KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING
Pada suatu malam Sang Hyang bersabda,
“Pergilah ke Timur,
ke tanah yang Kujanjikan
keluarlah dari kota ayahmu
pergilah dari kota kakek moyangmu
seperti halnya Isyana boyongan
begitulah kamu akan mengenang
moyangmu yang di Medang.”
Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang,
sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang.
Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika
yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa.
Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi,
ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah!
Bapak sendiri adalah pegawai negeri,
guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.
Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa
Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta
Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami?!
Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?
Belum genap semua terjawab,
empat kali bumi kelilingi matahari!
Pun baru purna enam purnama,
saat aku tetirah di timur Singhasari,
oh, aku harus beranjak lagi...
mengangsu lagi, menimba lagi!
Namun, ini waktu
aku tak boleh balik ke sumur Ayodya
yang airnya bagai susu payudara Ibu!
Mataram hijau... Mataram biru... .
Dhuh, Sang Akarya Jagad,
ke
mana Kaukehendaki aku pergi?
Haruskah aku berlari ke Barat
berdiri di Piazza San Pietro
lalu berbisik...
“Nelle tue mani
rimetto lo spirito mio”?!
Sementara ragaku telah dimiliki negeri ini.
Singosari, 10 Oktober 2023
Padmo Adi
 |
Foto Piazza San Pietro, oleh-oleh dari Tengsoe Tjahjono |
Comments
Post a Comment