Sisa-sisa
Ampas dan Anamnese
Sewaktu balita aku difoto
sedang mengelapi Yamaha “robot” bapak, motor yang dijual ketika adikku bungsu
lahir. Ketika remaja, aku difoto seakan-akan memboncengkan kedua adikku naik Suzuki
Bravo, yang bapakku namai “Embrio”. Bapak lalu membeli Suzuki “plethuk” milik
pakdhe. Pada beberapa kesempatan aku pergi ke SMA mengendarai Suzuki “plethuk”
itu, sampai pada hari kematian bapak. Setelah bapak mati, aku menunggangi Honda
Win100 bapak, yang kunamai “Puma”. Saat itulah petualanganku dimulai,
menjelajah Solo Raya. Lalu, aku mengasingkan diri ke Salatiga. Win100 itu
dijual mama, satu-satunya hal yang aku sesali dari keputusanku ke Salatiga. Di Salatiga itu, ketika semua konfraterku
harus naik Avanza, magisterku mengizinkanku menaiki GL100-nya. Aku pun kembali
ke Solo. Aku meminjam Yamaha Jupiter Z mata owl
adikku untuk pergi lagi ke Salatiga, mencari cinta yang tertunda. Saat itulah
aku mengalami kecelakaan parah, menabrak tong separator jalan di Ngasem. Pada
tahun 2012 aku lulus kuliah. Mama menghadiahiku Honda NewMegapro. Motor pemberian
mama itu kuberi nama “Kelelawar Tempur”. Bersamanya aku menjelajahi Pulau Jawa,
Bali utara, dan Lampung selatan. Bersama Kelelawar Tempur, motor pemberian
mama, itulah aku mengalami “(w)hole-ness”, sebuah keutuhan primordial, justru
setelah kematian bapak, orang yang mengajariku bagaimana menunggang roda dua.
Adalah sebuah sakramen, di mana seakan-akan aku berkendara bersama para
leluhur. Sebuah jouissance lacanian
yang tak/belum mampu kuperikan. Raungan suara knalpot itu menentramkan hati,
seperti darasan mazmur biarawati.
02 – 03 Februari 2017
Padmo Adi
Lha d fb ada fotone. Lha d blog kok gk ada ki py critane yo? Berharap paham, hehe
ReplyDeleteAku memberi ruang di sudut blog-ku supaya blog-blog yang aku ikuti nongol, sehingga pembacaku bisa mampir ke blog-blog yang aku ikuti itu. Nah, blog-blog yang nongol di sudut blog-ku itu kadang ada fotonya. Mungkin sewaktu aku menge-share tulisan ini di facebook, ada blog-mu lagi nongol, Mas :D
Delete