Estetika Sublim di dalam Video Game (2)*
oleh:
Yohanes Padmo Adi Nugroho
*Versi ini adalah hasil penyempurnaan dua paper, ini dan ini.
kata
kunci: estetika, seni, game,
psikoanalisa, sublimasi
Abstrak
Video game
telah menjadi bagian dari kehidupan kita, atau setidaknya bagian dari kehidupan
generasi muda kita. Video game
berkembang pesat selama kurang lebih lima dasawarsa ini. Perkembangan pesat video game tidak lepas dari perkembangan
pesat perangkat-perangkat elektronik, mulai dari osiloskop, televisi, konsol,
dan akhirnya PC (komputer). Video game
kini bukan lagi merupakan pengisi waktu senggang, melainkan telah menjadi
kehidupan paralel yang membutuhkan sebagian besar, untuk tidak mengatakan
seluruh, waktu hidup kita. Banyak video
game harus dimainkan secara real time.
Grafis video game berawal dari
beberapa bit titik pada osiloskop hingga akhirnya kini menjadi suatu realita
virtual yang membutuhkan RAM bergiga-giga dan VGA berspesifikasi tinggi. Hal
tersebut mendukung kreasi artistik video
game yang semakin mencengangkan dan splendor.
Pada pesona video game yang dahsyat
itu tersebar objet a. Ada objet a pada grafisnya (gaze). Ada objet a pada suara musiknya (voice).
Ada objet a pada aksi yang kita
mainkan pada karakter kita. Objet a
itu menuntun kita kepada fantasi, lebih tepatnya fantasi neurotis obsesif ($<>a).
Sejarah Video Game
Video Game
adalah sebuah karya seni. Akan tetapi, sebelum kita melangkah lebih jauh untuk
membahas karya seni macam apa video game
itu, ada baiknya kita tengok dulu sejarah lahirnya video game. Cikal-bakal video
game sudah disiapkan sejak tahun 1949. Ralph Baer, seorang insinyur,
diminta untuk membuat satu set televisi.
Akan tetapi, dia bermaksud membuat sesuatu yang lebih dari pada itu. Idenya ini
baru terwujud delapan belas tahun kemudian.
Leonard
Herman
menjelaskan bahwa sejarah video game menjadi
suatu hal yang menarik sebab tidak hanya melibatkan orang-orang yang ada di
sekitarnya, melainkan juga soal perusahaan dan ironi (Leonard Herman, dkk.,
2002, 1). Atari adalah sebuah perusahaan Amerika dengan nama Jepang, dan
perusahaan Jepang Sega dirintis oleh seorang Amerika. Phillips, sebuah
perusahaan yang berusia lebih dari seratus tahun pun ikut terlibat dengan nama
Magnavox. Kemudian ada Nintendo yang turut serta membuat video game menjadi begitu populer. Leonard Herman tak lupa menyebut
nama Sony, perusahaan elektronik yang memproduksi segala macam jenis elektronik
mulai dari radio transitor hingga video
recorder, tetapi yang penjualan terlarisnya tidak lain adalah konsol video game.
Selama
delapan belas tahun setelah tahun 1949, selain Ralph Baer, terdapat beberapa
nama yang masuk ke dalam sejarah video
game. Leonard Herman menyebut Willy Higinbotham yang mendesain permainan
tennis interaktif yang dimainkan pada sebuah osiloskop. Ada pula seseorang
bernama Steve Russell. Dia memprogram space
game pada sebuah komputer mainframe DEC PDP-1 (Leonard Herman, 2002, 1).
Tahun
1889 hingga 1970 merupakan tahun-tahun embrio kemunculan perusahaan video game. Pada perusahaan video game tersebut para programer
(baca: seniman) menciptakan karya-karya fenomenal dan bahkan legendaris mereka.
Pada tahun 1889 Fusajiro Yamauchi mendirikan The Marufuku Company yang memproduksi Hanafuda, sebuah permainan kartu Jepang. Kemudian, pada tahun 1907,
Marafuku mulai memproduksi permainan kartu Barat. Beberapa puluh tahun
kemudian, lebih tepatnya pada tahun 1951, Marafuku mengganti namanya menjadi The Nintendo Playing Card Company.
“Nintendo” sendiri berarti “pasrah kepada yang di atas”
(Leonard Herman, 2002, 1-2).
Pada
tahun 1947, hanya beberapa tahun setelah Amerika mengebom Hiroshima dan
Nagasaki, Akio Morita dan Masaru Ibuka mendirikan The Tokyo Telecommunications Engineering Company. Perusahaan itu
berhasil menciptakan radio saku dengan tenaga baterai pertama di dunia. Mereka
pun memasarkan produk mereka itu ke Eropa dan Amerika. Mereka kemudian
menyadari bahwa nama perusahaan mereka begitu sulit diingat oleh orang-orang
Barat, sehingga mereka mengubah nama itu dengan nama hasil modifikasi kata
dalam Bahasa Latin, sonus (sound), menjadi Sony, sebuah kata yang
sebenarnya tidak memiliki arti apapun (Leonard Herman, 2002, 2).
Pada
tahun 1954 David Rosen, veteran perang Korea-Amerika, menyadari bahwa permainan
mekanis yang dioperasikan dengan koin (semacam dingdong), yang terdapat di
pangkalan militer Amerika di Jepang, begitu populer. Maka, pada tahun 1960-an,
dia memutuskan untuk menciptakan sendiri permainan dengan koin semacam itu. Dia
pun membeli sebuah perusahaan jukebox
dan slot-machine di Tokyo. Perusahaan
itu diberi nama SEGA, sebuah kependekan dari “SErvice GAmes” (Leonard Herman, 2002, 2-3).
Pada
tahun 1958 Willy Higinbotham, seorang fisikawan, menciptakan sebuah permainan
semacam tenis meja interaktif pada sebuah osiloskop. Permainan itu diletakkan
pada Laboratorium Nasional Brookhaven, New York, untuk menghibur para
pengunjung. Setahun kemudian dia menciptakan permainan serupa pada sebuah
monitor 15 inci. Akan tetapi, karena dia merasa dia tidak menemukan sesuatu
yang baru, dia tidak mematenkan ciptaannya tersebut (Leonard Herman, 2002, 3).
Pada
tahun 1961 seorang siswa MIT bernama Steve Russell menciptakan Spacewar, sebuah game komputer interaktif pertama, pada sebuah minikomputer Digital PDP-1 (Programmed Data Processor-1). Pada tahun 1966 Ralph Baer masih
memegang teguh impiannya, yaitu menciptakan televisi yang bisa juga dipakai
untuk bermain game. Setahun kemudian
dia dan timnya akhirnya sukses menciptakan game
interaktif yang bisa dimainkan di televisi. Pada tahun 1968 televisi yang
bisa dipakai untuk bermain game ciptaan
Ralph Baer dan kawan-kawannya tersebut dipatenkan (Leonard Herman, 2002, 3).
Pada
tahun 1972 seorang bernama Bushnell, setelah meninggalkan perusahaan Nutting
oleh karena masalah pembagian keuntungan, mendirikan perusahaan game-nya sendiri. Bushnell tidak
sendiri, dia melakukannya bersama-sama dengan Dabney. Perusahaan itu diberi nama
Atari, sebuah istilah dari sebuah game Jepang berjudul Go. Istilah “atari” sendiri memiliki
makna yang setara dengan kata “skak” dalam permainan catur. Bushnell kemudian
mempekerjakan Al Alcorn untuk memprogram sebuah video game tennis sederhana. Game
itu diberi nama Pong dengan dua
alasan: (1) “pong” adalah bunyi ketika bola di dalam game itu terkena raket atau sisi layar, dan (2) karena nama
“Ping-Pong” sudah terlebih dahulu dipatenkan. Pong kemudian diuji-cobakan pada
Andy Capps, sebuah bar lokal. Dalam waktu dua minggu, perangkat permainan itu
rusak karena kotak koinnya tidak lagi mampu menampung koin-koin yang masuk.
Pong sukses besar (Leonard Herman, 2002, 4-5).
Setelah
Atari mendapatkan sukses besar, beberapa perusahaan video game mulai meluncurkan konsol video game rumahan. Pada tahun 1976 lahirlah cartridge untuk bermain game.
Perusahaan Fairchild Camera & Instrument meluncurkan Video Entertainment System, sebuah konsol game rumahan pertama. Kita bisa bermain berbagai macam game dengan mengganti cartridge-nya. Di tahun yang sama Exidy
Games meluncurkan Death Race 2000,
sebuah game yang diciptakan
berdasarkan sebuah film tahun 1975 dengan judul yang sama. Game ini merupakan game
yang mengandung kekerasan. Masyarakat kemudian memprotes kehadiran game dengan kekerasan ini. Isu ini bahkan menjadi
isu nasional, sehingga Death Race 2000
ditarik dari peredaran (Leonard Herman, 2002, 5).
Pada
bulan Maret tahun 1978 Nintendo meluncurkan Computer
Othello. Kemudian, pada tahun 1980 Namco meluncurkan Pac-Man, sebuah arcade game yang legendaris. Lebih dari
300.000 unit terjual di seluruh dunia. Pada awalnya Pac-Man bernama Puck-Man.
Karena khawatir ada orang-orang nakal yang akan mengisengi kata “puck” itu,
nama Puck-Man diubah menjadi Pac-Man. Pac-Man menjadi video game pertama yang digemari baik lelaki dan perempuan (Leonard
Herman, 2002, 6-7).
Masih
pada tahun 1980, Nintendo memasuki pasar Amerika Serikat. Minoru Arakawa,
menantu dari Hiroshi Yamauchi (kepala perusahaan Nintendo Jepang), memindahkan
kantor perusahaan ke Seattle, Washington. Akan tetapi, penjualan Nintendo di
Amerika pada waktu itu bisa dikatakan gagal. Menghadapi hal itu, pada tahun
1981 seniman Nintendo bernama Shigeru Miyamoto menciptakan Donkey Kong. Karakter protagonis dari game itu pada mulanya diberi nama Jumpman. Misinya adalah
menyelamatkan kekasihnya yang bernama Pauline dari kera-kera gila. Kemudian,
nama Jumpman diubah menjadi Mario untuk menghormati Mario Segali, orang yang
telah menyewakan tanahnya untuk Nintendo Amerika (Leonard Herman, 2002, 7-8).
Pada
tahun 1985 seorang programer Russia bernama Alex Pajitnov mendesain game Tetris.
Permainan puzzle ini sangat sederhana
dan bisa dimainkan pada berbagai macam perangkat, mulai dari gembot (game watch) yang sederhana hingga PC.
Setahun kemudian, pada tahun 1986, Nintendo meluncurkan NES (Nintendo Entertainment System) secara
lebih luas, tidak hanya di kota New York saja, melainkan di seluruh penjuru
Amerika Serikat. Permainan legendaris dari konsol ini adalah Super Mario Bros. Sementara itu, untuk
menandingi kesuksesan NES, Sega meluncurkan Sega
Master System (SMS). Akan tetapi, Nintendo berhasil mengalahkan
rival-rivalnya. Beberapa game lahir
untuk dimainkan pada konsol ini, termasuk salah satu game legendaris The Legend of
Zelda. Bahkan, beberapa perusahaan game
bergabung dengan Nintendo sebagai third-party
developers. Salah satu perusahaan itu adalah Namco (Leonard Herman, 2002,
11-12).
Pada
tahun 1989 Nintendo memperkenalkan Monochrome Game Boy. Konsol tersebut dapat
dipakai untuk bermain Tetris, dan
versi Game Boy dari Super Mario,
yaitu Super Mario Land. Sementara itu
pada tahun yang sama Sega meluncurkan 16-Bit
Genesis (Leonard Herman, 2002, 13).
Tahun
1990 merupakan tahun emas bagi Nintendo. Pada tahun itu, Nintendo meluncurkan game legendaris Super Mario 3. Kemudian, khusus untuk para gamers Jepang, Nintendo meluncurkan Super Mario 4: Super Mario World, yang memperoleh sukses besar di
sana. Setahun kemudian, 1991, Nintendo meluncurkan SNES (Super Nintendo Entertainment System). Sega pun tidak mau
ketinggalan. Sega memperkenalkan suatu tokoh legendaris, yaitu Sonic the Hedgehog. Misi utama yang
diemban Sonic tidak lain adalah menumbangkan dominasi Super Mario, tetapi
sepertinya Super Mario masih tetap lebih unggul. Di tahun yang sama, Capcom
meluncurkan Street Fighter II
(Leonard Herman, 2002, 13-14).
Pada
tahun 1995, setelah melalui kerja sama yang gagal dengan Nintendo, Sony
meluncurkan PlayStation (Leonard Herman, 2002, 17). PlayStation tidak lagi
menggunakan cartridge, melainkan CD.
Di Indonesia sendiri kehadiran Sony PlayStation berhasil menyingkirkan Nintendo
dan Sega. Arena-arena bermain dan/atau rental PlayStation menjamur di
mana-mana. Pada saat itu, anak-anak, yang orang tuanya tidak memiliki cukup
uang untuk membeli konsol bagi mereka, dapat bermain PlayStation selama satu
jam dengan uang Rp 1.500,00 atau Rp 2.000,00 di arena-arena bermain PlayStation,
atau menyewa PlayStation itu untuk dibawa pulang ke rumah selama sehari (24
jam) dengan uang Rp 30.000,00.
|
Harvest Moon, Back to Nature (game RPG, Sony PlayStation) |
Pada
bulan November 1996 Bandai meluncurkan Tamagotchi di Jepang. Tamagotchi adalah
perangkat game kecil sederhana dan
portabel. Dengan alat itu, kita bisa memelihara hewan peliharaan virtual.
Tamagotchi segera menjadi begitu populer di Jepang. Kemudian, Bandai
meluncurkan Tamagotchi di Amerika Serikat. Tidak lama kemudian,
perusahaan-perusahaan lain meluncurkan hewan peliharaan virtual serupa (Leonard
Herman, 2002, 20-21).
Pada
tahun 1997 Sony PlayStation berhasil menjadi konsol yang paling populer di
seluruh penjuru dunia (Leonard Herman, 2002, 18). Pada tahun inilah Square Soft
(sekarang Square Enix) meluncurkan salah satu game legendaris, Final Fantasy VII.
Final Fantasy VII pada mulanya dikembangkan untuk bisa dimainkan di konsol
Nintendo. Akan tetapi, game ini
terlalu panjang dan berat untuk sebuah cartridge,
sehingga pihak Square Soft memutuskan untuk meluncurkan game ini dengan format CD untuk konsol PlayStation.
Pada
tahun 1998-1999 terdapat rumor bahwa Sony akan merilis PlayStation 2. Sony
sendiri mengaku bahwa mereka memang tengah mengembangkan sebuah konsol baru
sebagai penerus generasi lama. Banyak kalangan memprediksi konsol baru Sony
tersebut akan diluncurkan pada tahun 2000 dan akan menggunakan keping kaset
DVD. Sony akan bekerja sama dengan Toshiba untuk mengembangkan chipset dari konsol baru tersebut
(Leonard Herman, 2002, 23).
Pada
tahun 23 November 1998 Nintendo merilis The
Legend of Zelda: Ocarina of Time untuk dimainkan di Nintendo 64. Beberapa
saat setelah diluncurkan, game ini
langsung dipesan sejumlah 325.000 keping cartridges.
Pada akhir tahun itu Nintendo telah menjual 2,5 juta kopi game ini, menghasilkan penjualan sejumlah $150 juta. Bandingkan
dengan penjualan film Disney berjudul A
Bug’s Life, sebuah film dengan penjualan tertinggi pada waktu itu, yang
“hanya” menghasilkan $114 juta di box
office (Leonard Herman, 2002, 23-24).
Pada
tahun 1999 Nintendo menghadirkan Pokémon (Pocket
Monsters) di Amerika. Ketika game
ini diluncurkan untuk dimainkan di perangkat Game Boy dalam dua edisi pada
bulan September, Pokémon segera menjadi game
yang paling laris dengan cepat. Kemudian Nintendo juga meluncurkan sebuah game Pokémon yang mirip Tamagotchi
berjudul Pocket Pikachu. Pikachu adalah karakter monster di dalam game Pokémon yang paling digemari.
Karena game Pocket Pikachu yang mirip
Tamagotchi itu bisa juga dipakai sebagai pedometer (alat pengukur jumlah
langkah kaki), master Pokémon bisa melatih dan memperkuat Pikachunya hanya
dengan berjalan saja (Leonard Herman, 2002, 24). Pokémon itu sendiri kemudian
menjadi anime yang legendaris.
Masih
pada tahun 1999, Nintendo meluncurkan Game Boy Advance, sebuah perangkat dengan
kapasitas warna 32-bit, yang bisa dikombinasikan dengan telefon seluler (HP)
untuk akses internet. Sementara itu Microsoft pun turut terjun pula. Microsoft pada
tahun itu tengah menyiapkan sebuah konsol yang diberi nama X-Box. X-Box
menggunakan OS (operating system)
Windows CE. Juga di tahun 1999 akhirnya Sony merilis spesifikasi dari versi
terbaru PlayStation mereka, yaitu PlayStation 2. PlayStation 2 diotaki oleh
sebuah mikroprosesor Toshiba/Sony 250MHz. PlayStation 2 bisa dipakai untuk
memainkan game serta untuk memainkan
audio CD dan DVD (Leonard Herman, 2002, 26).
Pada
tahun 2000 Sony resmi diluncurkan PlayStation 2 sementara itu Bill Gates, bos
Microsoft, secara resmi meluncurkan X-Box. Bill Gates meyakinkan para gamer bahwa X-Box bukan merupakan PC
yang diberi baju baru (Leonard Herman, 2002, 27-28). Maka, dimulailah era baru
pertarungan sengit dua konsol: X-Box vs PlayStation. Kini PlayStation sudah
sampai pada generasi keempat. Game
legendaris Final Fantasy VII yang dirilis pada tahun 1997 untuk konsol
PlayStation pada tahun ini (2015) akan di-remake untuk dimainkan pada konsol
PlayStation 4.
Game sebagai Suatu Seni-Total
Martin
Suryajaya di dalam artikel Permainan
Video sebagai Gesamtkunstwerk (2014) mengatakan bahwa video game merupakan suatu seni total.
Dia berpendapat bahwa video game
merupakan suatu gabungan dari berbagai macam cabang seni: seni rupa (seni
lukis, seni patung, seni grafis, fotografi, seni video), sastra, teater, seni
musik, dan seni tari. Hubungan antara semua seni itu dengan video game bukan merupakan hubungan
kronologis, melainkan di dalam video game
itu terdapat unsur-unsur seni tersebut. “Permainan video, dengan demikian,
merupakan rangkuman—sebuah summa—dari seluruh cabang
kesenian,” kata Martin Suryajaya pada artikel tersebut. Martin Suryajaya pun
mengatakan, dan saya menyetujui, bahwa ada satu unsur yang membuat video game menjadi khas, yaitu
partisipasi.
Partisipasi
atau peran aktif pemain di dalam video
game itu menjadi ciri khas yang tidak bisa dihilangkan. Tanpa partisipasi
pemain, tidak akan pernah ada video game.
Jika seorang penari menciptakan karya seni, tarian, untuk dinikmati dengan cara
ditonton, seorang pematung membuat patung untuk dinikmati dengan cara ditonton,
seorang sineas membuat karya film untuk dinikmati dengan cara ditonton, seorang
musikus mengaransemen lagu untuk dinikmati dengan cara didengarkan, seorang
cerpenis menulis karya sastra untuk dinikmati dengan cara dibaca, seorang
programer video game membuat karya
seni, video game, bukan sekadar untuk
didengar, dibaca, atau ditonton, melainkan untuk dimainkan. Kita, pemain game, harus aktif di dalam video game. Berbeda dengan menonton film
di mana kita hanya menyaksikan orang-orang lain memerankan karakter-karakter
tertentu, di dalam video game kita
harus menjadi karakter tertentu. Kita mau tidak mau harus mengafirmasi, bahkan
membatinkan ideologi tertentu, sehingga kita bisa memainkan video game tertentu, atau hanya ada game over di sana (Padmo Adi, 2014).
Hasrat yang Berserakan pada Video Game
Di
dalam peran aktif kita memainkan video
game tersebut, disadari atau tidak ada hasrat yang tertumpah di sana.
Ketika kita sedang memainkan video game,
kita sedang berhadapan dengan objet a.
Objet a di dalam psikoanalisa
lacanian merupakan istilah khusus untuk menunjuk kepada suatu obyek penyebab
hasrat. Game menyediakan
bentuk-bentuk simbolis yang jauh lebih kaya dari pada film, dan bentuk-bentuk
itu bisa menjadi fantasi ($<>a) (Padmo Adi, 2014). Objet a dapat berada di mana saja, mulai dari suara, pandangan. Di
dalam game, objet a itu bahkan dapat berada pada “aksi heroik” character yang kita mainkan. Bayangkan
saja ketika kita sedang berada di tengah-tengah dunia fantasi dengan
pemandangan yang fantastis, back-sound
musik yang menyentuh hati atau membakar semangat, quest yang menantang, dan tubuhmu terpancar efek-efek cahaya
menakjubkan ketika sedang beraksi. Perpaduan hal-hal itu tentu tidak akan
pernah kita temukan di dunia real-simbolik kita, bahkan mungkin bahasa tidak
bisa mengungkapkan keadaan seperti itu dengan paripurna. Hasrat meluber bukan
saja melalui apa yang kita dengar dan saksikan, melainkan justru pada
tindakan-tindakan yang kita lakukan melalui character
kita tersebut. Character itu menjadi
perpanjangan diri kita, perpanjangan tubuh kita, dan perpanjangan kehadiran
kita. Ketika kita bermain Final Fantasy VII,
misalnya, seketika itu pula tubuh kita dan tubuh Cloud Strife
bersatu, melalui sebuah konsol. Kisah sejarah hidup kita seketika lebur bersama
dengan plot cerita Cloud Strife. Ketika kita berhasil mengalahkan Safer Sephiroth
(wujud terakhir dari Sephiroth), lalu menyaksikan bagaimana meteor yang di-summon oleh Sephiroth menggunakan Black Materia itu berhasil ditahan oleh
kekuatan Holy, walau terjadi ledakan
besar setelah itu, kita akan mengalami suatu perasaan yang aneh, sebuah
perpaduan antara lega, puas, senang, dan penasaran akan apa yang akan terjadi
selanjutnya. Mungkin itulah sebabnya Squaresoft (sekarang Square Enix)
membuatkan sekuel dan prekuel untuk Final Fantasy VII, dan mungkin itulah
sebabnya Final Fantasy VII menjadi salah satu game legendaris sepanjang masa.
|
Cloud (Final Fantasy VII) memanggil Bahamut untuk membantu menyerang musuh. |
Bermain
Final Fantasy VII adalah salah satu contoh pengalaman bermain game RPG (Role Playing Game)
luring (off line). Ketika kita
bermain game MMORPG (Massively
Multiplayer Online Role Playing Game), kita akan memiliki pengalaman yang
sedikit berbeda, akan tetapi tidak kalah intensifnya. Di dalam kebanyakan game MMORPG, kita mendesain character kita sendiri, memilih job, dan membuat cerita kita sendiri.
Tidak ada game over di sana. Memang
ada banyak quest untuk dijalani,
tetapi kehadiran kita di dunia virtual itulah yang lebih penting. Jika di dalam
game luring sering kali waktu
dipadatkan sedemikian rupa sehingga satu jam di dalam game bisa jadi hanya lima menit di kehidupan real kita, tidak
demikian halnya dengan game daring.
Satu jam di dalam Godswar adalah satu
jam di kehidupan real kita. Untuk memainkan kebanyakan game daring, kita membutuhkan separuh, bahkan seluruh waktu kita!
Keadaan ini mirip dengan keadaan di dalam film Avatar itu. Kita tidak sedang
memerankan character fiksi semacam
Cloud Strife, tetapi kita memerankan character
kita sendiri, yang kita beri nama sendiri, yang kita desain sendiri, dan
yang kita tentukan sendiri takdirnya. Kita bukan hanya melihat seorang aktor
melakukan hasrat untuk kita, kita juga tidak hanya semata meleburkan hasrat
kita dengan plot cerita character
tertentu, melainkan kita justru melakukan hasrat-hasrat kita itu melalui
kebertubuhan kita yang diperpanjang melalui tubuh virtual tersebut. Kita benar-benar
hadir, baik di depan konsol, maupun di dalam dunia virtual tersebut. Kita hidup
di dalam dunia hipereal tersebut. Kita pun bisa saja mati secara harafiah di
depan konsol oleh karena terlarut di dalam dunia hipereal itu.
Banyak
kasus gamer meninggal di depan konsol
saat memainkan game daring. Game yang dahsyat adalah game yang mampu membuat pemainnya
penasaran, bahkan terobsesi. Hal ini bisa kita pahami karena memang ada fantasi
di dalam game baik yang luring maupun
daring. Fantasi ($<>a) di dalam paradigma Lacanian adalah keadaan di mana
subyek terbelah dengan putus asa mencari obyek yang hilang atau objet a (Boucher, 2008, 198).
Ketika
diri kita dipaksa masuk ke dalam yang simbolik (Liyan besar), kita sebenarnya
tengah ditetak, dikastrasi, dibelah. Diri kita ambyar berkeping-keping. Kita
disapih dari keadaan “menyusu”, suatu keutuhan, persatuan primordial dengan ibu. Kita dipaksa untuk membahasakan
diri kita dengan penanda Tuan yang sudah disediakan oleh Liyan (ayah). Ketika kita mencoba membahasakan
diri kita dengan penanda Tuan tersebut, kita mendapati bahwa bahasa (yang
simbolik) tidak mampu menampung diri kita secara paripurna. Ada bagian diri
kita yang tercecer. Ada yang tidak bisa dibahasakan. Ada yang harus direpresi.
Bagian yang tercecer inilah rem(a)inder,
jejak-jejak hasrat yang sebenarnya mendorong si subyek memutuskan untuk
melakukan sesuatu. Disebut remainder,
karena hal itu hanyalah sisa-sisa, ampas, remain.
Disebut reminder, karena ampas itu
sekaligus menjadi pengingat bagi kita akan keadaan persatuan primordial pada
fase cermin. Memang benar bahwa Wacana Tuan adalah wacana pertama dan memang
harus ada. Tanpa Wacana Tuan, seorang individu tidak akan pernah menjadi
subyek. Dia tidak akan pernah mampu membahasakan dirinya sebab dia tidak punya
penanda-penanda yang dibutuhkan, bahkan dia tidak punya penanda “Aku”. Namun,
jika si subyek itu terus-menerus melulu hanya memakai Wacana Tuan, dia hanya
akan bisa berkata “ya” atau “tidak, “boleh” atau “jangan”. Si subyek itu tidak
akan bisa menoleransi keadaan ambivalen. Bahkan, si subyek tersebut tidak akan
pernah mampu mengetahui objet a
(kerinduan terdalam)-nya.
Subyek
bergerak ke arah garis bahasa (Signifier à Voice),
lihat grafik hasrat Lacanian di bawah. Garis bahasa itu pun menabrak Subyek.
Tabrakan dengan garis bahasa itu menyebabkan Subyek ambyar, Subyek terbelah
($). Karena bahasa tidak mampu mewadahi Subyek secara paripurna, sehingga ada
yang tercecer dari Subyek yang tidak terperikan, Subyek merasa muak. Subyek
yang muak ini pun mengikuti hasrat bergerak ke arah Fantasi ($<>a).
Pergerakan Subyek ke arah fantasi ini mengantarkan Subyek kepada keadaan Enjoyment (Jouissance / Kenikmatan). Subyek yang telah mengalami Jouissance ini membawa pengalaman Jouissance-nya kepada yang simbolik
(garis bahasa) dengan meminjam metafora-metafora yang sudah disediakan oleh
yang simbolik, tetapi dengan makna yang sudah diperbaharui.
|
Gambar ini saya ambil dari buku G. Boucher (G. Boucher, 2008, 195) |
Fantasi
sebenarnya merupakan obat penolong bagi si subyek terbelah untuk melarikan diri
dari keadaan ambyar dan kagol
tersebut. Zizek menjelaskan fantasi berarti bahwa jarak antara tingkat atas dan
tingkat bawah dari Graph of Desire
didekatkan. Zizek melanjutkan bahwa fantasi adalah sebuah konstruksi yang
memampukan kita untuk mencari pengganti maternal (pengganti dari keadaan “menyusu primordial”), tetapi di saat yang
sama juga merupakan sebuah layar yang mencegah kita menjadi terlalu dekat
dengan maternal Thing tersebut (Boucher,
2008, 199). Fantasi menyediakan “kunci” bagi si subyek untuk melakukan lompatan
jouissance (enjoyment). Fantasi berfungsi untuk menyelubungi fakta bahwa Liyan
itu juga merupakan subyek terbelah, bahwa Liyan itu inkonsisten, bahwa Liyan
(tatanan simbolik) itu terstruktur di sekitar ketidakmungkinan yang traumatis,
di sekitar sesuatu yang tidak bisa disimbolisasikan (Boucher, 2008, 200).
Dengan adanya fantasi, kita dapat berdamai dengan kenyataan bahwa Liyan
(tatanan simbolik) itu pun tidak utuh, juga ambyar seperti kita.
Keutuhan yang Kosong, Kekosongan
yang Utuh: Seni
Kita
semua adalah subyek yang seakan-akan utuh, tetapi sebenarnya berlubang, (w)hole. Lubang itu ada oleh karena
proses penetrasi yang simbolik kepada diri kita. Fantasi membantu kita untuk
lari dari keadaan ambyar tersebut. Video
game dengan sangat kaya menyediakan fantasi tersebut. Video game yang dahsyat adalah video
game yang menghadirkan suatu seni-total sebagaimana yang dijelaskan Martin
Suryajaya di atas, yaitu game yang mengandung unsur-unsur seni yang lain
(sastra, seni rupa, sinema, musik, dll.). Fantasi di dalam video game itu terletak pada seni-total (plus partisipasi)
tersebut. Desainer (baca: seniman) video
game yang splendid
adalah mereka yang berhasil memprogram sebuah game yang mampu membuat pemainnya (baca: apresiator seni)
terobsesi, bahkan mati secara harafiah di depan konsol. Mengapa para gamer itu rela bermain bahkan sampai
mati di depan konsol? Mereka sublim, sebuah keadaan ketika rasa pedih, perih,
dan sakit pada tubuh tidak lagi penting. Ada kenikmatan di dalam rasa perih,
ada rasa perih di dalam kenikmatan. Suatu nikmat yang perih dan perih yang
nikmat. St. Sunardi -seorang filsuf, penikmat seni, dan sekaligus seorang
Lacanian dari Indonesia- di dalam paper berjudul Mencari Pokok-pokok Persoalan Estetika Seni Rupa menjelaskan prihal
sublim di dalam paradigma lacanian sebagai berikut:
“Sublim
dalam Lacan dikaitkan dengan apa yang oleh Lacan disebut tatanan Real. Kalau
diungkapkan dalam bahasa sederhana, manusia itu hidup dalam tiga dunia: dunia
simbolik (dunia sebagaimana kita jalani bersama), dunia imaginer (dunia ingatan
saat saya mengenal kedirianku secara imaginer), dan dunia Real (dunia yang
tidak bisa kita hadirkan). Walaupun pada kenyataannya kita itu menggunakan
tanda-tanda dalam dunia simbolik, dua dunia lainnya selalu mempenetrasi dunia
simbolik kita. Mengapa? Karena dalam dunia simbolik kita ada yang bolong atau
mengalami lack. Maksudnya, walaupun
kita memenuhi seluruh permintaan dalam dunia simbolik, kita tetap saja
mengalami terasing. Walaupun seluruh hukum di dunia ini dipenuhi, belum tentu
orang mengalami kepuasan hidup (jouissance).
Lacan berpendapat bahwa lack itu
muncul karena ada ketidaksadaran yang belum terpuaskan. Lalu bagaimana orang
bisa memuaskan lack itu? Kita perlu
mengidentifikasi sisa-sisa yang bisa mengingatkan (rem(a)inder) saat kita mengalami kepenuhan tanpa kurang satu
apapun. Sisa-sisa pengingat inilah yang disebut objet a. Dari perspektif psikoanalis, sisa-sisa itu bisa berupa
payudara, suara, dan sebagainya. Sisa-sisa pengingat itu juga bisa mengambil
bentuk -bentuk budaya. [...] Sublim kantian sejajar dengan jouissance lacanian dalam arti keduanya menggabungkan antara
pengalaman kenikmatan dan kepedihan sekaligus. Kalau menggunakan bahasa Freud,
pengalaman akan sublim atau jouissance
itu melampaui prinsip kenikmatan (beyond
pleasure principle). Maksudnya, walaupun pedih orang akan melakukannya. Apa
hasilnya? Proses simbolisasi baru berdasarkan pengalaman orang bertemu dengan
dunia real,” (St. Sunardi, 2014, 7-8).
Sekarang
kita memahami bahwa kita semua adalah subyek yang seakan-akan utuh, tetapi
sebenarnya berlubang. Pada lubang tersebut, terdapat dorongan-dorongan yang
tidak logis, sebab logika hanya ada pada tataran simbolik, sementara lubang itu
ada pada ketidaksadaran. Seorang ilmuwan akan skeptis terhadap lubang tersebut.
Seorang agamawan menganggap bahwa tidak ada lubang, yang ada adalah kepenuhan,
Tuhan. Sementara, seorang seniman bermain-main di sekitar lubang tersebut, dia
melakukan segala macam cara untuk membingkai lubang itu. Bingkai itulah seni.
|
Berburu Krinker (game Android & IOS, Mobbles) |
Game sebenarnya
hanyalah gambar bergerak dengan warna dan suara yang kita gerakkan sesuai
kehendak kita. Kita ambil contoh game
Android (smartphone) yang tengah saya
teliti dan mainkan, yaitu Mobble. Mobble hanyalah game sederhana yang memadukan kegiatan merawat seperti Tamagotchi
dan RPG, tetapi kita harus berjalan sungguhan di dunia nyata untuk memburu
mobble (monster) yang ada pada Radar Mobble yang muncul pada layar HP kita. Game itu sebenarnya sangat sederhana dan
sepele, bahkan cenderung membosankan. Kita hanya memburu dan merawat gambar 2
Dimensi yang bergerak! Akan tetapi, sebagaimana yang telah kita diskusikan di
atas, bahwa di dalam game tersebar objet a, begitu pula pada game Mobble. Ada objet a pada sekadar gambar 2 Dimensi itu. Akan tetapi, kemudian,
sekadar gambar 2 Dimensi itu, di mana tersebar objet a itu, diangkat ke level Das Ding. Apa yang sebenarnya tidak
berharga tersebut, yang sebenarnya biasa-biasa saja itu, diangkat ke taraf yang
luar biasa. Das Ding itu sesuatu yang tremendum
et fascinosum, sesuatu yang menakutkan tapi sekaligus menawan, medeni ananging ndemenakke.
Berhadap-hadapan dengan Das Ding, kita terpesona dan kehabisan kata. Terlalu
dekat dengan Das Ding, kita akan ketakutan. Terlalu jauh dengan Das Ding, kita
akan rindu. Kita akhirnya menjaga jarak dengan Das Ding. Das Ding itu kosong
tetapi isi, isi tetapi kosong. Kekosongan itu seperti lubang hitam yang membuat
segala sesuatu, bahkan cahaya, bergerak ke arahnya. Akan tetapi, seorang subyek
yang berhadap-hadapan dengan Das Ding tidak bisa tinggal tetap di sana, atau
dia akan menjadi psikosis. Dia harus kembali turun ke yang simbolik,
menggunakan penanda-penanda yang telah disediakan oleh yang simbolik, tetapi
dengan makna yang telah dia temukan pada Das Ding. Itulah sublimasi.
Penutup
Pada
mulanya bisa jadi kita tidak habis pikir tentang fenomena gamer yang bisa menghabiskan seluruh hidup, waktu, perhatian, dan
uangnya di depan konsol. Akan tetapi, fenomena itu ada di depan mata kita, terjadi
pada anak-anak, keponakan, atau kenalan kita, bahkan terjadi pada diri kita
sendiri. Belum banyak yang mampu mengartikulasikan fenomena ini. Metafora-metafora
dan tuntutan-tuntutan moral-agama yang disediakan oleh yang simbolik pun tidak
mampu membahasakan fenomena ini dengan baik, kecuali bahwa fenomena itu buruk
semata. Tanpa kita sadari, video game
dengan seluruh aktivitasnya telah menjadi kebudayaan. Video game adalah suatu seni-total (plus partisipasi) yang splendid. Di dalam unsur-unsur seni (dan
aksi heroik) video game tersebut,
tersebar banyak sekali objet a. Di
sana ada fantasi yang membuat para pemain (apresiator)-nya terobsesi. Mereka
terus-menerus penasaran. Mereka mengalami sublim hingga mengesampingkan
kebertubuhan (unsur biologis tubuh)-nya. Di satu sisi, video game dewasa ini berhasil menjadi suatu seni-total yang jauh
lebih mudah menghadirkan estetika sublim, suatu estetika yang perlu latihan
intens dan eksperimen bertahun-tahun di dalam seni keaktoran teater. Akan
tetapi, di sisi lain, dengan keberhasilan estetika sublimnya ini, video game pun membuat para pemain
(apresiator)-nya kedanan, gila,
hingga melampaui pleasure prinsiple.
Mereka menikmati kenikmatan yang pedih, dan kepedihan yang nikmat (bdk. St.
Sunardi, 2014). Inilah keadaan ambivalen dari budaya game.
Daftar
Pustaka
Boucher, G., 2008, The Charmed Circle of Ideology: A Critique of Laclau & Mouffe,
Butler & Zizek, Melbourne: Re.Press
Lacan, Jacques., Seminar VII, The Ethics
of Psychoanalysis, The Splendor of Antigone
Sunardi, St., 2014, Mencari Pokok-pokok Persoalan Estetika Seni Rupa, paper Seminar
Nasional Estetik #1, Masa Depan Oposisi bagi Perkembangan Seni Rupa Kini, 14-17
Oktober 2014, Galeri Nasional Indonesia
Internet
Comments
Post a Comment