ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA

  ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA *kepada Hugo   Lukisan Sri Yesus Kristus bersama dengan Sri Krishna setelah Tuhan mereka bunuh berkali-kali... yang terjadi adalah kemanusiaan yang mati... akhirnya menjelma jadi jiwa yang mengembara di padang belantara... ke selatan, ke utara... ke timur, ke barat... ke sana... entah ke mana... mencoba menemukan Tuhan yang telah tiada   walaupun demikian, itu lebih baik bagi mereka daripada mulut ngaku ikut Sang Lelaki Galilea tapi membela anak ular beludak sampai mati atau mewarnai semua dengan mejikuhibini Ah, Hug, Barat itu arah terbenamnya matahari bacalah Wahyu, semuanya sedang digenapi...   Malang, 07 Oktober 2024 Padmo Adi

OLEH KARENA LARA ATI, KITA BERKARYA, KITA BERBUDAYA

OLEH KARENA LARA ATI, KITA BERKARYA, KITA BERBUDAYA
Esai tentang Gerakan Budaya Para Pemuda Pengagum Didi Kempot

Pada hari Sabtu, 15 Juni 2019, pk 19.00 segerombolan pemuda mengerumuni Rumah Blogger Indonesia (RBI), yang terletak agak ndhelik dan ndlesep di sebelah utara Gereja St. Paulus Kleca, dan di sebelah timur Kantor Samsat Surakarta. Di sana mereka ingin merayakan lara ati bersama-sama, sembari berbincang-bincang mengenai sosok Didi Kempot, penyanyi campursari, yang hampir selalu menyanyikan lagu-lagu nggerus lara ati dan nelangsa. Para pemuda itu menamakan diri Sad Bois Club. Dua di antara para penggeraknya adalah @jarkiyo dan @kobarnendrodewo. Acara pada malam hari itu merupakan acara spontanitas dan diselenggarakan swadaya serta gratis. Siapapun, yang merasa lara ati-nya perlu untuk dirayakan, boleh hadir.

Poster Solo Sad Bois Club - Didi Kempot, Godfather of Broken Heart
Walaupun membawa kata “bois” (boys = para cowok), terlihat pula beberapa perempuan hadir di sana. Bisa jadi, kata “bois” di sini menjadi tidak lagi bermakna apa-apa bagi para perempuan itu, justru oleh karena Didi Kempot (dan segenap karyanya). Karya-karya nggerus lara ati Didi Kempot telah melintas gender. Tidak lagi semata menyuarakan kelara-lara-nya para lelaki dikhianati dan ditinggal pergi perempuan, tetapi juga menyuarakan pula kekecewaan dan ke-gela-an hati perempuan diblenjani janji oleh lelaki. Selain itu, karya-karya Didi Kempot telah berhasil pula melintas generasi. Mayoritas yang hadir di sana adalah para pemuda, yang bahkan belum lahir ketika lagu Cidra diciptakan pada 1989! Para pemuda itu mengaku justru mengenal Didi Kempot dari VCD-VCD bajakan yang dibeli dan dimainkan oleh orang tua mereka, pakdhe, atau bahkan simbah mereka ketika mereka masih kecil.
Bahkan, musik Didi Kempot ini berhasil membuat para penikmat musik genre lain akhirnya turut merapat untuk nangis kelara-lara bareng. Saya pribadi adalah penikmat metal, rock, dan slowrock. Namun, ketika lara ati ini harus dibahasakan, saya menemukan bahwa She’s Gone-nya Steel Heart masih kurang nrenyuhke ati jika dibandingkan dengan Banyu Langit. Bisa jadi karena ada rasa bahasa di sana; bahwa She’s Gone itu in English, sementara Banyu Langit itu dalam Basa Jawa yang adalah bahasa ibu saya. Kita memang bisa memakai bahasa apapun untuk menuangkan isi pikiran, tetapi bahasa apa yang bisa kita pakai untuk menumpahkan segala isi hati ini dengan tumplek-blek kalau bukan bahasa ibu? Bagi saya, lebih nikmat dan puas misuh bajingan, asu, lonthe, daripada fuck you, ass hole. Selain saya, juga drummer FISIP Meraung pun turut serta hadir merayakan lara ati di RBI malam hari itu. Kurang gathel apa grup band FISIP Meraung itu? Tetapi toh akhirnya nDidi Kempot juga.
Bisa jadi, bukan Didi Kempot in person yang membuat kami dengan suka rela datang ke sana, sebab beberapa dari kami baru saja menyadari bahwa sebenarnya lagu-lagu Didi Kempot itu telah sejak awal dekat dengan kami, justru bukan oleh Didi Kempot sendiri, melainkan oleh orkes-orkes ndangndut koplo. Bisa jadi kami berkumpul di sana karena kami sama-sama memiliki pengalaman ambyar lara ati. Bisa jadi kami berkumpul di sana karena pengalaman ambyar lara ati itu kami rasa telah berhasil diartikulasikan oleh lagu-lagu Didi Kempot yang berbahasa Jawa itu, justru karena mayoritas dari kami yang hadir di sana adalah para pemuda Jawa yang berusaha sekuat tenaga ora lali Jawane di tengah globalisasi ini. Bisa jadi kami berkumpul di sana justru sebagai suatu protes budaya atas budaya pop yang didiktekan dan dijejalkan kepada kami oleh Jakarta, melalui media arus utama. Atau, bisa jadi kami berkumpul di sana karena memang adalah penggemar berat Didi Kempot dan lagu-lagunya.

Dokumentasi facebook Kobar Nendrodewo.
Tidak ada pembicara utama pada acara malam hari itu. Semuanya setara. Boleh sharing, boleh curhat, boleh mengutarakan pendapat. Bahkan, pihak manajemen Didi Kempot yang mewakili sang penyanyi pun enggan menjadi pembicara utama; mereka hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar di dalam curhatan para pemuda itu. Pihak manajemen memberitahukan bahwa Didi Kempot in person pada malam hari itu sedang manggung di Jawa Timur, sehingga tidak bisa hadir. Ketidakhadiran Didi Kempot saat itu tidak menjadi masalah, sebab memang kami tidak pernah berani berharap bahwa Didi Kempot, penyanyi kondang itu, bisa hadir. Kami, para pemuda ini, merogoh kocek sedalam apapun untuk patungan, tangeh lamun isa nanggap Didi Kempot! Namun, bahwa di sana malam hari itu kami duduk bersama ngomongin Didi Kempot dan karya-karya nggerus-nya itu sudah menjadi kesenangan tersendiri bagi kami.
Hingga pada suatu moment ada mobil SUV putih berhenti di depan RBI. Seorang lelaki gondrong berpakaian putih turun dari sana, lalu berjalan masuk menuju RBI. Salah seorang hadirin berteriak kepada @jarkiyo dan @kobarnendrodewo, “Bar, Kobar ... ana tamu!” Sontak semua mata memandang ke arah gerbang RBI, seakan tak mampu mempercayai apa yang ada pada pandangan mata. Didi Kempot, penyanyi kondang itu, hadir pada acara malam hari itu. Orang yang paling terkejut tentu saja @jarkiyo. “Aku ra nyangka isa dadi kaya ngene,” ujarnya dengan emosi bercampur aduk. Tak dinyana-nyana Didi Kempot hadir. Segera saja dia menjadi pembicara utama. Acara kemudian berlanjut dengan lebih greget, sebab sang idola hadir. Kemudian, acara itu ditutup dengan lagu Cidra, dinyanyikan bersama-sama seluruh hadirin, dipimpin langsung oleh Didi Kempot sendiri. Syahdu! Nrenyuhke ati! Para pemuda itu ora bakal kuwat bantingan mbayar Didi Kempot nyanyi, tetapi sang idola justru malah mengajak mereka bernyanyi bersama, merayakan lara ati.

Mencari Oyot
Di antara banyak bahasa, aku kira hanya bahasa ibu yang dapat dipakai untuk menumpahkan segala isi hati dengan lebih paripurna. Ya, kita bisa memakai Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris untuk menuangkan isi kepala, tetapi akan lebih afdal ketika kita bisa sambat dan nggrantes dengan bahasa ibu, dalam konteks ini Bahasa Jawa.
Para pemuda yang berkumpul di RBI malam hari itu rata-rata adalah generasi kelahiran 1990-an; generasi Y kalau orang bilang. Generasi ini tumbuh dewasa di tengah kecanggihan teknologi informasi. Batas-batas dunia menjadi lebur di dalam dan melalui gawai mereka. Mereka digempur berbagai macam informasi dari seluruh penjuru dunia. Gamang, akhirnya mereka mencari akar mereka, dalam konteks ini Jawa. Mereka ada di dalam tegangan; satu sisi mereka tidak ingin kehilangan identitas Jawa, di sisi lain mereka juga tetap harus up to date dan going global and also viral.
Apa yang hampir selalu identik dengan para pemuda secara global? Kisah cinta. Namun, kisah cinta juga bisa berakhir duka, nggerus, dan lara ati. Akhirnya, mereka seakan-akan menemukan jangkar identitas Jawa mereka pada lagu-lagu campursari Bahasa Jawa Didi Kempot ini. Kisah cinta? Ya. Lara ati? Ha’a. Bahasa Jawa? Absolutely! Komplit.
Namun, yang menarik dari Bahasa Jawa Didi Kempot ini adalah penggunaan diksi-diksi yang tidak sehari-hari. Saya bahkan merasa “belajar” kosakata lawas Bahasa Jawa ini ya dari lagu-lagu Didi Kempot. Cidra, ketaman, rina, ngreridu, dan masih banyak yang lain. Didi Kempot seakan-akan sengaja memelihara tembung-tembung lawas Basa Jawa itu di dalam lagu-lagunya. Dan, memang benar. Latar belakang kethoprak yang dimiliki Didi Kempot menyediakan baginya kolam kosakata Bahasa Jawa lawas yang sangat luas dan dalam. Sehingga, lagu-lagu Didi Kempot ini menjadi penyambung generasi antara generasi X dengan generasi Y, generasi simbah-simbah kita dulu dengan generasi pemuda kelahiran 1990-an, sehingga bahasa—dalam hal ini Bahasa Jawa—secara arbitrer dapat diwariskan.

Protes Budaya, sebuah Histeria
Kita bisa terheran-heran kepada para pemuda kelahiran 1990-an yang berkumpul di RBI malam hari itu. Mengapa Didi Kempot (ketika saya bilang “Didi Kempot” di sini bukan berarti Didi Kempot in person semata, tetapi justru segala produk budaya yang dihasilkan, terpengaruh, atau terinspirasi oleh karya Didi Kempot)?! Di saat pemuda-pemuda yang lain cinta mati pada SNSD, BlackPink, SuJu, Hollywood, anime, dan segala budaya pop yang mengepung melalui media arus utama, mengapa para pemuda Solo dan sekitarnya ini berbondong-bondong ke RBI untuk merayakan Didi Kempot?! Bahkan, secara praktis, malam itu bukan yang pertama kali sebenarnya mereka merayakan Didi Kempot.
Ternyata mereka secara sadar melakukan itu sebagai sebuah bentuk protes budaya. Mereka hanya ingin berteriak kepada Jakarta, bahwa dalam membudaya mereka tidak ingin didikte oleh Jakarta. Jakarta adalah Indonesia, tetapi Indonesia bukan Jakarta. Menjadi Indonesia tidak sama dengan menjadi Jakarta! Menjadi medhok pun adalah juga menjadi Indonesia. Jika Jakselian ngomong dengan bahasa campuran Indonesia-Inggris, maka pemuda Solo ini ngomong dengan, bukan cuma dua bahasa, melainkan malah dengan tiga bahasa sekaligus: Bahasa Jawa yang dicampur Bahasa Indonesia dan sesekali dicampur dengan Bahasa Inggris, tentu dengan logat medhok-nya.
Dengan merayakan Didi Kempot, mereka juga sedang protes, terutama terhadap channel-channel televisi arus utama, yang hanya menampilkan setting di seputaran Jabodetabek, sesuatu yang sangat jauh dari pengalaman empiris para pemuda itu. Sementara, video-video klip dan lagu-lagu Didi Kempot justru menampilkan setting yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka: Terminal Tirtonadi (Solo), Stasiun Balapan (Solo), Wonogiri, Pantai Klayar (Pacitan), Tanjung Mas (Semarang), Parangtritis (Yogyakarta), Gunung Merapi Purba Nglanggeran (Yogyakarta), dan sebagainya. Perayaan lara ati mereka itu adalah sebuah histeria.

Didi Kempot tiba-tiba hadir di tengah-tengah kami. Dokumentasi pribadi.
Epilog
Gerakan para pemuda itu adalah benar-benar sebuah gerakan akar rumput. Pengalaman personal ambyar, lara ati, nggrantes, ngenes, nggerus, ketula-tula, dan nelangsa itu kemudian mereka artikulasikan bersama-sama melalui lagu-lagu Didi Kempot, untuk kemudian diangkat menjadi suatu das Ding. Keremukredaman itu lalu mendorong mereka untuk melangkah lebih jauh mempertanyakan identitas kultural, lalu kemudian memberanikan diri untuk menggugat narasi budaya arus utama. Memang ada usaha untuk mencari-cari akar budaya Jawa, sebagai identitas terberi yang mereka miliki. Namun, tanpa disadari, bersama-sama lagu Didi Kempot kita merayakan identitas hibrid kita: orang Indonesia dengan logat medhok, yang fasih berbicara campur-campur antara bahasa Jawa-Indonesia-Inggris, yang menolak menjadi Jakarta, yang berusaha tetap tidak hilang Jawanya, tetapi sekaligus terbata-bata ketika mengucapkan tembung lawas  ketaman asmara”. Lagipula, seperti yang diakui oleh manajemen Didi Kempot, musik Didi Kempot, walau berbahasa Jawa, tetap bukanlah musik Jawa (bukan slendro atau pelog, tetapi menggunakan solmisasi Barat).
Akhirnya, selamat merayakan lara ati ini. Mari kita nangis gero-gero bersama. Bahwa lara ati dan nangis bukanlah akhir dari segalanya. Mari kita sambat akan hari ini, tetapi sambat hari ini cukuplah untuk sehari ini, sebab esok memiliki sambat-nya sendiri. Oleh karena lara ati, kita berkarya, kita berbudaya. Terima kasih kepada Didi Kempot yang sudah menyatukan kami dengan lara ati ini. Dan, terimalah salam hormat kami, Lord Didi Kempot – Godfather of Broken Heart!

Surakarta Utara, 18 Juni 2019
Padmo Adi (@KalongGedhe)

Comments