Akhir Sebuah Dasawarsa
SELAMAT DATANG
MANUSIA-ANDROID
oleh:
Yohanes Padmo Adi Nugroho, S.S., M.Hum.
*kepada
teman-teman Samabodi dan vielovia
Tulisan ini pertama kali dipresentasikan di dalam acara diskusi budaya dalam rangka Dies Natalis X Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, 30 Oktober 2019. Tulisan ini adalah sketsa saya melihat fenomena budaya smartphone selama 10 tahun terakhir.
Prolog
Keluar dari ruang pendadaran tesis, saya dihantui
sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh St. Sunardi, salah satu dosen penguji
saya, mengenai posthuman. Saat itu
saya tidak bisa menjawab. Di luar ruang ujian pun, teman-teman kuliah saya juga
tidak bisa menjawab. Tesis saya, Petualangan
Sang Pemburu Monster Menembus Batas Realita dan Virtual, Telaah Psikoanalisa
Lacanian Terhadap Pengalaman Bermain Game Android, Mobbles, membahas
tentang subjektivikasi yang dialami oleh seorang individu ketika memainkan game Augmented-Reality geo-location based.
Saya melihat bahwa dewasa ini perusahaan-perusahaan game developer seakan-akan berlomba-lomba men-smartphone-kan produk game
mereka. Mulai dari game FPS, TPS,
bahkan MMORPG yang biasanya menuntut waktu bulanan bahkan tahunan untuk
dimainkan itu kini punya versi smartphone-nya,
versi mobile-nya. Gamer tidak lagi harus meluangkan waktu
khusus untuk duduk di depan PC pada ruangan khusus untuk bermain massively multiplayer game yang butuh
internet itu. Kini, semua orang bisa bermain game yang butuh koneksi internet di manapun dan kapanpun melalui smartphone. Hubungan lebih lanjut antara
manusia dan teknologi itulah yang menjadi salah satu bahasan dalam konsep posthuman. Itulah yang ditanyakan dosen
penguji saya, pertanyaan yang tidak bisa saya jawab, karena memang saat itu
belum menjadi perhatian saya. Kata ‘posthuman’
itu menghantui saya hingga kini.
Selesai bermain game
Augmented-Reality (Mobbles, Ingress, dan Pokémon Go), saya mencoba bermain
MMORPG. Saya memilih sebuah game legendaris,
yang dulu hanya bisa dimainkan di PC warnet/game
center, tetapi kini bisa dinikmati siapapun dan kapanpun melalui smartphone mereka, Ragnarok, dalam versi Ragnarok
Online Mobile: Eternal Love. Beberapa bulan memainkan role playing game melalui smartphone,
saya menyadari satu hal: kita, manusia, semakin tidak terpisahkan dengan smartphone. Perangkat itu semakin
terintegrasi ke dalam kehidupan kita, bahkan ke dalam kehidupan kita yang
paling intim, melebihi perangkat lainnya, melebihi televisi, melebihi PC,
melebihi laptop, melebihi handphone
biasa. Saya mencoba menelusuri pembentukan subjek seorang gamer yang memainkan game
MMORPG, apakah sama begitu saja dengan subjek gamer Augmented-Reality,
atau ada hal yang berbeda oleh karena game-play
yang memang lain. Di tengah penelusuran itu, saya sampai pada sebuah
kecurigaan, bahwa jangan-jangan character
yang ‘diperankan’ oleh gamer dalam
MMORPG itu esensinya sama begitu saja dengan avatar yang kita pakai dalam bermedia sosial; MMORPG adalah
pseudomedia-sosial. Namun, yang lebih menarik lagi adalah hubungan subjek gamer dengan konsol (baca: smartphone)-nya. Artikel ini
hendak membahas mengenai hubungan itu. Akan tetapi, artikel ini ibaratnya
hanyalah sketsa awal saja. Saya tidak akan membahas atau menganalisanya terlalu
dalam.
|
Game augmented reality Mobbles (versi 2012-2018). Dokumen pribadi. |
Senja Sebuah Era
Oktober 2019 telah tiba. Lalu kemudian November,
lalu Desember, dan setelahnya Happy New
Year 2020! Dasawarsa 2010-an akan
segera berakhir. Sementara, dalam bayangan saya, 2006 itu rasanya baru terjadi
kemarin. Bahkan, komputer saya masih menggunakan Windows 7 dan Microsoft Word
saya masih versi 2010. Ternyata software
yang saya pakai untuk mengetik skripsi dan tesis itu hampir berusia sepuluh
tahun, OS komputerku malah sudah satu
dekade, seusia komputerku itu sendiri. RAM 2GB dulu, bahkan sekarang masih,
kupikir sudah cukup besar. Ternyata RAM sebesar itu tidak ada apa-apanya
dibandingkan smartphone keluaran
terbaru. Sepuluh tahun sudah sejak saya menanggalkan jubah. Tiga belas tahun
sejak saya menanggalkan seragam putih abu-abu. Dua puluh satu tahun sejak
Soeharto dilengserkan oleh para mahasiswa. Malah beberapa tokoh dari mahasiswa
itu, yang dulu kurus kerempeng revolusioner, kini menggendut di Senayan, menjadi
antitesis dari versi mereka di 1998. Ya masih ada sih yang mencoba untuk tetap
kritis, tapi ya tetap saja tertangkap kamera wartawan sedang bobo imut di
Senayan.
Akhir September 2019 diisi dengan demo para
mahasiswa se-Indonesia. Mayoritas mahasiswa yang berdemo itu tidak mengalami
1998, semata karena belum lahir saja. Namun, saya yakin, mereka ‘mengalami’-nya
lewat bacaan-bacaan, lewat video-video dokumenter, lewat foto-foto jurnalistik,
lewat meme yang mereka lihat melalui
layar 6 inci mereka, dan mungkin dengan ngopi bareng pelaku sejarah 1998. Ada
yang baru, ada yang kontinu, ada yang diskontinu, ada juga yang
diskontinu-untuk-dikontinu-pada-periode-selanjutnya. Apa yang baru? Salah satu
contohnya adalah KPK, contoh lain adalah peringatan 1 Juni, diakuinya Agama
Konghucu, dan pemilihan umum langsung. Apa yang kontinu? Salah satu contohnya:
Golkar, sebagai kendaraan politik Soeharto, tetap kontinu pasca-pelengseran
Sang Jendral Tersenyum; bandingkan dengan PNI, kendaraan politik Soekarno,
dilebur bersama partai-partai nasionalis lain menjadi satu di bawah lambang ndhas banteng pasca-pelengseran Bung
Besar. Apa yang diskontinu? Wangsa Cendana, walau tidak diskontinu-diskontinu
amat sih sebenarnya, setidaknya tidak lagi se-super power dulu; selain itu juga Dwi Fungsi ABRI termasuk yang
diskontinu. Apa yang diskontinu-untuk-dikontinu-pada-periode-selanjutnya?
Wiranto dan film fiksi propaganda gore
Pengkhianatan G30/S PKI, misalnya.
Dari 1998 hingga 2019, reformasi telah berusia 21
tahun. Kita sudah mengalami lima presiden berbeda pasca-Soeharto. Kita
mengalami Habibie yang menyelamatkan kapal oleng ini dan memberi martabat
kepada Timor Timur dengan referendum. Kita mengalami Gus Dur yang mengedepankan
pendekatan budaya, pluralisme, dan humaniora, disertai gagasan-gagasannya yang
sederhana (gitu aja kok repot?!) tapi radikal. Kita mengalami Megawati yang
melahirkan KPK dan pemilihan umum langsung. Kita mengalami SBY yang... mmm... adem ayem.
Kini kita sedang mengalami Jokowi yang dicitrakan sebagai “presiden pertama
dari kalangan jelata, sehingga kita—sobat miss-queen—ini
bisa lagi ngimpi jadi presiden RI”, dan selain itu juga yang mendorong
pembangunan infrastruktur terutama di pulau-pulau lain selain Pulau Jawa
sehingga akan (atau sudah?) ada rel kereta api di Kalimantan dan Sulawesi dan
jalan trans yang menghubungkan kota-kota di Papua.
|
Tulisan #ReformasiDikorupsi di pinggir jalan Kota Hong Kong, ditulis oleh seorang demonstran di Hong Kong yang mengetahui peristiwa Demo Mahasiswa Indonesia September 2019 melalui media sosial (Twitter). Gambar ini diambil oleh teman saya yang sedang ada proyek seni di Hong Kong dan dikirimkan kepada saya melalui Whatsapp. |
Akan tetapi, pada akhir September ini kita, diwakili
para mahasiswa (dan siswa STM), merasa bahwa reformasi telah dikorupsi. DPR
periode 2014-2019 telah menghasilkan produk UU bermasalah dan tengah memproses
RUU yang kontroversial. UU bermasalah itu adalah UU KPK. Sementara ada banyak
RUU kontroversial lainnya yang hendak diketukpalukan, di saat ada RUU PKS yang
sudah sangat dibutuhkan masyarakat tidak segera disahkan. Semua produk
Undang-undang dan Rancangan Undang-undang itu dikebut ‘semalam’ seperti anak SD
yang wayangan mengerjakan PR sebab esok sudah deadline. Ini belum membicarakan masalah lingkungan hidup (hutan
yang dibakar oleh korporasi—dan bencana asapnya), belum masalah kemanusiaan di
Papua, persoalan HAM, dan masih banyak lainnya. Dari semua permasalahan itu,
kita berusaha dengan keras untuk tetap fokus protes ke DPR sebagai Lembaga
Legislatif, dengan sekuat mungkin tetap tidak terbujuk untuk latah berteriak
“Jokowi turun”, walau banyak oposan oportunis mengharapkan tuntutannya sampai
pada titik itu. Kita benar-benar memfokuskan semuanya menjadi Tujuh Tuntutan
Mahasiswa September 2019:
1.
RKUHP, kita minta untuk ditunda, bahkan ada dari kita yang malah minta itu
dibatalkan saja, sebab memuat pasal-pasal karet bermasalah.
2.
Revisi UU KPK, kita sepakat minta itu untuk dibatalkan. Beberapa dari kita
berharap Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu. Ada juga yang menempuh jalur
konstitusional dengan mengajukan judicial
review ke MK. Kita sepakat bahwa UU KPK itu melemahkan KPK, dan dengan
demikian melemahkan proses pemberantasan korupsi, sehingga mengkhianati
semangat reformasi.
3.
Isu lingkungan. Ini isu yang seharusnya menjadi kesadaran kita bersama sebagai Homo sapiens!!! Pemanasan global itu
nyata, Saudara!!! Namun, realita ini belum juga masuk ke kesadaran kita Bangsa
Indonesia. Alih-alih membahas global
warming, kita seperti tersihir ketika perusahaan-perusahaan raksasa itu
membakar hutan untuk membuka lahan. Kita baru terpukul sewaktu asap hutan
gambut yang dibakar itu mencekik kita, bahkan membunuh bayi-bayi kita. Dan
syukurlah, akhirnya kita membawa isu lingkungan hidup ini ke dalam protes
bersama ini; kita menuntut Negara mengusut dan mengadili para elite dan
perusahaan raksasa yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan di Sumatera dan
Kalimantan.
4.
RUU Ketenagakerjaan, kita minta untuk direvisi sehingga lebih berpihak kepada
kelas pekerja.
5.
RUU Pertanahan. Kita menolaknya karena bertentangan dengan semangat reforma
agraria.
6.
RUU PKS, kita mendesak agar RUU PKS segera disahkan, sebab sangat mendesak
untuk melindungi korban kekerasan seksual, yang mayoritas merupakan perempuan.
7.
Stop Kriminalisasi Aktivis. Kita
menuntut Negara berhenti mengriminalkan para aktivis demi mendorong proses
demokrasi di Indonesia. Banyak aktivis yang dibungkam dengan cara
dikriminalisasikan, bahkan di era Jokowi, di era reformasi ini! Demokrasi macam
apa yang membungkam rakyatnya dengan cara diprodeokan?!
|
Mahasiswa se-Malang Raya demo di depan DPRD Kota Malang, September 2019.
Dokumen Pribadi. |
Meretas Ruang-Waktu: buzzer vs meme
Para pendengung/buzzer
men-judge (untuk kemudian menggiring
opini publik) melalui media sosial bahwa banyaknya tuntutan itu menandakan demo
September 2019 adalah demo mahasiswa yang tidak jelas. Bukan hanya tuntutan dan
demonya yang tidak jelas, bahkan ada broadcast
di whatsapp group yang mengatakan
bahwa pendemonya juga tidak jelas, sehingga rawan ditunggangi. Ironisnya,
sumber dari broadcast itu jauh lebih
tidak jelas. Padahal, yang saya tahu, sebelum ada #GejayanMemanggil, St.
Sunardi—seorang akademisi, filsuf, budayawan, dosen—telah lebih dulu berorasi
pada demo di Perempatan Tugu, Jogja, untuk menolak Revisi UU KPK dan menolak
pelemahan KPK melalui UU KPK tersebut. Saya sendiri melihat bahwa demo akhir
September 2019 dengan ketujuh tuntutannya itu adalah puncak dari kejenuhan yang
dirasakan oleh masyarakat akan kehidupan sosial-politik-budaya kita selama 21
tahun pasca-1998, khususnya selama hampir satu dasawarsa ini. Semua kanal
demokrasi telah digunakan; satu-satunya yang belum digunakan dengan optimal
adalah kanal unjuk rasa di jalanan. Kaum terpelajar (untuk tidak mengatakan
bahwa demo kemarin itu cuma berisi mahasiswa-pelajar semata) akhirnya
mengorganisasi masa aksi yang besar, terbesar sejak demo anti-Soeharto 1998,
dua puluh satu tahun yang lalu. Dan, ini luar biasa! Ini menunjukkan bahwa
bukan hanya kaum radikal ekstrim kanan saja yang besar suaranya mengemis-emis
soal khalifah dan bicara halu menolak
demokrasi, tetapi kaum terpelajar kita bisa dengan lebih lantang berbicara
tentang krisis demokrasi dan reformasi dikorupsi. Mereka lantang di jalan
sebagaimana mereka bising di media sosial.
|
Poster yang menggambarkan Demo Mahasiswa September 2019. Gambar dari Twitter. |
Kaum terpelajar itu—para pemuda, mahasiswa-pelajar,
dan masyarakat—tidak hanya turun secara fisik ke jalanan. Mereka juga
menggunakan teknologi informasi untuk berkoordinasi, untuk mempelajari materi
dan situasi, dan untuk menggemakan suara tuntutan mereka di jalanan tersebut.
Foto-foto pendemo memegang poster tuntutan segera menjelma menjadi meme, dan bersuara lebih lantang melalui
twitter, facebook, instagram, dan whatsapp. Suara mereka kemudian berhasil
masuk ke ruang-ruang yang susah dijangkau oleh kehadiran fisik. Memang para
anggota DPR tidak menemui mereka di jalan, tetapi saya yakin para anggota dewan
yang terhormat itu mendengar (walau belum tentu mendengarkan ya) seruan mereka
lewat meme yang membanjiri timeline dan status media sosial. Internet membuat suara teman-teman yang turun
di Pertigaan Gejayan, di depan gedung DPRD Malang Kota, di depan gedung DPRD
Surakarta, di depan gedung DPR, dan di manapun di seluruh Indonesia ini
teramplifikasi bahkan hingga ke Hong Kong! Para demonstran di Hong Kong, yang
turun ke jalan karena sama-sama menolak RUU di sana, menyampaikan rasa
solidaritas mereka terhadap para mahasiswa Indonesia yang turun ke jalan untuk
mendesak ketujuh tuntutan tersebut. Semua itu bisa terjadi berkat sebuah
perangkat bernama smartphone.
|
Demo Mahasiswa September 2019. Gambar dari Twitter. |
Tubuh
Manusia dan smartphone
telah menjadi satu kesatuan yang susah untuk dipisahkan. Seakan-akan, smartphone telah menjadi salah satu bagian
tubuh manusia yang vital. Di dalam artikel Kewargaan
yang Tidak Main-main di dalam Realita Virtual Game, saya masih berpikir
bahwa “[t]ubuh seseorang yang bermain game
itu seakan-akan digantikan dengan tubuh character-nya.”
Akan tetapi, kini saya menyadari bahwa avatar
atau character kita bukan
menggantikan, melainkan bersama dengan perangkat smartphone itu sendiri merupakan perpanjangan tubuh, sama seperti
seorang aktor teater yang mengenakan make
up-costum atau topeng. Make up-costum
dan/atau topeng itu tidak menggantikan tubuh si aktor, melainkan
perpanjangan tubuh aktor untuk menampilkan tokoh tertentu. Saya memakai istilah
‘ekstensi tubuh’ ketika mendefinisikan konsol game,
dan saya kira istilah ‘ekstensi tubuh’ itu jauh lebih tepat dipakai untuk
mendefinisikan smartphone ini.
|
Mobbles (versi 2019). Dokumen pribadi. |
Di dalam paradigma lacanian, subjek itu memiliki
tubuh, kebertubuhan. Lacan membedakan antara organisme (makhluk hidup) di satu
sisi, dengan apa yang di sisi lain disebut tubuh.
Lacan mendekati persoalan tubuh dengan melalui imaji. Untuk menciptakan suatu
tubuh, kata Lacan, diperlukan suatu organisme hidup dan sebuah imaji. Di
dalam fase cermin, seorang individu mengalami suatu keutuhan, mengalami suatu
kebertubuhan yang utuh. Akan tetapi, begitu dia dikastrasi oleh Nama Sang Bapa,
begitu dia diperkenalkan dengan penanda-penanda dan dipaksa untuk berbahasa,
saat itulah dia mengalami keambyaran, terfragmentasi. Namun, justru pada saat
itulah individu menjadi subjek, dia bisa berkata ‘Aku’, dia bisa berkata ‘ini
tubuhku’. Manusia mengalami kebertubuhan dalam level penanda, dalam level imaji.
Organ-organ kita tetap bersatu utuh. Akan tetapi, dalam level penanda, kita
bisa mengalami keambyaran dengan tubuh, duplikasi tubuh, mutilasi tubuh, atau
bahkan keterpisahan dengan tubuh.
Doni Agung Setiawan, di dalam tesisnya berjudul Teatrikalisasi Kehidupan: Studi tentang
Pengalaman 7 Aktor Teater Yogyakarta dalam Mencipta Sinthome di Dunia Panggung
dan Keseharian, membahas tentang konsep kebertubuhan lacanian. Ego
terbentuk di dalam fase cermin, ketika subjek melihat pantulan dirinya,
tubuhnya, di dalam cermin. Diri terbentuk dari pemahaman individu atas bayangan
tubuh yang dipantulkan oleh cermin. Doni Agung Setiawan menjelaskan bahwa
“[t]ubuh menjadi salah satu penanda bagi subjek untuk memaknai ke-aku-annya.”
Dalam diskusi kami berdua, kami mendapati sebuah benang merah antara subjek
aktor dengan subjek gamer-yang-memainkan-RPG
(role playing game). Aktor dan gamer sama-sama bermain (to play; Bahasa Inggris dari sandiwara
juga adalah play, play performance). Subjek aktor dan
subjek gamer sama-sama memerankan. Kebertubuhannya
ada pada teks, ada pada penanda. Subjek aktor ada pada naskah yang dia mainkan,
sementara subjek gamer ada pada plot
cerita game yang juga tersebar pada
teks narasi. Lebih jauh, jika subjek aktor mengalami kebertubuhannya melalui
tubuh organiknya, subjek gamer
mengalami kebertubuhan itu melalui ekstensi tubuhnya: konsol, dalam hal ini smartphone.
|
vielovia menggenggam tanganku (KalongGedhe). Dokumen pribadi. |
Di dalam level penanda yang disediakan pada smartphone-nya itulah seorang gamer bisa berkata, “Aduh, aku kena
jurusnya... . Aduh, aku mati!” Yang terkena jurus bukan tubuh organiknya. Tubuh
organiknya baik-baik saja, duduk atau berbaring di suatu tempat, mungkin juga
sambil sesekali mengunyah kudapan dan meminum es teh. Yang terkena jurus adalah
character in game, pada smartphone-nya.
Yang mati adalah character in game—yang
akan segera respawn di suatu map di dalam game itu. Tubuh organiknya masih tetap hidup, masih tetap
bermetabolisme, baik-baik saja. Namun, di level penanda, subjek itu merasakan
hantaman jurus itu, menghantam tubuh character-nya,
sebegitu nyatanya, sehingga dia harus misuh.
Kita melihat ada split/keterbelahan
di sini. Satu sisi si subjek merasa sakit tubuhnya dihantam jurus, di sisi lain
tubuh organiknya baik-baik saja. Walaupun demikian, peristiwa itu begitu nyata
dialami oleh si subjek, sebagai satu kesatuan utuh atas pengalaman
kebertubuhannya.
Sama juga seperti ketika seseorang berdebat di media
sosial, sedang tweetwar di twitter, dan sedang saling bully di kolom komentar facebook atau instagram. Subjek satu dengan subjek lainnya tidak saling bertemu
muka, mereka ada di tempat masing-masing, pada ruang-waktu mereka
masing-masing. Tetapi, di saat yang sama, melalui avatar masing-masing, mereka
bertemu di sana, di dalam teks. Orang melalui avatar (foto profil dan nama
id)-nya menyerang avatar (foto profil dan nama id) lain dengan teks. Yang
dilihat dan kemudian diserang pertama-tama adalah avatar itu, foto profil dan
nama id itu. Foto profil dan nama id itu bisa asli (sesuai nama KTP, KK, atau
nama panggilan di dunia nyata), tetapi tidak jarang avatar itu adalah akun anon
(foto profil bukan foto diri dan nama id memakai pseudonim, sama seperti nama character dalam game MMORPG). Meskipun kita menciptakan cukup jarak sedemikian rupa
antara diri kita dalam kehidupan sehari-hari dengan diri kita dalam avatar itu,
segala sesuatu yang ditujukan untuk avatar kita itu segera kita rasakan sebagai
untuk diri kita. Avatar itu adalah perpanjangan tubuh kita, dengan demikian adalah
perpanjangan diri kita, atau dengan kata yang sederhana, avatar kita adalah
kita. Kita hadir melalui avatar tersebut.
Tubuh
Kedua
Melalui smartphone,
kita menciptakan ulang tubuh kita. Kita membangun avatar. Kita mengedit
sedemikian rupa profile-picture dan wall-paper. Kita berusaha menampilkan
diri kita se-sugoi mungkin. Bahkan,
kita secara harafiah menciptakan ulang tubuh kita ketika kita bermain MMORPG.
Ketika saya bermain Ragnarok Online
Mobile: Eternal Love, saya memilih character
dan job yang gue banget. Character
utama saya adalah seorang Paladin. Saya buat character saya itu berambut putih gondrong; seperti sewaktu saya
kuliah dulu, gondrong. Saya pakaikan costume
berwarna merah, warna kesukaan saya. Saya memilih job Paladin karena job
itu adalah satu-satunya job yang bisa
mengendarai unggas bernama Rainbow
Peco-peco dan bisa bertempur di atasnya; saya sendiri suka berkendara dan touring dengan sepeda motor. Akan
tetapi, pada kesempatan tertentu, saya ubah build-nya.
Saya biarkan character Paladin saya
itu dengan kostum default-nya, baju
zirah berwarna putih dengan cape
ungu. Rambut putih gondrong itu saya tutup dengan tudung yang juga berwarna
ungu, yang sekaligus menutupi wajah. Senjata dan perisai juga saya pakai yang
berwarna ungu. Kontras dengan build
merah tadi yang hanya fokus pada attack
tanpa bisa healing, build ungu ini gelap dan fokus pada defense, devotion, dan healing.
Lebih jauh, saya mensubjektivikasi diri melalui character itu dengan memberinya nama KalongGedhe, nama yang saya
pakai sebagai pseudonim ketika membuat karya sastra dan sekaligus saya gunakan
untuk id instagram. Menatap character itu seperti halnya ketika saya
menatap diri saya sendiri di depan cermin; lalu berkata, “Itu aku.”
Dengan tubuh KalongGedhe itulah saya bertemu,
bersosialisasi, berdiskusi, dan berinteraksi dengan teman-teman saya. Ketika
teman-teman saya—mereka adalah empugandring, Surabajra, dan Dybiel—ada di sana,
saya tidak merasa sendiri. Tentu teman-teman saya itu secara jasmaniah tidak
ada di sisi saya ketika kami tengah bermain bersama. Kami ada di tempat
masing-masing; saya di Solo, Surabajra dan Dybiel di Jogja, sementara
empugandring di Hong Kong. Namun, ketika kami bertemu di Prontera atau Izlude,
ketika saya menggandeng tangan Dybiel, ketika kami makan bersama makanan yang
dimasak oleh Dybiel, ketika kami bertempur bersama di Eternal Tower,
seakan-akan memang kami benar-benar bersama. Kemudian, ketika banyak teman guild kami yang pensi(un), tidak lagi
memainkan game Ragnarok Online Mobile: Eternal
Love, rasanya seperti sangat kehilangan, seakan-akan kami tidak akan pernah
bertemu kembali; rasanya seperti sebuah perpisahan, seperti ditinggalkan
sendiri.
|
Ilustrasi. Gambar dari Facebook. |
Kita Sendiri Bersama-sama
Perangkat kecil itu telah merevolusi kehidupan
manusia dalam waktu kurang dari dua dasawarsa. Segala sesuatunya di-smartphone-kan. Dengan menggenggam
perangkat persegi itu, kita seolah-olah telah menggenggam seluruh dunia.
Menelepon, mengirim pesan singkat, mengirim email, chatting, mengecek jam, mengecek suhu lingkungan, mengecek lokasi
keberadaan kita, mencari tahu letak suatu tempat, mendengarkan musik, menonton
video, browsing, mengetik, membaca
buku, mengedit tulisan, mengambil gambar foto, mengambil gambar video, mengedit
foto, mengedit video, menggambar, mendesain, bermain game, mengingatkan kita akan suatu agenda, membangunkan kita di
pagi hari, membeli barang, memesan makanan dan minuman, mencari tumpangan,
mencari pasangan, bahkan bercinta... semua itu kita lakukan dengan menggunakan
satu alat saja: smartphone.
Smartphone
benar-benar merevolusi hidup manusia. Seorang Generasi Alpha yang kini baru
berusia dua tahun bahkan sudah bisa mengganti channel youtube,
sementara mbah buyutnya kebingungan membedakan antara panggilan telepon dengan voice-note, dan simbahnya terbata-bata
ketika hendak meng-update status whatsapp. Ketika generasi yang lebih
senior kesulitan beradaptasi dengan revolusi teknologi informasi ini, bayi
kemarin sore sudah bisa memilih video youtube
apa yang hendak dia tonton. Satu sisi ini mengagumkan, tapi di saat yang sama
ini mengerikan!
Fenomena tersebut terjadi dalam waktu kurang dari
dua dasawarsa. Di Indonesia sendiri, smartphone
dengan OS Android pertama kali
dipasarkan pada sekitaran bulan Oktober 2008, hanya sebelas tahun yang lalu!
Hanya butuh waktu satu dasawarsa untuk merevolusi kehidupan manusia Indonesia!
Bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi terhadap Homo sapiens ini selama sepuluh tahun ke depan! Kehidupan
sosial-politik-ekonomi-budaya macam apa yang akan kita alami sebagai makhluk
hibrid Manusia-Android ini? Pada sebuah film dokumenter berjudul Surplus (2003), ada sebuah pernyataan
menarik dari John Zerzan—seorang ahli ekologi
dan penulis anarko-primitivis Amerika,
“Orang-orang diberi tahu bahwa masa
depan teknologis modern menguatkan mereka, saling mendekatkan, memberi mereka
akses pada keragaman. Kita pernah diberi tahu bahwa teknologi akan membebaskan
manusia dan mereka tidak perlu banyak bekerja. Aku telah berpergian ke
mana-mana dan aku berualng kali mendengar orang-orang terus berkata, ‘Aku
memiliki beeper, aku memiliki ponsel,
aku memiliki... . Aku sama sekali tidak dapat lepas dari kerja.’ Manusia
terikat pada elektronik dengan seluruh perangkat baru. Mereka semakin tidak
dapat terpisah dari kerja dan teknologi. Teknologi modern mengutamakan jarak
dibanding kedekatan, efisiensi dibanding permainan.”
Semakin
canggih suatu teknologi, bukannya semakin menolong kita, manusia, tetapi malah
semakin membuat kita terus mengonsumsi; dan kita terisolasi, teralienasi.
Sherry Turkle melalui bukunya Alone Together melihat paradoks yang dihadirkan oleh smartphone. Satu sisi smartphone membuat kita dengan lebih
mudah dan lebih murah terkoneksi dengan siapapun di manapun, tetapi di sisi
lain smartphone yang sama mereduksi
relasi yang penuh intimasi.
Kita terhubung bersama teman-teman kita di sana melalui teks. Memang terkadang
kita masih menelepon mereka, melakukan voice
call dengan fitur yang disediakan oleh whatsapp
atau discord, bahkan sesekali
kita melakukan video call, akan
tetapi kita melakukan itu sembari melakukan hal yang lainnya. Dengan
kecanggihan alat yang kita punyai, kita cenderung melakukan multitasking. Dan, voice call itu juga kemudian hanya menjadi salah satu tasking yang kita lakukan bersama dengan
banyak tasking lainnya. Orang
terkoneksi dengan liyan di seberang sana, tetapi tidak benar-benar mengalami
intimasi. Masing-masing hanyut dalam kesendiriannya; sendiri bersama-sama. We are alone together.
Melaui smartphone
itu kita ada, tetapi sekaligus mengalami keterbelahan (split) dengan dunia jasmaniah di sekeliling kita. Suatu malam saya
berkencan dengan istri saya, makan malam bersama. Ketika duduk
berhadap-hadapan, kami bersama, tetapi saya asyik membaca time-line facebook, sementara istri saya asyik dengan instagram-nya. Tubuh jasmani kami ada
bersama-sama, tetapi diri kami terpisah. Menyadari hal itu, akhirnya kami
sepakat untuk menyingkirkan smartphone jauh-jauh
ketika kami sedang kencan makan malam. Namun, itu tidak mudah! Selalu saja ada
alasan bagi kita untuk melirik alat canggih itu. Ketika kita kehilangan smartphone, seakan-akan seluruh dunia
kita runtuh. Susah bagi kita untuk lepas dari perangkat itu. Bahkan, ketika
perangkat itu tidak kita gunakan, kita masih akan memegangnya, memastikannya
masih ada dalam jarak yang dekat dengan kita. Kita memperlakukannya seperti
jimat. Lebih daripada jimat, kita memperlakukannya seperti tubuh kita sendiri.
Kehilangan smartphone adalah sebuah
amputasi.
|
Seorang lelaki dan smartphone-nya. Dokumen pribadi. |
Epilog:
Era Baru
Kita akan segera meninggalkan era 2010-an dan akan
menyambut era baru 2020-an. Bahkan, di Jepang sendiri, tahun 2019 ini adalah
tahun pergantian era. Kini sudah bukan lagi era Heisei, kini adalah era Reiwa.
Apa yang akan kita, Homo sapiens, ini
hadapi di era baru? MotoGP dan F1 adalah tempat di mana kita bisa melihat
kompetisi dari perpaduan kerja manusia dan teknologi. Jika di tahun 2000-an
seorang Valentino Rossi bisa menguasai persaingan MotoGP dengan menggunakan
motor Honda 500cc 2tak yang liar dan motor Honda dan Yamaha 990cc 4tak yang
minim campur tangan elektronik, kini di era 2010-an seorang Marc Marquez
mendominasi olah raga balap itu dengan motor Honda 1.000cc 4tak yang didukung
penuh oleh perangkat elektronik canggih yang meminimalisasi human error. Melihat balapan era 2010-an
itu, kita terpesona dengan aksi-aksi menawan hasil perpaduan kerja manusia dan
mesin berteknologi tercanggih; balapan yang sungguh berbeda dengan balapan
MotoGP era 1960-an hingga 1990-an. Manusia menciptakan teknologi, kemudian
teknologi balik membentuk kemanusiaan kita. Lalu, di era 2020-an nanti
teknologi canggih macam apa yang akan kita temukan dan kemudian balik membentuk
kemanusiaan kita? Dan, omong-omong soal smartphone,
ketika smartphone era 2010-an sudah
sedemikian sophisticated, di era
2020-an nanti akan menjadi secanggih apa perangkat itu, dan akan balik
membentuk kemanusiaan kita dengan bagaimana?
Saya kira, manusia, teknologi, hubungan-antarmanusia,
kebudayaan-berbasis-teknologi, di dalam sistem kapitalisme-lanjut, di tengah
era pascamodern mungkin akan menjadi tema yang menarik bagi kalangan budayawan
di tahun 2020-an nanti. Yang jelas, era 2010-an sudah hampir selesai. Selama
era itu, kita, manusia, Homo sapiens,
telah be-revolusi menjadi makhluk hibrid, Manusia-Android. Apakah
Manusia-Android ini merupakan Adimanusia (Übermensch)
yang dicari Nietzsche?
Malang, 11 Oktober 2019
Daftar Pustaka
Comments
Post a Comment