MOBBLES*
01
Petualangan
Itu Pun Dimulai
*Mobbles
merupakan produk dari mobbles.corp (www.mobbles.com). Karya ini semata hanyalah funart belaka, tidak ada keuntungan finansial yang kami peroleh. Segala hak
yang berkenaan dengan Mobbles
merupakan milik mobbles.corp.
Cerita oleh Padmo Adi
seri 01 - Perjumpaan
Hari itu kira-kira pukul 19.00. Suara penonton
membahana dari Stadion Maguwoharjo. Mereka tenggelam di dalam ketegangan
pertarungan sengit, sebuah pertarungan final yang memperebutkan satu tiket ke
Jakarta.
“Gummymu tidak akan bisa bertahan lagi, Albert.
Menyerahlah. Biarkanlah aku yang menjadi wakil Jogja pada tournament nasional
mobble di Jakarta.”
“Diam! Kita akan bertarung sampai selesai.”
“Sampai selesai? Tidakkah kaulihat Gummymu itu?
Tidakkah kaukasihan padanya? Dua atau tiga pukulan lagi, dan dia akan KO.
Menyerahlah!”
“Tidak ada kata menyerah di dalam kamusku. Gummyku
sudah membaca gerakan Kumbomu.”
“O... benarkah? Mengagumkan. Baiklah. Bagaimana
Gummymu akan membaca gerakan ini?! KUMBO, HABISI GUMMY!!!”
|
Kumbo's Uppercut |
Kumbo berlari menerjang Gummy yang sudah babak
belur. Setelah jarak cukup dekat, Kumbo melepaskan sebuah pukulan hook kanan,
tepat kena ke perut Gummy. Akan tetapi, tubuh Gummy sepertinya menerima pukulan
itu, tubuhnya melar ke belakang seiring dengan pukulan Kumbo. Lalu, pada batas
melarnya, Gummy mengembalikan tubuhnya, seperti karet. Kumbo terkejut, hooknya
tidak lagi memberi dampak yang besar bagi Gummy, tapi kini malah dirinya yang
mendapatkan counter attack. Tubuh
Gummy yang membal membuat Kumbo terpelanting ke belakang. Namun, Kumbo bisa
mendarat dan kembali memasang kuda-kuda.
“Mengagumkan. Semangat juang yang patut dipuji.
Gummymu yang elastis itu ternyata keras kepala juga ya, Albert?”
“Itu belum seberapa, Febri! GUMMY, SEKARANG!”
Gummy mengeluarkan barbelnya. Berlari dengan tenaga
terakhirnya menuju ke arah Kumbo. Dia hendak menghajar Kumbo dengan barbel itu.
Sebuah jurus pamungkas! Kumbo segera bereaksi. Kumbo juga berlari ke arah
Gummy. Blarrrrr... . Penonton senyap seketika, terpana.
Barbel Gummy menggelinding ke luar lapangan. Kumbo
masih terengah-engah. Tangannya masih terkepal setelah melayangkan uppercut. Tubuh Gummy terpelanting
tinggi sekali, lalu menghujam tepi lapangan dengan keras. KO!
Suara bel tanda pertandingan berakhir berbunyi.
Gelegar suara sorak penonton pecah membahana. Kemenangan 2-1 untuk Febri! Dan,
dia berhak menjadi wakil Jogja untuk mengikuti tournament nasional mobble di
Jakarta.
Albert masih terperangah. Dia menyaksikan tubuh
Gummy terpelanting dengan keras, lalu menghujam pinggir lapangan. Ketika Albert
sudah bisa memahami apa yang terjadi, berlari ke arah Gummy. Matanya berlinang
air mata. Bukan... bukan karena dia baru saja dikalahkan oleh Febri...
melainkan karena mobble kesayangannya babak belur dan dihajar sedemikian rupa.
Ada rasa bersalah menyelinap benak Albert. Andai saja dia mengalah. Andai saja
dia tidak memaksakan kemungkinan kecil itu. Ya, seandainya Kumbo Febri tidak
berhasil menghindari pukulan barbel Gummynya, Kumbo Febri bisa saja kalah dan
KO seketika, sebab pukulan barbel Gummy Albert terkenal sangat mematikan.
Namun, kenyataannya, Kumbo Febri sudah bisa membaca gerakan Gummy Albert.
Ketika Gummy mengayunkan barbelnya tepat ke arah pelipis Kumbo, Kumbo mengelak
ke belakang, lalu segera mengambil kuda-kuda, dan dengan segera menerjang Gummy
yang tengah berusaha menguasai momentum gerak barbelnya, kemudian mendaratkan
pukulan uppercut yang mengakhiri
pertandingan itu. “Seandainya aku tidak memaksa... tentu Gummy tidak akan
mengalami cedera separah ini,” begitu pikir Albert.
Namun, apa boleh buat. Pertandingan telah terjadi.
Gummy Albert KO. Albert berlutut di sebelah tubuh Gummy yang terkapar. Petugas
paramedis-mobble segera datang. Mereka menyarankan agar Gummy segera dimasukkan
kembali ke dalam room pada suatu alat
yang bernama “apk-mobble”. Apk-mobble adalah alat berbentuk seperti HP yang
berfungsi untuk menyimpan mobble-mobble yang dimiliki. Albert menuruti nasihat
petugas paramedis-mobble tersebut. Setelah Gummy disedot vakum untuk masuk ke
dalam room, Albert diminta untuk
mengikuti petugas paramedis-mobble itu menuju ke ruang perawatan. Di sana ada
dokter-mobble yang siap memberikan pertolongan pertama bagi mobble yang kalah
bertanding.
***
Keesokan harinya, hari Senin. Albert terlihat duduk-duduk
sendiri di sebuah warung burjo di area Mrican. Dia minum kopi, masih dihantui
perasaan bersalah kepada mobble kesayangannya itu, Gummy. Dia ingat waktu itu,
saat di mana dia pertama kali bertemu dengan Gummy.
Dua tahun lalu dia bukanlah seorang mobble-trainer.
Dia hanyalah seorang mahasiswa biasa yang gemar berpetualang. Dia suka backpacker-an. Dia hobi naik gunung.
Malam itu di Gunung Lawu, Albert dan Kris tengah beristirahat di pos 3. Mereka
kelelahan setelah berjalan jauh mendaki.
“Kita dirikan tenda di sini saja, Kris?”
“Jangan. Kita beristirahat sejenak saja. Nanti saja di
pos 4 kita mendirikan tenda.”
“Kalau begitu, kita makan dulu?”
“Baiklah.”
Mereka pun menggelar matras, lalu membuka tas carrier masing-masing. Kris mengeluarkan
kompor portabel, memasang kaleng gasnya, lalu meletakkan panci kecil di
atasnya.
“Makan berat atau ringan?”
“Ringan saja, Kris. Kita simpan makanan berat untuk
nanti,” kata Albert sembari mengeluarkan dua bungkus mi instan.
“Ah, aku ingin telur rebus. Setengah matang. Lalu,
kuning telurnya lumer membasahi lidahku. Mmmm... lezat.”
“Keluarkanlah telurmu. Kamu yang bawa telur, ‘kan?”
“Kentang juga?”
“Kentang untuk nanti saja. Kita makan yang cepat
jadi dan cepat selesai.”
“Ah... beban tasku belum berkurang kalau demikian.”
“Kalau begitu, pakai airmu saja untuk merebus mi
instan ini... .”
Mereka menyalakan kompor portabel itu. Setelah air
mendidih, mereka memasukkan mi instan dan telur. Albert sepertinya lalai dengan
bungkus mi dan cangkang telur tersebut.
“Albert, tolong ambilkan tas plastik itu.”
“Untuk apa?”
“Kaubuang sampah sembarangan! Kaubilang, kau itu
pecinta alam?”
“Ahahahaha... maaf... aku keburu lapar.”
“Dasar! Kita harus selalu membawa pulang kembali
sampah-sampah kita. Kita bukan anak-anak alay
yang naik Semeru itu, lalu nyampah di
Ranu Kumbolo.”
“Iya Pak Guru... .” jawab Albert meledek.
“Sialan!”
“Huahahahahaha... .”
Aroma sedap mi instan itu sepertinya membuat Albert
dan Kris kedatangan tamu. Terdengar suara di balik rerumputan.
“Albert, ssssst... dengar... suara apa itu?” kata
Kris hampir berbisik.
Albert terpaksa menghentikan kunyahannya, sementara
mi masih belum sepenuhnya memasuki mulutnya. Masih ada beberapa sentimeter mi
menggantung di mulutnya. Sementara itu, Kris segera meraih senternya, menyinari
ke arah datangnya suara. Melihat apa yang ada di hadapan mereka, Kris dan
Albert sempat dibuat ketakutan. Dua pasang mata memantulkan warna kuning!
“Bert... kuning!”
“Bukan merah?”
“Merah itu manusia. Hijau itu anjing. Ini kuning!”
“Sepasang harimau?”
“Entahlah... .”
“Kita mati di sini?”
“Mengapa ada harimau di jalur pendakian?”
Tanya mereka dipecahkan oleh suara kekeh dari salah
satu dari dua pasang mata itu. Suara kekeh yang aneh. Akan tetapi, setidaknya
suara kekeh itu membuat mereka sedikit lega, bahwa itu bukan harimau. Tapi,
suara kekeh makhluk apa itu? Hantukah?
Perlahan-lahan dua pasang mata itu mendekat. Albert
dan Kris masih terpaku. Albert sudah berhasil memasukkan semua mi ke dalam
mulutnya. Nampak di hadapan mereka dua ekor makhluk.
“Mobble!”
“Apa, Kris?”
“Itu mobble... .”
“Kamu tahu?”
“Aku baca di internet.”
“Mereka berbahaya?”
“Gummy dan Krinker... .”
“Gummy dan apa?”
“Krinker.”
|
Gummy's Dumbells Hamer |
Dua makhluk, yang oleh Kris disebut Gummy dan
Krinker, itu mendekat ke arah panci. Mereka kemudian makan mi yang masih ada di
dalam panci tersebut. Albert masih diam, terpana. Sementara Kris panik... jatah
minya dimakan dua ekor mobble itu.
“Hiyaaaa... . Miku! Sialan!!!” kata Kris hendak
menghardik dua ekor mobble itu.
“Tunggu Kris... .” kata Albert mencegah Kris, “Kita
saksikan apa yang akan terjadi.”
“Yang akan terjadi adalah... aku kelaparan!”
“Aku masih bawa mi instan lagi.”
Kalimat Albert membuat Kris tenang. Setelah selesai
melahap mi instan di panci, dua mobble itu terkekeh. Gummy kemudian menyelinapkan
badan di antara tas carrier Albert
dan Kris, sepertinya untuk mencari kehangatan. Sementara makhluk yang Kris
sebut Krinker itu mendekati Kris dan menatapnya. Kris mengulurkan tangan.
Krinker mengendus-endus tangan Kris... kemudian menyentuh tangan Kris dengan
tangannya.
Kris tersenyum, lalu menggelitik perut Krinker.
Krinker terkekeh, lalu mendekat ke arah Kris dan terlentang, seakan-akan ingin
agar Kris terus menggelitik perutnya.
“Sepertinya dia menyukaimu, Kris... .”
“Iya... sepertinya.”
“Akan kita apakan mereka?”
“Kita pelihara?”
“Gila! Bagaimana kita membawa mereka turun dan
melewati pos registrasi?”
“Kita turun lewat Candi Cetha!”
bersambung...
Comments
Post a Comment