mendengarkan narasi-narasi alternatif dengan berbagai sudut pandangnya, kita tidak akan pernah belajar apapun dari sejarah, dan dikutuk untuk mengulanginya. Bahkan, jangankan kata “peradilan”, kata “rekonsiliasi” pun masih jauh dari kita jika demikian. Selamanya kita akan menjadi bangsa yang bebal.

Daftar Pustaka
Green, Marshall. 1990. Indonesia, Crisis and Transformation, 1965 - 1968. Washington, D.C.: The Compass Press
Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Schaefer, Bernd. 2011. 1965, Indonesia and the World. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama




[1] “Ya sanakku, ya saudaraku, kalau PKI mati, aku pun turut kehilangan.”
[2] Bern Schaefer, “Indonesia dan Dunia pada 1965/66”, dalam Bern Schaefer (ed.), “1965, Indonesia and The World”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, 185.
[3] Wijaya Herlambang, “Kekerasan Budaya Pasca 1965”, Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2013, 1-2.
[4] Marshall Green, “Indonesia, Crisis and Transformation 1965-1968”, Washington D.C.: The Compass Press, 1990, 51.
[5] Marshall Green, 1990, 52.
[6] Marshall Green, 1990, 52-53.
[7] Marshall Green, 1990, 53.
[8] Franz Magnis-Suseno, SJ, “Indonesia 1965-66 dalam Pengalaman Saya”, dalam Bern Schaefer (ed.), “1965, Indonesia and The World”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, 397.
[9] Seorang warga sipil di Solo, Jawa Tengah, bercerita kepada saya bahwa suaminya dipaksa untuk menjadi sopir truck yang mengangkut orang-orang yang dituduh kader/simpatisan PKI ke tempat eksekusi. Jika dia tidak mau melakukan itu, dia sekeluarga akan dituduh membantu PKI, dengan demikian juga termasuk kader/simpatisan PKI, yang berarti kematian.
[10] John Roosa, “Merencanakan Pembunuhan Massal, Melemparkan Tuduhan Palsu pada Komunis”, dalam Bern Schaefer (ed.), “1965, Indonesia and The World”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, 229-235.
[11] John Roosa, “Merencanakan Pembunuhan Massal, Melemparkan Tuduhan Palsu pada Komunis”, dalam Bern Schaefer (ed.), 2011, 235.
[12] Marshall Green, 1990, 61.
[13] Franz Magnis-Suseno, SJ, “Indonesia 1965-66 dalam Pengalaman Saya”, dalam Bern Schaefer (ed.), 2011, 398.
[14] Wijaya Herlambang, 2013, 5.
[15] Pada peristiwa Merapi meletus tahun 2010 tempo hari, jaringan radio Balerante di-jammed oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Ada seorang relawan yang memaki penge-jammed tersebut dengan makian “Dasar PKI!” dan “Bola-bali anake PKI!” (Namanya juga anaknya PKI!).
[16] Kemudian hari Jerman Barat dan Timur bersatu, begitu pula Vietnam Utara dan Selatan bersatu kembali.
[17] Marshall Green, 1990, 31.
[18] Marshall Green, 1990, 115.
[19] Heinz Schüte, “Peristiwa 30 September 1965, Akibatnya dalam Pemberitaan Pers Prancis”, dalam Bern Schaefer (ed.), “1965, Indonesia and The World”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, 366.
[20] Richard Tanter, “Pembunuhan Besar-besaran di Indonesia dalam Tinjauan Media Massa Australia”, dalam Bern Schaefer (ed.), “1965, Indonesia and The World”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, 370.
[21] Richard Tanter, “Pembunuhan Besar-besaran di Indonesia dalam Tinjauan Media Massa Australia”, dalam Bern Schaefer (ed.), 2011, 385.
[22] Ragna Boden, “Kesunyian di Rumah Jagal-Moskow dan Pembantaian Massal di Indonesia”, dalam Bern Schaefer (ed.), “1965, Indonesia and The World”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, 311.
[23] Ragna Boden, “Kesunyian di Rumah Jagal-Moskow dan Pembantaian Massal di Indonesia”, dalam Bern Schaefer (ed.), 2011, 312.

Comments