Pada
Mulanya adalah Sastra
-Padmo
Adi-
*Disampaikan pertama kali di dalam Workshop pelatihan Lektor Paroki Santo Paulus Kleco Surakarta, Minggu, 26 April 2015.
Kitab
Suci pada mulanya adalah sastra. Meskipun Kitab Suci adalah sastra, Kitab Suci
memiliki dimensi keilahian dan kesucian karena dikhususkan untuk menjembatani
Tuhan dengan umatnya yang tengah mencari Sabda-Nya. Meskipun Kitab Suci ditulis
oleh manusia biasa (para nabi dan penulis suci itu tetap merupakan manusia
biasa yang makan dan minum), Kitab Suci itu kudus karena ditulis dengan
bimbingan Roh Kudus. Walaupun demikian, saya pikir baik kalau sesekali kita mencoba
mengembalikannya kepada sastra. Maksudnya adalah, sesekali kita membaca
teks-teks suci itu dengan pendekatan teori sastra. Apakah haram? Saya pikir
tidak. Sebab, hal tersebut justru akan memperkaya perspektif kita akan Kitab
Suci dan akan membuka kemungkinan-kemungkinan baru akan tafsir teks
(Hermeneutika). Justru dengan demikian, kita akan dibawa kepada suatu
ketakjuban tertentu yang pada akhirnya akan membuat kita semakin mencintai
Kitab Suci dan membawa kita semakin dekat dengan Tuhan.
Kitab
Suci Katolik (Alkitab), yang terdiri dari Perjanjian Lama, Kitab
Deuterokanonika, dan Perjanjian Baru memiliki beberapa genre sastra. Ada syair
dan kidung di sana. Ada kisah mitologi. Ada surat. Dan, ada injil, sebuah genre
sastra yang dikembangkan oleh para rasul dan para murid rasul, yaitu suatu
sastra yang mengisahkan pengalaman peristiwa salib. Karena Alkitab adalah
sastra, kita bisa bertanya lebih jauh, sastra bahasa apa itu? Perjanjian Lama
kita memakai Bahasa Ibrani. Kitab Deuterokanonika memakai Bahasa Yunani (itulah
sebabnya Kitab Suci Yudaisme dan Protestantisme tidak memasukkan Kitab
Deuterokanonika sebagai Kanonik, melainkan Apokrif). Sedangkan Perjanjian Baru
memakai Bahasa Yunani, bahkan kalau boleh dibilang, Bahasa Yunani pasar.
Sedangkan Kitab Suci yang kita miliki di rumah itu memakai Bahasa Indonesia,
berarti bahwa itu adalah suatu karya terjemahan. Penerjemahan suatu karya
sastra sendiri merupakan sebuah seni! TaNaK (Taurat, Nebiim, dan Ketubim), atau
yang kita sebut Perjanjian Lama itu, pernah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Yunani kuno untuk memenuhi kebutuhan umat Yahudi sporadis di luar Palestina.
Terjemahan dalam Bahasa Yunani itu disebut Septuaginta (LXX). Hieronimus
menerjemahkan Kitab Suci ke Bahasa Latin. Kitab Suci Bahasa Latin kita kenal dengan
sebutan Vulgata. Di dalam seni penerjemahan sastra itu terdapat sebuah
tantangan yang tidak main-main: menerjemahkan bentuk atau menerjemahkan isi? Di
dalam Bahasa Ibrani, misalnya, kitab Mazmur itu merupakan suatu syair indah
dengan aturan ketat Sastra Israel. Setiap awal baris harus diawali dengan
aksara Ibrani sesuai urutan (tembang macapat Jawa memiliki aturan yang kurang
lebih sama, yaitu guru lagu dan guru wilangan). Sedangkan pada Kitab Kejadian,
kita bisa melihat bagaimana sang penulis suci meramu mitologi-mitologi yang ada
di Timur Tengah sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kisah penciptaan yang
dahsyat. Jika kita dekati dengan sastra, kita akan melihat bagaimana sang
penulis suci bermain-main dengan diksi di dalam Kitab Kejadian ini. “Pada mulanya”,
“bereshit”; mengapa tidak memakai huruf a (A) melainkan b (B) sebagai huruf
pertama? Bentuk huruf b
yang terbuka itu mau menandakan bahwa Kisah Penciptaan itu merupakan suatu
kisah yang terbuka senantiasa sepanjang segala masa. Permainan-permainan bahasa
semacam itu akan lebih terasa ketika kita membaca Kitab Nabi-nabi (Nebiim).
Menyadari
akan kekayaan sastra Kitab Suci, maka akan menjadi naif bagi kita kalau kita
belum pernah sama sekali menikmati Kitab Suci sebagai karya sastra. Saya
sendiri selama kuliah di Kampus IV Sanata Dharma sering diajari untuk
mengapresiasi (dan menafsirkan) Kitab Suci sebagai Karya Sastra, justru untuk
mengungkapkan kekayaan yang sering kali tersembunyi ketika kita membacanya
biasa saja. Hal tersebut justru semakin membantu saya di dalam mencari Sabda
Tuhan.
Maka,
saya rasa ada baiknya pula ketika kita membacakan Kitab Suci, kita memberi
sentuhan seni. Kita coba mengembalikan Kitab Suci kepada seni-sastra. Kitab
Mazmur telah memiliki kedudukan yang istimewa. Kitab itu “dibacakan” dengan
seni tersendiri, yaitu didaraskan, bahkan dinyanyikan. Lalu, bagaimana dengan
Kitab-kitab yang lain (kecuali Injil tentunya, karena itu hak istimewa Pastor)?
Adalah tugas lektor/lektris untuk membacakannya. Akan tetapi, membacakan yang
bagaimana, sementara Mazmur didaraskan sedemikian rupa? Pada dasarnya, saya
rasa, tugas pemazmur dan lektor/lektris itu sama, mengantarkan umat pada
kondisi sublim. Maksud saya, dengan bahasa yang lain, tugas mereka adalah
mengantarkan umat pada suatu “dunia-sana”. Atau, dengan bahasa yang lebih
sederhana, mengantarkan umat pada Sabda Tuhan.
Teks-teks
sastra Kitab Suci menghadirkan suatu ruang, waktu, momentum, peristiwa, dan
kisah (iman) tertentu. Lektor/lektris hendaknya mampu membaca dan menangkap
ruang-waktu-momentum-peristiwa-kisah tersebut terlebih dahulu. Lektor/lektris
hendaknya mampu menangkap nuansa-suasana-atmosfir-emosi yang terserak pada
teks-teks sastra Kitab Suci tersebut. Untuk bisa sampai hingga sejauh itu,
lektor/lektris perlu mengidentifikasi genre sastra Kitab Suci yang dia baca
itu, apakah itu syair (seperti yang ada pada beberapa Kitab Nabi-nabi), apakah
kisah mitologi (seperti yang ada pada mayoritas Kitab Taurat (KKIBU)), atau
surat (seperti yang ada pada beberapa Kitab Perjanjian Baru). Setelah
mengidentifikasi genre sastra Kitab yang akan dia baca, dan setelah mampu
menangkap ruang-waktu-momentum-peristiwa-kisah tersebut, barulah dia menentukan
akan membacakan dengan cara yang bagaimana. Tentu membacakan syair pada Kitab
Nabi-nabi akan berbeda dengan membacakan Surat Rasul Paulus, dan tentu
membacakan Surat Rasul Paulus akan berbeda degan membacakan salah satu kisah
mitologi di dalam Taurat.
Cara
membaca ini bukan bertujuan untuk show-off
(ajang pamer diri). Hal pertama yang menjadi tujuan lektor/lektris ini adalah
mengantarkan umat pada kondisi sublim seperti yang saya sebut di atas. Untuk
bisa mengantarkan umat kepada kondisi sublim, si lektor/lektris harus terlebih
dahulu sublim. Atau, dengan kata lain yang lebih sederhana, si lektor/lektris
harus terlebih dahulu “memiliki” Teks Suci yang akan dia bacakan itu. Itulah
sebabnya dia harus membaca Teks Suci itu minimal sekali sebelum membacakannya
kepada umat. Dia harus benar-benar “memiliki” Teks Suci tersebut, seakan-akan
teks itu telah diinskripsikan pada tubuhnya. Teks itu menubuh pada dirinya.
Meskipun
demikian, ada hal yang mau tidak mau harus dilampaui dulu oleh lektor/lektris,
yaitu tekhnik-tekhnik membaca. Di sini saya tidak begitu membedakan apa yang
dilakukan oleh seorang aktor/aktris dan apa yang dilakukan oleh seorang
lektor/lektris. Pada dasarnya tugas mereka kurang lebih sama. Mereka tengah
berkesenian, menyampaikan (membacakan/membahasakan) suatu karya sastra secara
verbal. Mereka harus menguasai permainan nada, tempo, irama, volume suara,
artikulasi. Mereka pun harus menguasai suatu olah nafas yang mencukupi sehingga
di dalam satu tarikan nafas mereka mampu mengucapkan beberapa kata secara
efisien.
Kepada
aktor-aktris yang berkarya bersama saya, saya selalu berkata bahwa jangan
sampai mereka berdusta. Saya pikir hal yang sama juga baik diperhatikan oleh
para lektor/lektris, bahwa mereka jangan berdusta. Apa yang saya maksud dengan
berdusta di sini? Yang saya maksudkan dengan “jangan berdusta” di sini adalah
bahwa sebisa mungkin aktor, dan dalam hal ini juga lektor, paham dengan setiap
kalimat, frase, kata, dan bahkan satuan terkecil yang ada di dalam teks. Setiap
lektor harus memahami apa saja yang dia ucapkan/bacakan, harus memahami mengapa
kalimat ini paralel dengan kalimat yang itu, harus memahami mengapa si
penerjemah memakai kata ini dan bukan itu, bahkan memahami keseluruhan konteks
dari sebuah penggalan teks. Oleh sebab itu, seorang lektor minimal pernah
sekali membaca teks itu sebelum dia membacakannya di depan umat. Dengan
demikian, diharapkan, walaupun dia akan tetap membaca, teks tersebut telah
“menjadi miliknya”, telah “menubuh” pada dirinya, telah “diinskripsikan” pada
dirinya, dan setiap kata yang dia bacakan di depan mimbar itu tidak lagi “berbau
naskah”.
Comments
Post a Comment