Pendidikan
Kita
Pendidikan Kita
ketika
kampus tak lagi aman
dan
kehilangan wibawa akademisnya...
untuk
apa ada universitas kalau demikian?
untuk
apa kuliah
kalau
tak boleh berbicara dan mendengarkan?
untuk
apa sekolah
kalau
tak boleh berpikir dan berdialektika?
hai,
Negara,
apa
kausediakan itu sekolah-sekolah
supaya
kami cuma jadi Tenaga Kerja cerdas
bagi
cukong-cukong itu?
wahai
kawan-kawan, mari kita membolos saja!!!
kita
sekolah untuk jadi manusia
bukan
jadi kerbau yang dicocok hidungnya
Februari-Maret 2015
Padmo Adi
Puisi
di atas adalah reaksi spontan saya mendengar bahwa acara diskusi dan menonton
bersama yang diadakan oleh Natas (pers mahasiswa Universitas Sanata Dharma) pada
tanggal 25 Februari 2015 yang lalu dibubarkan oleh Aparat Kepolisian. Padahal,
acara itu merupakan suatu kegiatan akademis yang diadakan di lingkungan kampus,
benteng terakhir kebebasan akademis. Aparat Kepolisian membubarkan acara
tersebut karena, selain mengadakan diskusi Kebangsaan, Natas mengajak pula
hadirin untuk menonton bersama film The
Look of Silence (Senyap) karya
Joshua Oppenheimer. Golongan Fasis dan Fundamentalis khawatir bahwa film itu
akan membangkitkan kembali Partai Komunis Indonesia. Padahal, film yang
berbicara melalui sudut pandang korban itu bermaksud membuka perspektif
alternatif di dalam memandang peristiwa Genosida 1965 demi mengupayakan
rekonsiliasi.
Memang
benar bahwa film Joshua Oppenheimer itu banyak mendapatkan kritik. Golongan
Kiri mengatakan bahwa Senyap, tidak jauh berbeda dari The Act of Killing (Jagal), merupakan sebuah film orientalis
yang menggambarkan bahwa si sutradara, Joshua Oppenheimer, seorang bule
Amerika, datang sebagai “pahlawan” yang mencerahkan Orang-orang Indonesia atas
kekejaman yang pernah mereka lakukan terhadap keluarganya sendiri di tahun
1965-1966 tanpa memberi perspektif bahwa kepentingan (perusahaan-perusahaan)
Amerika Serikat (seperti Freeport, misalnya) ada di balik panggung drama
berdarah tersebut. Selain itu, Golongan Kiri memandang bahwa sudut pandang film
itu melulu humanis-moralis karena mengesampingkan faktor kekerasan sistematis
yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru beserta aparatus militernya yang
didukung (dengan dana dan senjata) oleh Amerika Serikat. Sedangkan Golongan
Muslim menilai bahwa film Senyap itu islamofobia; film itu menghadirkan tokoh
protagonis Adi, yang mahir yoga dan berprofesi sebagai optometris (tukang
kacamata), datang berkeliling menemui dan memberi pencerahan kepada tokoh-tokoh
antagonis (para penjagal kakanya) yang kini sudah tua, rabun, dahulu gemar
meminum darah (secara harafiah), tapi taat shalat lima waktu.
Terlepas
dari segala kritik atas film Senyap
tersebut, para akademisi sudi menonton dan mendiskusikannya, sebab yang
dibicarakan adalah diri kita sendiri sebagai suatu bangsa. Para akademisi dari
UAJY, ISI Yogyakarta, UGM, dan USD mencoba mengadakan acara nonton bareng dan diskusi itu di dalam
lingkup akademis, kampus mereka masing-masing. Akan tetapi, dari empat kampus
itu, hanya UAJY yang berhasil menyelenggarakannya, sementara ISI Yogyakarta,
UGM, dan USD gagal. Golongan Fasis dan Fundamentalis, didukung oleh Aparatus
Negara (AD dan Polri), berhasil menembus tembok kampus dan membubarkan acara
itu. Kampus (institusi pendidikan tinggi) telah kehilangan wibawa akademisnya
dan sekaligus kehilangan kebebasannya untuk menyumbangkan wacana dan perspektif
baru/alternatif kepada masyarakat! Dari sini, kita bisa bertanya, mengapa kita,
Bangsa Indonesia, membutuhkan institusi pendidikan tinggi (universitas)? Ada dua
jawaban yang akan saya hadirkan di sini: (1) tujuan-tujuan yang seharusnya
sebagaimana diidealkan oleh para sarjana pendahulu kita dan (2) tujuan-tujuan
yang senyatanya sebagaimana terjadi di depan mata kita.
Douglas
S. Paaw di dalam artikel berjudul Universitas-universitas
Indonesia: Generasi Pertama (1970) mengatakan,
“Universitas adalah sebuah
sarana-kunci bagi pembangunan suatu bangsa. Kemajuan manusia dalam segala
bidang dibatasi oleh pengetahuan yang diperoleh dan digunakan secara efektif
oleh masyarakat sebagai keseluruhan. Bila terdapat banyak jalan untuk mendapat
pengetahuan, maka adaptasi pengetahuan yang diimpor, dan produksi pengetahuan
baru merupakan fungsi utama lembaga-lembaga yang berada pada puncak
pendidikan--yaitu universitas yang dipunyai suatu bangsa.
Universitas-universitas juga mempunyai suatu tugas pendidikan, yaitu
menyebarluaskan pengetahuan dari tingkat yang lebih tinggi kepada para
mahasiswa, yang pada gilirannya, akan mendistribusikan pengetahuan itu ke
seluruh sistem pendidikan dan menerapkannya dalam seluruh masyarakat luas.”
Raison
d’etre (alasan eksistensi) suatu universitas tidak lain
adalah pengetahuan dan keahlian yang dihubungkan dengan praksis. Kekayaan
intelektual yang dihasilkan oleh suatu universitas bagi suatu bangsa antara lain
adalah buku-buku (perpustakaan). Akan tetapi, karya fisik semacam itu bisa
segera menjadi usang. Kekayaan intelektual yang paling berharga yang bisa
disumbangkan oleh suatu universitas kepada suatu bangsa adalah
pemikiran-pemikiran para sarjana (manusia) yang hidup, dinamis, terus
berkembang, dan tidak pernah usang. Para sarjana diharapkan menjadi batu sendi perkembangan
universitas dan sekaligus agen perubahan suatu bangsa. Douglas S. Paauw
mengatakan bahwa para sarjana yang ada di dunia sekarang ini sangat mobil dan
ide-ide mereka dapat dengan cepat menjadi viral. Di sisi lain, hanya beberapa
negara saja yang masih melakukan sensor, baik ke luar maupun ke dalam, terhadap
pengetahuan baru.
Dari
penjelasan Douglas S. Paaw di atas, kita bisa membayangkan bahwa di dalam
universitas terjadi suatu transfer ilmu pengetahuan. Di dalam transfer ilmu
pengetahuan tersebut, para akademisi membebaskan dirinya untuk mereproduksi
atau menegasi ilmu pengetahuan itu untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru.
Gagasan-gagasan ini akan diabadikan melalui karya-karya ilmiah, jurnal
penelitian, buku-buku, dan disampaikan melalui seminar-seminar. Gagasan-gagasan
baru ini akan segera menjadi viral seiring dengan pergerakan para sarjana yang
semakin bebas dan global. Di dalam lingkungan akademis tersebut kita bisa
membayangkan bahwa seorang mahasiswa dibebaskan untuk menjadi dirinya sendiri,
memanusiakan dirinya sendiri, semakin menjadi manusia. Di sana kita bisa
membayangkan pendidikan sebagai upaya untuk memanusiakan manusia muda
(Drijarkara, 2006: 273, 367) dan upaya untuk memanifestasikan kemanusiaan.
Akan
tetapi, fungsi universitas seperti yang diidealkan oleh para akademisi
pendahulu kita itu harus berkompromi dengan, bahkan dikalahkan oleh, hal-hal
lain yang acap kali sama sekali tidak akademis. Pendidikan kita, mulai dari
pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, dewasa ini berada di dalam konteks
Neo-Liberalisme (A. Supratiknya, Membaca
Pemikiran Drijarkara Tentang Pendidikan di Zaman Sekarang, 2014). Ada tiga
pilar yang menentukan gerak langkah sebuah lembaga pendidikan (universitas):
(1) masyarakat, (2) negara, dan (3) pasar. Pilar ketiga, pasar, tak lain adalah
pasar global, kerap kali menenggelamkan pilar masyarakat dan negara. Kebutuhan
pasar sering mendominasi arah gerak langkah lembaga pendidikan. Sekolah
bukanlah sebuah lembaga yang netral. Sekolah adalah arena pertarungan wacana.
Dan, wacana dominan, yaitu pasar global selalu berhasil membungkam
wacana-wacana lainnya. Negara sendiri pun kerap kali bergandengan tangan dengan
kepentingan pasar. Aturan-aturan yang diratifikasi oleh Negara sering kali
merupakan pesanan Bank Dunia dan/atau IMF (A. Supratiknya, 2014). Sehingga, di
dalam arena sekolah itu kini tinggal dua kubu yang saling berhadap-hadapan,
yaitu kepentingan pasar global dan kepentingan masyarakat.
Kapitalisme
membutuhkan lembaga-lembaga sekolah untuk mereproduksi ideologi sekaligus tenaga
kerja. Althusser menjelaskan bahwa lembaga sekolah merupakan salah satu Ideological State Apparatus (ISA),
tempat di mana ideologi dominan direproduksi dan dijejalkan kepada generasi
muda. Selain itu, sekolah mereproduksi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sistem
kapitalisme, sehingga sistem itu dapat tetap berjalan. Diharapkan sekolah dapat
menaikkan kemampuan dan keterampilan tenaga kerja baru. Dengan kemampuan dan
keterampilan yang bertambah, para pekerja itu dapat bekerja di bidang-bidang
yang membutuhkan kemampuan dan keterampilan khusus, sehingga pendapatan mereka
pun naik. Dengan pendapatan yang bertambah, diharapkan para pekerja itu mampu
mengonsumsi segala komoditas yang dihasilkan oleh sistem Kapitalisme itu
sendiri. Jadi, sekolah menjadi tempat reproduksi pekerja dengan ideologi
Neo-Liberalnya, sehingga pekerja yang sudah diinterpelasi dengan ideologi
Neo-Liberal ini dapat bekerja dengan kecakapan yang lebih, dan dapat memperoleh
upah yang lebih sehingga mereka dapat mengonsumsi segala komoditas, supaya
sistem Kapitalisme tetap terus berjalan.
Di
dalam sistem Neo-Liberalisme ini, peran Negara semakin diminimalisasi.
Privatisasi (swastanisasi) di segala bidang, termasuk pendidikan, menjadi ciri
khas kebijakan Neo-Liberal. Lembaga-lembaga pendidikan berlomba-lomba
menawarkan pendidikan terbaik, yang celakanya diidentikkan dengan biaya yang
mahal. Baik Universitas Swasta maupun Universitas Negeri yang (ingin) menjadi
favorit di mata masyarakat kini mewajibkan para mahasiswanya untuk membayar
uang kuliah yang tidak sedikit; hal itu belum termasuk pungutan sana dan
pungutan sini. Hak seluruh warga masyarakat untuk mendapatkan pendidikan berkualitas
berubah menjadi peluang yang tidak sama untuk merebut pendidikan dan modal
budaya tambahan lain, sesuai dengan kemampuan finansial. Hal yang paling
ekstrim dari fenomena itu adalah Edu-business.
Ada tiga agenda para kapitalis pelaku bisnis pendidikan ini: (1) memproduksi
dan mereproduksi angkatan kerja terampil sesuai kebutuhan industri kapitalis
dan generasi konsumen yang selaras dengan kepentingan akumulasi modal, (2)
mengeruk keuntungan sebesar mungkin dari menjual jasa pendidikan ini, sehingga
seakan-akan pandangan bahwa pendidikan merupakan kegiatan non-profit tidak lagi
bisa dipertahankan, (3) mendirikan kampus-kampus/sekolah-sekolah franchise
secara global, menjual kurikulum, atau langsung bekerja sama dengan
korporasi lokal untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar (A. Supratiknya,
2014). Sekolah dikelola selayaknya korporasi.
Di
dalam suasana dan situasi semacam itu kita bisa membayangkan bagaimana tunas
muda (saya mengikuti terminologi Drijarkara) dikirim ke sekolah bukan demi
proses pemanusiaan manusia muda secara utuh, melainkan semata memburu kecakapan
kerja (Drijarkara, 2006: 363). Para mahasiswa itu pergi ke kampus bukan untuk
membebaskan dirinya menjadi dirinya sendiri, melainkan untuk menerima proses “normalisasi”.
Mereka dicetak, bukan ditempa, untuk semata menjadi tenaga kerja cerdas dan
handal, yang hanya boleh menghafal apa yang sudah diajarkan, dan diharamkan
untuk memiliki pemikiran sendiri, diharamkan untuk bertanya, dan diharamkan
untuk mengkritisi. Mereka tidak perlu memanusiakan diri mereka sendiri sebab
sistem kapitalisme (pasar) tidak membutuhkan hal yang demikian. Mereka hanya
perlu memenuhi standard nilai, melengkapi diri dengan kemampuan dan kecakapan
tertentu yang dibutuhkan, lalu lulus dengan sesegera mungkin, bahkan kalau bisa
akselerasi. Di dalam sekolah (baca: arena pertarungan wacana) para mahasiswa
itu telah dikalahkan oleh wacana dominan, yaitu Neo-Liberalisme.
Maka,
jangan heran jika ormas dari Golongan Fasis dan Fundamentalis, didukung oleh
Apparatus Negara, berhasil menembus tembok kampus untuk membubarkan sebuah
acara akademis! Bukan karena para mahasiswa itu hendak mengadakan rekonsiliasi
nasional, bukan karena mereka menonton film Senyap,
bukan karena mereka mempelajari (Neo-/post-)Marxisme,
tetapi semata karena mereka dilarang untuk berpikir kritis dan menggalang
gerakan sosial supaya tidak mengganggu status
quo, yang pada akhirnya mengganggu sistem Kapitalisme yang berjalan. Dalam
artikel berjudul Pandangan Islam Tentang
Marxisme-Leninisme (1982) Abdurrahmad Wahid (Gus Dur) berkata,
“Kalaupun
dilarang, maka bukan karena paham itu (Marxisme-Leninisme alias Komunisme) sendiri
tidak dibiarkan secara hukum negara, melainkan karena di lingkungan bangsa itu
tidak diperkenankan adanya gerakan politik dari rakyat sama sekali, seperti
Arab Saudi saat ini.”
Negara hanya ingin para
mahasiswanya menjadi pelajar yang manis, yang cakap dan cerdas, yang tidak
perlu berpikir kritis, sehingga dapat segera lulus tepat waktu, supaya segera
dapat memenuhi permintaan pasar (global) dan dapat segera lanjut mengonsumsi
kembali komoditas Kapitalisme.
Universitas
Sanata Dharma,
Yogyakarta, 05
Maret 2015
Padmo Adi
Comments
Post a Comment