EKSISTENSIALISME - Antara Kierkegaard dan Sartre
-Padmo Adi-
Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang lahir pada abad XIX oleh Søren Kierkegaard. Eksistensialisme membicarakan tentang eksistensi seorang individu khususnya relasi antara individu dengan sistem, Ada dan absurditas, esensi dan makna sebuah pilihan keputusan, pengalaman, dan intensionalitas. Aliran filsafat ini booming setelah Perang Dunia II oleh Martin Heidegger dan menyebar secara luas di seluruh Eropa, bahkan dunia.
Søren Kierkegaard
Kierkegaard dengan eksistensialismenya mengajari kita bagaimana menjadi ksatria iman yang bereksistensi sesuai esensi. Seseorang yang hendak bereksistensi sesuai esensi harus melakukan lompatan eksistensi bahkan lompatan iman. Ada tiga ranah eksistensi: ranah estetis, ranah etis, dan ranah religius. Seseorang yang bereksistensi secara estetis adalah pribadi yang terburuk. Dia tidak pernah menyadari apa hidup. Seorang gemuk yang duduk di atas sofa, makan popcorn, dan minum berbotol-botol bir sembari melihat televisi adalah contoh orang yang hidup secara estetis. Contoh lain adalah Don Juan; dia tidak pernah memiliki sebuah komitmen dengan seorang gadis, tetapi bercinta dengan banyak gadis. Pada umumnya mereka yang hidup secara estetis dikontrol oleh apa yang dikemudian hari disebut oleh Sigmund Freud sebagai id (prinsip kenikmatan).
Orang yang hidup secara estetis suatu hari akan merasa bosan. Jika seseorang menyadari bahwa dia bosan oleh karena kehidupan estetis yang dia miliki, dia harus melakukan lompatan eksistensi. Dia harus memilih dan berkomitmen dengan satu cara hidup. Setelah ‘melompat’, dia akan hidup secara etis. Dengan ‘melompat’ seseorang melepas dirinya-yang-lama-dan-tidak-sejati dan secara otomatis mendapat dirinya-yang-baru-dan-sejati. Seseorang memilih hidupnya, bagaimana seseorang akan menjalani hidupnya. Seseorang bertanggung jawab atas hidup yang dipilihnya.
Ada sebuah lompatan yang sulit dimengerti oleh orang lain meski dia mengimaninya. Kierkegaard menamainya lompatan iman. Ketika seseorang secara etis memilih panggilan hidupnya sendiri, panggilan Tuhan, dia hidup secara religius. Dia hidup di dalam iman. Dia menjalani hidupnya hanya untuk Tuhan. Terkadang orang lain tidak mampu memahaminya. Namun, dia mengimani apa yang dia jalani adalah benar. Tatkala seseorang hidup secara religius, dia menjadi seorang ksatria iman.
Jean-Paul Sartre
Jika Kierkegaard membawa Tuhan dalam hidup dan filsafatnya, Sartre menihilkan eksistensi Tuhan. “Eksistensialisme berkata bahwa sekalipun Tuhan ada, hal itu tidak berarti apa-apa bagi seorang eksistensialis,” katanya, “Bukan berarti kami percaya bahwa Tuhan ada, melainkan menurut kami masalah utamanya bukan pada eksistensi-Nya.”
Apa yang orang butuhkan adalah memberi makna pada dirinya dengan setiap pilihan yang dia buat dan memahami bahwa tidak ada yang bisa menghalanginya dari hal itu. Eksistensi mendahului esensi. Eksistensialisme adalah sebuah doktrin tindakan nyata. Eksistensialisme adalah bagaimana seseorang hidup tanpa membohongi dirinya sendiri. Untuk hidup seseorang harus memilih dan mengambil konsekuensinya.
Kegelisahan seseorang adalah mengetahui bahwa dia hidup. Dan, dia harus hidup dalam kepenuhan. Untuk kepenuhannya itu mustahil Tuhan ada. Jika Tuhan ada, seseorang takkan pernah menjadi dirinya sendiri. Tidak penting hidup secara religius. Hidup secara religius adalah tanda bahwa seseorang hidup dalam kebohongan. Dia membohongi dirinya sendiri.
Seseorang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Dia menciptakan dirinya sendiri. Untuk mengada seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri sebagai seorang individu, melainkan juga semua orang. Jika seseorang percaya pada Tuhan, dia lari dari tanggung jawabnya. Yang bertanggung jawab atas perbuatannya bukan lagi dia sendiri, melainkan Tuhan.
Kierkegaard dan Sartre
Kedua-duanya adalah filsuf eksistensialisme. Mereka mengajari kita bagaimana hidup sebagaimana diri kita sebenarnya. Kita selalu memilih dalam menjalani hidup, lalu kita harus berkomitmen –kita bertanggung jawab atas segala konsekuensi atas pilihan itu– dan jangan pernah sesali. Secara garis besar Kierkegaard dan Sartre mengajari tema yang sama hingga pada poin religius. Kierkegaard mengimani bahwa kepenuhan kemanusiaan adalah ketika seseorang hidup di dalam Tuhan, tapi Sartre percaya bahwa kita tidak membutuhkan Tuhan untuk meraih kepenuhan kemanusiaan.
Comments
Post a Comment