ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA

  ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA *kepada Hugo   Lukisan Sri Yesus Kristus bersama dengan Sri Krishna setelah Tuhan mereka bunuh berkali-kali... yang terjadi adalah kemanusiaan yang mati... akhirnya menjelma jadi jiwa yang mengembara di padang belantara... ke selatan, ke utara... ke timur, ke barat... ke sana... entah ke mana... mencoba menemukan Tuhan yang telah tiada   walaupun demikian, itu lebih baik bagi mereka daripada mulut ngaku ikut Sang Lelaki Galilea tapi membela anak ular beludak sampai mati atau mewarnai semua dengan mejikuhibini Ah, Hug, Barat itu arah terbenamnya matahari bacalah Wahyu, semuanya sedang digenapi...   Malang, 07 Oktober 2024 Padmo Adi

Pendidikan Kita (Renungan Filosofis)

Pendidikan Kita


Pendidikan Kita

ketika kampus tak lagi aman
dan kehilangan wibawa akademisnya...
untuk apa ada universitas kalau demikian?

untuk apa kuliah
kalau tak boleh berbicara dan mendengarkan?

untuk apa sekolah
kalau tak boleh berpikir dan berdialektika?

hai, Negara,
apa kausediakan itu sekolah-sekolah
supaya kami cuma jadi Tenaga Kerja cerdas
bagi cukong-cukong itu?

wahai kawan-kawan, mari kita membolos saja!!!
kita sekolah untuk jadi manusia
bukan jadi kerbau yang dicocok hidungnya

Februari-Maret 2015
Padmo Adi


Puisi di atas adalah reaksi spontan saya mendengar bahwa acara diskusi dan menonton bersama yang diadakan oleh Natas (pers mahasiswa Universitas Sanata Dharma) pada tanggal 25 Februari 2015 yang lalu dibubarkan oleh Aparat Kepolisian. Padahal, acara itu merupakan suatu kegiatan akademis yang diadakan di lingkungan kampus, benteng terakhir kebebasan akademis. Aparat Kepolisian membubarkan acara tersebut karena, selain mengadakan diskusi Kebangsaan, Natas mengajak pula hadirin untuk menonton bersama film The Look of Silence (Senyap) karya Joshua Oppenheimer. Golongan Fasis dan Fundamentalis khawatir bahwa film itu akan membangkitkan kembali Partai Komunis Indonesia. Padahal, film yang berbicara melalui sudut pandang korban itu bermaksud membuka perspektif alternatif di dalam memandang peristiwa Genosida 1965 demi mengupayakan rekonsiliasi.

Memang benar bahwa film Joshua Oppenheimer itu banyak mendapatkan kritik. Golongan Kiri mengatakan bahwa Senyap, tidak jauh berbeda dari The Act of Killing (Jagal), merupakan sebuah film orientalis yang menggambarkan bahwa si sutradara, Joshua Oppenheimer, seorang bule Amerika, datang sebagai “pahlawan” yang mencerahkan Orang-orang Indonesia atas kekejaman yang pernah mereka lakukan terhadap keluarganya sendiri di tahun 1965-1966 tanpa memberi perspektif bahwa kepentingan (perusahaan-perusahaan) Amerika Serikat (seperti Freeport, misalnya) ada di balik panggung drama berdarah tersebut. Selain itu, Golongan Kiri memandang bahwa sudut pandang film itu melulu humanis-moralis karena mengesampingkan faktor kekerasan sistematis yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru beserta aparatus militernya yang didukung (dengan dana dan senjata) oleh Amerika Serikat. Sedangkan Golongan Muslim menilai bahwa film Senyap itu islamofobia; film itu menghadirkan tokoh protagonis Adi, yang mahir yoga dan berprofesi sebagai optometris (tukang kacamata), datang berkeliling menemui dan memberi pencerahan kepada tokoh-tokoh antagonis (para penjagal kakanya) yang kini sudah tua, rabun, dahulu gemar meminum darah (secara harafiah), tapi taat shalat lima waktu.

Terlepas dari segala kritik atas film Senyap tersebut, para akademisi sudi menonton dan mendiskusikannya, sebab yang dibicarakan adalah diri kita sendiri sebagai suatu bangsa. Para akademisi dari UAJY, ISI Yogyakarta, UGM, dan USD mencoba mengadakan acara nonton bareng dan diskusi itu di dalam lingkup akademis, kampus mereka masing-masing. Akan tetapi, dari empat kampus itu, hanya UAJY yang berhasil menyelenggarakannya, sementara ISI Yogyakarta, UGM, dan USD gagal. Golongan Fasis dan Fundamentalis, didukung oleh Aparatus Negara (AD dan Polri), berhasil menembus tembok kampus dan membubarkan acara itu. Kampus (institusi pendidikan tinggi) telah kehilangan wibawa akademisnya dan sekaligus kehilangan kebebasannya untuk menyumbangkan wacana dan perspektif baru/alternatif kepada masyarakat! Dari sini, kita bisa bertanya, mengapa kita, Bangsa Indonesia, membutuhkan institusi pendidikan tinggi (universitas)? Ada dua jawaban yang akan saya hadirkan di sini: (1) tujuan-tujuan yang seharusnya sebagaimana diidealkan oleh para sarjana pendahulu kita dan (2) tujuan-tujuan yang senyatanya sebagaimana terjadi di depan mata kita.

Douglas S. Paaw di dalam artikel berjudul Universitas-universitas Indonesia: Generasi Pertama (1970) mengatakan,
“Universitas adalah sebuah sarana-kunci bagi pembangunan suatu bangsa. Kemajuan manusia dalam segala bidang dibatasi oleh pengetahuan yang diperoleh dan digunakan secara efektif oleh masyarakat sebagai keseluruhan. Bila terdapat banyak jalan untuk mendapat pengetahuan, maka adaptasi pengetahuan yang diimpor, dan produksi pengetahuan baru merupakan fungsi utama lembaga-lembaga yang berada pada puncak pendidikan--yaitu universitas yang dipunyai suatu bangsa. Universitas-universitas juga mempunyai suatu tugas pendidikan, yaitu menyebarluaskan pengetahuan dari tingkat yang lebih tinggi kepada para mahasiswa, yang pada gilirannya, akan mendistribusikan pengetahuan itu ke seluruh sistem pendidikan dan menerapkannya dalam seluruh masyarakat luas.”
Raison d’etre (alasan eksistensi) suatu universitas tidak lain adalah pengetahuan dan keahlian yang dihubungkan dengan praksis. Kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh suatu universitas bagi suatu bangsa antara lain adalah buku-buku (perpustakaan). Akan tetapi, karya fisik semacam itu bisa segera menjadi usang. Kekayaan intelektual yang paling berharga yang bisa disumbangkan oleh suatu universitas kepada suatu bangsa adalah pemikiran-pemikiran para sarjana (manusia) yang hidup, dinamis, terus berkembang, dan tidak pernah usang. Para sarjana diharapkan menjadi batu sendi perkembangan universitas dan sekaligus agen perubahan suatu bangsa. Douglas S. Paauw mengatakan bahwa para sarjana yang ada di dunia sekarang ini sangat mobil dan ide-ide mereka dapat dengan cepat menjadi viral. Di sisi lain, hanya beberapa negara saja yang masih melakukan sensor, baik ke luar maupun ke dalam, terhadap pengetahuan baru.

Dari penjelasan Douglas S. Paaw di atas, kita bisa membayangkan bahwa di dalam universitas terjadi suatu transfer ilmu pengetahuan. Di dalam transfer ilmu pengetahuan tersebut, para akademisi membebaskan dirinya untuk mereproduksi atau menegasi ilmu pengetahuan itu untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru. Gagasan-gagasan ini akan diabadikan melalui karya-karya ilmiah, jurnal penelitian, buku-buku, dan disampaikan melalui seminar-seminar. Gagasan-gagasan baru ini akan segera menjadi viral seiring dengan pergerakan para sarjana yang semakin bebas dan global. Di dalam lingkungan akademis tersebut kita bisa membayangkan bahwa seorang mahasiswa dibebaskan untuk menjadi dirinya sendiri, memanusiakan dirinya sendiri, semakin menjadi manusia. Di sana kita bisa membayangkan pendidikan sebagai upaya untuk memanusiakan manusia muda (Drijarkara, 2006: 273, 367) dan upaya untuk memanifestasikan kemanusiaan.

Akan tetapi, fungsi universitas seperti yang diidealkan oleh para akademisi pendahulu kita itu harus berkompromi dengan, bahkan dikalahkan oleh, hal-hal lain yang acap kali sama sekali tidak akademis. Pendidikan kita, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, dewasa ini berada di dalam konteks Neo-Liberalisme (A. Supratiknya, Membaca Pemikiran Drijarkara Tentang Pendidikan di Zaman Sekarang, 2014). Ada tiga pilar yang menentukan gerak langkah sebuah lembaga pendidikan (universitas): (1) masyarakat, (2) negara, dan (3) pasar. Pilar ketiga, pasar, tak lain adalah pasar global, kerap kali menenggelamkan pilar masyarakat dan negara. Kebutuhan pasar sering mendominasi arah gerak langkah lembaga pendidikan. Sekolah bukanlah sebuah lembaga yang netral. Sekolah adalah arena pertarungan wacana. Dan, wacana dominan, yaitu pasar global selalu berhasil membungkam wacana-wacana lainnya. Negara sendiri pun kerap kali bergandengan tangan dengan kepentingan pasar. Aturan-aturan yang diratifikasi oleh Negara sering kali merupakan pesanan Bank Dunia dan/atau IMF (A. Supratiknya, 2014). Sehingga, di dalam arena sekolah itu kini tinggal dua kubu yang saling berhadap-hadapan, yaitu kepentingan pasar global dan kepentingan masyarakat.

Kapitalisme membutuhkan lembaga-lembaga sekolah untuk mereproduksi ideologi sekaligus tenaga kerja. Althusser menjelaskan bahwa lembaga sekolah merupakan salah satu Ideological State Apparatus (ISA), tempat di mana ideologi dominan direproduksi dan dijejalkan kepada generasi muda. Selain itu, sekolah mereproduksi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sistem kapitalisme, sehingga sistem itu dapat tetap berjalan. Diharapkan sekolah dapat menaikkan kemampuan dan keterampilan tenaga kerja baru. Dengan kemampuan dan keterampilan yang bertambah, para pekerja itu dapat bekerja di bidang-bidang yang membutuhkan kemampuan dan keterampilan khusus, sehingga pendapatan mereka pun naik. Dengan pendapatan yang bertambah, diharapkan para pekerja itu mampu mengonsumsi segala komoditas yang dihasilkan oleh sistem Kapitalisme itu sendiri. Jadi, sekolah menjadi tempat reproduksi pekerja dengan ideologi Neo-Liberalnya, sehingga pekerja yang sudah diinterpelasi dengan ideologi Neo-Liberal ini dapat bekerja dengan kecakapan yang lebih, dan dapat memperoleh upah yang lebih sehingga mereka dapat mengonsumsi segala komoditas, supaya sistem Kapitalisme tetap terus berjalan.

Di dalam sistem Neo-Liberalisme ini, peran Negara semakin diminimalisasi. Privatisasi (swastanisasi) di segala bidang, termasuk pendidikan, menjadi ciri khas kebijakan Neo-Liberal. Lembaga-lembaga pendidikan berlomba-lomba menawarkan pendidikan terbaik, yang celakanya diidentikkan dengan biaya yang mahal. Baik Universitas Swasta maupun Universitas Negeri yang (ingin) menjadi favorit di mata masyarakat kini mewajibkan para mahasiswanya untuk membayar uang kuliah yang tidak sedikit; hal itu belum termasuk pungutan sana dan pungutan sini. Hak seluruh warga masyarakat untuk mendapatkan pendidikan berkualitas berubah menjadi peluang yang tidak sama untuk merebut pendidikan dan modal budaya tambahan lain, sesuai dengan kemampuan finansial. Hal yang paling ekstrim dari fenomena itu adalah Edu-business. Ada tiga agenda para kapitalis pelaku bisnis pendidikan ini: (1) memproduksi dan mereproduksi angkatan kerja terampil sesuai kebutuhan industri kapitalis dan generasi konsumen yang selaras dengan kepentingan akumulasi modal, (2) mengeruk keuntungan sebesar mungkin dari menjual jasa pendidikan ini, sehingga seakan-akan pandangan bahwa pendidikan merupakan kegiatan non-profit tidak lagi bisa dipertahankan, (3) mendirikan kampus-kampus/sekolah-sekolah franchise secara global, menjual kurikulum, atau langsung bekerja sama dengan korporasi lokal untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar (A. Supratiknya, 2014). Sekolah dikelola selayaknya korporasi.

Di dalam suasana dan situasi semacam itu kita bisa membayangkan bagaimana tunas muda (saya mengikuti terminologi Drijarkara) dikirim ke sekolah bukan demi proses pemanusiaan manusia muda secara utuh, melainkan semata memburu kecakapan kerja (Drijarkara, 2006: 363). Para mahasiswa itu pergi ke kampus bukan untuk membebaskan dirinya menjadi dirinya sendiri, melainkan untuk menerima proses “normalisasi”. Mereka dicetak, bukan ditempa, untuk semata menjadi tenaga kerja cerdas dan handal, yang hanya boleh menghafal apa yang sudah diajarkan, dan diharamkan untuk memiliki pemikiran sendiri, diharamkan untuk bertanya, dan diharamkan untuk mengkritisi. Mereka tidak perlu memanusiakan diri mereka sendiri sebab sistem kapitalisme (pasar) tidak membutuhkan hal yang demikian. Mereka hanya perlu memenuhi standard nilai, melengkapi diri dengan kemampuan dan kecakapan tertentu yang dibutuhkan, lalu lulus dengan sesegera mungkin, bahkan kalau bisa akselerasi. Di dalam sekolah (baca: arena pertarungan wacana) para mahasiswa itu telah dikalahkan oleh wacana dominan, yaitu Neo-Liberalisme.

Maka, jangan heran jika ormas dari Golongan Fasis dan Fundamentalis, didukung oleh Apparatus Negara, berhasil menembus tembok kampus untuk membubarkan sebuah acara akademis! Bukan karena para mahasiswa itu hendak mengadakan rekonsiliasi nasional, bukan karena mereka menonton film Senyap, bukan karena mereka mempelajari (Neo-/post-)Marxisme, tetapi semata karena mereka dilarang untuk berpikir kritis dan menggalang gerakan sosial supaya tidak mengganggu status quo, yang pada akhirnya mengganggu sistem Kapitalisme yang berjalan. Dalam artikel berjudul Pandangan Islam Tentang Marxisme-Leninisme (1982) Abdurrahmad Wahid (Gus Dur) berkata,
“Kalaupun dilarang, maka bukan karena paham itu (Marxisme-Leninisme alias Komunisme) sendiri tidak dibiarkan secara hukum negara, melainkan karena di lingkungan bangsa itu tidak diperkenankan adanya gerakan politik dari rakyat sama sekali, seperti Arab Saudi saat ini.”
Negara hanya ingin para mahasiswanya menjadi pelajar yang manis, yang cakap dan cerdas, yang tidak perlu berpikir kritis, sehingga dapat segera lulus tepat waktu, supaya segera dapat memenuhi permintaan pasar (global) dan dapat segera lanjut mengonsumsi kembali komoditas Kapitalisme.

Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta, 05 Maret 2015

Padmo Adi

Comments