RAHASYA
Ketika
engkau menghadapi persimpangan di dalam perjalananmu, apa yang akan engkau
lakukan? Mungkin engkau akan tetap mengambil jalan yang sudah kaurencanakan
sebelumnya. Engkau melihat penunjuk arah warna hijau besar itu, mungkin juga
melihat peta atau GPS, mengecek rencana perjalananmu, lalu dengan mudahnya
berbelok ke arah yang memang sudah kauinginkan, kaurencanakan, dan bahkan
kaukenali. Akan tetapi, bisa juga, ketika engkau melihat peta atau GPS itu,
kaudapati bahwa arah yang satunya akan membawamu ke suatu tempat yang mungkin
belum pernah kaukunjungi sebelumnya, atau bahkan ke tempat yang jarang dilalui
oleh orang kebanyakan. Didorong oleh rasa penasaran dan jiwa petualangmu,
akhirnya kaupilih jalan yang lain itu, jalan yang sama sekali tidak ada di
dalam rencana perjalananmu, jalan yang sama sekali bukan menjadi tujuan awalmu.
Para pengendara dual-sport atau motor
Adv yang gemar “tersesat” akan lebih mungkin mengambil pilihan ini. Akan
tetapi, bisa jadi engkau akan berhenti untuk waktu yang cukup lama,
menimbang-nimbang arah mana yang akan kaupilih, menimbang-nimbang untuk sampai
ke tempat yang direncanakan sesuai estimasi waktu atau untuk mengalami suatu
petualangan yang mungkin tidak akan pernah dapat kauulangi. Kemudian, kauakan
dicekam kecemasan. Kaucemas bahwa engkau akan kecewa. Ketika engkau memilih
untuk mengambil jalan yang sesuai rencana, engkau cemas akan kecewa melewatkan
kesempatan yang mungkin takkan pernah kembali untuk bertualang ke tempat baru,
melewati jalan asing. Akan tetapi, ketika engkau memilih untuk mengambil jalan
asing yang menantang jiwa petualangmu, engkau cemas akan kecewa, kecewa akan
tempat yang ternyata tidak sesuai bayanganmu, kecewa karena telah
membuang-buang waktu hingga rencana perjalananmu berantakan. Sebenarnya, apapun
pilihanmu, engkau akan kecewa. Bahkan, dengan tidak memilih, berdiam diri di
persimpangan itu untuk waktu yang terlalu lama, engkau pun akan kecewa. Maka,
engkau hanya perlu memilih. Pilihlah satu arah. Pilihlah satu jalan. Kemudian, carpe diem, nikmatilah perjalananmu.
Pada
persimpangan semacam itulah aku berada kini. Jika aku belok ke kiri, aku akan
sampai di tempat yang sudah kurencanakan seminggu sebelumnya, Pantai Buyutan,
Pacitan. Akan tetapi, tiba-tiba saja hatiku menginginkanku untuk mengambil
jalan ke kanan, ke arah Pantai Nampu, Wonogiri. Aku sendiri, mengendarai
DTracker150, lengkap dengan peralatan berkemah. Tanpa pikir panjang, segera
kuarahkan sepeda motorku ke arah Pantai Nampu. Tentu aku akan kecewa tidak jadi
berkemah di Pantai Buyutan, tetapi toh aku juga akan kecewa tidak menuruti kata
hatiku untuk mengubah tujuan ke Pantai Nampu.
Pantai
Nampu sebenarnya merupakan potensi wisata alam milik Wonogiri yang tidak kalah
dengan pantai-pantai di Gunung Kidul, Yogyakarta. Akan tetapi, sepertinya
Pemerintah Kabupaten Wonogiri tidak sesemangat Pemkab Gunung Kidul. Namun, di
sisi lain, aku justru bersyukur dengan keadaan itu, sehingga seorang pengendara
adventure macam diriku ini memiliki
alternatif yang murah meriah ketika pantai-pantai Gunung Kidul yang mainstream dan mahal itu semakin
dipadati manusia-manusia kota yang ingin melepas penat dihajar kapitalisme.
Jujur, sebenarnya aku ingin hidup sebagai manusia gunung, seperti yang pernah
aku saksikan di channel National
Geographic. Mereka hidup di pegunungan, hutan, daerah yang terpencil, jauh dari
hiruk-pikuk kota, jauh dari sistem yang semakin menghimpit. Mereka hidup dengan
berburu, memakan semuanya... ya, semuanya. Mereka makan babi, rusa, tikus
hutan, bajing, ular, kalong, bahkan kalau perlu makan anjing, dan untuk
bertahan dari dehidrasi minum darah mamalia. Tidak ada agama, tidak ada
halal-haram, tidak ada kelas menengah ngehek
yang sok cinta binatang, tidak ada table
manner, tidak ada sistem, tidak
ada uang. Yang ada hanyalah bagaimana mengatakan “ya” pada hidup, dengan
terus-menerus berada di situasi survival,
hingga ke titik ekstrim kembali ke alam, menjadi bagian dari rimba raya. Dan,
bukan berarti orang-orang (yang mungkin
di mata orang-orang kota dipandang) liar itu tidak memiliki code of life, prinsip hidup. Di channel National Geographic itu aku
saksikan, salah satu orang gunung itu berburu rusa. Dia melihat rusa buruannya
itu. Direntangkannya busur panahnya. Rusa itu dibidiknya. Akan tetapi, kemudian
dia mengendurkan busurnya, membatalkan perburuannya itu. “Rusa itu tua dan
sakit. Tidak pantas kita memburu rusa tua yang sakit,” katanya. Sebagai
gantinya, dia menyembelih seekor bajing untuk 50% kebutuhan energinya. Aku hanya
bisa iri menyaksikan kehidupan bebas semacam itu. Paling banter yang bisa
kulakukan hanyalah go ride an adventure,
mengendarai DTracker150-ku, lalu berkemah di suatu tempat yang jauh... suatu
pelarian yang manis. Pelarian manis inilah usaha tawar-menawar terbaikku. Ya...
aku tidak bisa pergi begitu saja dari kota. Ada hal yang membuat hidupku
tertambat di sana.
***
Sesampainya
di Nampu, segera saja kudirikan tenda dome
warna kuning ngejreng yang kumiliki.
Waktu menunjukkan pukul 17.00, senja akan segera tiba. Kukeluarkan kompor
portabel. Aku hendak merebus tiga paha ayam yang aku bawa dari rumah untuk
makan malam. Daging rebus tanpa bumbu, tanpa digoreng, tanpa dibakar, masih
berwarna kemerahan, dan dengan rasa amis adalah favoritku. Dulu, sewaktu kecil
dan masih tinggal bersama nenek, aku selalu meminta nenek menyisihkan satu atau
dua daging rebusan pertama untuk kujadikan lauk, sebelum nenek menggoreng atau
membacem atau membakar daging-daging sisanya. Tentu aku merebus daging itu
sampai airnya benar-benar mendidih, sampai seluruh daging dan tulangnya matang.
Pukul 18.30, ketika aku hendak menyantap makan malam, ada seseorang datang. Dia
mendirikan tenda 5-7 meter di sebelah barat tendaku. Aku tidak begitu
mempedulikannya, sebab perutku sudah lapar. Sementara, ombak laut selatan
menderu dan pecah di bebatuan karang.
|
Seorang lelaki memandangi senja di tepi pantai. Dokumen pribadi. Foto oleh Syarifuddin Rohman. |
Malam
pertamaku di Nampu kuhabiskan bersama diriku sendiri. Aku tidak begitu
mempedulikan tetangga baru di sebelah barat tendaku tersebut. Dan, segera
setelah matahari pecah di timur, aku menyiapkan menu sarapan hari ini. Hanya
makan tiga potong paha ayam rebus di malam sebelumnya ternyata membuatku
kelaparan pagi itu. Segera aku merebus tiga buah kentang seukuran kepalan
tangan, dua butir telur, dan sepotong wortel. Semuanya kurebus jadi satu tanpa
bumbu. Sempat kulirik tenda tetangga baruku itu. Masih belum ada tanda-tanda
kehidupan. Sementara, ombak laut selatan menderu dan pecah di bebatuan karang.
Pukul
07.53, aku sudah menyelesaikan sarapanku. Sementara, tenda tetanggaku itu pun
akhirnya terbuka. Baru bangun? Aku menatap tenda itu. Seseorang keluar dengan
enggan, lalu segera menuju bibir pantai. Menguap. Lalu ngolet. Ketika dia menoleh ke timur, sinar keemasan mentari menerpa
wajahnya. Bening. Dia melihatku, seakan terkejut menyadari keberadaanku,
mengamati sejenak, lalu tersenyum. Manis. Perempuan dengan senyum yang manis.
Dia menyapaku, selamat pagi. Dengan kikuk aku menjawab salam itu. Kemudian aku
berbasa-basi, bertanya, apakah dia sudah makan. “Nanti,” jawabnya. Lalu, dia
tenggelam ke dalam suasana pagi Pantai Nampu. Sementara, ombak laut selatan
menderu dan pecah di bebatuan karang.
***
Rahasya,
itu namanya. Bukan Resya, bukan Reza, bukan Raisa... bukan. Melainkan,
Rahasya... ya, begitu dia memperkenalkan dirinya. Dia seorang lady biker, katanya. Lady biker adalah sebutan untuk seorang
penghobi kendara sepeda motor, tetapi perempuan. Aku heran, jika seorang
perempuan penghobi kendara sepeda motor disebut “lady biker”, mengapa seorang lelaki penghobi kendara sepeda motor
tidak disebut “gentleman biker”,
melainkan semata hanya disebut “biker”?
Mengapa lelaki selalu menjadi nilai netral di dalam banyak hal, untuk tidak
mengatakan semua, sedangkan perempuan adalah nilai tersendiri? Mungkinkah
penyebutan “lady” itu disematkan
kepada tiap perempuan yang hidup di dunia lelaki? Tetapi, toh Maria Herera,
pembalap moto3 itu, hanya disebut racer
atau rider, tanpa embel-embel “lady”. Benarkah ada dikotomi “dunia
lelaki” dan “dunia perempuan” itu? Atau, jangan-jangan kita hidup di dunia di
mana “nilai lelaki” menjadi nilai netral yang berlaku baik untuk lelaki dan
perempuan, sementara “nilai perempuan” menjadi standar nilai yang hanya berlaku
di kalangan perempuan? Ketika lelaki mengenakan pakaian lelaki, misalnya, kita
anggap biasa. Lalu, seorang perempuan memakai pakaian lelaki, misalnya kemeja
kotak-kotak, kita bilang itu seksi. Ketika seorang perempuan mengenakan pakaian
perempuan, kita bilang itu pas dan anggun. Akan tetapi, ketika seorang lelaki
mengenakan pakaian perempuan, bisa jadi kita akan misuh-misuh jijik, bahkan muntah. Terlepas dari semua pertanyaan
itu, aku mendapati diriku merasa senang dan nyaman bisa bertemu seseorang yang
memiliki hobi yang sama denganku, terlebih dia seorang perempuan.
Rahasya,
itu namanya. Hanya itu yang aku tahu. Dan, nama itu kukira pas betul. Maksudku,
perempuan adalah sebuah misteri. Perempuan adalah misteri yang menakutkan,
tetapi sekaligus menawan. Di hadapan perempuan yang menawan hati kita, lelaki,
kita ingin mendekat, tetapi sekaligus ingin menjaga jarak, takut kalau hati
kita remuk dimorat-maritkannya, dan kemudian meratap kalah, lemah di sudut.
Kita ingin berada di sampingnya, atau hadapannya, di dekatnya, menatapnya,
mungkin menggenggam tangannya, lalu mengatakan, “Aku cinta,” tapi di saat yang
sama kita takut kebanggaan dan kekuatan kita sebagai lelaki berantakan di
hadapannya, kita takut ditolak olehnya, lalu kemudian lidah kita kelu, gagu,
hanya mengeluarkan sapaan basa-basi yang benar-benar basi berulang-ulang, “Hai,
apa kabar?” Padahal, ketika kita berhasil memenangkan hati dan cintanya, lalu
menikahinya, kita bisa berdiri dengan gagah di hadapan teman-teman dan
lawan-lawan kita, walaupun tetap saja kita akan menjadi anak kecil yang manja
di hadapannya... entah di saat kita merengek minta bercinta, atau merengek
minta izin uang belanja bulanan disisihkan beberapa ratus ribu untuk membeli
barang-barang hobi kita. Pernah aku touring
ke Pantai Sapenan, Lampung. Di sana aku bertemu dengan seorang biker asal Tangerang, touring sampai Lampung naik Honda Tiger
yang legendaris itu, bersama anak lelakinya yang masih SD dan ajudan yang
mengawalnya naik Jupiter Z. “Istri saya mengizinkan saya touring ke sini dengan syarat anak lelaki kami ini saya ajak serta.
Kalau tidak, mana boleh saya sampai di sini?” Ah... berbahagialah para bujangan,
jomblo, dan rohaniwan Katolik serta biksu Buddha yang selibat itu. Mereka
benar-benar jiwa bebas!
Rahasya,
itu namanya. Baru beberapa jam sejak senyumnya di pagi hari itu, kami sudah
ngobrol banyak. Usianya dua puluh empat, lebih muda lima tahun dari padaku. Dia
asli Kediri, tetapi bekerja di Malang, Jawa Timur. Rahasya mengambil cuti dua
minggu untuk melakukan perjalanan sendiri ke barat, menyusuri jalur selatan.
Mengendarai Vixion, kini dia terdampar di pantai di Wonogiri ini. Dia bercerita
bahwa dia melakukan perjalanan ini untuk mengambil waktu sejenak untuk dirinya
sendiri, bertemu dirinya sendiri, dan memastikan apa yang dia ingin lakukan,
apa yang harus dia lakukan. Ibunya yang janda menginginkan dia segera menikah.
Sementara, dia tidak kunjung bisa benar-benar membuka hati terhadap lelaki
lain. Seorang lelaki pernah singgah di hatinya. Lelaki itu benar-benar membekas
di hatinya, meninggalkan tanda tanya yang tak juga terjawab. Sebenarnya,
pertemuannya dengan lelaki itu telah terjadi sepuluh tahun yang lalu, ketika
mereka sama-sama masih remaja, masih begitu muda. Namun, kemudian hubungan
mereka tidak berjalan dengan baik. Waktu itu, mereka adalah remaja yang penuh
energi, ingin melakukan segalanya. Ternyata, “segalanya” itu berarti mereka
harus menempuh jalan yang berbeda. Tidak ada kata “selamat jalan” atau “sampai
jumpa” sempat mereka ucapkan. Tiba-tiba saja si lelaki melanjutkan sekolah di
asrama, di Muntilan, sedangkan Rahasya tetap tinggal di Kediri, menghabiskan
masa remajanya dengan keceriaan yang hampa. Dia ceria sebagaimana pada umumnya
remaja, tetapi hampa sebab ada tanda tanya yang menganga. Lelaki itu kini
tinggal di Jakarta, bekerja di sebuah perusahaan media massa di kawasan Palmerah.
Hanya itu yang Rahasya pahami tentangnya, tidak lebih. Itu pun hanya dari
keterangan akun facebook yang
dibacanya ketika lelaki itu menge-add facebook
Rahasya. Butuh waktu hampir setahun bagi Rahasya untuk mengonfirmasi friend request tersebut. Hatinya
senantiasa terbelah ketika hendak mengeklik tombol accept. Satu sisi dia girang bukan kepalang, lelaki yang selama ini
mengisi hatinya, cinta pertamanya, ingat padanya. Akan tetapi, di sisi lain,
dia marah, dia jengkel, sebab dia merasa bahwa lelaki itu telah
meninggalkannya, mempermainkannya, memperlakukannya dengan tidak adil, dan sama
sekali tidak memberinya penjelasan. Rahasya juga bercerita, bahwa dia baru
berani memutuskan untuk mengonfirmasi friend
request tersebut dua minggu yang lalu. Lelaki itu memang segera mengirim private message kepada Rahasya, tetapi
hanya dengan basa-basi yang menggelikan: “Hai, apa kabar?” Dengan perasaan
campur aduk Rahasya menjawab, “Baik.” Lalu, selesai. Tidak ada kelanjutan kisah
lagi. Ya, selesai di sana. Lelaki itu tidak me-replay.
Rahasya,
itu namanya. Ibunya ingin dia segera menikah, mumpung dia masih muda. Namun,
dengan siapa? Tidak ada lelaki lain yang berhasil menyentuh hatinya, kecuali
lelaki itu. Sementara lelaki cinta pertamanya itu... hanya sebuah enigma yang
memuakkan. Aku terus saja mendengarkan kisah Rahasya. Wajahnya yang ayu
membuatku betah duduk berlama-lama, menatapnya. Walau demikian, aku ingin
merokok.
“Aku
merokok ya,” kataku sembari mengeluarkan bungkus tembakau, cengkeh, dan kertas
rokok.
“Rokok
lintingan?”
“Iya.
Lebih irit.”
“Boleh
kulintingkan?”
Tanpa kujawab,
kuserahkan kertas rokok, bungkus tembakau, dan cengkeh kepadanya. Tangannya
begitu mahir dalam menata tembakau pada kertas rokok, lalu cengkeh itu
ditaburkannya secara sporadis, kemudian dilintingnya kertas itu. Angin
berhembus membelai rambut Rahasya sewaktu dia membasahi ujung kertas dengan
lidahnya untuk merekatkan kertas itu.
“Nih...
.”
“Terima
kasih.”
Tak kusangka, dia mahir
melinting rokok. Mungkin dia tidak berdusta ketika berkata bahwa dia berasal
dari Kediri. Mungkin kakek atau ayahnya yang mengajari. Tapi, demi Tuhan, itu
rokok ternikmat yang pernah aku hisap! Sementara, ombak laut selatan menderu
dan pecah di bebatuan karang.
***
Malam
ini adalah malam kedua kami di Pantai Nampu. Aku sendiri berencana untuk tinggal
semalam ini lagi, lalu besok melanjutkan perjalanan, mungkin pulang, mungkin
akan mampir di Gua Maria Ratu Kenya - Danan, mungkin akan ikut misa Hari Minggu
di Baturetno, mungkin akan berkunjung ke rumah teman di Tirtomoyo, mungkin... .
Entahlah.
“Mas,
aku punya sekaleng sarden,” suara sopran Rahasya mengejutkanku.
“Mau
masak bareng? Sini... .”
Aku terima kaleng
sarden yang Rahasya berikan. Diterangi cahaya lentera, kulihat wajah Rahasya
tidak sesegar tadi pagi. Pucat. Mungkin dia kelelahan setelah seharian
bercerita kepadaku. Kutawarkan air minumku kepadanya. Dia menolak.
“Kalau
teh panas mau?”
“Nanti
saja, Mas.”
“Kamu
sepertinya sakit?”
“Mungkin
setelah makan, lebih baik.”
Kami makan sarden, abon
sapi, kentang, telur, mie goreng instan yang kucampur jadi satu. Kami makan kembulan. Melingkari satu nesting, kami
bergantian menyendok. Kupikir dia tidak akan suka dengan seleraku ini, ternyata
dia tetap makan tanpa komplain. Tapi, dia makan tidak banyak. Setelah kurang
lebih sepuluh suapan, dia pamit untuk tidur di tendanya. Kepalanya berat.
Pusing.
Pukul
23.03, aku mendengar suara igauan dari tenda Rahasya. Kudatangi tendanya. Dia
menggigil kedinginan di balik sleeping
bag. Aku beranikan diri memasuki tendanya. Kupegang keningnya, panas. Dia
demam.
“Pulang...
pulang... pulanglah...” Rahasya terus mengigau.
Celaka! Sakit demam
tinggi di tempat terpencil seperti ini. Segera aku mengingat seseorang, teman
kuliahku dulu, orang Baturetno. Kuambil handphone
outdoor-ku. Di tempat terpencil itu, handphone-ku
masih sanggup menangkap jaringan yang tak lagi mampu ditangkap smartphone jutaan rupiah.
“Halo, Bro... Bro... halo... . Iki aku... .
Ya? Bro, wis turu durung kowe? Aku meh ngrepoti, meh njaluk tulung bengi iki
uga. Iya. Darurat iki.”
Sementara, ombak laut
selatan menderu dan pecah di bebatuan karang.
***
“Dheweke kepiye, Kang?” kata temanku
sembari mengenakan hem batik.
“Isih turu. Ning isih semlenget.” kataku.
“Ya wis, dakmangkat misa sik. Ngko daktukokke
sarapan sisan.”
“Nuwun ya... . Sorry ngrepoti.”
“Halah... biyasa wae. Kaya karo sapa wae lho
kowe ki, Kang. Digawa neng Puskesmas
pa piye?”
“Ngko wae, Bro, yen dina iki ra ndang mari.”
“Ya wis nek ngono. Aja dinakali lho, gek
lara, ben leren sik.”
“Asu... .”
Temanku menyetarter Honda Blade-nya sembari ngakak, lalu pergi... misa. Aku sendiri
mengurungkan niatku untuk misa di Baturetno. Aku harus menjaga Rahasya. Dia
tidak memiliki siapa-siapa di tempat ini. Mungkin, hanya aku, lelaki yang baru
saja dikenalnya, yang dia miliki. Kuseka keringat di keningnya. Dia terbangun.
Aku tersenyum. Kuminumkan padanya teh manis hangat untuk mengganti cairan
tubuhnya yang hilang lewat keringat. Rahasya hanya meminum sedikit saja. Entah
mengapa, tiba-tiba saja aku merasa iba terhadap perempuan ini. Aku iba terhadap
pengalaman hidupnya. Aku iba karena tuntutan yang diberikan ibunya. Aku iba
karena cinta pertamanya menjelma menjadi enigma. Aku iba karena perempuan di
hadapanku ini berjalan sendiri hampa tanpa cinta, dari satu pelarian ke
pelarian lain. Dan, celakanya, rasa ibaku itu segera berubah menjadi sayang.
Aku mendapati diriku tiba-tiba saja begitu menyayangi perempuan yang baru aku
kenal ini.
Dulu
sewaktu aku remaja, aku mempercayai cinta pada pandangan pertama. Di dunia ini
memang ada begitu banyak perempuan, tetapi menemukan satu yang spesial pada
pandangan pertama itu adalah sesuatu yang istimewa. Tidak semua perempuan
cantik bisa membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan, Rahasya adalah
satu dari yang jarang itu. Seakan-akan aku ingin selalu menjaganya, ingin
selalu menemani perjalanan-perjalanannya, bahkan saat ini aku ingin mengenalnya
lebih dalam. Akan tetapi, aku tidak bisa. Aku tidak bisa. Ya... aku tidak bisa
menyayangi Rahasya begitu saja. Ada hal yang membuat hidupku tertambat di sana.
***
Pagi
ini aku masih di rumah temanku di Baturetno. Sudah tiga hari kami di sana. Rahasya
sudah mendingan. Dia merengek ingin pulang. Aku bilang, tubuhnya masih belum
kuat untuk mengendarai motor sendiri ke Malang. Dia bersikeras minta pulang.
Aku menawarkan kepadanya, aku akan memboncengkannya hingga ke Malang naik
motornya. Aku tak ingin dia kenapa-kenapa di jalan. Rahasya menyetujui rencana
itu. Kami akan berangkat nanti pk 13.00 setelah makan siang, supaya pagi ini
Rahasya dapat melanjutkan istirahat. Sementara itu, motorku akan kutitipkan di
rumah temanku ini.
Setelah
makan siang, aku dan Rahasya berangkat. Yamaha Vixion itu menderu ke arah Solo
untuk kemudian ke Sragen, Ngawi, Nganjuk, Kediri, Batu, lalu ke Malang. Aku
sengaja mengajak Rahasya melalui jalur tengah yang lebih bersahabat dari pada
jalur selatan. Jalur selatan Jawa memang menggemaskan, tetapi jalur selatan
Jawa Timur bukanlah jalur yang bersahabat di malam hari. Kanan-kiri engkau
hanya akan melihat hutan, jarang sekali ada desa. SPBU dan swalayan waralaba
itu pun jarang, sehingga masjid kecil adalah oasis bagi mata yang mengantuk.
Jalannya relatif sempit, walau mulus. Di beberapa titik masih rawan pencoleng.
Itu belum termasuk kisah mistis yang diceritakan dari mulut ke mulut oleh para biker yang pernah melewati jalur itu di
malam hari.
Aku
memacu Vixion itu pada batas kecepatan touring.
Menurut teori touring yang pernah aku
baca di salah satu blog klub motor Nasional, batas kecepatan di luar kota
adalah 80 kph, sementara di dalam kota 60 kph. Namun, sebenarnya aku membatasi
kecepatan di 80 kph semata agar Rahasya merasa nyaman saja. Sore hari, kami
baru sampai di Jembatan Jurug, Solo. Setelah menyeberangi jembatan, aku bersiap
mengambil lajur kiri, untuk belok kiri, ke arah Sragen. Akan tetapi, Rahasya
ingin lewat Tawangmangu. Dia menginginkan perjalanan yang lebih sejuk. Aku
menurut. Jujur, aku ingin memanjakannya, supaya dia bisa tersenyum... bening
dan manis... sama seperti ketika pertama kali kami bertemu. Motor itu terus
menderu. Kami belum beristirahat sejak dari Baturetno. Aku menawarkan untuk
beristirahat di Karanganyar kota. Rahasya menawar untuk istirahat di Pasar
Tawangmangu saja sekalian makan malam di sana. Aku mengiyakan. Perempuan itu
terlihat bersemangat dengan perjalanan ini. Entah mengapa. Padahal dia sakit.
Selepas Karanganyar kota, jalan mulai menanjak. Tiba-tiba aku merasakan ada
sesuatu yang melingkar dan mengikat erat di perutku. Kulirik... ternyata tangan
Rahasya.
Rahasya
terus melingkarkan tangannya di perutku hingga kami tiba di Pasar Tawangmangu.
Aku memelankan sepeda motor itu, lalu memarkirkannya di tepi jalan, di dekat
warung makan. Rahasya memesan sepiring bubur
lemu, sementara aku memesan nasi jangan
tumpang. Sebelum menyantap buburnya, Rahasya membuat tanda salib.
“Kamu
Katolik?”
“Iya.
Kenapa?”
“Tahu
begitu, kemarin aku bilang temanku, memintakanmu komuni.”
“Gak
pa-pa, Mas... . Kalau Mas apa?”
“Aku
juga Katolik. Tapi, jarang ke gereja. Males.”
“Kenapa?”
“Dulu
aku ingin masuk seminari. Tapi batal. Bapakku mati. Sejak bapak mati, aku
jarang ke gereja. Lagi pula, romo kepala paroki di tempatku brengsek.”
“Kok
brengsek? ‘Kan dia romo?”
“Iya...
brengsek dan keparat. Romo itu ‘kan seharusnya melayani umatnya. Ini malah
minta dilayani. Umatnya makan pakai bandeng sudah syukur, dia maunya makan
pakai salmon. Alasannya kesehatan. Dhaharan
romo gak enak dikit, marah-marah. Pas keuskupan mau memindahnya, dia
menolak, alasannya sedang pembangunan gereja. Padahal gereja di tempatku itu
sudah besar, aulanya juga cukup luas. Bilang saja mau morotin duit umat.
Padahal ‘kan umat tiap Hari Minggu sudah kolekte dua kali. Masih dimintai
uang... buat mbangun inilah itulah. Emangnya dia pikir umatnya itu kaya semua?
Yang pusing mikirin gimana nyekolahin anaknya juga banyak! Saking brengseknya,
malah konon katanya dia pernah menikahkan anaknya sendiri... anak jadahnya...
dari perempuan yang tidak pernah dia nikahi. Konon, mereka sudah pacaran sejak
dia masih jadi frater.”
“Ih...
malah nggosipin romo... .”
“Biar.
Aku pingin marah tiap kali ingat parokiku itu.”
“Mas...
habis ini ke Gua Maria Tawangmangu yuk... . Temani aku berdoa.”
“Tapi
ini sudah malam, Sya... . Kamu sakit.”
“Gak
pa-pa... mampir sebentar saja. Malam ini kita menginap di Tawangmangu saja.
Nanti kita sewa penginapan atau ke hotel di atas sana.”
“Jalurnya
ekstrim lho... .”
***
Pukul
22.40, sudah sepuluh menit kami meninggalkan Gua Maria Tawangmangu, kembali
merangkak naik menuju ke Pasar Tawangmangu. Lampu depan Vixion tidak mampu
membelah kabut tebal di hadapan kami. Motor Rahasya masih standard, hanya
ditambahi side box dan top box. Selebihnya, standard. Tidak ada
lampu jahat yang bisa dipakai untuk membantu membelah kabut. Kuputuskan untuk
berjalan pelan, sejauh mata bisa memandang. Kabut tebal, hawa dingin, jalan
menanjak curam. Hampir-hampir aku tidak menyadari ada tikungan. Untung aku
masih bisa melihat garis putih tanpa putus itu. Masih sakit dan kedinginan,
Rahasya semakin erat memelukku.
Untunglah
kabut itu lenyap ketika kami berhasil mencapai Pasar Tawangmangu. Segera kupacu
motor 150cc itu mendaki ke atas, mencari penginapan.
“Mau
kamar yang bagaimana, Bu?”
“Yang
bisa untuk dua orang,” kata Rahasya. Aku diam.
“Bisa
lihat KTP, Bu?”
“Ini,
pakai KTP saya saja, Pak,” kataku sembari mencegah Rahasya mengeluarkan
KTP-nya. Kuserahkan KTP-ku kepada petugas front
desk jaga malam itu.
Petugas itu diam.
Mengamati KTP-ku, membaca sesuatu di sana, lalu dia memandangku, memandang
Rahasya, lalu kembali memandangku sembari tersenyum. Dia menyimpan KTP-ku pada
suatu kotak khusus lalu mengambil kunci kamar. Aku yakin, reaksinya akan
berbeda ketika dia melihat KTP Rahasya.
“Baik,
silakan. Mari saya antar.”
Kami berdua mengikuti
lelaki berjaket dan mengenakan kethu
itu. Kami menaiki anak tangga yang sempit. Di tangan kanan dan kiriku terdapat side box, di punggungku terdapat tas
ranselku. Menaiki anak tangga ini menjadi semakin melelahkan oleh karenanya.
Lantai tiga, kamar 307, petugas itu berhenti, membukakan pintu, dan dengan
keramahan yang sangat text book
mempersilakan kami masuk. Di dalam kamar, di atas ranjang, sudah terdapat
sepasang handuk putih, sabun, sampo, serta sikat dan pasta gigi. Semua
sepasang. Setelah kami masuk, petugas itu segera meninggalkan kami. Rahasya
segera menutup pintu dan menguncinya.
Rahasya
segera berbaring melepas lelah. Aku meletakkan side box dan tas ranselku di sudut. Kusetel AC kamar pada suhu 21
derajat celsius. Di luar 17 derajat celsius, begitu informasi yang ada di smartphone-ku.
“Kamu
tidak apa-apa kita sekamar?” kataku.
“Tidak
apa-apa. Biar ngirit,” jawab Rahasya.
Aku diam. Aku ingin mandi
air hangat. Kuambil handuk dan peralatan mandi lainnya yang ada di atas
ranjang. Aku berjalan mendekati pintu kamar mandi, saat itu Rahasya menoleh
kepadaku dan berkata,
“Sebenarnya
aku ingin berdua bersamamu, Mas.”
“Kenapa?
Kita baru kenal, ‘kan?” jawabku sembari menoleh kepadanya.
“Kamu...
kamu mengingatkanku padanya, Mas,” Rahasya bangun lalu duduk di ranjang,
bersandar di tembok.
Aku diam. Kini aku
benar-benar menatap Rahasya, tidak sekadar menoleh. Kutatap dengan cara
demikian, matanya berkaca-kaca, menangis.
“Aku
terkejut ketika pertama kali melihatmu pagi hari itu, Mas. Kukira kamu adalah
dia. Syukurlah bukan. Tapi, aku nyaman bersamamu, Mas.”
“Itu
sebabnya kamu mau aku antar sampai Malang?” aku duduk di tepi ranjang,
mengurungkan niatku untuk mandi.
“Mas...
.”
“Ya?”
Rahasya diam. Tidak berani
melanjutkan kata-katanya.
“Aku
sebenarnya suka kamu, Sya... . Aku ingin menyayangimu, seandainya mungkin.”
Mendengar itu dia
memelukku. Aku mendekapnya. Pecahlah tangisnya di pundakku. Ternyata aku pun
juga menangis, menyesali kalimat yang baru saja aku ucapkan. Seharusnya
kata-kata itu tidak pernah keluar dari mulutku.
***
Pukul
02.58, handphone outdoor-ku
berdering. Aku terbangun. Rahasya masih terlelap di sebelahku. Wajahnya
tenteram. Segera kuambil handphone
outdoor itu, kubaca siapa yang menelepon. Aku terkejut.
“Ya...
halo?” kataku sambil masuk ke kamar mandi. Kututup pintunya supaya pembicaraan
kami tidak mengganggu Rahasya yang tidur.
“Iya,
smartphone-ku hampir-hampir gak ada
sinyal. Iya? Ada apa jam segini? Ini aku masih touring. Gak... . Sama teman kok. Pulang? Malam ini? Kenapa? Ma...
Mama... tarik nafas yang dalam. Ngomong yang tenang. Ada apa? Ssssst... jangan
nangis... Papa di sini. Ngomong, ada apa. Apa?! Bayi kita sakit? Demam tinggi?
Sejak kapan? Mama minta tolong adik mama dulu untuk mengantarkan ke Brayat.
Iya... hari ini aku pulang. Sendiri... mungkin. Gak tahu temanku mau ikut atau
tidak, dia juga sakit. Namanya? Mama gak kenal. Namanya Rahasya. Iya, Rahasya.”
Ketika
engkau menghadapi persimpangan di dalam perjalananmu, apa yang akan engkau
lakukan? Mungkin engkau akan tetap mengambil jalan yang sudah kaurencanakan
sebelumnya. Mungkin, engkau akan mengambil jalan berdasarkan situasi
kondisional yang terjadi. Pada persimpangan semacam itulah aku berada kini.
Meneruskan perjalanan ke Malang, mengantar kekasihku, Rahasya, yang sakit,
dengan asumsi bahwa sudah ada istriku dan adiknya merawat bayi kami di sana.
Atau, pulang ke Solo, segera menuju ke Rumah Sakit Brayat Minulyo, di sana, melihat
dan menjaga bayi kami, menyemangati istriku, dan mengatakan statusku yang
sebenarnya kepada Rahasya, kekasihku. Masih terlalu dini hari untuk memutuskan.
Di sana, di Solo, istriku kebingungan bayi kami demam tinggi. Di sini, Rahasya
terbangun, mencariku, demamnya kambuh. Sementara, ombak di dalam dadaku menderu
dan pecah di bebatuan karang egoku.
*kepada Gembul dan Brewok
tepi Jakal, 18
Juni 2016
Padmo Adi
(@KalongGedhe)
Hahahaha ceritane penuh dengan teka teki dan imajinasi 🙊🙊🙊
ReplyDeleteSeneng gak mbacanya? :P
Delete