PETUALANGAN SANG PEMBURU MONSTER MENEMBUS BATAS REALITA DAN VIRTUAL
Telaah
Psikoanalisa Lacanian terhadap Pengalaman Bermain Game Android, Mobbles
untuk SOLOMOB
dan MOBBLES INDONESIA
senang
bertualang bersama kalian
Kajian
tentang game ini berangkat dari
perjumpaan saya dengan seorang teman gamer.
Dia bercerita tentang game yang
memaksa pemainnya pergi ke luar rumah, menelusuri lingkungannya untuk berburu
monster di lingkungan nyata sehari-hari itu. Hal itu merupakan sesuatu yang
baru bagi saya sendiri, yang juga merupakan seorang gamer. Saya penasaran dengan game
dengan genre Augmented-Reality semacam
itu. Pengalaman macam apa yang akan dialami oleh para pemainnya?
Saya
memberanikan diri untuk mengadakan penelitian ini sebab saya melihat bahwa di
Indonesia masih sedikit orang mengkaji game
dengan serius. Maka, kajian ini saya harap dapat memperkaya pembicaraan kita
mengenai game khususnya di Indonesia
ini. Saya menggunakan paradigma psikoanalisa Lacan. Teori psikoanalisa Lacan
saya pakai sebab saya penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan para
pemain game Augmented-Reality,
khususnya Mobbles. Para pemain itu sebenarnya tengah diseret ke mana; Yang
Real, Yang Simbolik, atau Yang Imaginer? Di sisi lain, saya juga penasaran,
dengan kehadiran smartphone yang
semakin canggih, dan kemudian kehadiran Augmented-Reality—di
mana kehidupan nyata sehari-hari dibajak dan dicangkoki kenyataan yang
virtual—realitas dunia kita ini sebenarnya tengah dibentuk ulang menjadi
bagaimana? Apakah sebenarnya Mobbles, dan game
Augmented-Reality lainnya itu, tengah menghadirkan ingatan akan Yang
Imajiner, atau mereproduksi Yang Simbolik, atau sebenarnya tengah menghadirkan
Yang Real?
Hampir
semua teman yang saya kenal di OMK dan MaSastrO memainkan game Mobbles ini. Bahkan, salah seorang teman mendirikan komunitas
pemain Mobbles Solo, SOLOMOB. Saya hadir di tengah-tengah mereka, menyaksikan
bagaimana mereka berburu, merawat, trading,
dan battle. Bahkan, saya dengan
sengaja memasukinya, memainkan game
Mobbles itu sendiri. Bersama-sama kami memasuki sebuah dunia di mana yang
virtual dan yang real melebur jadi satu.
Di
dalam situasi semacam itu, permainan video
game menjadi sesuatu yang jauh lebih serius. Orang bisa berkelahi
sungguh-sungguh hanya gara-gara memperebutkan monster atau portal yang ada di
suatu tempat di lingkungan nyata, tetapi yang juga sekaligus tidak ada di sana.
Di sisi lain, dunia nyata yang telah dibajak oleh yang virtual ini juga
kemudian membuat pekerjaan mencari upah sehari-hari mengalami apa yang disebut gamification, dibuat seolah-olah
semenyenangkan bermain game.
Kehadiran gadget yang semakin canggih
membuat seorang subjek dapat keluar-masuk antara yang nyata dengan yang maya
berkali-kali dalam sehari tanpa perlu harus meluangkan waktu khusus atau berada
di tempat khusus untuk login.
Tidak
mudah bagi kita untuk memahami realitas semacam ini. Teknologi berkembang
begitu pesat, hingga memodifikasi kenyataan sedemikian rupa. Tesis ini memberi
kesempatan kepada para pemain Mobbles, salah satu game Augmented-Reality, membahasakan diri sehingga apa yang mereka
alami dapat lebih kita pahami.
|
Mobbles, The Mobile Creatures |
***
Tesis ini saya tulis pada awalnya karena saya
ingin mengartikulasikan pengalaman bermain game
Augmented-Reality, sebuah genre
baru. Teman saya pertama kali memperkenalkan genre ini kepada saya pada tahun 2014. Jauh sebelum Pokémon Go dan Ingress diluncurkan, Mobbles
telah lebih dulu diluncurkan. Pada tahun 2012 awal mobbles.corp, sebuah
perusahaan yang bisa dibilang home-industry,
meluncurkan suatu permainan berburu dan merawat monster di dunia nyata
sehari-hari. Akan tetapi, kemudian tesis ini berkembang menjadi kisah
petualangan saya dan beberapa orang teman, memainkan game ini, memburu monster, bahkan hingga ke perbukitan Menoreh.
Tesis ini berkisah tentang sebuah dunia di
mana tidak ada lagi dikotomi antara dunia real sehari-hari dengan dunia
virtual. Memang masih ada dan banyak dunia virtual baru diciptakan oleh
perusahaan-perusahaan game, dan dunia
virtual itu semakin real, semakin membutuhkan waktu real kita sehari-hari,
semakin menyita kehadiran kita; dan kita tetap harus login dengan konsol tertentu, waktu, dan tempat tertentu, untuk
dapat mengaksesnya. Akan tetapi, kini dunia real kita telah dimodifikasi
sedemikian rupa dengan yang virtual, sehingga yang virtual ada di sana, di
dunia real sehari-hari kita, dan bahkan membuat dunia real sehari-hari itu
menjadi semakin menggairahkan dan menyenangkan untuk dihidupi. Di dalam dunia
real yang telah dimodifikasi oleh yang virtual itu, tidak ada lagi dikotomi
antara yang virtual dengan yang real, sebab yang virtual telah dileburkan
menjadi satu dengan yang real sedemikian rupa, sehingga yang real tidak lagi
bisa berjalan dengan baik tanpa kehadiran yang virtual. Situasi seperti itu
secara “sederhana” dihadirkan oleh game-game
Augmented-Reality, dan secara
“kompleks” dihadirkan oleh aplikasi-aplikasi yang kita pakai untuk mencari
nafkah, untuk berjual beli, atau singkatnya, untuk hidup.
Jujur saya akui, kelemahan dari tesis ini
adalah durasi pengerjaannya. Saya memulai tesis ini pada 2014, dan baru bisa
mengakhirinya pada akhir tahun 2017, untuk kemudian merevisinya pada awal tahun
2018. Yang saya lakukan selama tiga tahun itu adalah benar-benar terjun
memasuki dunia Virtual-Reality dengan
memainkan banyak game MMORPG, game-game PS1 seperti Final Fantasy VII yang legendaris hingga
Ace Combat 3, game-game PC mulai dari Counter-Strike,
Grand Theft Auto, hingga Plans vs Zombie, dan game-game sederhana pada smartphone. Kemudian, saya memainkan
betul game Augmented-Realty Mobbles,
yang saya teliti itu. Saya masuk ke dalam komunitas-komunitasnya. Saya mengenal
para pemain-pemainnya. Saya memainkannya hingga memiliki gelar Master. Selain itu, saya juga mencoba
membandingkan game Mobbles dengan game Augmented-Reality
lainnya, yang muncul kemudian, seperti Ingress
dan Pokémon Go. Dari memainkan game Virtual-Reality
dan Augmented-Reality secara
bersamaan itu, saya menemukan bahwa kedua genre
game itu memiliki sensasi yang berbeda atas kenyataan. Game Augmented-Reality membuat para pemainnya masih dapat
menapakkan kakinya pada realita sehari-hari.
Dari petualangan saya login dan logout berbagai
macam game sembari tetap menjadi
pemburu Mobbles itulah tesis ini dapat lahir. Saya harus berterima kasih kepada
Arya Gautama Soe alias Ary Nggosoe, Ardyan Ndaru, dan Satria Ndaru, beserta
semua anggota pemain Mobbles yang tergabung di dalam grup whatsapp SOLOMOB dan grup facebook
Mobbles Indonesia. Terima kasih juga terutama kepada Albertus Eko Nugroho W.P.,
Luis Edo Kris Kelana, dan Claudius Hans Christian Salvatore karena telah
menemani petualangan-petualangan saya berburu monster. Terima kasih kepada
teman-teman Jangkrik!, Hans, Mas
Noel, Anne Shakka, Vina Rete, Adit Mbek, Romo Koko, atas perjuangan bersama
menyelesaikan tesis masing-masing, dan atas saling puk-puk yang diberikan. Terima kasih kepada Cahyo Susmanto, atas
tumpangan beberapa malam di Manisrenggo, untuk ngadhem nulis tesis. Terima kasih kepada Mas Sigit fotokopi atas
jasa-jasanya. Kepada Mbak Katrin, viele
Dank... ich kann nicht sprachen... aber “Danke”. Kepada Pak Nardi, terima
kasih atas tantangan dan dukungannya, dan maaf jika belum bisa “secanggih” yang
Bapak harapkan. Terima kasih pula kepada Ika, dan maaf, aku harus merelakan
pekerjaan itu demi menyelesaikan tesis ini. Dan, kepada Njaya, terima kasih
sudah menemaniku lek-lek’an.
Akhir kata, selamat membaca. Silakan baca/unduh di sini.
Surakarta Utara, 18 Januari 2018
Padmo Adi
Comments
Post a Comment