Tulisan di bawah ini bukan merupakan buah tangan saya pribadi. Saya mengunduhnya dari sebuah situs dahulu kala. Saya lupa tidak mencatat siapa nama penulis ataupun situs itu. Akan tetapi, saya merasa memiliki tanggung jawab historis maupun genetis untuk memperkenalkan kembali seorang pujangga bebas dari Surakarta ini, Ki Padmasoesastra.
Padmo Adi
KI PADMOSUSASTRO DAN
KARYA-KARYANYA
|
Ki Padmasoesastra |
Ki Padmosusastro, nama yang tidak asing lagi dalam dunia sastra Jawa.
Dia sering disebut sebagai tiyang mardika
ingkang marsudi kasusastran Jawi ing Surakarta
'orang merdeka yang menekuni kesusasteraan Jawa di Surakarta'.1
Ki Padmosusastro bukan seorang
pujangga karaton seperti Yasadipura I, Yasadipura II, Ranggawarsita, atau
empu-empu lainnya. Ki Padmosusastro hanya berkedudukan sebagai abdidalem
karaton Surakarta
golongan rendah. Namun demikian, kegiatan-kegiatan dalam dunia sastra tidak
kalah dibandingkan dengan pujangga-pujangga lain. Kegemaran menulis membuat
dirinya terangkat menduduki jabatan-jabatan tertentu2pada
pemerintahan karaton Surakarta.
Suwardi adalah nama kecil Ki Padmosusastro. Beliau dilahirkan di Kampung
Sraten, Surakarta
tanggal 21 Mulud 1771 J. (atau tanggal 20 April 1843 Masehi) (Sri Haryatmo, 1998). Putra Ki
Ngabehi Bangsayuda ini mulai belajar membaca dan menulis sejak berusia 6 tahun,
dan kemudian sudah dapat membantu pekerjaan-pekerjaan orang tuanya sejak usia 9
tahun, oleh karena itu diberi nama Ngabehi
Kartadirana. Tidak lama kemudian diangkat sebagai mantri gedhong kiwa
‘kepala urusan gedong kiri’3 dengan julukan Mas Gus Behi. Disebut demikian karena masih sangat muda menduduki
jabatan itu. Sepuluh tahun kemudian diangkat menjadi jaksa anom ‘jaksa muda’
dengan nama Mas Ngabehi Bangsayuda,
tidak lama kemudian menjadi panewu jaksa
‘kepala tata usaha kejaksaan’ sehingga namanya pun berganti menjadi Ngabehi Kartipradata.4
Pada usia sekitar 43 tahun, Ki Padmosusastro memperdalam ilmu
kesusastraannya, dengan menerbitkan kalawarti Djawi Kandha (+1886) di Sala. Mulai saat itulah banyak
terlahir karya-karyanya. Pada saat itu namanya berganti menjadi Ki Padmosusastro. Sebagai pimpinan
Radyapustaka kemudian namanya diubah menjadi Ngabehi Wirapustaka, mulai menerbitkan kalawarti Sasadara, Tjandrakanta, dan Waradarma. Sekitar tahun 1910 beliau
dijuluki sebagai Ki Prajapustaka (S. Padmosoekotjo, 1956).
Pada hari Senin Wage tanggal 17 Rajab 1856 J. (atau tanggal 1 Pebruari 1926
M.), Ngabehi Prajapustaka meninggal dunia (Sri Haryatmo, 1998:20; Mellema,
1933:65), dengan meninggalkan puluhan karya berkualitas.5
Ki Padmosusastro termasuk orang yang tekun. Pergaulannya dengan
orang-orang istana, sesama teman belajar, termasuk C.F. Winter, Roorda, dan
Ranggawarsita sendiri sebagai gurunya membuat pandangan hidupnya menjadi sangat
luas. Bahkan, seorang pejabat pemerintah Belanda yang mengurusi pendidikan
pribumi, H. A. De Nooy menjadi kagum atas kepandaiannya, sehingga membawanya ke
negeri Belanda (Jayanggeni, 1935). Selama di negeri Belanda Ki Padmosusastro
berhasil menulis Serat Woordenlijst
dan Urapsari (Supardi dalam Sri
Haryatmo, 1998:112).
Tulisan-tulisannya banyak diabadikan sekitar tahun 1890 - 1925 dalam
bentuk cetakan oleh beberapa penerbit, bahkan sampai banyak dicetak ulang
sampai sekitar tahun 1950-an. Terbitan-terbitan itu masih dapat dijumpai di
perpustakaan-perpustakaan dan museum yang mengoleksi naskah lama. Penggunaan
aksara Jawa dalam terbitan-terbitan itu merupakan kendala besar bagi generasi
muda untuk memahami kandungan konsep-konsep dan pemikiran Ki Padmosusastro.
Cukup menggembirakan bahwa sampai saat ini ada beberapa orang yang masih
menghargai dan mau menerbitkan, serta mengungkap kembali pemikiran-pemikirannya
dalam aksara Latin yang lebih mudah dibaca dan dipahami.
|
Makam Ki Padmasoesastra, Surakarta |
Ki Padmosusastro tidak hanya seorang penulis sastra fiksi dan sastra wulang, beliau juga banyak memperhatikan
dunia bahasa, hingga beliau sebenarnya seorang ahli bahasa di masanya. Di antara tulisan-tulisan
tentang bahasa berupa karya tata bahasa (grammar),
kamus, kumpulan leksikon, dan hukum-hukum kebahasaan lainnya. Tulisan-tulisan
tentang hukum ketatabahasaannya, seperti Piwulang
Nulis, Carakan Basa, Tata Sastra, Layang Paramabasa (1897), Zemenspraken (1900), Serat Carakabasa (1904),
Layang Carakan (1911), Serat Pathibasa (1912), Warna
Sastra (1920), dan
lain-lain. Kamus-kamusnya yang terkenal adalah Serat Dasanama Kawi, Serat Campurbawur (1893) (merupakan embrio dari Bauwarna (1898), Layang Bauwarna (1898),
Layang Bausastra (1899), Serat Warnabasa (1899), Serat
Bausastra Jawa-Kawi (1903). Tulisan-tulisan kebahasaan yang lain
seperti, Kawruh Basa, Layang Basa Sala (1891), Serat Urapsari (1895), Layang Belletire (1898), Madubasa (1912) , Warnasari (1925) dan masih banyak
artikel-artikel yang ditulis dalam kalawartinya. Tulisan-tulisan
ketatabahasaannya cukup mewarnai terbitan ulang-terbitan ulang karya orang lain
seperti Serat Pustakaraja Purwa,
karya Ranggawarsita yang diterbitkan oleh N. V. Voork H. Buning (1910); Wira Iswara, Serat Wedhamadya keduanya
dari penerbit sama, yaitu N. V. Voork H. Buning; Serat Wira Iswara, karya Pakubuwana IX yang diterbitkan Albert
Rusche & Co. dan lain-lain.
Catatan:
1 Istilah
“wong mardika kang marsudi kasusastran Jaw(i/a) (ing Surakarta)” adalah sebutan terkenal yang
disandang Ki Padmosusastro. Ada
beberapa ahli telah merumuskan terjemahan sebutan tersebut sebagai berikut.
‘Orang bebas yang mengurusi kesusastraan Jawa’ (Suripan Sadi Hutomo, 1975:8),
‘orang bebas yang menekuni kesusastraan Jawa di Surakarta (Sri Haryatmo, 1998:112), ‘orang merdeka yang mengurusi
kesusastraan Jawa (Sri Haryatmo, 1996/97:4), dan ‘orang merdeka yang banyak
menekuni kesusastraan Jawa (Imam
Soepardi, 1961:11, 2001:11).
Menurut Sri Haryatmo
(1996/97:4), sejak Ki Padmosusastro diberhentikan dari jabatannya sebagai penewu
jaksa gedhong kiwa (pada usia 42 tahun), Ki Padmosusastro berganti profesi
sebagai pengarang. Ki Padmosusastro menamakan dirinya dengan sebutan wong
mardika kang marsudi kasusastran Jawi ’orang merdeka yang menekuni
kesusastraan Jawa’. Mulai saat ini Ki Padmosusastro lebih menekuni bidang
karang-mengarang tentang bahasa dan sastra Jawa melanjutkan profesi gurunya
Winter.
Dalam kegiatannya menulis Ki
Padmosusastro tidak diikat oleh oleh peraturan atau atas perintah orang lain
termasuk pemerintah waktu itu. Ki Padmosusastro terbebas dari tugas-tugasnya,
tulisan-tulisannya pun muncul atas inisiatif dan idenya sendiri. Ki
Padmosusastro bukanlah seorang pujangga, bukan pula sastrawan, tulisannya
sangat banyak dan pantas diakui sebagai penulis Jawa. Inilah bukti pengabdian
Ki Padmosusastro terhadap bahasa dan sastra Jawa.
2 Jabatan-jabatan
yang pernah dipercayakan kepada Ki Padmasusastra, secara kronologis disebutkan
sebagai berikut.
- Tahun
1852 (umur 8/9 tahun) diabdikan orang tuanya kepada Sunan Pakubuwana VIII
di Surakarta. Beliau dipercaya sebagai mantri gedhong dengan gelar
Ngabehi Kartadirana, atau disebut-sebut Gusbehi.
- Tahun
1882 (umur 18/19 tahun) dipercaya sebagai mantri sadasa panewu jaksa
nem ‘pimpinan jaksa muda / panewu jaksa negara’ (Sri Haryatmo,
1996/97:20). Jabatan ini juga disebut sebagai mantri sadasa gedhong
kiwa. Pada masa ini bergelar Ngabehi Bangsayuda III.
- Tidak
lama setelah menjadi mantri sadasa gedhong kiwa, dinaikkan
pangkatnya menjadi panewu (jaksa) gedhong kiwa ‘kepala urusan
kriminal / pimpinan jaksa gedhong kiwa’ di Surakarta (Sri Haryatmo,
1996/97:18). namanya diganti menjadi Ngabehi Kartipradata.
- Tahun
1885 (umur 42 tahun) diberhentikan dari jabatannya karena suatu hal.
beberapa pendapat mengatakan terlibat hutang dengan seorang China.
Pada waktu ini namanya Ki Padmosusastro.
- Tahun
1899 (umur 56 tahun) Ki Padmasusastro diangkat lagi menjadi mantri
‘kepala urusan’ bertugas di kantor Radyapustaka Surakarta ((Sri Haryatmo,
1998:112). Beliau bergelar Ngabehi
Wirapustaka.
- Tahun
1919/20 (umur 76 tahun) diangkat menjadi panewu garap ‘kepala tata
usaha’ bergelar Ngabehi Prajapustaka (Quinn, 1961:45).
4 Jabatan
panewu atau mantri merupakan jabatan pada pemerintahan Kasunanan
Surakarta. Berikut keterangan yang dikutip dari teks Serat Waduaji mengenai panewu
dan mantri.
Panewu, golongan, dening winenang
anampeni parentah saking kaliwon kadhawahaken dhateng golonganipun utawi
tegesipun malih panewon. Punika kabekta saking lenggahipun kala ing kina siti
dhusun karya sewu.
Mantri. linuwih, utawi sapocapan,
dening kawenangaken imbalan wacana kalihan para ageng, sakalangkung waskitha
kadadosaning lampah tigang perkawis ingkang rumiyin, nistha, inggih punika
saged anyinggahi patraping lampah ingkang dhawah nistha. kaping kalih madya,
inggih punika saged anetepi patraping lampah ingkang dhawah madya. Kaping tiga
utama, inggih punika saged angantepi patraping lampah ingkang dhawah utami. Manawi
ing Serat Raja Kapa-kapa wewijanganipun makaten: man, luwih, tri,
tiga, inggih punika linuwih ing tigang prakawis. Ingkang rumiyin, satya,
dening temen-temen ing pangawulanipun. Purun bela sakit pejah, rumeksa ing
sungkawaning gusti. Kaping kalih sadu, dening saged anyarehaken
adrenging manah gareteh ing wicara, ajrih angrumiyini karsa utawi amedhar
kekeraning gusti. Kaping tiga tau, dening uninga ingkang dados cipta
sasmitaning gusti, boten kasangsaya sadaya daya ing karsa. Lumuh manawi rumaos
andarbeni pangawasa piyambak. Amung ngesthi angantepi kasagahan.
‘Panewu adalah
jabatan yang berwenang menerima perintah kaliwon kepadanya, atau disebut juga
panewon, yaitu karena pada masa lalu mempunyai kekuasaan atas tanah kampung
seluas seribu karya (ukuran luas).
5 Ada
perbedaan pendapat mengenai waktu kelahiran maupun wafatnya Ki Padmosusastro.
Menurut Sri Haryatmo (1998), Ki Padmosusastro lahir pada hari Jumat Pon, 21
Mulud tahun Alip 1771 Jw. (Konversi pawukon Yayasan Sastra Surakarta: Jumat, 21
April 1843), Padmosusastro wafat hari Senin Wage, 17 Rajab tahun Be 1856, atau
1 Pebruari 1926) (Sri Haryatmo, 1998). Sedangkan menurut Muh. Nusyahid (2001)
yang mengacu pada batu nisan, Ki Padmosusastro lahir 1764 Jw/1852 M. (konversi
pawukon Yayasan Sastra Surakarta: 1764 Jw= 1836 M, 1852 M= 1780 Jw.). Wafat tahun 1841 Jw/1929 M (konversi
pawukon Yayasan Sastra Surakarta: 1841 Jw= 1911 M, 1929 M= 1859 Jw). Hal ini
mengakibatkan kaburnya kepastian sejarah lahir dan wafatnya Ki Padmosusastro.
Penulis cenderung membenarkan pendapat Sri Haryatmo, karena dirujuk dari
beberapa sumber seperti Pusaka Jawi tahun 1926, dan tulisan-tulisan Imam
Soepardi (1961, 2001), pendapat ini juga didukung oleh tulisan R.L. Mellema
(1933) dalam kumpulan karangan Serat Gancaran Warni-warni. Selain itu,
konversi angka tahun yang dilakukan Much. Nursyahid dari tahun Jawa ke tahun
Masehi, masih perlu dicek ulang kebenarannya.
Ke mana sekarang para keturunannya berada? masih adakah yg di Solo..Trims infonya.
ReplyDeleteTersebar di Solo, Jogja, Jakarta, Surabaya.
DeleteSaya keturunannya ada di bintaro
ReplyDeleteSalam kenal.
DeleteKita berbagi darah yang sama ;)
Terima kasih sudah ikut melestarikan sastra jawa..
ReplyDeleteTerima kasih kembali.
DeleteSy cicit tan khoen swie...buku ki padmosusastro banyak di terbitkan tan khoen swie...23 nov nanti semoga bisa bertwmu dg keturunan ki padmo....foto ki padmo n tks ada ....
ReplyDeleteSalam kenal. Saya cucu-wareng Ki Padmosusastro dari garis Mangoendipoera-Atmowirogo/Koedatilarso-Padmosoedarjo.
DeleteNamun, sangat disayangkan, sebagai cucu-wareng, saya kesulitan mengakses karya-karya eyang tersebut. Ada beberapa berhasil saya akses dan saya baca. Di Radyapustaka ada. Salah satu romannya (versi aksara latin) juga saya temui di perpustakaan Sanata Dharma.
Pada tanggal 23 November kemarin saya hadir juga pada acara opening Ndalem Padmosoesastro, tetapi saya hanya duduk di sudut, menikmati acara... dan hujan... dan sajian makanan... hahahaha.
Apakah museum Tan Khoen Swie yang di Kediri itu masih menyimpan karya-karya eyang? Jika ada waktu senggang, saya ingin plesir ke sana, sekadar "berjumpa" dengan (karya-karya) eyang. Alamat museum Tan Khoen Swie di mana ya?
Terima kasih.