KISAH
SANG PENDEKAR KELANA DARI PRONTERA
-Prolog-
|
Character saya di dalam ROM. |
Tulisan
ini adalah catatan mengenai perjalanan Sang Pendekar Kelana dari Prontera,
Midgard, dalam game MMORPG Ragnarok
Online Mobile – Eternal Love. Pada kesempatan sebelumnya, saya telah menulis
tentang Petualangan Sang Pemburu Monster Menembus Batas Realita dan Virtual. Di
sana saya menulis tentang pengalaman bermain game Augmented-Reality
yang berdasarkan geo-location,
berjudul Mobbles. Sebenarnya pada tulisan tersebut saya sempat menyinggung
mengenai game MMORPG. Akan tetapi,
saya hanya membahasakan permukaannya saja sebagai prolog untuk membahas game Augmented-Reality
berdasarkan geo-location. Maka, pada
kesempatan kali ini saya hendak menulis tentang pengalaman bermain game MMORPG, Massively Multiplayer Online Role Playing Game. Ada banyak game MMORPG. Saya tidak akan membahas
semua game MMORPG, semata karena
metode yang saya pakai. Saya hanya memilih satu game MMORPG, yaitu Ragnarok Online Mobile – Eternal Love
(selanjutnya akan saya tulis “ROM”).
Ada
beberapa alasan mengapa saya memilih ROM daripada judul lain yang sejenis.
Alasan yang pertama adalah bahwa nama “Ragnarok” di dunia game adalah sebuah nama yang sangat legendaris. Ragnarok Online
sudah beberapa kali di-remake. Alasan
yang kedua adalah bahwa Ragnarok Online yang saya mainkan ini kini didesain
untuk platform (saya sedikit berhati-hati dalam menggunakan istilah “konsol”) smartphone Android dan IOS. Dewasa ini
para developer game memiliki
kecenderungan untuk men-smartphone-kan game-game PC. Bahkan, game yang hanya bisa dimainkan dengan
konsol PlayStation pun kini bisa dinikmati melalui smartphone, tentu dengan sebuah emulator. Yang saya amati, ketika
sebuah game kemudian bisa dimainkan
melalui smartphone, ada kecenderungan
game itu bisa menjangkau khalayak
yang jauh lebih luas, karena tentu saja akan menjadi sangat mobile, tidak lagi terikat oleh ruang ngegame khusus seperti ketika kita
bermain game PC, PlayStation, atau
XBox, atau sejenisnya. Alasan ketiga adalah bahwa ROM adalah game yang sangat hibrid. Secara sekilas
kita bisa melihat bahwa ROM dikembangkan oleh developer asal Korea, dengan
nama-nama Cina pada credit-nya, dengan
mengambil mitologi Nors (Odin, Valkyrie, peristiwa Ragnarok, dll.) sebagai
latar belakang utama dan bahkan judulnya, dengan banyak sekali pengaruh
Kristiani pada character-nya, dengan
mengambil pula mitologi dan setting Mesir
kuna, dan tidak lupa juga budaya Cina-Korea-Jepang. Dan, alasan terakhir adalah
bahwa sering kali player rela
menghabiskan berjuta-juta rupiah untuk memainkan game ini. Pada awal 2019 ini ada seorang player asal Indonesia dengan id “MambaaElChap” menghabiskan kurang
lebih 2 milyar rupiah untuk memenangkan lelang dua buah item dalam game ini. Dua
milyar untuk dua buah item di dalam game. Kita bisa membayangkan berapa
banyak rupiah yang dia keluarkan per bulan, bahkan per hari, untuk membangun character-nya itu.
Saya
menuliskan ini semua dengan metode autoetnografi. Metode itu sebenarnya sudah
saya coba ketika menulis Pengalaman Sang Pemburu Monster Menembus Batas Realita
dan Virtual. Akan tetapi, saya pribadi merasa bahwa usaha saya itu belum
maksimal. Setelah membaca tulisan Anne Shakka dalam bukunya berjudul Cilik-cilik Cina Suk Gedhe Dadi Apa?, di
mana dia membahas dan menggunakan metode autoetnografi untuk membahasakan
kecinaannya, saya terdorong untuk menggunakan metode itu lagi dengan lebih
bebas. Sebebas-bebasnya saya menulis Petualangan Sang Pemburu Monster itu, saya
masih tetap harus patuh pada kaidah penulisan tesis. Kini, karena saya tidak
dalam konteks menulis tesis, saya rasa saya bisa bereksperimen dengan metode
itu dengan jauh lebih bebas. Metode autoetnografi saya pilih sebab saya sendiri
adalah seorang gamer, banyak teman
saya adalah gamer, bahkan
saudara-saudara sepupu saya juga adalah gamer;
dan saya ingin bertutur dengan lebih eksistensial. Dengan metode itu, saya
berharap saya bisa melihat dan mengkaji fenomena game MMORPG itu dari dalam. Ibaratnya, saya membahasakan setelah
terlebih dahulu masuk menyelam sendiri ke dalam samudera, tidak sekadar melihat
dari atas kapal, atau dari kaca aquarium.
Tapi,
saya beberapa kali harus bertanya pada diri saya sendiri, mengapa penelitian
(akhirnya saya memakai kata ini!) ini harus saya lakukan? Toh tulisan ini,
kalaupun kelar, paling hanya akan ada di sarang-kalong.blogspot.com yang sudah
lama suwung itu. Perihal apa dalam ROM yang begitu menarik sehingga saya
mengharuskan diri untuk menghapus aplikasi facebook,
instagram, twitter, dan beberapa aplikasi unicorn
sekadar untuk memberi ruang memori yang cukup pada smartphone saya bagi game
berukuran hampir 6GB ini? Apakah benar ada hal yang belum saya bahasakan dalam
Petualangan Memburu Monster itu sehingga perlu saya bahasakan dalam Kisah Sang
Pendekar Kelana dari Prontera ini? Atau, justru saya cuma sekadar mengafirmasi
hal-hal tertentu yang sudah terlebih dulu saya katakan dalam beberapa tulisan
saya lainnya?
Pada
Bulan Maret 2019 yang lalu terjadi peristiwa terorisme berupa penembakan di
Kota Christchurch, Selandia Baru. Selang beberapa saat kemudian, beberapa orang
kemudian menyalahkan dan bahkan mengharamkan game PUBG (Player Unknown
Battle Ground), sebuah game battle
royal tembak-menembak. PUBG bisa dimainkan FPS (First Person Shooter) atau TPS (Third
Person Shooter) sesuai selera dan taktik player yang bersangkutan.
Orang-orang mengambinghitamkan PUBG itu karena dianggap menjadi inspirator bagi
si teroris. Dan, memang, si teroris mengaku gemar bermain game PUBG. Akan tetapi,
apakah benar bermain game mendorongmu
untuk menjadi pembunuh? Jika game
adalah sesuatu yang maya, sama seperti facebook,
twitter, instagram, youtube, dan
bahkan whatsapp, dan jika yang maya
telah memodifikasi realita sedemikian rupa, apakah benar game yang maya itu memodifikasi dunia si subyek-gamer sehingga dia di dalam kehidupan
sehari-hari akan terdorong untuk melakukan sesuatu hal yang sama seperti yang
ada dalam game-play?
Terus
terang, saya harus bercerita di sini, bahwa saya melihat game sebagai sebuah produk budaya kontemporer. Sampai di sini saya
belum akan bicara mengenai industri game.
Saya baru akan membicarakan game
sebagai budaya dulu. Saya sudah membahas hal ini dalam tulisan saya terdahulu,
berjudul Kewargaan yang Tidak Main-main
di dalam Realita Virtual Game.
Lebih jauh, saya melihat ada benang merah antara produk budaya game (khususnya RPG), anime (film kartun, umumnya dari Jepang)
dan film, manga/komik, cosplay, sastra (novel), dan akhir-akhir
ini juga seni pertunjukan (teater). Apa yang lebih dahulu booming sebagai novel, misalnya, kemudian diadaptasi menjadi manga, lalu kemudian diadaptasi lagi
menjadi anime, untuk kemudian oleh
para cosplayer di-cosplay-kan, lalu kemudian menjadi seni
pertunjukan, atau film, atau game.
Ada beberapa contoh. Contoh pertama, yang paling mudah, adalah Dragon Ball.
Mulanya adalah komik. Lalu menjadi anime.
Lalu beberapa kali diadaptasi ke layar lebar. Tidak jarang pula komunitas cosplayer mengambil tema Dragon Ball
ini. Di saat yang sama juga diadaptasi menjadi banyak sekali game dalam beberapa platform konsol. Contoh yang kedua adalah Final Fantasy VII yang
sangat legendaris itu. Pada mulanya adalah game
PlayStation. Lalu kemudian mendapatkan prequel
dalam rupa game PSP Final Fantasy –
Dirge of Cerberus dan tentu saja anime.
Ada juga sequel-nya berupa film
animasi 3 Dimensi berjudul Final Fantasy VII – Advent Children. Lalu ada juga
adaptasi novelnya, diambil dari sudut pandang para tokoh pendukung. Dan, para cosplayer pun turut ambil bagian pula;
biasanya mereka meng-cosplay-kan
Tifa. Contoh yang ketiga adalah anime
Overlord dan Sword Art Online. Dua anime
itu bertema tentang game MMORPG, dan
keterperangkapan para player-nya di
sana. Overlord dan Sword Art Online ini pula yang mendorong saya untuk
mengambil ROM sebagai game untuk
diselami.
|
Saya dan teman-teman berpose di depan Gerbang Selatan Prontera. |
Mengapa
MMORPG? Mengapa game online (daring)?
Keadaan subyektif saya saat inilah yang membuat saya secara mantap mengambil
tema ini. Ketika menulis tentang Mobbles beberapa tahun lalu, saya adalah
seorang bujangan. Kegiatan saya adalah kuliah, belajar, berteater, touring, dan akhirnya menggerakkan
seluruh kebertubuhan saya untuk berburu monster (secara harafiah, sejauh
dimungkinkan melalui smartphone).
Mobbles adalah game daring berbasis
geo-lokasi. Kebujangan saya membuat saya bebas bergerak dari satu lokasi ke
lokasi lain, bahkan dari satu kota ke kota lain, untuk memburu monster. Namun,
kini saya hampir punya dua anak, memiliki seorang istri yang cantik jelita, dan
sedang menanti surat tugas dari Negara yang tak juga kunjung tiba. Saya tidak
sebebas dulu. Ada satu pertanyaan dulu sewaktu menulis tentang Mobbles yang
belum berani saya tanyakan dan belum berani saya jawab: bagaimana om-om dan
tante-tante yang telah berkeluarga itu tetap bisa memainkan game daring yang pada umumnya real-time itu? Real-time berarti bahwa 24 jam waktu di dalam game sama dengan 24 jam waktu di dunia nyata. Bagaimana saya, yang
seorang aktor ini, yang sudah om-om dan juga sudah berkeluarga ini, yang juga
bahkan merupakan Sekretaris RT di kampung, bermain sebuah role-playing game yang real-time? Apakah game MMORPG, dalam hal ini ROM, adalah merupakan sebuah suaka
Fantasi bagi saya? Bagaimana saya tetap berhubungan dengan Yang Simbolik?
Ketika menulis paragraf ini, saya melirik ke belakang, ke rak buku-buku saya
yang berantakan itu, mengingat-ingat di mana buku-buku Psikoanalisa Lacanian
itu saya taruh. Tentu saya akan menggunakan teori Psikoanalisa Lacanian lagi,
sebab saya hendak berbicara tentang subjektivitas.
Kemudian
saya bertemu dengan sekuel dari Sword Art Online, yaitu SAO: Ordinal Scale.
Menonton anime itu, saya menyadari
bahwa saya tengah bertanya tentang subjektivitas para pemain game Virtual-Reality (VR), setelah
sebelumnya pada tulisan Petualangan Sang
Pemburu Monster saya mencoba membahasakan subjektivitas para pemain game Augmented-Reality (AR), Mobbles.
Dalam anime SAO: Ordinale Scale itu
diceritakan bahwa Kirito dan kawan-kawan mulai beralih dari memainkan game VR, kemudian mereka memainkan game AR yang populer, Ordinal Scale. Di
sana, Kirito mulai bertanya tentang perbedaan efek antara memainkan game VR dan AR. Pertanyaan mengenai “perbedaan
sensasi” memainkan game VR dan AR itu
juga sebenarnya menghantui saya. Bedanya, di dalam anime itu para tokoh berangkat dari pengalaman memainkan game VR, lalu kemudian baru dengan
terengah-engah memainkan game AR.
Sementara, saya berangkat dari sebuah pengalaman memainkan game AR, dan kini tengah dive-in
game VR. Dalam SAO: Ordinal Scale ...
ya, namanya juga anime, ‘kan ya ...
diceritakan bahwa game AR Ordinal
Scale itu mampu membuat para pemain game
VR berbondong-bondong meninggalkan game
VR mereka untuk bersama-sama memainkan game
AR. Fantasi yang digambarkan sama persis seperti fantasi yang ada pada iklan
Pokemon-Go, ketika banyak player
berkerumun pada suatu lokasi real untuk menghajar Mewtwo. Gambaran yang sama
juga benar-benar terjadi pada game
Ingress ketika para player (mereka
menyebut diri sebagai agent)
melancarkan Operasi Megalodon. Ya, memang game-game
dewasa ini, baik yang AR maupun VR, memiliki tendensi yang sama untuk mengumpulkan
sebanyak mungkin orang, tentu dengan kepentingan yang agak malu-malu diakui:
profit, namun di dalam anime SAO:
Ordinale Scale itu dikisahkan bahwa terdapat motivasi lain yang laten dari si
developer. Ya, kalau tidak seperti itu, tidak akan ada adegan action, dan tidak akan pernah jadi anime yang ok, ‘kan?
Akan
tetapi, di dunia sehari-hari ini, “berkumpul” itu adalah sesuatu, apalagi “berkumpul
oleh karena memainkan game yang sama”.
Istilahnya kini adalah “mabar”, main bareng. Saya sama sekali tidak
mempertanyakan tendesi berkumpul ini ketika menulis tentang Mobbles, game AR itu. Toh game-game AR lainnya seperti Pokemon Go dan terutama Ingress juga
berhasil membuat para player di
banyak tempat di dunia ini berkumpul. Akan tetapi, ketika saya mengamati anak-anak
muda tetangga saya, dan ketika saya merefleksikan kegiatan nge-game saya sendiri, terbit pertanyaan: Apakah Orang Indonesia
itu punya tendensi untuk berkumpul? Mengapa Orang Indonesia butuh untuk
berkumpul? Bukber (buka bersama), nobar (nonton bareng), kopdar (kopi darat),
dan kini mabar (main bareng), bahkan ada deklarasi bersama, rapat akbar, dll. Bahkan,
Orang Jawa punya kata-kata “mangan ora
mangan ngumpul”, “makan atau tidak tetap berkumpul”. Apakah kebutuhan untuk
berkumpul ini sangat khas milik Orang Indonesia? Apakah kebutuhan untuk
berkumpul ini merupakan salah satu efek pascakolonial? Punya motor yang sama,
kopdar. Sama-sama berkontribusi di google-maps, kopdar. Sama-sama mendukung
capres yang sama, deklarasi bersama. Ingin nonton film yang sama, nobar. Waktu
bulan puasa, bukber. Memainkan game
yang sama, mabar. Apakah Orang Malaysia, Thailand, Philipina, dan bangsa Asia
Tenggara lain juga punya kebutuhan berkumpul sama seperti Orang Indonesia ini?
Mendadak
banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam benak saya ketika dive-in Ragnarok Online Mobile ini. Jika
saya biarkan, akan muncul pertanyaan-pertanyaan baru yang mungkin tidak akan
pernah bisa saya jawab dalam waktu dekat. Maka, ada baiknya saya mulai
menuliskan kisah saya, seorang Paladin dari Kota Prontera.
(bersambung ...)
Comments
Post a Comment