*Naskah ini adalah versi penyempurnaan dari naskah Sang Suami.
Kebahagiaan rumah
tangga adalah impian setiap lelaki dan perempuan yang menikah. Hidup
berdampingan bahagia bersama selamanya layaknya sebuah dongeng adalah sesuatu
yang didamba-dambakan. Lelaki membayangkan istrinya laksana bidadari yang baru
saja turun dari kayangan. Sedangkan perempuan membayangkan kekasih pujaan
hatinya laksana ksatria berkuda putih yang akan selalu menyelamatkan dirinya.
Dan, perpisahan, walau hanya sekejap, hanya akan menyisakan ruang rindu yang
semakin hampa.
Para Tokoh:
Istri 1 Ã
hamil, sangat mencintai Sang Suami lebih dari pada istri mana pun, penyayang
Istri 2 Ã
feminis, aktifis, tomboy, metal, revolusioner, radikal, well-educated, doktor
Istri 3 Ã
pintar memasak, kangen pada Sang Suami, takut dicerai karena mandul
Istri 4 Ã
perempuan dengan luka batin oleh karena lelaki, kecewa dengan lelaki, inferior
Istri 5 Ã
perempuan karir, logatnya kental (medhok),
lugu, cenderung konservatif, jawa
Istri 6 Ã
bidan, memiliki kekasih gelap, merasa dijebak untuk menikah dengan Sang Suami
Istri 7 Ã
binal, genit, memiliki sex-appeal
kuat, manado
Perempuan Muda Ã
istri baru, muda, cantik, enerjik, tukang pamer, cina, baru lulus SMK
Anak 1 Ã
anak dari Istri 1, anak SMA, pemberontak, tidak jujur, slangean, semau sendiri, merokok
Anak 2 Ã
anak dari Istri 2, punya adik, anak SMP, tidak dekat dengan ibu-ibu tirinya
Anak 3 Ã
anak dari Istri 2, punya kakak, anak SD, boneka kesayangannya adalah boneka
buaya
Lelaki à Suaranya saja
yang ditampilkan
(Cahaya perlahan
menerangi sebuah ruang tamu pada suatu rumah. Tepat di tengah ruangan terdapat
satu set tempat duduk dan meja tamu (sofa), di atas meja itu terdapat asbak. Di
salah satu sudut terdapat meja dengan telefon, bingkai foto yang menjadi
representasi kehadiran Sang Suami, dan asbak di atas meja itu. Di salah satu
sudut yang lain terdapat lukisan abstrak/ekspresionis yang juga menjadi
representasi kehadiran Sang Suami. Di ruangan itu terdapat dua pintu: satu pintu
untuk keluar rumah dan satu pintu untuk masuk ke ruang keluarga. Di dekat pintu
keluar rumah terdapat rangka jendela. Nampak seorang wanita hamil berdiri di
dekat jendela itu, memandang keluar penuh rindu. Hatinya menerawang kepada Sang
Suami.)
Istri 1: Rembang
senja yang dingin. Kuharap Abang segera pulang. Aku rindu. Sudah lama Abang
pergi. Sebentar lagi sang jagoan ini akan lahir. Semoga Abang bisa menemani
saat-saat kelahirannya. (menghela nafas) Bang, aku sangat mencintai Abang. Dulu
sewaktu aku masih muda, aku terpesona pada kharisma Abang. Cara Abang menatap
perempuan, cara Abang memperlakukan perempuan, cara Abang berbicara, cara Abang
memimpin. Aku terhanyut di dalam hangatnya kelelakianmu. (berjalan ke arah
sofa, mengambil sulaman, dan mulai menyulam) Pada senja itu, Abang meminangku.
(diam sejenak, membayangkan saat-saat Sang Suami meminang) Abang mengajakku
jalan-jalan. Saat itu tanggal 14 Februari. Orang-orang Barat menggunakan
tanggal itu sebagai hari kasih sayang. Memang Abang agak kebarat-baratan. Di
sebuah rumah makan, mungkin lebih tepat cafe, Abang telah memesan satu meja
dengan lilin menyala. Meja itu dihiasi pula dengan setangkai mawar merah. Juga
ada red-wine. Pasti mahal sekali, ya
Bang? Tapi maaf, aku tidak minum anggur. Kulihat Abang sedikit kecewa. Lalu
tersenyum seakan telah mampu memahami. “Itu untuk Abang saja. Saya minum es teh
sudah cukup,” kataku. Memang benar ada segelas es teh yang kuminum. Itu hal
biasa. Di warung-warung makan biasa pun menyajikan es teh. Namun, es teh kali
itu lain dari pada yang lain. Setelah aku meminum habis es teh itu, aku
menemukan sebuah cincin di dasar gelasnya. Aku baru menyadarinya dan bertanya
padamu. “Marry me,” pintamu lembut.
Aku terhenyak, aku tersipu malu. (diam, senyum-senyum sendiri membayangkan
saat-saat itu) Jadilah imam bagi kami, Bang (mengelus perut buncitnya).
Anak 1: Eh, Bu (masuk rumah dengan rokok
menyelip di jemarinya, seragam SMA berantakan tersamar jaket hitam, terkejut
tak menyangka ada Ibunya)
Istri 1: Hay...
. Baru pulang?
Anak 1: Iya. Mmm... anu, Bu, tadi ada
les tambahan sampai sore (berbohong).
Istri 1: (terkejut)
Hei, sejak kapan anak ibu yang cantik ini merokok?
Anak 1: Ah,
nggak Bu, hehe... . Cuma latihan aja buat main teater (berbohong lagi).
Istri 1: Main
teater harus merokok, Nak?
Anak 1: Hehe...
nggak sih, hanya kebetulan dapat peran perokok.
Istri 1: Heran,
lelaki merokok akan terlihat maco. Perempuan merokok akan terlihat binal. Kamu
dapat peran menjadi perempuan binal?
Anak 1: Ehm,
anu... ehm... itu Bu, begini... . (telefon berdering) Biar aku yang angkat
(berlari mendekati telepon). Haloh... sapa neh (jutek, sambil mengulum rokok)?
Bapak?! (terkejut mendengar Bapaknya yang menelpon, rokok di bibirnya segera
dimatikan di asbak, merapikan baju, seakan-akan Bapaknya ada di hadapannya siap
memarahi kalau dia tidak karuan seperti itu). Iya, Pak? (mendengarkan) Ni ada
di sini, menyulam.
Istri 1: Siapa?
Anak 1: (kepada
ibunya) Bapak. (kepada Bapak di seberang telefon) Lama amat sih perginya? Udah
tiga bulan nih... . Pokoknya pulang bawa oleh-oleh! (mendengarkan) O...
sebentar lagi mau pulang? (mendengarkan) Kapan? (mendengarkan) Iya deh... tapi
pokoknya oleh-oleh!!! (mendengarkan) Ga
mau... ga mau yang itu. (mendengarkan) Yes! (girang) Yang warnanya hitam ya.
(mendengarkan) Pak, kapan ni ngajak aku pergi sama kamu? (mendengarkan) Ha?
Apa? Ga jelas ah... . (mendengarkan) Oh... ya... ya... tapi janji ya.
(mendengarkan) Mau bicara sama Ibu? (mendengarkan) Oh, ya udah. (pada Ibunya)
Bu, dapat salam dari Bapak. Miss you katanya, hahahahahaha... . (mendengarkan)
Ya... ya... dadah Bapak. Cepetan pulang ya. (menutup telefon lalu bicara pada
Istri 1) Bu, aku masuk ya, capek nih.
Istri 1: Bapakmu
bilang apa lagi?
Anak 1: Ada
ajah... . Dah... . (keluar panggung)
Istri 1: Anak
ini, paling takut sama Bapaknya (gemas, melanjutkan menyulam).
(hening)
Anak 1: (dari luar panggung, berteriak)
Heh, anak monyet! Siapa yang menyuruh kalian bermain di kamarku!
(Anak
2 dan 3 berlari masuk ke panggung. Melihat Istri 1, mereka berhenti. Mereka
bertatap-tatapan, lalu tiba-tiba sepakat untuk bersembunyi di belakang kursi
yang diduduki Istri 1.)
Anak 1: (masuk kembali ke panggung) Bu,
mana mereka?!
Istri 1: (menoleh
ke belakang sejenak, lalu menatap kembali Anak 1) Ada apa? Sore-sore kok
marah-marah? Perasaan baru saja tadi kamu girang... .
Anak 1: Kamarku
diberantakin anak-anak monyet itu! Terus bonekaku diambil!
Istri 1: Eh,
kok gitu ngomongnya sama adik-adik sendiri? Kalau mereka anak monyet, kamu juga
donk... . Coba kamu beri mereka pengertian, pasti mereka paham.
Anak 1: Mereka itu nakal, Bu. Tidak
seperti adik-adik yang lain. (kepada Anak 2 dan 3) Heh, bandel, sini kalian!
Aku tahu kalian sembunyi di sana. Sini... kembalikan bonekaku... terus rapikan
kamarku... atau aku jewer... .
(Kepala Anak 2 dan 3
muncul dari balik kursi Istri 1. Anak 2 dan 3 menjulurkan lidah, mengejek Anak
1)
Anak 1: Eh...
kurang ajar kalian ya? Nyolot ya? Berani sama orang yang lebih tua? Nglunjak
ya? Memangnya orang tua kalian ngajari kalian begitu? (bermaksud mengejar Anak2
dan 3 di balik kursi, tetapi dicegah oleh Istri 1) Anak siapa sih ini bandel
banget!
Istri 1: Sudah...
sudah... . Sama adik sendiri jangan gitu.
Anak 1: Tapi
mereka ini ‘kan... .
Istri 1: Haish...
. (kepada Anak 2 dan 3) Ayo, kalian sini... muncul ke sini.
(Anak 2 dan 3 takut-takut muncul di
samping Istri 1)
Istri 1: Kalian
tadi berbuat apa hingga kakakmu ini marah-marah?
Anak 2: Kami
tadi kejar-kejaran. Terus adik masuk ke kamar dia (menunjuk Anak 1). Terus aku
kejar ke sana.
Anak 3: Iya,
terus kami main boneka-bonekaan di sana.
Anak 1: Terus
kalian membuat kamarku berantakan seenak hati kalian, gitu? ‘Kan aku sudah
bilang, kalian dilarang masuk kamarku.
Anak 2: Habis
adik masuk ke sana duluan. ‘Kan kami lagi kejar-kejaran.
Anak 3: Aku
cuma main boneka saja kok. (memeluk boneka buaya)
Anak 1: Tapi
itu bonekaku!
Anak 3: Pinjam
sebentar... .
Anak 1: Itu
bonekaku! Kembalikan!!!
Istri 1: Eh...
sebagai kakak, kamu mengalah donk dengan adik-adikmu. Tidak apa-apa, biar
dipinjam sebentar.
Anak 2: Iya...
pinjam sebentar. Pelit.
Anak 1: (memelototi Anak 2) Apa?!
Anak 3: Pinjam
sebentar ya... nanti aku kembalikan. Aku janji takkan merusakkannya. Aku suka
bonekanya. Nanti aku minta Papi beliin boneka yang kayak gini.
Anak 2: Jangan...
tapi lebih bagus dari ini. Lebih gede.
Anak 3: Tapi
pinjam sebentar ya... .
Anak 1: Ibu...
(berharap Istri 1 mencegah Anak2 dan 3 meminjam boneka buayanya)
Istri 1: Biar
dipinjam adik-adikmu sebentar.
Anak 1: Tapi
itu hadiah spesial dari Bapak... .
Istri 1: Kamu
sudah besar. Masak masih mainan boneka semacam itu? Nanti beli sendiri. Ibu
kasih uang.
Anak 1: (kepada Anak 2 dan 3, ketus)
Sana pinjam! Awas ya... kalau sampai rusak... aku cari kalian... aku jewer. Aku
hukum! Dan, jangan sekali-kali kalian berani masuk kamarku! Kali ini kalian
kumaafkan.
Anak 3: Makasih...
.
Anak 1: Aaaaargh...
kalian bikin bete! (keluar panggung, menuju ke dalam)
Anak 3: Buaya...
Buaya... sekarang kamu main sama aku ya.
Anak 2: Pinjam
buayanya... .
Anak 3: Nggak
mau!
Anak 2: Pinjam
sebentar... .
Anak 3: Nggak
mau... ini buayaku!
Anak 2: Buayaku!
Anak 3: Jangan... ini buayaku...
(berlari keluar, menuju keluar)
Anak 2: Iiih...
pinjam sebentar... (mengejar)
Istri 1: Eee...
eee... eeeh... (menatap kedua anak-anak itu, berteriak) Sana, main sama
adik-adik yang lain ya... . (menghela nafas) Astaga... .
(hening. Istri 1 kembali duduk menyulam)
Istri 7: (dari
luar) Kakak... .
Istri 1: Iya,
Dik?
Istri 7: (berjalan
mendekat) Wah... kandunganmu semakin besar. Kapan anakmu lahir?
Istri 1: Anak
kita! Dalam waktu dekat ini. Kalau Abang belum pulang juga, tolong antar aku ke
bidan.
Istri 7: Jadi
Papa belum pulang? Duh... tumben banget sih Papa perginya lama banget. Mama
udah kangen ni.
Istri 1: Sama,
aku juga. Aku berharap Abang ada ketika dia lahir.
Istri 7: Kenapa
tidak minta tolong kepada istri Papa yang bidan itu?
Istri 1: Sebenarnya
aku ingin ditunggui Abang. Hanya itu. Lagi pula, tenaga medis tidak boleh memeriksa
keluarga dekatnya, bukan?
Istri 7: Iya,
sih. Ah... Papa memang lelaki hebat. Kakak tau ga, dulu pertama kali aku dekat
dengan dia, duuuuuuuuuh... seperti dekat dengan bintang film. Sensasinya itu
lho... seperti dekat dengan Leonardo diCaprio. Ketika aku dipeluk dadanya yang
bidang itu, seakan-akan aku dipeluk Antonio Banderas. Bulu-bulu di dadanya itu
lho, Kak, yang bikin merinding, hihihihi... . Aduh... aduh... hmmh (gemes).
Kakinya yang berotot seperti kaki Christiano Ronaldo. Pernah ni, mBak, aku
lihat Papa lagi main bola sama teman-temannya. Wah... tendangannya melengkung
seperti pisang. Ga kalah dengan pisangnya David Beckham. Wajahnya cool, ngangenin seperti wajah Christian
Bale. Kata-katanya seromantis Rendra. Berjuta-juta puisi dia buat untukku...
pamflet cinta yang indah. Namun, yang takkan pernah kulupa adalah senyum Papa.
Pada pertemuan pertama kami, dia menatapku tajam. Lalu, melesatkan senyuman.
Gila! Senyuman yang sepanas senyuman Tom Cruise.
Istri 1: Kapan
kamu bertemu Abang pertama kali?
Istri 7: Dua
tahun lalu.
Istri 1: Dua
tahun lalu?
Istri 7: Ya,
saat itu Kakak hamil anak kedua. Kami bertemu di Kuta, Bali. Sungguh senja yang
indah.
Istri 1: Oh,
ya. Saat itu seperti saat ini. Sama persis seperti saat ini. Abang... .
Istri 7: Kenapa, Kak?
Istri 1: Eh,
oh, ga pa-pa kok.
Istri 7: Eh,
Kak...
Istri 1: Apa?
Istri 7: Semalam
aku mimpi... .
Istri 1: Mimpi
apa?
Istri 7: Bercinta
sama Papa. Sudah lama sejak terakhir kali kami bercinta. Aku udah pengen lagi.
Istri 1: Ya
nantilah kalau Abang pulang.
Istri 7: Kakak
kapan terakhir kali bercinta?
Istri 1: Hahahahahahaha...
pertanyaanmu itu lho... ada-ada saja. Ya sebelum hamil yang inilah. Kenapa?
Istri 7: Terakhir
kali aku bercinta sama Papa itu sebelum Papa pergi. Huft... ternyata udah tiga
bulan. Jablay nih. Eh, Kak... .
Istri 1: Ya?
Istri 7: Papa
pernah ngajak main Kakak sama istri Papa yang lain?
Istri 1: Haish,
kamu ini... . Aku yang nggak mau. Nanti seperti kompetisi.
Istri 7: Hihihihihi...
‘kan kerja sama, Kak. Hahahahahaha... (mereka tertawa) Eh, Kak... mmm... Papa
suka di mana kalau lagi sama Kakak? Atas atau bawah?
Istri 1: Maksudmu?
(pura-pura bodoh)
Istri 7: Hahahahaha...
ah, enggak kok, Kak. (menghela nafas) Kak, aku masuk dulu ya. Capek nih
seharian kerja. (mengendus) Hm... sedap. Kakak masak ya? Masak apa?
Istri 1: Bukan,
bukan aku yang memasak. Lihat saja di dapur.
Istri 7: (keluar
panggung) oke... (berdendang)
(hening)
Istri 3: (dari
dalam) Eh, jangan di makan dulu. Jam makan malam belum tiba.
Istri 7: Sedikiiiiiiiiiiiiiiiiiit
saja... pliiiiiiiis... .
Istri 3: Huh...
(sewot) tapi jangan dihabisin ya. (mengomel) belum-belum sudah mau di makan.
Istri 1: Ada
apa?
Istri 3: Itu
lho, belum-belum sudah dimakan. Jam makan malam belum tiba. Siapa tahu Bapak
pulang. (menyadari sesuatu) Eh, Bapak sudah pulang?
Istri 1: Abang
belum pulang.
Istri 3: Kira-kira
pulang kapan? Sudah lama aku tidak bertemu dengan Bapak. Nanti malam pulang?
Aku sudah memasak makanan favorit Bapak.
Istri 1: Entahlah
apakah nanti malam Abang akan pulang. Memangnya apa makanan favoritnya?
Istri 3: Aneh,
sudah lama menikah dengan Bapak, kenapa tidak mengerti juga masakan
kesukaannya? Bapak suka oseng-oseng terong.
Istri 1: Oh,
Abang bilang padamu kalau dia suka oseng-oseng terong?
Istri 3: Memang
Bapak bilang apa pada mBak?
Istri 1: Capcay
dan Puyunghay
Istri 3: Masakan
cina?
Istri 1: Mengingatkannya
pada leluhurnya.
Istri 3: Bapak
cina?
Istri 1: Bukan.
Istri 3: Lalu?
Istri 1: Ayah
Abang keturunan Cina-Arab. Sedangkan neneknya dari garis ibu Belanda-Yahudi
yang diperistri seorang ningrat Jawa.
Istri 3: Pantas
Bapak tampan. Di dalam tubuhnya mengalir darah dari berbagai bangsa dan
sejarah. Kamu tahu kapan Bapak pulang?
Istri 1: Abang
tidak bilang apa-apa padamu?
Istri 3: Tidak.
Pada mBak?
Istri 1: Tidak.
Istri 3: Aku
rindu pada Bapak. Sudah lama Bapak pergi. Kemarin sewaktu berangkat, aku tidak
dipamiti. Bapak, cepatlah pulang. Aku bosan di sini tanpa hadirmu. Hanya
memasak atau menonton sinetron. Tidak ada kegiatan lain. Kalau ada Bapak di
sini, hari-hariku pasti akan menjadi lain. Bapak, pulanglah segera.
Istri 1: Kamu
ini merengek saja seperti anak-anak.
Istri 3: Karena
aku sangat rindu pada Bapak. mBak enak, sudah punya anak. Kini mengandung pula.
Semua istri Bapak sudah punya anak, kecuali aku. Aku juga ingin punya anak. Aku
ingin merasakan benih Bapak tumbuh di dalam rahimku. Aku ingin merawat anak
Bapak yang dari rahimku sendiri. Selama ini aku merawat anak-anak kalian.
Istri 1: Anak-anak
kita!
Istri 3: Tapi
aku belum pernah mengandung dan melahirkan seperti kalian! Aku ingin menimang
anakku sendiri dari Bapak sehingga nanti jika Bapak pergi lama lagi seperti
ini, aku takkan kesepian karena ada Bapak kecil di pelukanku. (menangis)
Istri 1: (mendekat)
Sudahlah... jangan menangis.
Istri 3: Aku
takut Bapak tak lagi mencintaiku karena aku mandul.
Istri 1: Abang
mencintai kita semua. Mungkin ada baiknya kalau sekali-sekali kamu periksa ke
dokter.
Istri 3: Namun,
Bapak tidak pernah ada di rumah.
Istri 1: Walau
Abang jarang ada di rumah, Abang selalu hadir di sini, di dalam kerinduan kita,
di dalam kenangan kita, di dalam harapan kita, di dalam cinta kita. Sudahlah, nanti
kita ke dokter sama-sama, sekalian aku memeriksakan kandunganku.
Istri 3: Kapan
lahir?
(Anak 2 dan Anak 3
berkejar-kejaran, berkeliling panggung, saling berebut boneka buaya yang dibawa
lari oleh Anak 2.)
Anak
3: Bonekaku!!! (sambil mengejar)
Anak
2: Pinjam sebentar... . (terus berlari)
Anak
3: Aaaaaa... jangan... nanti rusak... .
Anak
2: Pelit ah... .
Istri 3: Eh,
ayo mainan di luar saja. Jangan di dalam rumah. (ikut heboh... ikut mengejar...
melerai)
Istri 1: Lho,
aku pikir tadi kalian pergi ke luar bermain bersama adik-adik yang lain. Di
mana adik-adik kalian?
Anak 3: Ga
tahu... aku dari tadi main sama Kakak. Eh, tapi bonekaku malah diambil.
Anak 2: Tadi
aku lihat yang lain lagi main di taman sana, Tante.
Istri 1: Kok
manggilnya “Tante”? “Ibu”... .
Istri 3: Eh,
ayo... bonekanya kembalikan pada adikmu. (Anak 2 terpaksa mengembalikan boneka
buaya itu kepada Anak 3.) Kenapa tidak main sama mereka?
Anak 2: Kami
ga boleh main sama mereka.
Istri 3: Siapa
yang melarang?
Anak 3: Mama...
(Sambil memeluk erat boneka buayanya.)
Anak 2: Iya
Mama...
Istri 3: Ya
ampun, segitunya sih?
Anak 2: Tante...
eh, Ibu, tadi aku lihat Papi di taman.
Istri 3: Bapak
pulang? (girang)
Anak 3: (masih memeluk erat boneka
buayanya) Iya, Tante.
Anak 2: (kepada Anak 3) Ibu!
Anak 3: Iya... maaf... Ibu... .
Istri 3: Hmmh...
ya ampun... kalian ini. Bikin gemes deh. Sini aku peluk (memeluk mereka) Aku
ini juga ibu kalian.
Anak 3: Tapi
Mama nggak bilang gitu. Katanya kalian bukan ibu kami.
Anak 2: Katanya
cuma ibu tiri. Dan, ibu tiri itu katanya kejam.
Istri 3: Apakah
aku pernah kejam kepada kalian? Kepada adik-adik kalian? Aku juga sayang kepada
kalian, walaupun kalian tidak lahir dari rahimku sendiri. Buktinya, aku selalu
memasakkan sarapan, makan siang, dan makan malam untuk kalian. Kalian selalu
sekolah membawa bekal yang aku buatkan, ‘kan?
Anak 3: Iya.
Anak 2: Iya...
enak. Apa lagi yang nasi goreng keju telur itu.
Istri 3: Kamu
suka?
Anak 3: Kakak
sangat suka, Bu... saking sukanya, punyaku juga dihabiskan.
Anak 2: Ih...
pakai laporan segala.
Istri 3: Hahahaha...
besok aku buatkan ya... dan kubawakan yang lebih banyak khusus untuk kamu
(kepada Anak 2), supaya kamu tidak mengambil jatah adikmu yang imut ini. (mencium
sayang pipi Anak 2 dan 3 seakan-akan mereka itu buah rahimnya sendiri yang
sudah lama dirindukan).
Istri 1: Eh,
ibu mau ke taman mencari adik-adik dan menyambut ayah kalian. Kita main
sama-sama yuk sama mereka.
(Anak 2 dan Anak 3 saling memandang)
Anak 2: Ga
pa-pa ah, sekali-sekali.
Anak 3: Tapi
nanti Mama marah.
Anak 2: Kalau
ga tahu, pasti ga marah.
Anak 3: Yuk...
. Tapi jangan bilang Mama ya... (berjalan keluar panggung tanpa menaruh curiga)
Anak 2: (mendekati
Anak 3, masih di dalam panggung merebut kembali boneka buaya itu, lalu berlari
mengelilingi panggung, sebelum akhirnya keluar panggung)
Anak 3: Bonekaku!!!
(mengejar keluar panggung)
Istri 3: Dasar anak-anak... hmmh (gemas)
Istri 1: Yuk antar
aku... .
(Saat Istri 1 dan Istri
3 hendak berjalan ke luar, Istri 2 dan Istri 4 masuk dari luar, berpapasan.)
Istri 2: (sinis
memandangi perut buncit Istri 1) Mau ke mana?
Istri 3: Mau
mencari anak-anak di luar.
Istri 2: Aku
tidak bertanya kepadamu.
Istri 1: Kalian
melihat anak-anak di taman?
Istri 2: Entahlah.
Aku tidak memperhatikan.
Istri 1: Oh...
. (Istri 3 menarik tangan Istri 1, Istri 1 berhenti sejenak.) Mari... .
(hening, Istri 1 dan Istri 3 keluar
panggung)
Istri 4: Anak
keberapa, sih, itu?
Istri 2: Ketiga
dari rahimnya. Kamu punya anak berapa dari Mas?
Istri 4: Aku
baru satu. Kamu?
Istri 2: Aku
sudah dua.
Istri 4: mBak...
Istri 2: Ya?
Istri 4: Aku
sudah bosan dimadu seperti ini. Mas sudah beranjak tua. Sebentar atau lama Mas
akan mati. Akankah aku mendapat warisan yang besar? Mas punya 7 istri dan 10
anak.
Istri 2: Maksudmu
kamu ingin menyingkirkan 6 istri Mas yang lain termasuk aku agar mendapatkan
warisan yang lebih banyak?
Istri 4: Bukan
itu, mBak.
Istri 2: Lalu?
Istri 4: Aku
sudah muak dimadu. Lama-kelamaan aku jadi benci lelaki. Mereka sama saja. Dulu
sewaktu aku masih remaja, banyak lelaki datang dan pergi di hatiku. Mereka
hanya ingin menikmati kecantikanku. Itu saja. Mereka tidak peduli dengan
perasaanku sebagai seorang perempuan. Aku hanya ingin dimengerti, mBak. Namun,
sepertinya lelaki hanya menginginkan kecantikanku saja. Aku jadi merasa seperti
barang properti. Berkali-kali aku ganti pacar. Sampai-sampai aku hampir
kehilangan perasaan. Pacar sama saja dengan teman biasa. Dari semua lelaki yang
aku jumpai, tak ada yang mampu mengerti aku. Lelaki itu egois. Maunya menang
sendiri. Tidak mau mendengarkan jerit tangis hatiku. Tidak mampu memandangku
sebagai seorang manusia yang utuh.
Istri 2: Termasuk
Mas?
Istri 4: Mas
lain, mBak.
Istri 2: Kok?
Istri 4: Ketika
aku sudah putus asa dengan lelaki, Mas hadir di dalam hidupku. Mas bukan lelaki
biasa. Mas lembut dan pengertian. Mas itu kebapakan. Mungkin karena usianya
yang terpaut jauh denganku. Hanya dengan tatapan matanya, aku merasa telah
dimengerti, aku merasa telah didengarkan. Aku dimanusiakan. Tidak seperti
mantan-mantan pacarku yang membuatku merasa seperti barang properti yang indah.
Mas berhasil menyelimuti dan menghangatkan perasaanku yang dingin dan hampa.
Saat itulah pertama kalinya aku benar-benar merasakan jatuh cinta.
Istri 2: Saat
itu kamu tahu bahwa Mas sudah memiliki tiga istri?
Istri 4: Awalnya
aku tidak mengetahuinya. Dan, ketika mengetahuinya, aku sempat ragu. Namun,
cinta membutakan mataku. Saat itu aku berpikir bahwa aku akan menjadi istri
terakhirnya, cinta terakhirnya, pelabuhan hati terakhirnya. Hatiku semakin
luluh. Aku bersedia dipinang. Namun, aku salah, mBak. Mas kemudian masih
menikahi perempuan lain. Aku merasa dikhianati.
Istri 2: Kenapa
tidak minta cerai?!
Istri 4: Aku
tak berani, mBak. Memikirkan saja aku tak berani.
Istri 2: Kenapa?
Istri 4: mBak
tahu, kan, aku tidak bekerja. Sebenarnya sudah lama aku merasa kesepian di
rumah ini. Aku merasa dikhianati. Aku pun tak memiliki pekerjaan yang dapat
menghiburku. Hanya mBak yang mampu membuatku sedikit santai dan damai.
(Istri 2 memegang tangan Istri 4,
memandang matanya, lalu memeluknya)
Istri 2: (mengecup
kening Istri 4) Kamu tahu, aku sebenarnya ingin cerai dari Mas.
Istri 4: Maksud
mBak?
Istri 2: Aku
sebenarnya sangat benci terhadap lelaki. Tidak seharusnya lelaki ada di muka
bumi ini. Hanya sampah dunia. Aku memimpikan dunia yang dipenuhi oleh
perempuan. Pasti akan indah. Sudah lama perempuan diperbudak oleh lelaki. Kini
saatnya untuk membalik keadaan.
Istri 4: Lalu
kenapa mBak mau dinikahi Mas?
Istri 2: Mengalah
untuk menang. Mas kaya. Aku butuh dana untuk kuliah. Aku butuh dana untuk bisa
mewujudkan impianku. Perjuangan hak-hak perempuan. Aku mau dia nikahi asalkan
dia menguliahkanku. Gelar Doktor kini ada di tanganku. Inilah saatnya untuk
menggugat cerai. Kamu mau ikut?
Istri 4: Lalu
bagaimana dengan anak-anak kita?
Istri 2: Aku
punya pekerjaan yang cukup layak. Aku memiliki rumah atas namaku pribadi. Aku
telah merencanakan ini sejak lama. Kita gugat cerai!
Istri 4: Tapi
aku takut, mBak... .
Istri 2: Kamu
percaya aku sayang kamu, ‘kan?
Istri 4: (mengangguk-angguk)
Istri 2: Kamu
juga sayang aku, ‘kan?
Istri 4: (mengangguk-angguk
kembali)
Istri 2: Kamu
nanti bisa tinggal bersamaku. Kamu dan anak-anakmu... . Kita bisa tinggal
serumah. Kamu nanti mengurus anak-anak kita. Aku yang akan bekerja mencari
uang.
Istri 4: Tapi
apa kata orang nanti, mBak?
Istri 2: Persetan
apa kata orang. Mereka toh tidak mengalami yang kita alami! Mereka tidak pernah
mengalami pahitnya dimadu. Mereka tidak pernah digagahi lelaki keparat. Jangan
dengarkan apa kata orang. Mana yang lebih kaupercayai, kata orang atau kataku?
Istri 4: Aku
lebih percaya kamu, mBak... . (menyembunyikan wajahnya pada pundak Istri 2,
seakan-akan ingin bersembunyi dari dunia) Aku sayang mBak.
Istri 2: Aku
juga sayang kamu. (menghela nafas, lalu mengangkat wajah Istri 4, menatapnya
dengan yakin) Nah, sekarang, kamu harus menyiapkan mentalmu. Kita harus
bersatu. Kita tidak bisa melawan lelaki tua itu sendirian. Lelaki itu punya
kuasa. Jika kita ingin memberontak terhadap kuasa itu, kita harus melakukannya
bersama-sama. Atau, kita akan kembali terjatuh pada perangkap pesonanya. Pertama-tama,
kita akan mencari seorang pengacara yang bisa membantu gugatan kita ini.
Kurasa, aku mengenal seorang nama yang bisa memudahkan kita untuk segera cerai
dari Mas.
(sekonyong-konyong masuklah Istri 5)
Istri 5: (berlari
mendekat) Cerai?
(hening)
Istri 2: Ya,
cerai.
Istri 5: Aku
tidak setuju.
Istri 2: Tidak
setuju? Jadi, kamu mau diperbudak seperti ini seumur hidupmu?
Istri 5: Diperbudak
bagaimana maksud mBak?
Istri 2: Dinikahi
seorang lelaki yang sudah beranak-beristri!
Istri 5: Tapi,
perkawinan itu suci, mBak.
Istri 2: Suci?!
Dapatkah ada hal yang suci dari buaya tua itu?
Istri 4: Perkawinan
itu suci kalau hanya ada satu suami dan satu istri.
Istri 5: Namun,
kita sudah dipersatukan dengan Ayah. Tidak mungkin kita minta cerai. Apa kata
orang nanti? Kita menjadi janda cerai. Aib, mBak... aib. Kita hanya perempuan.
Istri 2: Kalau
semua perempuan di dunia ini berpikir seperti kamu, pantas jika perempuan
menjadi budak.
Istri 4: (melirik
lukisan wajah Sang Suami) Kesan pertama bertemu Mas, memang seakan mas lelaki
sejati. (berjalan ke arah lukisan itu) Mampu meluluhkan hati perempuan. Mas
mampu menaklukkan hati perempuan. Mas mampu memahami perempuan.
(Istri 6 masuk dari
dalam rumah, dia hendak pergi ke Rumah Sakit, bekerja, tapi kemudian terkejut
dengan pembicaraan Istri 2, Istri 4, dan Istri 5, lalu menguping)
Istri 2: Lelaki
sejati itu adalah yang mampu menghormati perempuan. Lelaki semacam itu mampu mempertahankan
hubungannya dengan satu orang perempuan, bukan menginjak-injak perempuan
seperti ini. Lelaki seperti inilah yang menciptakan perempuan-perempuan radikal
sepertiku dan sekaligus menciptakan perempuan-perempuan lemah seperti kalian.
Istri 6: Aku
setuju.
Istri 5: Dik?
Istri 6: Ya,
mBak, lelaki sejati itu adalah ketika dia mampu mempertahankan satu-satunya
cinta sejatinya. Bukan seperti Mas yang mengawini banyak perempuan seperti ini.
Konsep lelaki sejati macam apa itu? Apakah lelaki rela jika harus berbagi istri
dengan lelaki lainnya? Tentu tidak, bukan? Itu juga yang kita rasakan,
setidaknya aku rasakan. Lelaki sejati itu adalah yang mampu mencintai satu
orang perempuan hingga ajal menjemputnya. Walaupun di dalam perjalanan dia
naksir dengan perempuan yang lain, dia tetap mampu mempertahankan satu-satunya
istrinya.
Istri 5: Munafik!
Lalu mengapa kamu sudi dinikahi Ayah?
Istri 6: Aku
dijebak. Orang tuaku dijebak. Orang tuaku memiliki hutang kepada Mas. Jika
orang tuaku tak mampu membayar hutang itu, rumah kami akan disita oleh Mas.
Dan, dengan mengawiniku, hutang orang tuaku dianggap lunas. Gila! Padahal saat
itu aku telah memiliki kekasih. Hampir saja aku bunuh diri karena putus asa.
Untung kekasihku mencegahku dan masih memberiku harapan?
Istri 5: Kamu
masih selingkuh dengan kekasihmu?
Istri 6: Aku
tidak selingkuh! Kekasihku itulah sebenar-benarnya lelaki sejati. Dia mampu
memaafkan kesalahan orang tuaku. Tidak bermain licik seperti Mas.
Istri 2: Kamu
masih mencintai kekasihmu?
Istri 6: Ya.
Dan, jika mBak hendak menggugat cerai Mas, aku ikut. Sehingga, aku bisa menikah
dengan kekasihku, cinta sejatiku. Berdua hingga ajal menjemput kami.
Istri 5: (kepada
Istri 6) Bagaimana mungkin kamu berkata bahwa kamu tidak selingkuh? Kamu ini
istri sah seseorang! Tapi main serong dengan lelaki lain tanpa sepengetahuan
suaminya. Istri macam apa kamu?
Istri 6: Ragaku
ini memang secara hukum dan agama merupakan milik Mas. Akan tetapi, hati dan
jiwaku ini... cintaku ini... semua adalah milik kekasihku. Mas memang berhasil
memenangkan tubuhku, tetapi takkan pernah dia memenangkan cintaku. Aku tidak
pernah cinta kepada Mas. Cara-cara liciknya untuk menikahiku sangat
menjijikkan. Namun, tentu saja dia memakai cara licik seperti itu. Tentu aku
takkan sudi menikah dengan lelaki yang sudah beristri dan beranak! Tentu aku
akan lebih memilih menikah dengan kekasihku, lelaki sejatiku, cinta matiku.
Sayang, kekasihku itu tak punya harta... . Dia tak bisa berbuat banyak untuk
membebaskan aku dari jerat yang dipasang oleh suamimu itu!
Istri 5: Dia
juga suamimu!!! Suami sahmu!
Istri 6: Ya...
suami kita... kita!!! Aku, (menunjuk kepada Istri 5) mBak, (menunjuk kepada
Istri 2) dia, (menunjuk kepada Istri 4) dia, dan (menunjuk keluar) mereka!
Istri 5: Kausudah
tahu bahwa kau memiliki suami sah, dan kaumasih berhubungan dengan lelaki tidak
jelas itu? Lalu, kini hendak bersekongkol dengan mereka (menunjuk Istri 2 dan
4) untuk menggugat cerai Mas, supaya kaubisa kawin dengan lelaki tak jelas itu?
Perempuan murahan!
Istri 6: (menghela
nafas) mBak memakiku munafik, mengataiku perempuan murahan, menuduhku selingkuh
dengan cinta sejatiku... lalu mBak kira yang dilakukan Mas ini apa? Dia
berhubungan dengan banyak perempuan, dia menikahi banyak perempuan! Dan,
mungkin... di saat istri-istrinya menanti dia di rumah, dia tengah bermain
dengan perempuan muda di luar sana! mBak sebut apa itu? Standar ganda, mBak!
mBak memaki-maki cinta tulusku terhadap kekasihku... mBak marah karena aku
hendak monogami dengan kekasih sejatiku... namun, mBak diam saja ketika suami
mBak sendiri asyik mengawini perempuan lain di depan hidung mBak.
Istri 5: (terdiam)
(hening)
(seorang Perempuan Muda masuk memecah
kesunyian)
Perempuan Muda: Permisi. Maaf, saya masuk
sembarangan, pintu tidak dikunci.
Istri 2: Siapa
kamu?
Perempuan Muda: Saya istri Koko.
(Istri 4 terkejut mendengar hal itu, Istri
1 masuk)
Istri 1: Eh,
kalian sudah kenalan? Ini istri baru Abang. Cantik ya? Memang Abang lelaki yang
pintar memilih istri.
Perempuan Muda: Perkenalkan, nama
saya... .
Istri 4: Mas
menikah lagi?!
Istri 1: Iya,
Dik... .
Istri 4: (segala
kecewa, sedih, marah, muak terakumulasi hingga akhirnya meledak) Gila! Ini
gila, mBak. Apa yang dicari lelaki tua itu? Aku semakin muak saja.
Istri 1: Dik,
kamu bicara apa?
Istri 2: Kami
sepakat ingin menggugat cerai Mas!
Istri 1: (terkejut,
merasakan sakit pada perutnya, hampir terjatuh, memegangi perut buncitnya)
Istri 5: mBak...
(memegangi Istri 1)
Istri 1: (menahan
sakit di perut, mungkin karena terkejut)
Istri 6: mBak,
belum saatnya, bukan? (lalu mencarikan kursi untuk duduk Istri 1 yang
kesakitan)
Istri 1: Aku
tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Bayi di dalam rahimku hanya melonjak saja.
Istri 5: (kepada
Istri 6) Kamu ‘kan bidan. Kalau ada apa-apa, tolong mBakmu ini ya.
Istri 6: Iya.
(diam sejenak, lalu bicara kepada Istri 1) Mmm... anu mBak, setelah mBak
melahirkan, aku juga akan mengguggat cerai Mas.
Istri 1: Kamu
juga ingin cerai dari Abang?
Istri 5: Mereka
bertiga ingin cerai dari Mas, mBak.
Istri 2: Ya,
kami ingin cerai. Apa?! (so what?!)
Istri 1: (menangis)
Setelah semua yang Abang berikan kepada kita?
Perempuan Muda: Maaf, bukan karena Koko mengawini saya, bukan?
Istri 2: Kamu
pikir siapa kamu sehingga mampu memengaruhi keputusan kami? Kami ingin cerai
karena kami muak dengan kelakuan lelaki tua itu yang terus saja mempermainkan
kita perempuan. Kawin melulu kerjaannya.
Istri 4: Kamu
istri baru Mas? (memastikan, semakin inferior)
Perempuan Muda: Iya. Kami baru saja
pulang dari bulan madu. (pamer, menyombong) Awalnya kami pergi mohon restu
orang tua di kampung. Lalu kami ke Thailand. Pulangnya naik pesawat. Turun di
Ibu Kota. Lalu, Koko sengaja mengajak saya pulang ke sini naik Kereta Api. Saya
sebenarnya tidak sabar untuk segera ke rumah ini, memberi salam hormat kepada
Kakak-kakak sekalian. Tapi, Koko malah mengajak pergi ke Bandung. Di sana kami
menghabiskan malam-malam yang indah. Baru pertama kali itu saya ke luar
negeri... dan baru pertama kali itu saya ke Bandung. Ternyata kotanya indah...
banyak tamannya. Waktu saya ingatkan Koko untuk segera pulang ke sini, eh...
Koko malah bilang kalau kami nikmati dulu saja saat-saat berdua di Bandung. Terus,
begitu sampai di sini, Koko menyuruh saya masuk duluan, sebab dia ingin menemui
anak-anak di taman.
Istri 2: Hemh
(ketus) pantas ga pernah di rumah, keluyuran saja kerjaannya. Ngawini perawan
desa rupanya.
Istri 5: mBak!!!
Istri 4: (kepada
Perempuan Muda) Berapa umurmu?
Perempuan Muda: Saya delapan belas... .
Istri 4: Delapan
belas?
Perempuan Muda: Saya baru lulus SMK.
Istri 4: Jadi,
begitu lulus, kamu langsung dikawin sama Mas?
Perempuan Muda: Koko menunggu hingga
saya genap delapan belas tahun.
Istri 4: Kapan?
Perempuan Muda: Tiga bulan yang lalu.
Istri 4: Jadi
dia pergi selama ini khusus untuk mengawinimu?!
Perempuan Muda: Koko sudah janji.
Istri 4: Jadi
kamu sudah lama mengenal Mas?
Perempuan Muda: Koko yang membiayai saya
sekolah di kota hingga lulus. Koko begitu baik kepada saya dan kedua orang tua
saya. Koko berjanji kepada kedua orang tua saya untuk menyekolahkan saya dan
menjamin masa depan saya. Awalnya Koko hendak menikahi saya tiga tahun lalu.
Namun, waktu itu secara hukum saya masih anak-anak. Sehingga, Koko menunggu
saya genap berumur delapan belas tahun. Saat saya sekolah di kota dulu, Koko
sering mengunjungi saya dan mengajak saya pergi jalan-jalan. Mulanya Koko
menawari saya kuliah, tapi saya tidak mau. Saya hanya mau bersama Koko. Saya
tidak bisa hidup tanpa Koko.
Istri 4: Tetapi
Mas sudah punya istri! Kamu tidak tahu itu?
Perempuan Muda: Saya tahu. Tapi, saya
hanya mau bersama Koko. Saya tidak bisa lepas dari Koko. Saya tidak bisa hidup
tanpa Koko. (memegangi perutnya) Kebahagiaan saya semakin lengkap... saya
mengandung anak Koko... sudah jalan dua bulan.
Istri 4: (semakin
merasa dikhianati) Mas itu tidak pernah mengerti perasaanku. Ternyata semua
lelaki itu sama saja. Ga beda mantan-mantanku, ga beda Mas. Sama saja. Hanya
mau tubuh perempuan tanpa sudi memahami perasaan perempuan. Bisa-bisanya lelaki
tua itu menikahi gadis kemarin sore ini?! Padahal dia punya tujuh istri di
rumah yang menantinya... . Aku kira aku akan jadi cinta terakhirnya. Ternyata
aku salah... aku salah... . Aku hanyalah salah satu barang koleksinya saja!!!
(menangis... berlari ke luar panggung... dari luar panggung berteriak dan
memecahkan perabotan)
Istri 6: mBak!!!
(berlari mengejar Istri 4)
(hening)
Istri 2: (menziarahi
raga Si Perempuan Muda dengan mata) Cantik... tapi tolol.
Perempuan Muda: Iya, maaf, saya hanya
lulusan SMK.
Istri 2: Pantas!
Mau dimangsa buaya berkarat itu.
Istri 1: Dik,
hormatilah Abang. Oke kamu hendak bercerai dari dia, tapi hormatilah dia
setidaknya sebagai orang yang menyekolahkanmu hingga bergelar Doktor.
Perempuan Muda: Kakak Doktor ya?
Istri 2: Ya.
Saya S3. Apa?!
Perempuan Muda: Mengapa perempuan
sepintar Kakak mau... mmm... mau juga dinikahi Koko? Kakak istri ke berapa?
Istri 2: (tersinggung)
Bukan urusanmu! Heh... perawan bau kencur, eh, sudah tidak perawan lagi ya? Sudah
dikadali buaya berkarat ya? Heh... asal kamu tahu ya, kamu ini adalah tipe
perempuan desa yang silau dengan harta. Kamu pikir mengapa kamu mau dinikahi
dia?
Perempuan Muda: Saya cinta.
Istri 2: (semakin
membara) Tai kucing cinta!!! Kamu pikir siapa yang kamu cintai? Lelaki dengan
tujuh... TUJUH istri!!! Kamu tahu? Tolol kamu mau dijadikan yang ke delapan.
Saya saja mau cerai dari dia. Muak rasanya hidup serumah dengan buaya itu. Apa
lagi hidup serumah dengan istri-istrinya yang lain.
Istri 1: (berusaha
sabar demi kandungannya) Sudah... sudah... . Sudahlah... . Kalau kamu memang
tidak ingin terus menjadi istri Abang, mintalah cerai baik-baik. Tapi tetap
hormati dia, hormati kami istri-istri yang masih mencintai dan menanti selalu
kepulangannya.
Istri 2: Istri-istri
yang dengan tolol menanti? Jadi apa dunia ini kalau semua perempuan lembek
seperti kalian? Ini saatnya perempuan angkat bicara. Perempuan itu sederajat
dengan lelaki, kau tahu!
Istri 5: Tapi
tetap berbeda.
Istri 2: Apa
yang membuat kita perempuan dan lelaki berbeda? Kita bisa melakukan apa yang
mereka lakukan. Selama Mas pergi, aku yang membetulkan segala perabot rumah
ini. Aku bisa berperan sebagi lelaki kalau aku mau. Aku tak membutuhkan lelaki.
Istri 1: Namun,
anak-anak kita membutuhkan figur seorang ayah yang tidak mampu kita berikan.
Istri 5: Iya
mBak. Kita hanya perempuan... . Dia lelaki.
(Istri 7 masuk dengan jengkel)
Istri 7: (mengomel)
Apa-apaan sih? Berisik tau ga? Ganggu orang lagi istirahat aja. (terkejut) Eh,
ada tamu ya? Kalian ini gimana sih? Malu donk ribut di depan tamu! (kepada
Perempuan Muda, tersenyum) Siapa namamu?
Perempuan Muda: Salam, Kakak. Perkenalkan,
nama saya... .
Lelaki: (suara
dari luar menyapa rindu) Istri-istriku... .
(Semua pemain tablo. Lampu fade-out)
***
Tepi Jakal, 18 Februari
2011 (disempurnakan pada 13 Maret 2015)
Padmo Adi
(@KalongGedhe)
Comments
Post a Comment