HISTERIA
LUNA
-Padmo
Adi-
LunaKharisma harus menampilkan Tugas Akhirnya, sebuah pertunjukan teater, pada
tanggal 09 Agustus 2019. Dia masih mengusung reportoar mengenai kehidupan
perempuan pasca-perceraian, alias janda. Judul pementasan dia kali ini adalah Di Dalam Rumah 3, kalau saya boleh
katakan, merupakan trilogi. Memang saya tidak menyaksikan sendiri Di Dalam Rumah 1 dan Di Dalam Rumah 2, tetapi Luna pernah
menceritakan dua pertunjukan itu, sehingga saya bisa sedikit banyak
membayangkannya. Lalu, apa yang membedakan dua Di Dalam Rumah itu dengan Di
Dalam Rumah 3? Pisau bedahnya. Luna Kharisma menggunakan teori Psikoanalisa
Lacanian. Psikoanalisa Lacanian ini Luna pakai sebagai teori untuk menganalisa
subyek perempuan pasca-perceraian itu. Dengan teori itu pulalah saya akan menulis
mengenai Di Dalam Rumah 3, atau lebih
tepatnya Gladi Resik Di Dalam Rumah 3.
Ya, sayang sekali saya tidak bisa menyaksikan pertunjukan itu pada Hari H,
karena suatu alasan. Meskipun demikian, saya menyaksikan Gladi Resiknya. Tentu
ada beberapa hal yang membedakan Gladi Resik Di Dalam Rumah 3 dengan pementasannya, sebab sesaat setelah Gladi
Resik tersebut, para dosen Luna memberi masukan dan revisi.
Berangkat
dari pengalaman menyaksikan Gladi Resik Di
Dalam Rumah 3 itu, saya mencoba menganalisa reportoar Luna tersebut. Teori
Empat Wacana Lacanian akan saya gunakan. Tentu saya tidak akan membahas bentuk
atau genre teater Luna. Hal itu di
luar kemampuan saya. Yang saya bahas pada tulisan ini adalah wacananya,
narasinya. Selain itu, saya juga akan menggunakan teori mitos Roland Barthes,
sebab di dalam (Gladi Resik) pertunjukan Luna itu, dia membawa nama Calon
Arang, lebih spesifik film Ratu Sakti
Calon Arang (1985) yang dibintangi Suzanna.
Gladi
Resik Di Dalam Rumah 3 diawali dengan
adegan sarapan bersama suatu keluarga yang terdiri dari seorang ibu, seorang
anak lelaki, dan seorang anak perempuan. Tidak ada sosok ayah di sana. Seiring
perkembangan cerita, ketiadaan sosok ayah itu terjelaskan; ibu itu janda.
Namun, saya sendiri tidak menangkap petunjuk apakah ketiadaan sosok ayah itu
karena cerai hidup atau cerai mati. Ya, memang ada satu dialog yang
mengindikasikan bahwa ibu janda itu cerai hidup, hanya tidak verbal saja. Nanti
saya tunjukkan dialog yang mana. Entah cerai hidup atau cerai mati, yang jelas
Sang Bapa sudah tiada. Perkembangan cerita justru ada pada anak perempuan ibu,
si ibu itu sendiri, dan beberapa perempuan lain yang memiliki multiperan
terutama sebagai Liyan.
Mitos
Para
perempuan lain itulah yang kemudian mendefinisikan si ibu itu dan memberi judgement pada keluarga itu. Satu hal
negatif yang disematkan pada sosok ibu itu, bahwa dia janda! Janda menjadi
penanda yang mendapatkan petanda negatif. Banyak nama janda yang disebutkan,
mulai dari nama para aktris dan selebritis, hingga nama dari cerita rakyat
Bali: Calon Arang—seorang perempuan, janda, sekaligus penyihir! Kehadiran nama
Calon Arang ini diharapkan dapat menegaskan bahwa perempuan tanpa suami itu
jelek, bahkan jahat!
Akan
tetapi, Luna Kharisma terlihat mengalami kesulitan dalam menempatkan sosok
Calon Arang ini. Pilihan yang dia ambil adalah menghadirkannya melalui layar
televisi (harafiah), dengan menampilkan adegan-adegan dalam film Ratu Sakti Calon Arang yang menampilkan
Suzanna sebagai Calon Arang. Di dalam pertunjukan Luna ini memang sosok bapak
manusiawi tidak hadir, tetapi Nama Sang Bapa yang begitu kuat malah hadir. Nama
Sang Bapa yang sangat kuat itu adalah film Ratu
Sakti Calon Arang, nama Calon Arang itu sendiri, bahkan juga nama Suzanna
sebagai persona.
Alih-alih
meng-casting seorang aktris untuk
menghadirkan sosok Calon Arang, atau untuk menarasikan apa dan siapa itu Calon
Arang, Luna memilih untuk menghadirkan sebuah film jadi, yang dirilis pada
tahun 1985. Luna menggunakan properti televisi untuk menghadirkan Calon Arang
itu. Keputusan ini, saya kira, merupakan wujud dari kebingungan Luna. Mau
diapakan “Calon Arang” yang sudah jadi itu? Sebagai cerita legenda, Calon Arang
sudah jadi. Sebagai film yang rilis tahun 1985, Ratu Sakti Calon Arang pun sudah jadi. Bahkan, kehadiran Suzanna di
sana pun juga membuat tambah runyam, sebab sosok Suzanna pun juga sudah jadi,
dan kuat. Apa yang akan Luna lakukan pada Calon Arang ini, berkaitan dengan isu
janda yang dia bawa?
Meraba
dari perkembangan adegan yang Luna bangun, kisah Calon Arang itu dia gunakan
untuk mendekosntruksi wacana janda, yang distereotipekan negatif. Luna,
sebagaimana yang pernah dia ceritakan pada saya, sedang bermain dengan konsep
mitos a la Roland Barthes di sana.
Akan tetapi, seberapa berhasil? Mitos, menurut Roland Barthes, adalah sebuah
tanda yang dirampok. Tanda terdiri dari penanda dan petanda. Penanda adalah
wujudnya. Sementara, petanda adalah apa yang ada dalam benak kita mengenai
suatu wujud itu. Misalnya penanda “berondong”, bisa mendapatkan petanda “pop-corn”, bisa mendapatkan petanda
“lelaki muda”, atau juga bisa mendapatkan petanda “tembak beruntun”. Banyaknya
petanda itu tergantung pada pra-pemahaman seseorang dan juga konteks. Ketika
penanda “berondong” itu bertemu dengan petanda “pop-corn” (atau “lelaki muda”, atau “tembak beruntun”), lahirlah
tanda. Mitos adalah sistem tanda tingkat kedua. Tanda yang sudah jadi itu
kemudian dijadikan penanda baru, untuk diberi petanda lain. Contoh, misalnya
foto Soekarno sedang berdiri berpidato sembari tangannya teracung. Sebagai
tanda tingkat pertama, foto itu sudah jadi, bahwa itu adalah foto Soekarno
sedang berpidato dengan berapi-api. Akan tetapi, ketika foto itu ada pada
spanduk seorang caleg PDI-P, orang tidak akan lagi memaknai foto itu sebagai
foto Soekarno yang berpidato dengan berapi-api, tetapi yang tertangkap adalah
bahwa caleg PDI-P yang ada di spanduk itu seolah-olah mewarisi semangat
nasionalisme dan marhaenisme Soekarno.
Juga
demikian pula yang terjadi dengan nama “Calon Arang”; penanda itu mendapatkan
petanda “perempuan”, “janda”, “penyihir”, dan “kejam”. Nama “Calon Arang”
kemudian dibaca sebagai “perempuan janda yang adalah penyihir kejam”. Seperti
itulah secara mainstream kita memaknai kisah Calon Arang. Kemudian, tanda
“Calon Arang” yang sudah jadi itu berusaha dirampok oleh Luna, untuk diberi
petanda baru. Tanda (yang terdiri dari penanda dan petanda) itu kemudian
dijadikan penanda baru. Penanda baru ini oleh Luna hendak diberi petanda baru,
yaitu “perempuan yang mandiri dan kuat, sehingga ditakuti oleh musuh-musuhnya”.
Bagaimana Luna mencoba memberi petanda baru itu? Dengan “menyandingkan” Calon
Arang-nya Suzanna itu dengan tokoh ibu dalam (Gladi Resik) pertunjukan Luna.
Akan tetapi, seberapa berhasil?
Yang
terjadi adalah Luna terbata-bata dalam menata dan meletakkan Calon Arang (baca:
perempuan janda, penyihir kejam) di antara kisah dan kehadiran tokoh ibu (baca:
perempuan janda yang mandiri dan kuat). Mengapa Luna tidak bisa leluasa dalam
memainkan penanda Calon Arang ini? Bisa jadi memang penanda Calon Arang ini enggak Luna banget. Penanda Calon Arang tidak berhasil terintegrasi di dalam
keseluruhan wacana yang Luna bawa, mulai dari prosesnya hingga Gladi Resiknya
yang saya lihat itu, (dan mungkin juga pada Hari H pementasan?). Walaupun
demikian, ada satu upaya Luna yang saya kira berhasil berkaitan dengan Calon
Arang ini, yaitu bahwa Luna berhasil “membunuh”-nya. Upaya itu ada pada adegan
tokoh ibu mematikan televisi yang sedang menampilkan adegan film Ratu Sakti Calon Arang. Dengan mematikan
tayangan film Calon Arang itu seakan-akan Luna ingin berkata bahwa “janda yang
kejam dan melulu negatif itu” sudah mati, digantikan dengan “janda baik hati
yang mencintai keluarganya, ‘rumah’-nya”. Tokoh ibu itu seakan-akan hendak
membungkam mulut Liyan, yang bersuara dengan sangat lantang juga melalui media
(televisi). Tokoh ibu itu menolak untuk dibahasakan oleh Liyan, sehingga dia
bisa membahasakan dirinya sendiri, bahwa dia adalah perempuan, janda, cerai,
dan memilih bersatu dengan anak-anaknya, keluarganya, ‘rumah’-nya.
|
Salah satu adegan di dalam Gladi Resik Di Dalam Rumah 3 |
Empat
Wacana
Selain
bermain dengan konsep mitos Roland Barthes, Luna Kharisma bercerita kepada saya
bahwa dia juga bermain dengan Teori Empat Wacana Psikoanalisa Lacanian. Maka,
dengan teori itu pulalah saya melihat dan membahas (Gladi Resik) pertunjukan Di Dalam Rumah 3 itu. Ada empat wacana dalam teori itu: (1) Wacana
Tuan, (2) Wacana Histeria, (3) Wacana Analisa, dan (4) Wacana Universitas. Di
dalam tulisan singkat ini saya tidak akan membahas diagram-diagramnya secara
detail.
Yang
jelas, di dalam (Gladi Resik) Di Dalam
Rumah 3 itu saya melihat dialektika keempat wacana tersebut dimainkan oleh
Luna. Sebenarnya, tentu saja, Di Dalam
Rumah 3 itu hadir untuk memaknai ulang tentang perkawinan, keluarga, hingga
akhirnya memaknai ulang tentang janda. Maka, diharapkan bahwa Luna berhasil
menghadirkan Wacana Analisa juga bahkan Wacana Universitas. Sejauh apa Luna
berhasil bermain dengan Empat Wacana ini?
Wacana
Tuan adalah wacana yang pertama. Wacana ini hadir pertama kali untuk
mengkastrasi individu menjadi subjek. Wacana Tuan ini tidak lain adalah Nama
Sang Bapa, bisa berupa hukum, adat istiadat, sistem sosial, masyarakat, juga
agama. Dengan pengertian tersebut, kita bisa melihat bahwa Wacana Tuan banyak terserak
pada (Gladi Resik) pertunjukan Luna itu. Wacana Tuan itu ada pada suara lelaki
(Liyan Besar) yang bertanya dan mendebat kepada karakter ibu. Secara teknis,
suara di mana penuturnya tidak hadir itu disebut V.O., atau “Sound of God”.
Suara lelaki (suara Tuhan—Sang Mahaliyan?) itu bahkan mengutip ayat Alkitab: “Demikianlah
mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan
Allah, tidak boleh diceraikan manusia,” (Matius 19:6). Wacana Tuan itu ada pada
karakter-karakter perempuan lain (baca: masyarakat). Lewat karakter-karakter
perempuan lain ini Luna memaparkan stereotipe-stereotipe negatif tentang janda.
Wacana Tuan juga hadir dalam film Ratu
Sakti Calon Arang dengan bintangnya Suzanna itu.
Wacana
Tuan itulah yang hendak digugat oleh Luna Kharisma. Gugatan itu muncul pertama-tama
lewat pertanyaan yang dilontarkan oleh karakter perempuan-perempuan lain, “Kamu
itu dongeng bukan?” Tentu saya segera berasumsi bahwa kata “dongeng” di sini
berkaitan erat dengan “Calon Arang”, janda dengan segala predikatnya, itu.
Kalimat tanya itu sebenarnya mewarnai keseluruhan pertunjukan Luna, sebab tidak
hanya sekali ditanyakan. Kalimat tanya itu menjadi kuat sebab seakan-akan
perkembangan adegan dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan itu
akhirnya tidak lagi dijawab oleh Calon Arang, melainkan oleh tokoh ibu. Selain
itu, gugatan-gugatan terhadap Wacana Tuan itu juga muncul lewat dialog-dialog
ibu. Namun, saya melihat bahwa gugatan-gugatan tokoh ibu itu hanya merupakan
Wacana Histeria, sebab dialog-dialog ibu didominasi oleh ungkapan protes.
Protes terhadap apa? Protes terhadap stereotipe negatif yang disematkan kepada
status janda, terlebih lagi janda cerai! Memang tidak ada dialog verbal yang
menyatakan bahwa tokoh ibu itu adalah janda cerai. Namun, dialog suara lelaki
yang mengutip “... apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” itu menyiratkan
bahwa si ibu ini adalah janda karena perceraian, cerai hidup. Sebenarnya tokoh
ibu itu tidak hanya melampiaskan gugatan, tetapi juga mencoba menawarkan
gagasan baru akan kehidupan perkawinan, atas definisi keluarga (komunitas yang
hadir dengan kehadiran lembaga perkawinan).
Apakah
dengan berakhirnya lembaga perkawinan melalui perceraian kemudian komunitas
keluarga itu selesai? Tokoh ibu itu menjawab, kurang lebih, “Aku bersatu dengan
anak-anakku. Aku berkeluarga dengan anak-anakku.” Kurang lebih begitulah
jawaban ibu kepada suara laki-laki itu; demikianlah yang saya ingat, mungkin
tidak begitu tepat, mohon maaf. Intinya, Luna lewat mulut tokoh ibu ingin
berkata bahwa apa yang disebut “berkeluarga” itu tidak harus terdiri dari
seorang suami dan seorang istri; seorang perempuan (mantan istri) dengan
anak-anaknya pun juga adalah “berkeluarga”. Di sinilah letak Wacana Analisa
itu. Luna sedang memaknai ulang konsep “keluarga”, dan kata “rumah” (home—yang lebih bernuansa “keluarga”)
menjadi metafora yang penting dalam pertunjukan Di Dalam Rumah 3 ini.
Dengan
kata “rumah” ini pulalah Luna mencoba membuat wacana janda ini move on. “Rumah baru” adalah hal yang
kemudian dicari oleh si ibu dan kedua anaknya. “Rumah baru”, “makna baru”,
“lembaran hidup baru”, lepas dari segala stereotipe negatif tentang janda
sebagaimana dinyatakan oleh Liyan, sehingga dapat mendefinisikan dirinya
sendiri secara bebas. Si ibu dan kedua anaknya itu pindah ke “rumah baru”
melalui adegan mendorong koper-koper hitam dari suatu sudut belakang panggung
ke suatu sudut di depan panggung. Di depan panggung itu, pada momentum itu,
“rumah baru” itu pun ditata kembali. Televisi dinyalakan kembali. Masih muncul
adegan film Ratu Sakti Calon Arang.
Si ibu perlahan mendekat ke televisi itu, lalu mematikannya. Pada momentum itu,
saya merasa lega, wacana janda telah selesai, sudah move on. Ternyata saya salah. Perempuan-perempuan lain itu masuk
kembali ke dalam panggung, kemudian mereka berteriak, “Kamu itu dongeng bukan?”
Segera saja seakan-akan saya merasa diseret kembali ke dalam histeria Luna
itu... histeria yang saya kira telah selesai dengan menemukan “rumah baru”
(metafora baru) dan dengan membunuh Calon Arang (hegemonis). Ternyata histeria
Luna belum berakhir. Wacana Universitas belum juga dibicarakan.
Epilog
Saya
tidak tahu apa yang terjadi pada pementasan Hari H dan juga apa yang terjadi di
ruang sidang ketika Luna mempertahankan tesisnya itu. Mungkin Wacana
Universitas itu ada pada tesis tersebut, atau mungkin juga ada pada pementasan
Hari H, sebab saya dengar bahwa ada banyak revisi atas pertunjukan Gladi Resik Di Dalam Rumah 3 itu. Saya tidak bisa
datang pada saat Hari H. Yang jelas, jika suatu hari nanti Luna membuat Di Dalam Rumah 4, itu berarti masih ada
yang belum selesai, Wacana Universitas belum hadir. Atau, bisa jadi... Di Dalam Rumah 4 itu menghadirkan
metafora baru atas janda?
Malang,
11 September 2019
Daftar
Bacaan
St. Sunardi. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal
P. Verhaeghe. From Impossibility to Inability. Lacan’s
Theory on the Four Discourses.
Comments
Post a Comment