NOLOGATEN
Nologaten
betapa aku merindukanmu
|
Malam Ngopinyastro XXVII di Bjong sekitar tahun 2014, seorang perempuan membaca puisi. |
aku rindu cangkir-cangkir kopimu
tempat aku membaca puisi di balik punggungmu, membisikkan
sajak cinta yang gagah tapi nelangsa karena kemiskinan membuat kita hanya bisa
bercinta dengan tidak bersuara dan berekspresi muka di bawah kolong meja tanpa
pernah berani melegalkannya di hadapan agama dan negara
aku rindu botol-botol susu macanmu
yang aku minum hingga mabuk, lalu meracau tentang
teori-teori Gramsci, Althusser, Saussure, Barthes, hingga Žižek, dan Lacan di
bawah Beringin Soekarno yang anggun dan kebapakan, seakan-akan sudah siap untuk
mengkritisi negara yang mengirim buldoser ke Kulon Progo, mengirim truck-truck
ke Pegunungan Kendeng, dan membabat hutan Sumatera, Kalimantan, dan Papua jadi
kebun sawit yang disuburkan oleh darah Suku Anak Dalam, Orangutan, dan
kemerdekaan
aku rindu dengung suara para pemudamu
yang bercerita tentang kejayaan masa lalu nusantara,
sembari melupakan skripsi bab dua belum selesai revisi juga, dan tak memiliki
beban memikirkan besok pascawisuda akan kerja jadi apa, jadi budak korporat
atau jadi babu negara, atau malah berdikari menanam padi dan jagung sendiri,
walau kini benihnya harus beli dari korporasi, sebab budidaya sendiri adalah
pidana pelanggaran hak cipta
aku rindu lampu-lampu kuningmu
yang menerangi malam-malam yang seolah abadi, membekukan
waktu, seakan subuh takkan pernah berkumandang hingga esok takkan pernah tiba,
sehingga kita seolah takkan pernah menua, tetap muda, bertenaga, dan berbahaya,
dengan metafora-metafora liar yang mendiskursuskan imajinasi akan suatu harapan
tentang dunia yang lebih baik dan memesona
|
Para penyair kafe Malam Ngopinyastro di Warkop Bjong sekitar tahun 2012 |
Nologaten
sungguh aku merindukanmu
Malang, 17 Desember 2019
Padmo Adi
Comments
Post a Comment