MENCARI
METODE LATIHAN KEAKTORAN
DENGAN
KONSEP IMAJINASI SARTRE*
oleh:
Yohanes Padmo Adi Nugroho
*Tulisan ini pertama kali dipresentasikan pada acara Diskusi dan Bedah Buku "Peran Imajinasi dalam Seni, Pengantar Membaca Naskah Adaptasi" oleh penulis Yogie Pranowo. Diskusi dan Bedah Buku ini diadakan pada Hari Selasa, 11 Desember 2018, pk. 16.00 WIB, di Ruang Palma, Gedung Pascasarjana, Kampus II, Universitas Sanata Dharma, Mrican, Yogyakarta, oleh PUSdEP, IRB, USD.
|
Poster acara. |
Terus
terang ketika Mas Noel Kurniawan menawari saya untuk menjadi partner bicara Mas
Yogie Pranowo dalam membedah bukunya yang berjudul Peran Imajinasi dalam Seni, Pengantar Membaca Naskah Adaptasi, saya
senang, sebab kami akan bicara soal teater. Pada waktu pertama kali saya
mendapatkan bukunya, segera saja saya membaca judulnya, lalu membaca cover belakang, kemudian saya kembali ke
cover depan untuk mendapati diri saya
sendiri bingung. Itu gambar wajah siapa? Kok sekilas mirip Soegijapranata. Tapi
apa hubungannya dengan buku teater ini dengan Soegijapranata? Jangan-jangan itu
gambar Drijarkara, karena Mas Yogie Pranowo ini lulusan STF Drijarkara? Tapi,
saya mengingat-ingat buku tebal kumpulan tulisan Drijarkara itu, sejauh apa
Drijarkara menulis tentang drama ya? Ah, masak ini wajah Prof. Dr. A. Sudiarja,
yang memberi kata pengantar itu? Sejauh saya ingat wajahnya di kelas dulu,
beliau tidak pernah pakai kaca mata deh, atau kalaupun pakai, tidak bulat
seperti ini. Buntu. Siapakah wajah di cover
itu? Tidak terjawab, hingga akhirnya saya membuka daftar isi, kata pengantar
dari Prof. Dr. Toeti Herraty dan dari si penulis sendiri. Lalu masuk ke Bab I,
barulah saya menyadari ... HJGR!!! kuwi
rupane Jean-Paul Sartre ... lagi
merem ngrungokke Seventh Symphony-ne Beethoven!!!
Jean-Paul
Sartre
Baiklah
... Jean-Paul Sartre. Saya bertemu kembali dengan Jean-Paul Sartre. Skripsi
sarjana saya dulu juga tentang Jean-Paul Sartre dan juga tentang teater. Ha ini menarik pasti. Saya dibawa
kembali ke hadapan Jean-Paul Sartre, si filsuf cum sastrawan cum teaterawan
cum aktivis itu. Kata pertama yang
muncul adalah “eksistensialisme”. Jean-Paul Sartre, eksistensialisme, dan
teater adalah tema skripsi saya bertahun-tahun silam. Akan tetapi, buku ini
menawarkan tema yang lain. Bukan semata-mata pada konsep-konsep
eksistensialisme sartrean, soal Ada yang l’etre-pour-soi
dan l’etre-en-soi, melainkan justru
fokus pada konsep Sartre tentang imajinasi. Jujur, saya menjadi semakin
tertarik. Skripsi saya dulu sama sekali tidak bicara tentang imajinasi sartrean
ini, sehingga pertemuan saya dengan Sartre kali ini sungguh membawa kebaruan,
yaitu konsep imajinasi. Emm ...
sedikit catatan di sini, bahwa pertemuan kembali saya dengan Sartre ini menjadi
sedikit nostalgis sebab setelah menyelesaikan skripsi itu, saya tercemar,
kemudian perlahan-lahan murtad dari eksistensialisme, oleh karena Lacan dan
psikoanalisanya. Eksistensialisme Sartre sungguh menekankan kesadaran, juga
termasuk konsep imajinasi ini, sehingga bentrok dengan pemikiran psikoanalisa
yang memberi ruang pada ketidaksadaran. Sartre memang menolak konsep
ketidaksadaran, walaupun, kata beberapa kritikus, ketika Sartre menulis Les Mots, dia sebenarnya tengah
melakukan salah satu metode psikoanalisa.
Imajinasi
Sartrean
Kembali
kepada konsep imajinasi sartrean ini. Saya langsung memosisikan diri saya
sebagai seorang aktor teater yang kepo
dengan konsep imajinasi sartrean ini. Metode latihan teater macam apa yang bisa
saya pakai, atau bahkan ciptakan, dengan konsep imajinasi sartrean ini?
Pertanyaan itu menghantui saya ketika menelusuri Bab I hingga Bab IV, lalu
kemudian melompat ke Bab VI. Saya menepikan dulu Paul Ricoeur di Bab V. Jujur,
dalam membaca buku ini, saya berusaha mati-matian menyimpan dulu prapemahaman
saya yang terlanjur tercemar oleh Lacan. Nanti, Lacan ... nanti. Saatmu belum
tiba! Terminologi “imajinasi”, “imajiner”, dan “imaji” (image) itu di dalam paradigma sartrean dan lacanian memiliki makna
yang sungguh berbeda. Bedanya di mana? Nanti.
Kita
ke imajinasi sartrean dulu. Sekali lagi, kata kuncinya adalah “kesadaran”.
Kesadaran sartrean, mengikuti fenomenologi Edmund Husserl, adalah kesadaran
yang intensional. Artinya, kesadaran itu adalah “kesadaran akan sesuatu objek”.
Lebih jauh, Sartre membagi kesadaran itu menjadi dua: kesadaran prareflektif
dan kesadaran reflektif. Apa bedanya? Ketika dirimu sendiri menjadi objek
kesadaran itu, ya itulah kesadaran reflektif. Dan, ini yang radikal dari
Sartre, bahwa kesadaran itu adalah “kesadaran menidak”. Contoh gampangnya, saya
cari Anne. Anne tidak ada di Beringin Seokarno. Mungkin Anne ada di Palma.
Pergilah saya ke Palma. Ternyata Anne tidak ada di Palma. Mungkin Anne sedang
sembunyi di bawah meja. Ternyata tidak ada Anne di bawah meja. Lalu, apakah
meja ini Anne? Tidak. Apakah papan tulis ini Anne? Tidak. Apakah pilar itu
Anne? Tidak. Semuanya tersedot dalam ketiadaan (nothingness). Ini bukan Anne, itu bukan Anne. Jadi, Anne adalah
yang bukan ini dan bukan itu. Selaras dengan konsep l’etre-pour-soi, human is
never is.
Karena
berkaitan erat dengan kesadaran yang intensional itu, bagi Sartre imajinasi
juga intensional, memiliki objek, walaupun objek itu tidak real. Objek
imajinasi itu merupakan suatu irreality,
atau yang diterjemahkan “ketidakriilan” oleh Mas Yogie Pranowo. Sejauh apa irreality? Objek itu hadir di sana, di
hadapan kita, melalui imajinasi, tetapi sekaligus tidak hadir di sana, ya
karena memang tidak ada. Mas Yogie Pranowo di halaman 33 menulis bahwa “[...]
karya seni sebagai objek imaji adalah sebuah ketidakriilan.” Lebih lanjut,
ketika memberi contoh tentang lukisan sebuah gunung, Mas Yogi menulis “[...]
karya seni tersebut hanyalah menampilkan sudut pandang tertentu saja dari
gunung, namun daya imajinatif kitalah yang menghidupinya.” Gunung itu hadir di sana,
di hadapan kita, di dalam sebuah lukisan, tetapi sekaligus tidak hadir di sana.
Tidak ada gunung di sana. Yang ada hanyalah sebuah analogon (analogue) gunung. Sampai pada titik ini
saya langsung ingat istilah “penanda-petanda”. Namun, segera saja saya stop
ingatan itu, sebab itu bukan terminologi sartrean.
Sampai
pada titik ini pertanyaan saya belum juga terjawab, metode latihan teater macam
apa yang bisa saya pakai, atau bahkan ciptakan, dengan konsep imajinasi
sartrean ini. Yang saya temukan justru tentang teks, naskah drama. Terdapat
beberapa naskah drama adaptasi yang diadaptasi oleh Mas Yogie sendiri. Saya
mengandaikan begitu saja bahwa dia melakukan adaptasi itu dengan konsep-konsep
sartrean tersebut. Nah, karena buku ini tidak hanya membicarakan seni teater,
sebab juga bicara soal seni musik, seni rupa (lukisan), dan juga seni sastra
(puisi, prosa, khususnya naskah drama), sementara latar belakang saya yang
adalah penyair dan aktor teater ... ya sudah ... saya mencoba membangun metode
latihan keaktoran teater dengan menggunakan konsep imajinasi sartrean ini.
|
Suasana diskusi di Ruang Palma, Gedung Pascasarjana, Universitas Sanata Dharma. |
Latihan
Keaktoran dengan Konsep Imajinasi Sartrean
Pada
halaman 40, di sana ditulis bahwa “[...] imaji adalah kesadaran”. Itu adalah
karakteristik dari imajinasi ini. Saya mengikuti metode itu, lalu mencoba
menerjemahkannya ke dalam konteks latihan keaktoran. Pertama, saat seorang
aktor melihat naskah, dia melihat objek di hadapannya berupa kertas (atau kalau
aktor milenial ya layar smartphone
kali ya). Akan tetapi, kertas (atau layar smartphone)
itu bukanlah sesuatu yang kosong, melainkan sudah memiliki makna. Ada kisah,
ada narasi, ada dialog di sana, yang dituliskan oleh si penulis naskah. Di sana
kita bisa membayangkan, atau kita pakai kata “mengimajinasikan” saja, suatu
ruang, suatu waktu, suatu tatanan setting,
mungkin juga letak backdrop dan sidewing, atau semata hanya
mengimajinasikan peristiwa-peristiwa, karakter-karakter, fisiologi si karakter,
hingga ke suatu adegan. Akan tetapi, ini catatan dari konsep sartrean ini,
semua yang ada di dalam imajinasi itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan
segala sesuatu yang ada di dunia real ini. Peristiwa yang aktor imajinasikan
tatkala berhadapan dengan naskah teater itu sama sekali tidak ada hubungannya
dengan peristiwa real dalam kehidupan sehari-hari, dan juga bahkan tentu saja
tidak ada hubungannya dengan peristiwa pengadeganan real si aktor bersama
rekan-rekan aktor lain dan sutradara.
Saya
membayangkan, dengan konsep semacam itu, si aktor harus benar-benar
mengimajinasikan segala sesuatu yang termuat di dalam naskah teater itu secara
paripurna. Maksud saya paripurna di sini adalah bahwa si aktor mengimajinasikan
segala sesuatu yang ada pada naskah teater itu hingga tidak ada lagi ruang
untuk mengimajinasikan lagi. Atau, dengan kata lain, si aktor sudah memindah jeroan naskah itu menjadi objek
intensional imajinasinya. Sederhananya, si aktor sudah khatam naskah. Nah, menariknya di sini adalah, posisi aktor itu
sendiri. Pada mulanya, dengan membaca naskah teater itu, dia adalah seorang
penikmat karya seni, seni sastra. Kemudian, tidak selesai di situ saja, dia
harus menjadi seorang seniman, dengan membuat analogon-analogon.
Apa
analogon dari seorang aktor? Pada halaman 20 ditulis, bahwa “[...] analogon
dari seorang aktor adalah keseluruhan tubuhnya beserta karakter yang sedang
dimainkan di atas panggung.” Dengan begini saya bisa mengatakan bahwa seorang
aktor adalah seseorang yang memindah atau bahkan mengubah analogon-analogon
yang pada awalnya tertulis di seluruh penjuru naskah menjadi analogon-analogon
yang terinskripsi pada tubuhnya, kebertubuhannya, dengan segenap perasaannya,
semua energinya, dan tentu juga dengan kesadarannya. Aktor itu bersama dengan
aktor-aktor lain yang menjadi lawan mainnya, sutradara, dan segenap kru setting-properti, make-up kostum, tata lampu, serta musik menciptakan suatu dunia
yang ada di sana, sekaligus tidak ada di sana. Suatu dunia yang irreal. Sebuah dunia yang nyata hadir di
hadapan kita, tetapi sama sekali bukan merupakan realita sehari-hari kita.
Sebuah analogon.
Lebih
jauh, karena imajinasi itu adalah kesadaran, dan kesadaran a la Sartre itu dibedakan menjadi kesadaran prareflektif serta
kesadaran reflektif, si aktor itu harus memiliki kesadaran ganda! Satu sisi di
harus memiliki kesadaran prareflektif, di mana dia menyadari peristiwa di atas
panggung itu, menyadari business-act
dan clue lawan main, menyadari
suasana, nuansa, dan lain-lain; di sisi lain dia juga harus memiliki kesadaran
reflektif, menyadari dirinya sendiri di atas panggung, posisi dirinya di atas
panggung, blocking-nya,
teknik-tekniknya, dan terutama kesadaran bahwa dia sedang bermain. Mengapa hal
itu penting? Sebab, di dalam menciptakan analogon-analogon di dalam teater, si
aktor tidak bisa sendiri. Dia harus selalu mengomunikasikan imajinasinya kepada
aktor-aktor lain, sutradara, dan bahkan kru. Sebab, bagi Sartre, seperti yang
ada tertulis pada halaman 20-21, “[...] karya seni bukan hanya soal analogon,
tetapi yang terpenting adalah imajinasi dari sebuah karya seni itu sendiri.”
Tentang
Puisi di Mata Sartre
O
iya, sebelum saya menghadirkan Lacan, saya sedikit kurang nyaman dengan
pandangan Sartre soal puisi. Pada halaman 27, Mas Yogie Pranowo menulis, “[Bagi
Sartre] penyair tidak memanfaatkan kata-kata sebagai instrumen. Mereka
menggunakan kata-kata sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Kata sebagai makna
tidak menyentuh realitas. Kata-kata kehilangan instrumentalitasnya. Di tangan
penyair, kata-kata tidak lagi berfungsi sebagai tanda melainkan sekadar sesuatu
(things).” Yah ... sebagai seorang
penyair, saya cuma mau bilang bahwa mungkin Sartre akan mengoreksi kata-katanya
itu jika sekiranya dia sempat bertemu Rendra dengan puisi-puisi pamfletnya atau
Widji Thukul. Saya yakin Sartre tua mau mengoreksi pendapatnya itu, sebab
Sartre tua pun mengoreksi pula konsepnya tentang Liyan.
Here Comes The Lacanians
Beberapa
minggu ini saya intens berdiskusi dengan Mas Doni Agung Setiawan, senior saya
waktu kuliah di IRB dan sekaligus senior saya di Teater Seriboe Djendela.
Kebetulan tesis kami memakai pisau bedah yang sama, psikoanalisa Lacan. Dia
menulis tentang aktor teater, saya menulis tentang gamer. Dalam diskusi kami itu, kami sepakat bahwa, berangkat dari
kata Bahasa Inggris “play” (n) yang
bisa berarti “sandiwara” (pertunjukan teater) dan bisa juga berarti “bermain” (to play), seorang aktor adalah seorang
subyek yang bermain, sama seperti seorang gamer,
subyek yang bermain. Aktor dan gamer
adalah subyek yang sama-sama memainkan character
tertentu. Bedanya adalah, aktor memainkan karakter itu dengan keseluruhan
kebertubuhannya, sementara gamer
memainkan character itu dengan
perpanjangan tubuhnya, yaitu konsol. Dari sana, kemudian kami ngomong soal
fase-fase pembentukan subyek.
Nah,
di dalam fase pembentukan subyek itu terdapat istilah “imajiner”, bersama
dengan “simbolik”, dan “real”. Terminologi “imajiner” dan “real” ini berbeda
sama sekali dengan yang dipakai Sartre. Yang Imajiner disebut juga sebagai fase
cermin. Ini adalah suatu fase di mana si individu memahami dirinya melalui
gambaran yang dipantulkan oleh “cermin”, misalnya ibunya semasa dia anak-anak,
atau pendapat liyan. Di sini individu melihat bayangan dirinya melalui cermin
tersebut. Bayangan itu memberinya makna, memberinya ego. Pada fase ini dia
mengalami suatu persatuan primordial dengan Sang Ibu. Dia merasa utuh. Tapi ya
namanya juga bayangan, itu hanya ilusi.
Kemudian
individu itu dikastrasi oleh Liyan (Bapa), dipisahkan dari Sang Ibu, untuk
kemudian dimasukkan ke dalam Bahasa (peraturan, agama, norma, adat-istiadat),
masuk ke dalam Yang Simbolik, untuk bisa membahasakan dirinya. Di sinilah letak
kesadaran itu, di Yang Simbolik. Dengan diseret ke Yang Simbolik, individu itu
mengalami proses subyektivikasi. Dia menjadi subyek. Dia berhasil bilang “aku”
menggunakan segenap penanda-penanda yang telah disediakan di dalam Yang
Simbolik. Dia harus membahasakan dan membudayakan hasrat-hasratnya. Akan
tetapi, ternyata tidak semua dirinya bisa dibahasakan menggunakan
penanda-penanda yang disediakan itu. Tetap ada yang tidak terperikan. Ada
hasrat yang tertinggal. Ada yang direpresi. Ada sisa-sisa, ampas. Istilah
teknisnya adalah objet petit a.
Karena tidak semuanya bisa dia bahasakan, subyek itu menjadi subyek lack, pecah, ambyar.
Subyek
ambyar ini bisa saja hanya berputar-putar di dalam Yang Simbolik, atau juga
bisa melompat ke fase berikut, Yang Real. Di dalam Yang Real inilah dia bisa
bertemu dengan Sang Mahaliyan, das Ding (the Thing). Di sana dia bisa mengenang
dan mengalami kembali persatuan primordial dengan Sang Ibu. Namun, das Ding ini ada tapi tidak ada. Isi,
tapi kosong. Utuh sekaligus berlubang, (w)hole.
Sesuatu yang tremendum et fascinans.
Paradoks. Dan berada di seberang Bahasa. Maka, si subyek harus kembali ke Yang
Simbolik, atau dia terancam menjadi psikosis. Untuk kembali kepada Yang
Simbolik, setelah pertemuan dengan das
Ding ini, dia membutuhkan
penanda-penanda baru. Penanda baru inilah sinthome,
yaitu symptom yang sudah diangkat
martabatnya ke level das Ding. Dan
penanda baru ini sebenarnya adalah penanda-penanda yang ada di Yang Simbolik,
tetapi sudah mengalami pemaknaan ulang.
Melengkapi
Metode Sartrean Tadi
Nah,
dengan latar belakang seperti itulah saya bertemu lagi dengan Sartre ini. Saya
kira, Sartre yang begitu menekankan kesadaran dalam imajinasi justru malah
membatasi imajinasi itu sendiri. Sebab, penanda-penanda yang ada di dalam
kesadaran itu sangat terbatas, bahkan tidak mampu menampung segala sesuatunya
secara paripurna. Justru tempat di mana terdapat kekayaan makna itu berada di
dalam ketidaksadaran.
Lalu,
bagaimana kita bisa mengakses ketidaksadaran? Freud mengatakan bahwa mimpi
adalah pintu gerbang menuju ketidaksadaran. Penanda-penanda yang ada di dalam
mimpi itu selalu merujuk pada sesuatu yang lain. Ketidaksadaran muncul ke
permukaan dengan mengubah dirinya sedemikian rupa menggunakan penanda-penanda
yang ada pada Bahasa, sebab ketidaksadaran itu adalah sesuatu yang direpresi.
Freud akan meminta analisan untuk menceritakan mimpinya. Dengan menceritakan
mimpi, sebenarnya analisan sedang membahasakan ketidaksadarannya. Nah,
bercerita atau membahasakan di sini bisa menjadi suatu metode yang memperkaya
atau melengkapi metode sartrean di atas.
Para
aktor bersama sutradara (dan mungkin juga bersama dengan segenap kru artistik)
duduk melingkar bersama untuk saling bercerita atau membahasakan. Kemudian, apa
yang dibahasakan? Ya tentu saja imajinasinya atas naskah. Bisa juga
membahasakan pengalamannya ketika sedang “bermain” memerankan karakter tertentu
itu selama latihan. Jika latihan teater itu ada metode meditasi, yang
diceritakan/dibahasakan ya pengalamannya saat meditasi itu.
Apakah
membahasakan harus duduk melingkar seperti itu? Tidak. Sutradara/pelatih bisa
memakai metode menggambar, menari/bergerak bebas, atau memainkan peran itu
secara bebas tanpa terpaku pada naskah. Sederhananya, si aktor diminta untuk menyimpan
naskah itu sejenak, lalu membahasakan ulang lewat media nonbahasa seperti
gambar dan gerak tubuh bebas, atau media bahasa. Ketidaksadaran akan menyelinap
di sana, lalu memperkaya makna. Kemudian, terserah kesepakatan sutradara dengan
si aktor, mau memakainya atau tidak. Yang jelas, peristiwa di atas panggung
bagi seorang aktor adalah Yang Real.
Daftar
Bacaan
Agung
Setiawan, Doni. 2015. Teatrikalisasi
Kehidupan: Studi Tentang Pengalaman 7 Aktor Teater, Yogyakarta dalam Mencipta
Sinthome di Dunia Panggung dan Keseharian. tesis pascasarjana. Yogyakarta:
Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
Fink, Bruce. 1997. A Clinical Introduction to
Lacanian Psychoanalysis. Cambridge and London: Harvard University Press.
Padmo
Adi Nugroho, Yohanes. 2012. Humanisme Sartre dan Aplikasinya di dalam
Proses Teater. skripsi
sarjana. Yogyakarta: Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma
Pranowo,
Yogie. 2018. Peran Imajinasi dalam Seni,
Pengantar Membaca Naskah Adaptasi. Sleman, Yogyakarta: Rua Aksara
Sartre,
Jean-Paul. 2007. Existentialism is a Humanism. terjemahan dari Bahasa
Prancis ke Bahasa Inggris Carol Macomber. New Haven and London: Yale University
Press
Setyo
Wibowo, A., dkk. 2011. Filsafat Eksistensialisme, Jean-Paul Sartre.
Yogyakarta: Kanisius
Comments
Post a Comment