NARASI
KECIL YANG BESAR
Sebuah
Catatan Menonton Pertunjukan Realis Keluarga
Moechtar – Seriboe Djendela
|
Cover belakang leaflet Keluarga Moechtar - Teater Seriboe Djendela. |
Jumat
dan Sabtu, 30 November 2018 dan 01 Desember 2018, Teater Seriboe Djendela
mempersembahkan Keluarga Moechtar. Sebagai seseorang yang pernah menjadi bagian
integral dari Seriboe Djendela pada tahun 2009 hingga 2012, tentu aku sangat
penasaran dengan pementasan mereka kali ini. Ada beberapa alasan yang membuat
aku mewajibkan diriku sendiri menyaksikan sajian itu. Pertama adalah, Seriboe
Djendela pernah mengisahkan sebuah Narasi Besar, yaitu cerita tentang Mataram
1551, dengan konsep kolosal, berbahasa Jawa. Pertunjukan itu diadakan di
Auditorium Drijarkara, Universitas Sanata Dharma, yang sangat megah, dan yang
secara desain memang dibangun untuk memfasilitasi acara wisuda yang selalu
melibatkan ratusan wisudawan/wati. Kini, dengan materi personel yang kurang
lebih sama, Seriboe Djendela mengusung Narasi Kecil, kisah tentang sebuah
keluarga, dengan setting tempat
Jakarta Selatan, tentu dengan bahasa khas Jakselian, bilingual campuran antara
Bahasa Indonesia dan English. Aktor
yang sama, yang sebelumnya bermain drama kolosal berbahasa Jawa, kini bermain
suatu Narasi Kecil dengan bahasa South
Jakartan, campuran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Alasan
kedua adalah bahwa, tentu sebagai seorang alumni Seriboe Djendela, aku ingin
tahu, sejauh apa capaian Seriboe Djendela sekarang ini. Apakah teman-teman
mengalami peningkatan, dekadensi, atau justru stagnan gitu-gitu aja. Apakah
teman-teman cuma mengulang-ulang apa yang diajarkan turun-temurun sejak era Mas
Doni Agung Setiawan, bahkan jauh lebih kuna dari pada itu, atau dengan kreatif
mengembangkan metode-metode warisan leluhur itu dan dengan kreatif pula
memodifikasinya dengan pengetahuan teater yang mereka dapatkan dari luar pagar
megah Kampus Mrican? Sebenarnya alasan kedua ini tidak obyektif-obyektif amat,
sebab di dalam proses panjang Keluarga Moechtar ini, ada satu hari malam
di mana aku diminta oleh sang sutradara, David Lewar, untuk melatih vokal para
aktor. Sementara, alasan ketiga adalah bahwa aku kangen nonton pentas realis,
setelah beberapa kali kecewa dengan pertunjukan realis yang aktingnya sama
sekali nggak realis. Kangen itu menjadi-jadi, tatkala pementasan terakhir yang
aku sendiri buat adalah sebuah drama musikal yang sama sekali tidak realis.
Singkatnya, aku kangen.
Dengan
tiga alasan itu, pada Hari Jumat 30 November 2018, aku berangkat dari Solo ke
Jogja bersama perempuan yang sudah 9 tahun jadi kekasihku, dan bersama adik
perempuanku yang adalah mahasiswi Fakultas Sastra USD itu. Yang perlu kugarisbawahi
di dalam tulisan ini adalah bahwa aku datang ke sana dengan disposisi batin
sebagai seorang penonton yang haus dan rindu akan sajian realis, terlepas bahwa
aku adalah alumni Seriboe Djendela, dan terlepas bahwa aku pernah melatih para
aktor itu satu malam. Hal pertama yang aku apresiasi dari sajian Keluarga
Moechtar ini adalah tempat pementasannya. Seriboe Djendela menyajikannya di
LIP, Sagan. Bukan pada LIP-nya, melainkan pada dimensi ruangnya. Aku pikir,
Seriboe Djendela akan blunder ketika menyajikan Narasi Kecil ini di Auditorium
Drijarkara USD, atau di Societet Militer TBY, atau di panggung prosenium lain
di mana terdapat jarak yang cukup jauh antara panggung dan penonton. Syukurlah,
mereka telah mengambil keputusan yang tepat ketika menyajikan Keluarga Moechtar
di suatu ruangan yang kecil dan dekat. Auditorium LIP itu mereka potong separuh.
Dengan ruangan yang kecil, energi dan rasa dari Narasi Kecil yang dimainkan
oleh para aktor itu akan lebih mudah sampai kepada penonton. Aku yakin, cerita
yang sama, jika dimainkan di Auditorium Drijarkara yang mahaluas itu, energi
dan rasa itu akan menguap begitu saja, tidak akan sampai kepada penonton,
bahkan yang duduk di barisan depan. Itu keyakinanku.
Harus
kuakui, David Lewar, cerdas dalam memilih naskah. Kisah yang ada dalam Keluarga
Moechtar sebenarnya sangat sederhana, juga sangat dekat dengan kita, yaitu soal
pembagian (dan rebutan) warisan. Tetapi, di dalam kisah sederhana itu, terdapat
lapisan-lapisan yang pedih tetapi sekaligus asyik dalam waktu bersamaan.
Lapisan-lapisan itu memberi ruang yang sangat luas bagi para aktor untuk
mengeksplorasi karakter. Aku kira, justru di sinilah kekuatan naskah Keluarga
Moechtar itu, pada lapisan-lapisan tiap karakter yang ada di sana. Lebih asyik
lagi, bahwa lapisan-lapisan itu tidak ditunjukkan kepada penonton secara
vulgar. Penonton hanya diberi petunjuk-petunjuk, simbol-simbol, penanda-penanda,
yang dengannya penonton dapat bermain dengan imajinasi mereka untuk menerka-nerka
siapa dan apa yang sebenarnya terjadi dengan masing-masing karakter. Misalnya,
apa yang sebenarnya terjadi antara Diana dan Tedi. Benar bahwa mereka memiliki
putra bernama Suar. Namun, apakah mereka benar-benar menikah? Apakah mereka
benar-benar bercerai? Sejauh apa hubungan Diana dengan Bens? Bagaimana hubungan
Diana dengan Pak Moechtar sendiri sehingga Pak Moechtar menaruh perhatian
tertentu kepada Diana? Apakah Ical itu queer?
Sejauh apa hubungan pribadi antara Ical dengan Noel? Apakah Ical itu mengalami
sindrom yang dialami tiap anak kedua? Bahkan, apakah benar lokasi dari peristiwa
itu di Jakarta Selatan? Tidak jelas. Tidak dikatakan dengan jelas. Semuanya dibiarkan
menjadi enigma begitu saja. Sehingga, sebagai penonton, aku memiliki ruang
imajinasi, untuk menyelesaikan dan menjawab enigma itu sendiri. Aku pribadi
suka dengan cerita model begini.
Akan
tetapi, sejauh aku mengenal naskah ini, ada tantangan–untuk tidak mengatakan ‘bahaya’–dari
naskah Keluarga Moechtar ini, yaitu bahwa naskah ini mirip-mirip naskah film.
Maksudku, kita bisa mengimajinasikan adegan-adegan itu pada ruang dan tempat
yang berbeda dan terpisah. Jika naskah ini diadaptasi menjadi sebuah film,
tentu film-maker tidak akan mengalami
kesulitan di pemilihan lokasi. Cukup mencari suatu rumah mewah, lalu
adegan-adegan itu bisa di-take di
beberapa sudut rumah itu. Masalahnya adalah, David Lewar bersama segenap
Seriboe Djendela tidak sedang membikin film. Mereka sedang membuat suatu
pertunjukan teater. Maka, mau tidak mau, mereka harus menerjemahkan naskah itu
agar cukup untuk dimasukkan ke dalam satu panggung yang sama, supaya penonton
tidak perlu mengangkat pantat untuk mengikuti para aktor berganti setting seperti pada umumnya drama
visualisasi Penyaliban Yesus itu. Cukup tricky.
Syukurlah, tim setting Seriboe
Djendela, menurutku, cukup bisa mengatasi permasalahan itu. Dan, David Lewar
berhasil mengomposisi blocking yang
cukup ok, sehingga masih cukup masuk akal (logis)–tidak menjadi sureal, serta
tidak membosankan. Walaupun, soal setting-properti,
ada sedikit catatan.
|
Adegan pembacaan Surat Wasiat alm. Pak Moechtar. Dari kiri: Tedi, Bens, Ical, dan Diana. Ibu di kamar, sakit tua. |
Aku
bukan merupakan sutradara yang baik, sebab aku selalu lebih mementingkan aktor
dari pada elemen estetis lainnya, seperti lampu dan setting-properti. Aku selalu membutuhkan orang yang mahir di bidang
lighting, setting, dan musik agar bisa melihat keseluruhan sajian secara
holistik. Dengan latar belakang seperti itulah aku mencoba mencerna setting ruangan yang jadi rumah dari
Keluarga Moechtar. Dan, benar, aku luput di beberapa hal. Febrianus “Gedhek”
Sudibyo memberiku pencerahan ketika kami mengadakan diskusi pascapentas, yang
kami adakan secara spontan di suatu kedai makan. Gedhek adalah seorang alumni
Seriboe Djendela yang selalu menjadi kru setting-properti,
yang memiliki jam terbang cukup tinggi dan pengalaman kerja hingga ke luar
negeri. Dia mengatakan bahwa setting
Keluarga Moechtar Seriboe Djendela kurang menghadirkan simbol-simbol,
penanda-penanda, yang bisa menjadi petunjuk tentang siapa itu Keluarga
Moechtar, agamanya apa, seberapa taat mereka beragama, lokasi kisah mereka di
mana, seberapa kaya mereka, dll. Mereka yang pernah mendengar dramatic-reading dan menghadiri diskusi atas
naskah ini mengatakan bahwa Keluarga Moechtar adalah sebuah keluarga muslim
yang cukup taat. Keislaman keluarga ini kemudian kontras dengan kisah-kisah
masing-masing karakter yang hadir di sana. Kontras ini sebenarnya menarik. Akan
tetapi, dari segi setting, setting Keluarga Moechtar versi Seriboe
Djendela kurang memberi petunjuk. Hanya ada dua kaligrafi kecil, yaitu
kaligrafi Allah dan kaligrafi Muhammad, yang dipasang di sisi kanan panggung,
hampir-hampir tidak terlihat. Aku membayangkan bahwa sebenarnya tim setting bisa saja menghadirkan foto Ka’bah,
foto yang hampir selalu ada di dalam keluarga muslim. Stereotipe memang, tetapi
bukankah naskah ini telah cukup banyak cuma menghadirkan enigma tanpa
bertele-tele menjelaskan? Itu baru satu layer,
yaitu agama. Kita belum bicara tentang layer
strata sosial mereka. Hampir tidak terasa bahwa mereka adalah orang-orang yang
tinggal di daerah elit Jakarta Selatan. Bahwa rumah Keluarga Moechtar Seriboe
Djendela itu terasa gede, iya. Tedi datang ke rumah itu naik mobil, langsung
masuk melalui pintu belakang, pintu yang sama yang dipakai oleh Ical untuk
masuk, dan pintu yang sama yang dipakai oleh Bens mengantar Ibu masuk ke
kamarnya, yaitu exit di
belakang-tengah. Lalu, bisa dibayangkan ada dapur dan ruang lainnya di balik exit sebelah kanan. Sementara, Diana,
yang hampir tidak lagi memiliki hubungan dengan keluarga itu, masuk sebagai
tamu, lewat pintu depan, yaitu exit
sebelah kiri. Hanya itu. Lainnya tidak. Pada tulisan ini, aku tidak akan
membahas soal lampu dan make up-kostum.
Just fine by me.
Properti
tricky lain yang mereka pakai adalah
jam dinding, sebuah jam klasik yang akan berdentang tiap 30 menit. Bagi aku
sendiri, kehadiran jam ini menjadi penting. Dia benar-benar menghadirkan waktu,
Waktu Indonesia bagian Keluarga Moechtar. Pada saat pentas mulai, jam
menunjukkan pukul 18.00, sehingga suara adzan maghrib yang dihadirkan oleh tim
musik menjadi masuk akal. Suara adzan maghrib dan jam pukul 18.00 itu segera
membangun waktu, bahwa peristiwa itu terjadi di suatu sore, di suatu tempat,
bukan terjadi pada pukul 19.30, Jumat 30 November 2018. Kehadiran jam itu juga
menjadi semakin realis ketika tim musik menghadirkan suara detik jam, yang mereka
pakai untuk mengisi adegan-adegan diam dan peristiwa-peristiwa canggung yang
terjadi dari pertemuan dua karakter yang sudah tidak lagi dekat. Sungguh, detik
jarum jam itu membuat peristiwa menjadi semakin canggung, dan pada beberapa
adegan membuat peristiwa menjadi semakin mencekam.
Sebagai
seseorang yang memiliki pengalaman empiris sebuah peristiwa pembagian warisan,
aku tahu betul ketegangan dan kecamuk hati yang dialami orang per orang yang
hadir dalam acara bagi-bagi warisan itu. Ada yang dengan ringan hati setuju
penjualan properti untuk kemudian dibagi-bagikan, ada yang dengan berat hati
dan penuh pertimbangan ideologis menentang–tetapi kemudian tanpa daya menerima
keputusan aklamasi, dan lain sebagainya. Jadi, secara subyektif, aku berada
dekat dengan peristiwa Keluarga Moechtar ini. Mungkin hal inilah yang membuat
aku sempat menangis pada satu adegan, sebab aku mengingat kisahku sendiri.
Tetapi, bukankah kisah yang asyik adalah yang berhasil membuat
pembaca/penontonnya menemukan dirinya sendiri di sana, menemukan kisahnya
sendiri di sana, sehingga dia bisa mencari inspirasi hidup, atau sekadar
katarsis? Secara lacanian, aku akan mengatakan bahwa, sebagai subyek lack, aku menemukan objet petit a-ku pada kisah Keluarga Moechtar itu. Atau, dengan
mencoba sedikit lebih obyektif, aku akan mengatakan bahwa para aktor Seriboe
Djendela berhasil memainkan lapisan-lapisan karakter Keluarga Moechtar dengan
begitu dahsyat.
Mayoritas
pemain Keluarga Moechtar, jika aku tidak
keliru, adalah pemain yang sama yang juga bermain dalam drama kolosal 1551.
Kukira, hanya aktris yang memerankan Ibu saja yang adalah pemain baru (junior).
Secara umum, aktor-aktor itu berhasil lepas dari 1551. Drama kolosal berbahasa
Jawa 1551 bisa kukatakan sebagai drama yang berhasil. Aktingnya, akrobatiknya,
artistiknya, secara umum kukatakan berhasil. Tidak mudah bagi seorang aktor
amatir untuk bisa lepas begitu saja dari sebuah pertunjukkannya yang berhasil.
Ada banyak kasus aktor amatir yang terjebak dalam satu karakter yang berhasil,
sehingga karakter itu akan muncul lagi di reportase-reportase lainnya. Akan
tetapi, malam itu aku tidak melihat para aktor 1551 jatuh dalam jebakan yang
sama, ketika mereka memainkan Keluarga Moechtar. Mereka benar-benar menjadi
karakter yang baru, dengan rasa yang baru, dengan penghayatan yang baru. Mereka
berhasil melompat dari Bahasa Jawa dengan latar belakang Mataram Islamnya, ke
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang dicampur dengan latar belakang South Jakartan-nya. Walaupun, drama
Bahasa Inggris yang dimainkan oleh Bangsa Pascakolonial selalu memiliki
catatannya sendiri. Tentu dalam tulisan ini aku tidak akan terlalu jauh
membahas soal bahasa ini.
Hentakan
pertama dalam peristiwa malam hari itu justru datang dari aktris pendatang baru
yang memerankan Ibu. Adegan dia mengecapi dan mengusap-usap kecap pada adult diaper untuk kemudian akan dimakan
sebagai roti itu sungguh mencuri fokus. Adegan itu menjadi penanda bahwa
karakter ibu adalah benar-benar begitu sepuh
dan pikun. Kemudian hadir karakter Ical, yang sepanjang pertunjukkan selalu
menjadi tokoh kunci yang memainkan tempo keseluruhan pertunjukan. Kalau aku
boleh bilang, karakter Ical ini adalah leading-role
pertunjukan ini. Dia selalu berjalan ke sana kemari dari sudut panggung satu ke
sudut panggung lain. Juga ada karakter Tedi yang berlapis-lapis. Kalau aku
boleh membikin ranking capaian, aktor pemeran Icallah yang memiliki capaian
terbaik malam hari itu, disusul aktor pemeran Tedi dan Diana yang kurang lebih
seimbang, lalu di posisi keempat ada aktris pemeran Ibu. Not bad for a beginner. Aktor pemeran Bens sudah cukup, tetapi dia
kurang bisa mengekplorasi layer-layer
yang dimiliki oleh karakter Bens ini. Dari awal hingga akhir pertunjukkan,
aktor pemeran Bens ini hanya menampilkan satu lapisan saja, padahal kalau kita
simak latar belakang kehidupan Bens, dia juga tidak kalah ruwet-nya dibanding kedua kakaknya. Bahwa dia ternyata ada something dengan Diana, tidak terlalu
berhasil ditampakkan oleh si aktor. Ya, ada dua petunjuk sebenarnya, hanya
rasanya kurang saja.
|
Adegan antara Diana dengan Tedi. Tidak jelas, apakah mereka pernah menikah, sudah cerai, atau bagaimana. Yang jelas adalah bahwa dari hubungan mereka, mereka memiliki anak bernama Suar, dan alm. Pak Moechtar memberi Suar bagian warisan melalui Diana. Juga tidak jelas sejauh apa perhatian Pak Moechtar terhadap Diana. |
Ada
sedikit catatan untuk blocking pada
pementasan malam hari itu; mungkin ini catatan untuk sutradara, David Lewar.
Beberapa kali panggung dibiarkan kosong. Panggung kosong itu terjadi ketika
Ical harus membuang sampah, sebuah adegan yang terlalu sederhana untuk harus
meninggalkan panggung dalam kondisi kosong. Mungkin tim properti perlu
menyediakan satu tong sampah yang cukup merepresentasikan kelas sosial Keluarga
Moechtar, untuk diletakkan di satu sudut. Ada dua sudut sebenarnya di mana mereka
bisa meletakkan tong sampah itu: di belakang meja telepon dekat exit sebelah kanan, atau di dekat meja
kopi di sudut sebelah kiri. Terlepas dari itu, terlepas dari beberapa masalah
teknis seperti teknik blocking dan
pelafalan, kelima aktor Keluarga Moechtar itu telah berhasil menyuguhkan suatu
pertunjukan “ansambel” yang berasa. Jika drama adalah play, mereka telah berhasil “bermain”. Jual-beli akting mereka
telah menghasilkan suatu rasa, dan rasa itu sungguh sampai kepada penonton.
Sangat intens. Tidak hanya business-acts
yang besar, tetapi juga akting-akting kecil mereka sangat natural. Tidak ada
akting yang “neiyater”. Semuanya natural, realis, dan, menurutku, bisa begitu
saja dipindah ke medium film. Maksudku, tidak ada ham-acting di dalam pertunjukan Hari Jumat itu. Semuanya pas sesuai
takaran. Adegan kecil yang tidak bisa kulupakan adalah adegan Tedi, dalam
suasana awkward yang “krik-krik”, bermain-main
dengan kacamatanya, membuka dan menutupnya. Itu hanya satu contoh dari banyak.
Selesai
pertunjukan, aku membawa pulang suatu perasaan-pascapentas, suatu perasaan
gembira-lega, suatu katarsis. Memang Keluarga Moechtar masih menyisakan enigma
dalam ending-nya. Namun, justru ending yang tidak jelas itulah yang aku
suka dari suatu cerita, sebab pembaca/penonton memiliki ruang luas untuk
menyelesaikan sendiri di dalam imajinasi mereka. Yang jelas, peristiwa Keluarga
Moechtar menyisakan perasaan itu dalam hatiku. Sudah cukup lama aku tidak
pulang selepas pementasan dengan rasa seperti itu, bahkan dalam pertunjukan
yang aku buat sendiri pun. Perasaan ini bahkan membuatku penasaran, seperti apa
metode latihan para aktor itu? Penasaran itu membuatku merasa bahwa aku perlu
belajar lagi, juga dari Seriboe Djendela yang sekarang.
Aku
memang tidak menyaksikan pertunjukan hari kedua, Sabtu 01 Desember 2018. Aku
merasa tidak perlu, sebab bukankah peristiwa teater itu adalah peristiwa di
sini dan kini? Sehingga, bagiku, dalam mengapresiasi karya orang lain, selalu
cukup untuk menyaksikan satu pertunjukan saja, entah hari pertama, entah hari
kedua, atau ketika gladi resik atau gladi kotor. Sebab, secara subyektif, didasari
pada kepercayaan bahwa drama adalah play (to play), aku lebih menitikberatkan pada
permainan aktor. Jika aktor itu berhasil meresonansikan rasa kepada penonton,
sehingga penonton memiliki perasaan tertentu pasca-pertunjukan, itu sudah lebih
dari cukup untukku. Itulah yang paling berharga untukku. Biarlah perkara setting, properti, make-up, kostum, lighting,
dan musik menjadi concern mereka yang
memang memfokuskan diri di bidang itu. Dan, sutradara, adalah orang yang harus
hadir untuk berdialektika dengan semua elemen artistik, juga dengan
elemen-elemen non-artistik termasuk budgeting,
untuk mendapatkan harmoni yang paling mungkin dari suatu pertunjukan. Ya,
apalagi ini adalah pertunjukan realis, yang tidak murah.
Untuk
mengakhiri tulisan ini, aku hanya ingin mengatakan bahwa Seriboe Djendela telah
berhasil membangun peristiwa Keluarga Moechtar dengan baik, setidaknya pada
Jumat malam tanggal 30 November 2018, di LIP. Para aktor secara umum telah
berhasil menyuguhkan lapisan-lapisan kisah para tokoh yang ada di sana; mereka
telah bermain dengan sangat oke. Apalagi, mereka tidak terjebak di dalam
keberhasilan 1551. Musik sudah sangat baik, mampu mengisi panggung yang sempat
kosong beberapa kali dan mengiringi suasana. Setting-properti, lampu, dan bahkan make-up kostum masih bisa dikejar lagi, bisa dijadikan evaluasi
untuk sajian Seriboe Djendela lainnya di waktu mendatang. Kepada David Lewar,
sebagai sutradara, aku mengucapkan selamat. Pemilihan naskahmu sungguh sangat tepat.
Pemilihan aktormu juga sangat baik. Kamu pakai metode apa sih? Kepo deh aku ni
... . Dan, kepada Seriboe Djendela, dahsyat! Sungguh terbukti bahwa Seriboe
Djendela tidak hanya bisa menghadirkan Narasi Besar seperti Lapak Tilas, Jaga
Ndaru, dan 1551, tetapi juga bisa menghadirkan Narasi Kecil seperti kisah
Keluarga Moechtar ini. Proviciat!!!
|
Dua MC. |
Surakarta
Utara, 03 Desember 2018
Padmo
Adi
Sukak deh tulisannya. Makasih mas Padmo!
ReplyDeleteKembali kasih, Grace ;)
DeleteEnak bacanya, dan di foto terakhir aku paha(m)
ReplyDeleteHahahasuwww :v
Delete