Hasan
& Johan
oleh
Padmo Adi
Hasan
berlari. Kencang. Kedua tangannya masing-masing memegang sebilah pedang.
Keringat mengucur, membasahi keningnya, turun melalui pelipisnya, kemudian
membasahi janggutnya. Tatapannya nanar. Terpaku. Dan pada satu kesempatan, dia
berteriak, “Allahuakbar!!!” lalu
melompat, menghujamkan pedangnya ke arah kepala makhluk itu. Makhluk itu
menyadari gerakan Hasan. Dengan sigap dia menggerakkan ekornya yang perkasa,
tepat menghantam tubuh Hasan. Lelaki itu terpelanting. Menghujam tanah dengan
sangat keras.
Hasan
yang terkapar kini menjadi sasaran mudah bagi makhluk itu. Makhluk itu berdiri
dengan kaki belakangnya, hendak menghunjam Hasan dengan cakar-cakar kaki
depannya. Hasan pasti sudah tercabik jika makhluk itu tidak mundur beberapa
langkah oleh karena tombak yang dilemparkan Johan. Makhluk itu meraung
sejadi-jadinya, memekakkan telinga. Johan kembali menghunus pedang. Dia
menyerbu. Dia arahkan pedang ke ulu hati makhluk itu. Namun, belum juga dia
berhasil mendekat, makhluk itu menyemburkan nafas api. Sigap, Johan berlindung
di balik perisainya, perisai dengan hiasan huruf Yunani ‘Chi’ dan ‘Rho’.
Hasan
memanfaatkan momentum itu untuk bangkit. Tak butuh waktu lama bagi dia untuk
berlari memutar. Dia mengarah ke sisi kanan makhluk itu. Tombak Johan melukai
kaki kanan depan makhluk itu. Pada titik itulah Hasan hendak menyerang. Dengan
segenap tenaga Hasan menebaskan pedangnya. Makhluk itu pun meraung kesakitan.
Kaki kanan depannya putus tertebas pedang Hasan. Makhluk itu melompat ke
belakang, penuh amarah memandang Hasan.
Johan
pun menyerang. Ditatapnya mata makhluk itu. Dia berlari ke sisi kiri makhluk
yang masih mengerang itu. Johan melompat, mengayunkan pedang, hendak menetak
kepala makhluk itu. Makhluk itu tak mengelak. Akan tetapi, pedang Johan tertahan
surainya yang lebat. Melihat situasi itu, Johan memukulkan perisainya, tepat
mengenai mata kiri makhluk itu. Makhluk itu terhuyung, jatuh ke sisi kanan.
Johan dan Hasan terengah-engah. Mereka berdua mundur. Sempoyongan.
|
Hasan & Johan (ilustrasi)
|
Kepala
makhluk itu seperti kepala komodo. Pada kepalanya terdapat sesuatu seperti
mahkota, berbentuk bulan sabit kembar berwarna emas. Surainya seperti surai
singa, tapi jauh lebih keras, seperti jalinan kawat baja. Sepasang tanduknya menyerupai
tanduk banteng. Kaki depannya seperti kaki rajawali. Badannya seperti badan kerbau.
Kaki belakangnya serupa kaki belakang kambing bandot. Ekornya kuat dan panjang,
seperti ekor ular sanca, dapat melilit atau mencambuk manusia. Nafasnya begitu busuk,
seperti bangkai. Liurnya berbisa. Sesekali dia menyemburkan api.
Makhluk
itu menatap Hasan dan Johan satu persatu. Dia lalu mengejan. Hasan dan Johan
saling bertatapan, tidak tahu apa yang tengah terjadi. Mereka masih
terengah-engah. Perlahan, kaki kanan depan makhluk itu tumbuh kembali. Makhluk
itu terus mengejan, seiring dengan tumbuhnya kaki kanan depan itu. Hasan dan
Johan terpana, sekaligus mulai putus asa. Harus dengan cara apa mereka berdua
membunuh makhluk itu? Kepalanya sulit dipenggal, sebab pedang biasa tak mampu
menembus surainya. Tubuhnya yang tertetak bisa tumbuh kembali. Untuk menyerang
jantungnya pun butuh kerja sama dan momentum yang tepat, sebuah kesempatan yang
sulit didapat. Makhluk itu begitu lincah. Kaki kambing bandotnya begitu kuat
menghentak. Sementara cakar rajawalinya sangat tajam, mampu menembus baju
zirah. Nafas apinya begitu panas ... dan busuk.
Sebelum
cakar rajawalinya kembali tumbuh sempurna, Hasan dan Johan mengambil langkah.
Mereka kembali berpencar ke sisi kanan dan kiri makhluk itu. Hasan mengarah ke
sisi perut. Sementara Johan bermaksud mencari celah untuk menghunjamkan
pedangnya ke ulu hati. Melihat dua ksatria itu bergerak, makhluk itu menghentak
maju. Kaki kanan depannya yang belum kembali tumbuh sempurna tidak dia hirau.
Makhluk itu sama kesetanannya dengan Hasan dan Johan. Ketiganya penuh amarah
dan hasrat untuk membunuh. Makhluk itu mengarah kepada Johan, tatkala ekor ular
sancanya terayun ke arah Hasan. Dengan sigap Hasan melompat untuk mengelak
serangan itu. Di saat yang sama, Johan menghentikan langkah. Dia memasang sikap
kuda-kuda, berlindung di belakang perisai, pedangnya diarahkan ke depan.
Rahang
makhluk itu menganga, siap melumat Johan. Ketika moncongnya telah berada pada
radius serang Johan, dia melompat maju, mengarahkan perisainya ke arah moncong
itu, maksudnya hendak menebas moncongnya sembari berlindung di balik perisai.
Melihat gerakan Johan yang demikian, makhluk itu menunduk dan menanduk Johan.
Tanduknya menghantam perisai Johan. Kalah kuat, Johan terpelanting ke belakang.
Perisainya lepas. Tubuhnya menghantam tanah dengan keras. Ketika makhluk itu hendak
menghabisi Johan, tiba-tiba saja dia mengerang kesakitan. Hasan berhasil
menebas ekornya.
Ketika
Hasan hendak menunggangi punggung makhluk itu untuk menusukkan pedangnya, kaki
belakang makhluk itu sudah mengayun ke arahnya. Hasan terpaksa melopat ke samping
kanan untuk menghindar. Makhluk itu mendengus. Dia menoleh ke arah Hasan.
Makhluk itu hendak menerkam Hasan. Cakar rajawalinya kini sudah tumbuh kembali
dengan sempurna. Cakar kirinya mengarah ke kepala Hasan. Cakar kanannya
mengarah ke perutnya. Dengan sigap Hasan menangkis cakar-cakar itu dengan pedang-pedangnya.
Lalu, dia berguling ke depan. Hasan kini berada tepat di bawah leher makhluk
itu. Dia hunjamkan pedangnya ke arah tenggorokannya. Tapi, lagi-lagi pedang itu
tak mampu menembus surai yang lebat dan kuat laksana jalinan kawat baja.
Menyadari
Hasan berada di bawah tubuhnya, makhluk itu mengelak ke sisi kanan. Hasan
mundur. Johan yang berada di luar perhatian makhluk itu mengambil tombaknya.
Dia berlari menyerang sisi kiri makhluk itu dari belakang. Ketika makhluk itu
sudah berada dalam jangkauan, Johan merunduk. Dia mengarahkan tombaknya ke
perut makhluk itu. Dengan sekuat tenaga, Johan berteriak, “Deus vult!!!”
Makhluk
berkepala komodo, bertanduk banteng, bersurai singa, bercakar rajawali,
bertubuh kerbau, berkaki kambing bandot, dan berekor ular sanca, serta
bermahkotakan bulan sabit emas ganda itu muncul dari Teluk Jakarta. Ekornya
menyapu pegunungan. Nafas apinya membakar hutan-hutan. Air liurnya telah
meracuni padi, jagung, dan tetumbuhan pangan. Cakarnya telah mencabik-cabik isi
perut bumi. Tanah yang kaya akan susu dan madu telah dihisap kering. Apa yang
tersisa? Ke manapun dia melata, kengerian semata yang dia bawa. Dia hendak ke
Semeru. Di atas puncaknya, pada malam bulan purnama berwarna merah darah, dia
akan mengaum. Mahkota bulan sabit kembarnya akan bersinar, memantulkan cahaya
bulan. Pada saat itu, makhluk yang lebih buas dari pada dia akan muncul dari
angkasa. Makhluk itu akan datang, terbang dari timur, dari Samudera Pasifik.
Pada masing-masing bentangan sayapnya terdapat lima puluh bintang. Dia akan
menebarkan kematian kepada setiap orang yang menentangnya. Sementara,
orang-orang yang mengakui dia sebagai Tu(h)an akan hidup. Makhluk itu akan
mengadakan perang berhari-hari dengan makhluk serupa beruang berwarna merah
dari utara. Mereka akan bertarung di darat, laut, dan udara. Masing-masing
pengikut mereka akan kesetanan dan saling bunuh. Kehancuran semata yang akan
disaksikan oleh dunia. Orang akan berdoa demi kematian tetangganya. Bapa akan
menguburkan putera. Putera akan kehilangan orang tua. Ibu akan menanak batu.
Sementara anak gadisnya akan ditanami benih setiap waktu.
Akan
tetapi, ketika perjalanan makhluk berkepala komodo, bertanduk banteng, bersurai
singa, bercakar rajawali, bertubuh kerbau, berkaki kambing bandot, dan berekor
ular sanca, serta bermahkotakan bulan sabit emas ganda itu baru sampai di kaki Gunung
Lawu sebelah barat, dia dicegat oleh dua orang ksatria pemberani, Hasan dan
Johan. Kedua ksatria itu memang tidak seragam, tetapi mereka bersatu
bahu-membahu supaya nubuat mengerikan itu tidak jadi nyata. Mereka juga hendak
menghentikan mara bahaya yang dibawa makhluk itu sepanjang perjalanannya.
Namun, tidak mudah mengalahkan makhluk itu. Kehendak baik saja tidaklah cukup.
Dibutuhkan rasa saling percaya, rasa saling hormat, dan rasa persaudaraan pada
orang yang bertempur bersama di sebelah kanan dan kiri, walau tidak memakai
seragam yang sama, walau meneriakkan pekik perang yang berbeda.
Makhluk
berkepala komodo, bertanduk banteng, bersurai singa, bercakar rajawali,
bertubuh kerbau, berkaki kambing bandot, dan berekor ular sanca, serta
bermahkotakan bulan sabit emas ganda itu tersungkur. Pada perut kirinya
tertancap tombak. Cukup dalam. Namun, dia belum mati. Dia masih mengerang.
Johan memandang Hasan. Hasan mengangguk. Dikerahkannya tenaga yang tersisa.
Jantungnya berdebar. Ini adalah kesempatan yang dinanti sedari tadi. Memandang
Hasan, Johan menggerakkan tangan kanannya, menyentuh kening, dada, lengan kiri,
kemudian lengan kanannya.
“...
Bebaskanlah kami dari yang jahat. Amin,” bisik Johan.
Hasan hendak mengakhiri
makhluk jahanam ini sekali untuk selamanya, mencegah nubuat itu menjadi nyata.
Hasan berlari. Matanya nanar. Kedua tangannya masing-masing erat mencengkeram
pedangnya. Pada satu hentakan, Hasan melompat. Dia berteriak, “Bismillah!!!”
“Hayya’alasshalaah ... Hayya'alasshalaah ... ”
suara adzan maghrib menggema di angkasa. Hari sudah senja.
“Hasan!!!
Hasan!!!”
“Iya,
Umi?”
“Ayo
pulang! Mandi. Sudah maghrib! Segera shalat!”
“Iya,
Umi. Sebentar, aku pamit Johan dulu.”
“Kamu
main sama anak kafir itu lagi? Sudah berapa kali Umi melarangmu untuk
dekat-dekat dengan anak kafir itu? Najis! Ayo segera pulang!!! Segera sucikan
badanmu!”
“Johan!!!
Johan!!!”
“Iya,
Mami?”
“Pulang!
Sudah hampir jam enam petang. Saatnya angelus!”
“Iya,
Mami. Sebentar, aku pamit Hasan dulu.”
“Kamu
main sama anak teroris itu lagi? Sudah berapa kali Mami melarangmu dekat-dekat
dengan anak teroris itu? Ayahmu mati di hari yang suci oleh karena bom yang
mereka beri! Ayo segera pulang!!! Mandi!”
Berjalan ke barat,
Hasan menoleh kepada Johan, yang berjalan ke timur. Hasan dan Johan saling
bertatapan. Kecewa, keseruan mereka harus selesai saat itu juga.
“Besok
sepulang sekolah kita lanjutkan lagi,” kata Johan.
“Pasti.
Akan kuhabisi monster itu!” jawab Hasan.
“Demi
perdamaian di tanah kita,” kata Johan.
“Demi
kebersamaan kita,” balas Hasan.
Surakarta Utara,
05 Mei 2018
Comments
Post a Comment