OLEH
KARENA LARA ATI, KITA BERKARYA, KITA
BERBUDAYA
Esai
tentang Gerakan Budaya Para Pemuda Pengagum Didi Kempot
Pada
hari Sabtu, 15 Juni 2019, pk 19.00 segerombolan pemuda mengerumuni Rumah
Blogger Indonesia (RBI), yang terletak agak ndhelik
dan ndlesep di sebelah utara Gereja
St. Paulus Kleca, dan di sebelah timur Kantor Samsat Surakarta. Di sana mereka
ingin merayakan lara ati
bersama-sama, sembari berbincang-bincang mengenai sosok Didi Kempot, penyanyi campursari,
yang hampir selalu menyanyikan lagu-lagu nggerus
lara ati dan nelangsa. Para
pemuda itu menamakan diri Sad Bois Club.
Dua di antara para penggeraknya adalah @jarkiyo
dan @kobarnendrodewo.
Acara pada malam hari itu merupakan acara spontanitas dan diselenggarakan
swadaya serta gratis. Siapapun, yang merasa lara
ati-nya perlu untuk dirayakan, boleh hadir.
|
Poster Solo Sad Bois Club - Didi Kempot, Godfather of Broken Heart |
Walaupun
membawa kata “bois” (boys = para
cowok), terlihat pula beberapa perempuan hadir di sana. Bisa jadi, kata “bois”
di sini menjadi tidak lagi bermakna apa-apa bagi para perempuan itu, justru
oleh karena Didi Kempot (dan segenap karyanya). Karya-karya nggerus lara ati Didi Kempot telah
melintas gender. Tidak lagi semata menyuarakan kelara-lara-nya para lelaki dikhianati dan ditinggal pergi
perempuan, tetapi juga menyuarakan pula kekecewaan dan ke-gela-an hati perempuan diblenjani
janji oleh lelaki. Selain itu, karya-karya Didi Kempot telah berhasil pula
melintas generasi. Mayoritas yang hadir di sana adalah para pemuda, yang bahkan
belum lahir ketika lagu Cidra
diciptakan pada 1989! Para pemuda itu mengaku justru mengenal Didi Kempot dari
VCD-VCD bajakan yang dibeli dan dimainkan oleh orang tua mereka, pakdhe, atau
bahkan simbah mereka ketika mereka masih kecil.
Bahkan,
musik Didi Kempot ini berhasil membuat para penikmat musik genre lain akhirnya turut merapat untuk nangis kelara-lara bareng. Saya pribadi adalah penikmat metal, rock, dan slowrock.
Namun, ketika lara ati ini harus
dibahasakan, saya menemukan bahwa She’s
Gone-nya Steel Heart masih kurang
nrenyuhke ati jika dibandingkan
dengan Banyu Langit. Bisa jadi karena
ada rasa bahasa di sana; bahwa She’s Gone
itu in English, sementara Banyu Langit itu dalam Basa Jawa yang adalah bahasa ibu saya. Kita
memang bisa memakai bahasa apapun untuk menuangkan isi pikiran, tetapi bahasa
apa yang bisa kita pakai untuk menumpahkan segala isi hati ini dengan tumplek-blek kalau bukan bahasa ibu?
Bagi saya, lebih nikmat dan puas misuh bajingan,
asu, lonthe, daripada fuck you, ass
hole. Selain saya, juga drummer
FISIP Meraung pun turut serta hadir merayakan lara ati di RBI malam hari itu. Kurang gathel apa grup band FISIP Meraung itu? Tetapi toh akhirnya nDidi Kempot juga.
Bisa
jadi, bukan Didi Kempot in person
yang membuat kami dengan suka rela datang ke sana, sebab beberapa dari kami
baru saja menyadari bahwa sebenarnya lagu-lagu Didi Kempot itu telah sejak awal
dekat dengan kami, justru bukan oleh Didi Kempot sendiri, melainkan oleh orkes-orkes
ndangndut koplo. Bisa jadi kami berkumpul di sana karena kami sama-sama memiliki
pengalaman ambyar lara ati. Bisa jadi kami berkumpul di
sana karena pengalaman ambyar lara ati
itu kami rasa telah berhasil diartikulasikan oleh lagu-lagu Didi Kempot yang
berbahasa Jawa itu, justru karena mayoritas dari kami yang hadir di sana adalah
para pemuda Jawa yang berusaha sekuat tenaga ora lali Jawane di tengah globalisasi ini. Bisa jadi kami berkumpul
di sana justru sebagai suatu protes budaya atas budaya pop yang didiktekan dan
dijejalkan kepada kami oleh Jakarta, melalui media arus utama. Atau, bisa jadi
kami berkumpul di sana karena memang adalah penggemar berat Didi Kempot dan
lagu-lagunya.
Tidak
ada pembicara utama pada acara malam hari itu. Semuanya setara. Boleh sharing, boleh curhat, boleh
mengutarakan pendapat. Bahkan, pihak manajemen Didi Kempot yang mewakili sang
penyanyi pun enggan menjadi pembicara utama; mereka hanya menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang terlontar di dalam curhatan para pemuda itu. Pihak
manajemen memberitahukan bahwa Didi Kempot in
person pada malam hari itu sedang manggung di Jawa Timur, sehingga tidak
bisa hadir. Ketidakhadiran Didi Kempot saat itu tidak menjadi masalah, sebab
memang kami tidak pernah berani berharap bahwa Didi Kempot, penyanyi kondang
itu, bisa hadir. Kami, para pemuda ini, merogoh kocek sedalam apapun untuk
patungan, tangeh lamun isa nanggap Didi Kempot! Namun, bahwa di
sana malam hari itu kami duduk bersama ngomongin
Didi Kempot dan karya-karya nggerus-nya
itu sudah menjadi kesenangan tersendiri bagi kami.
Hingga
pada suatu moment ada mobil SUV putih berhenti di depan RBI. Seorang lelaki
gondrong berpakaian putih turun dari sana, lalu berjalan masuk menuju RBI. Salah
seorang hadirin berteriak kepada @jarkiyo
dan @kobarnendrodewo, “Bar,
Kobar ... ana tamu!” Sontak semua
mata memandang ke arah gerbang RBI, seakan tak mampu mempercayai apa yang ada
pada pandangan mata. Didi Kempot, penyanyi kondang itu, hadir pada acara malam
hari itu. Orang yang paling terkejut tentu saja @jarkiyo. “Aku ra nyangka isa dadi kaya ngene,” ujarnya dengan emosi bercampur
aduk. Tak dinyana-nyana Didi Kempot hadir. Segera saja dia menjadi pembicara
utama. Acara kemudian berlanjut dengan lebih greget, sebab sang idola hadir.
Kemudian, acara itu ditutup dengan lagu Cidra,
dinyanyikan bersama-sama seluruh hadirin, dipimpin langsung oleh Didi Kempot
sendiri. Syahdu! Nrenyuhke ati! Para
pemuda itu ora bakal kuwat bantingan mbayar Didi Kempot nyanyi,
tetapi sang idola justru malah mengajak mereka bernyanyi bersama, merayakan lara ati.
Mencari
Oyot
Di
antara banyak bahasa, aku kira hanya bahasa ibu yang dapat dipakai untuk
menumpahkan segala isi hati dengan lebih paripurna. Ya, kita bisa memakai
Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris untuk menuangkan isi kepala, tetapi akan
lebih afdal ketika kita bisa sambat dan
nggrantes dengan bahasa ibu, dalam
konteks ini Bahasa Jawa.
Para
pemuda yang berkumpul di RBI malam hari itu rata-rata adalah generasi kelahiran
1990-an; generasi Y kalau orang bilang. Generasi ini tumbuh dewasa di tengah
kecanggihan teknologi informasi. Batas-batas dunia menjadi lebur di dalam dan
melalui gawai mereka. Mereka digempur berbagai macam informasi dari seluruh
penjuru dunia. Gamang, akhirnya mereka mencari akar mereka, dalam konteks ini
Jawa. Mereka ada di dalam tegangan; satu sisi mereka tidak ingin kehilangan
identitas Jawa, di sisi lain mereka juga tetap harus up to date dan going global
and also viral.
Apa
yang hampir selalu identik dengan para pemuda secara global? Kisah cinta.
Namun, kisah cinta juga bisa berakhir duka, nggerus,
dan lara ati. Akhirnya, mereka
seakan-akan menemukan jangkar identitas Jawa mereka pada lagu-lagu campursari
Bahasa Jawa Didi Kempot ini. Kisah cinta? Ya. Lara ati? Ha’a. Bahasa
Jawa? Absolutely! Komplit.
Namun,
yang menarik dari Bahasa Jawa Didi Kempot ini adalah penggunaan diksi-diksi
yang tidak sehari-hari. Saya bahkan merasa “belajar” kosakata lawas Bahasa Jawa ini ya dari lagu-lagu
Didi Kempot. Cidra, ketaman, rina,
ngreridu, dan masih banyak yang lain. Didi Kempot seakan-akan sengaja
memelihara tembung-tembung lawas Basa Jawa itu di dalam lagu-lagunya.
Dan, memang benar. Latar belakang kethoprak yang dimiliki Didi Kempot
menyediakan baginya kolam kosakata Bahasa Jawa lawas yang sangat luas dan dalam. Sehingga, lagu-lagu Didi Kempot
ini menjadi penyambung generasi antara generasi X dengan generasi Y, generasi
simbah-simbah kita dulu dengan generasi pemuda kelahiran 1990-an, sehingga
bahasa—dalam hal ini Bahasa Jawa—secara arbitrer dapat diwariskan.
Protes
Budaya, sebuah Histeria
Kita
bisa terheran-heran kepada para pemuda kelahiran 1990-an yang berkumpul di RBI
malam hari itu. Mengapa Didi Kempot (ketika saya bilang “Didi Kempot” di sini
bukan berarti Didi Kempot in person
semata, tetapi justru segala produk budaya yang dihasilkan, terpengaruh, atau
terinspirasi oleh karya Didi Kempot)?! Di saat pemuda-pemuda yang lain cinta
mati pada SNSD, BlackPink, SuJu, Hollywood, anime,
dan segala budaya pop yang mengepung melalui media arus utama, mengapa para
pemuda Solo dan sekitarnya ini berbondong-bondong ke RBI untuk merayakan Didi
Kempot?! Bahkan, secara praktis, malam itu bukan yang pertama kali sebenarnya
mereka merayakan Didi Kempot.
Ternyata
mereka secara sadar melakukan itu sebagai sebuah bentuk protes budaya. Mereka
hanya ingin berteriak kepada Jakarta, bahwa dalam membudaya mereka tidak ingin
didikte oleh Jakarta. Jakarta adalah Indonesia, tetapi Indonesia bukan Jakarta.
Menjadi Indonesia tidak sama dengan menjadi Jakarta! Menjadi medhok pun adalah juga menjadi
Indonesia. Jika Jakselian ngomong dengan
bahasa campuran Indonesia-Inggris, maka pemuda Solo ini ngomong dengan, bukan cuma dua bahasa, melainkan malah dengan tiga
bahasa sekaligus: Bahasa Jawa yang dicampur Bahasa Indonesia dan sesekali
dicampur dengan Bahasa Inggris, tentu dengan logat medhok-nya.
Dengan
merayakan Didi Kempot, mereka juga sedang protes, terutama terhadap channel-channel televisi arus utama,
yang hanya menampilkan setting di
seputaran Jabodetabek, sesuatu yang sangat jauh dari pengalaman empiris para
pemuda itu. Sementara, video-video klip dan lagu-lagu Didi Kempot justru
menampilkan setting yang sangat dekat
dengan kehidupan sehari-hari mereka: Terminal Tirtonadi (Solo), Stasiun Balapan
(Solo), Wonogiri, Pantai Klayar (Pacitan), Tanjung Mas (Semarang), Parangtritis
(Yogyakarta), Gunung Merapi Purba Nglanggeran (Yogyakarta), dan sebagainya. Perayaan
lara ati mereka itu adalah sebuah
histeria.
|
Didi Kempot tiba-tiba hadir di tengah-tengah kami. Dokumentasi pribadi. |
Epilog
Gerakan
para pemuda itu adalah benar-benar sebuah gerakan akar rumput. Pengalaman personal
ambyar, lara ati, nggrantes, ngenes, nggerus, ketula-tula, dan nelangsa itu kemudian mereka artikulasikan bersama-sama melalui
lagu-lagu Didi Kempot, untuk kemudian diangkat menjadi suatu das Ding. Keremukredaman itu lalu
mendorong mereka untuk melangkah lebih jauh mempertanyakan identitas kultural,
lalu kemudian memberanikan diri untuk menggugat narasi budaya arus utama.
Memang ada usaha untuk mencari-cari akar budaya Jawa, sebagai identitas terberi
yang mereka miliki. Namun, tanpa disadari, bersama-sama lagu Didi Kempot kita merayakan
identitas hibrid kita: orang Indonesia dengan logat medhok, yang fasih berbicara campur-campur antara bahasa
Jawa-Indonesia-Inggris, yang menolak menjadi Jakarta, yang berusaha tetap tidak
hilang Jawanya, tetapi sekaligus terbata-bata ketika mengucapkan tembung lawas “ketaman
asmara”. Lagipula, seperti yang diakui oleh manajemen Didi Kempot, musik
Didi Kempot, walau berbahasa Jawa, tetap bukanlah musik Jawa (bukan slendro atau pelog, tetapi menggunakan solmisasi Barat).
Akhirnya,
selamat merayakan lara ati ini. Mari
kita nangis gero-gero bersama. Bahwa lara ati dan nangis bukanlah akhir dari
segalanya. Mari kita sambat akan hari
ini, tetapi sambat hari ini cukuplah
untuk sehari ini, sebab esok memiliki sambat-nya
sendiri. Oleh karena lara ati, kita berkarya,
kita berbudaya. Terima kasih kepada Didi Kempot yang sudah menyatukan kami
dengan lara ati ini. Dan, terimalah
salam hormat kami, Lord Didi Kempot – Godfather of Broken Heart!
Surakarta
Utara, 18 Juni 2019
Comments
Post a Comment