ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA

  ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA *kepada Hugo   Lukisan Sri Yesus Kristus bersama dengan Sri Krishna setelah Tuhan mereka bunuh berkali-kali... yang terjadi adalah kemanusiaan yang mati... akhirnya menjelma jadi jiwa yang mengembara di padang belantara... ke selatan, ke utara... ke timur, ke barat... ke sana... entah ke mana... mencoba menemukan Tuhan yang telah tiada   walaupun demikian, itu lebih baik bagi mereka daripada mulut ngaku ikut Sang Lelaki Galilea tapi membela anak ular beludak sampai mati atau mewarnai semua dengan mejikuhibini Ah, Hug, Barat itu arah terbenamnya matahari bacalah Wahyu, semuanya sedang digenapi...   Malang, 07 Oktober 2024 Padmo Adi

KI PADMOSUSASTRO DAN KARYA-KARYANYA


Tulisan di bawah ini bukan merupakan buah tangan saya pribadi. Saya mengunduhnya dari sebuah situs dahulu kala. Saya lupa tidak mencatat siapa nama penulis ataupun situs itu. Akan tetapi, saya merasa memiliki tanggung jawab historis maupun genetis untuk memperkenalkan kembali seorang pujangga bebas dari Surakarta ini, Ki Padmasoesastra.
Padmo Adi

KI PADMOSUSASTRO DAN KARYA-KARYANYA

Ki Padmasoesastra
Ki Padmosusastro, nama yang tidak asing lagi dalam dunia sastra Jawa. Dia sering disebut sebagai tiyang mardika ingkang marsudi kasusastran Jawi ing Surakarta 'orang merdeka yang menekuni kesusasteraan Jawa di Surakarta'.1 Ki Padmosusastro bukan seorang pujangga karaton seperti Yasadipura I, Yasadipura II, Ranggawarsita, atau empu-empu lainnya. Ki Padmosusastro hanya berkedudukan sebagai abdidalem karaton Surakarta golongan rendah. Namun demikian, kegiatan-kegiatan dalam dunia sastra tidak kalah dibandingkan dengan pujangga-pujangga lain. Kegemaran menulis membuat dirinya terangkat menduduki jabatan-jabatan tertentu2  pada pemerintahan karaton Surakarta.

Suwardi adalah nama kecil Ki Padmosusastro. Beliau dilahirkan di Kampung Sraten, Surakarta tanggal 21 Mulud 1771 J. (atau tanggal 20 April 1843 Masehi) (Sri Haryatmo, 1998). Putra Ki Ngabehi Bangsayuda ini mulai belajar membaca dan menulis sejak berusia 6 tahun, dan kemudian sudah dapat membantu pekerjaan-pekerjaan orang tuanya sejak usia 9 tahun, oleh karena itu diberi nama Ngabehi Kartadirana. Tidak lama kemudian diangkat sebagai mantri gedhong kiwa ‘kepala urusan gedong kiri’3  dengan julukan Mas Gus Behi. Disebut demikian karena masih sangat muda menduduki jabatan itu. Sepuluh tahun kemudian diangkat menjadi jaksa anom ‘jaksa  muda’ dengan nama Mas Ngabehi Bangsayuda, tidak lama kemudian menjadi panewu jaksa ‘kepala tata usaha kejaksaan’ sehingga namanya pun berganti menjadi Ngabehi Kartipradata.4

Pada usia sekitar 43 tahun, Ki Padmosusastro memperdalam ilmu kesusastraannya, dengan menerbitkan kalawarti Djawi Kandha (+1886) di Sala. Mulai saat itulah banyak terlahir karya-karyanya. Pada saat itu namanya berganti menjadi Ki Padmosusastro. Sebagai pimpinan Radyapustaka kemudian namanya diubah menjadi Ngabehi Wirapustaka, mulai menerbitkan kalawarti Sasadara, Tjandrakanta, dan Waradarma. Sekitar tahun 1910 beliau dijuluki sebagai Ki Prajapustaka (S. Padmosoekotjo, 1956). Pada hari Senin Wage tanggal 17 Rajab 1856 J. (atau tanggal 1 Pebruari 1926 M.), Ngabehi Prajapustaka meninggal dunia (Sri Haryatmo, 1998:20; Mellema, 1933:65), dengan meninggalkan puluhan karya berkualitas.5

Ki Padmosusastro termasuk orang yang tekun. Pergaulannya dengan orang-orang istana, sesama teman belajar, termasuk C.F. Winter, Roorda, dan Ranggawarsita sendiri sebagai gurunya membuat pandangan hidupnya menjadi sangat luas. Bahkan, seorang pejabat pemerintah Belanda yang mengurusi pendidikan pribumi, H. A. De Nooy menjadi kagum atas kepandaiannya, sehingga membawanya ke negeri Belanda (Jayanggeni, 1935). Selama di negeri Belanda Ki Padmosusastro berhasil menulis Serat Woordenlijst dan Urapsari (Supardi dalam Sri Haryatmo, 1998:112).

Tulisan-tulisannya banyak diabadikan sekitar tahun 1890 - 1925 dalam bentuk cetakan oleh beberapa penerbit, bahkan sampai banyak dicetak ulang sampai sekitar tahun 1950-an. Terbitan-terbitan itu masih dapat dijumpai di perpustakaan-perpustakaan dan museum yang mengoleksi naskah lama. Penggunaan aksara Jawa dalam terbitan-terbitan itu merupakan kendala besar bagi generasi muda untuk memahami kandungan konsep-konsep dan pemikiran Ki Padmosusastro. Cukup menggembirakan bahwa sampai saat ini ada beberapa orang yang masih menghargai dan mau menerbitkan, serta mengungkap kembali pemikiran-pemikirannya dalam aksara Latin yang lebih mudah dibaca dan dipahami.

Makam Ki Padmasoesastra, Surakarta
Ki Padmosusastro tidak hanya seorang penulis sastra fiksi dan sastra wulang, beliau juga banyak memperhatikan dunia bahasa, hingga beliau sebenarnya seorang ahli  bahasa di masanya. Di antara tulisan-tulisan tentang bahasa berupa karya tata bahasa (grammar), kamus, kumpulan leksikon, dan hukum-hukum kebahasaan lainnya. Tulisan-tulisan tentang hukum ketatabahasaannya, seperti Piwulang Nulis, Carakan Basa, Tata Sastra, Layang Paramabasa (1897), Zemenspraken (1900), Serat Carakabasa (1904),  Layang Carakan (1911), Serat Pathibasa (1912),  Warna Sastra (1920), dan lain-lain. Kamus-kamusnya yang terkenal adalah Serat Dasanama Kawi, Serat Campurbawur (1893) (merupakan embrio dari Bauwarna (1898), Layang Bauwarna (1898), Layang Bausastra (1899), Serat Warnabasa (1899), Serat Bausastra Jawa-Kawi (1903). Tulisan-tulisan kebahasaan yang lain seperti, Kawruh Basa, Layang Basa Sala (1891), Serat Urapsari (1895), Layang Belletire (1898), Madubasa (1912) , Warnasari (1925) dan masih banyak artikel-artikel yang ditulis dalam kalawartinya. Tulisan-tulisan ketatabahasaannya cukup mewarnai terbitan ulang-terbitan ulang karya orang lain seperti Serat Pustakaraja Purwa, karya Ranggawarsita yang diterbitkan oleh N. V. Voork H. Buning (1910); Wira Iswara, Serat Wedhamadya keduanya dari penerbit sama, yaitu N. V. Voork H. Buning; Serat Wira Iswara, karya Pakubuwana IX yang diterbitkan Albert Rusche & Co. dan lain-lain.



Catatan:
1    Istilah “wong mardika kang marsudi kasusastran Jaw(i/a) (ing Surakarta)” adalah sebutan terkenal yang disandang Ki Padmosusastro. Ada beberapa ahli telah merumuskan terjemahan sebutan tersebut sebagai berikut. ‘Orang bebas yang mengurusi kesusastraan Jawa’ (Suripan Sadi Hutomo, 1975:8), ‘orang bebas yang menekuni kesusastraan Jawa di Surakarta (Sri Haryatmo,  1998:112), ‘orang merdeka yang mengurusi kesusastraan Jawa (Sri Haryatmo, 1996/97:4), dan ‘orang merdeka yang banyak menekuni  kesusastraan Jawa (Imam Soepardi, 1961:11, 2001:11).
Menurut Sri Haryatmo (1996/97:4), sejak Ki Padmosusastro diberhentikan dari jabatannya sebagai penewu jaksa gedhong kiwa (pada usia 42 tahun), Ki Padmosusastro berganti profesi sebagai pengarang. Ki Padmosusastro menamakan dirinya dengan sebutan wong mardika kang marsudi kasusastran Jawi ’orang merdeka yang menekuni kesusastraan Jawa’. Mulai saat ini Ki Padmosusastro lebih menekuni bidang karang-mengarang tentang bahasa dan sastra Jawa melanjutkan profesi gurunya Winter.
Dalam kegiatannya menulis Ki Padmosusastro tidak diikat oleh oleh peraturan atau atas perintah orang lain termasuk pemerintah waktu itu. Ki Padmosusastro terbebas dari tugas-tugasnya, tulisan-tulisannya pun muncul atas inisiatif dan idenya sendiri. Ki Padmosusastro bukanlah seorang pujangga, bukan pula sastrawan, tulisannya sangat banyak dan pantas diakui sebagai penulis Jawa. Inilah bukti pengabdian Ki Padmosusastro terhadap bahasa dan sastra Jawa.

2    Jabatan-jabatan yang pernah dipercayakan kepada Ki Padmasusastra, secara kronologis disebutkan sebagai berikut.
  1. Tahun 1852 (umur 8/9 tahun) diabdikan orang tuanya kepada Sunan Pakubuwana VIII di Surakarta. Beliau dipercaya sebagai mantri gedhong dengan gelar Ngabehi Kartadirana, atau disebut-sebut Gusbehi.
  2. Tahun 1882 (umur 18/19 tahun) dipercaya sebagai mantri sadasa panewu jaksa nem ‘pimpinan jaksa muda / panewu jaksa negara’ (Sri Haryatmo, 1996/97:20). Jabatan ini juga disebut sebagai mantri sadasa gedhong kiwa. Pada masa ini bergelar Ngabehi Bangsayuda III.
  3. Tidak lama setelah menjadi mantri sadasa gedhong kiwa, dinaikkan pangkatnya menjadi panewu (jaksa) gedhong kiwa ‘kepala urusan kriminal / pimpinan jaksa gedhong kiwa’ di Surakarta (Sri Haryatmo, 1996/97:18). namanya diganti menjadi Ngabehi Kartipradata.
  4. Tahun 1885 (umur 42 tahun) diberhentikan dari jabatannya karena suatu hal. beberapa pendapat mengatakan terlibat hutang dengan seorang China. Pada waktu ini namanya Ki Padmosusastro.
  5. Tahun 1899 (umur 56 tahun) Ki Padmasusastro diangkat lagi menjadi mantri ‘kepala urusan’ bertugas di kantor Radyapustaka Surakarta ((Sri Haryatmo, 1998:112).  Beliau bergelar Ngabehi Wirapustaka.
  6. Tahun 1919/20 (umur 76 tahun) diangkat menjadi panewu garap ‘kepala tata usaha’ bergelar Ngabehi Prajapustaka (Quinn, 1961:45).

3    lihat 2

4    Jabatan panewu atau mantri merupakan jabatan pada pemerintahan Kasunanan Surakarta. Berikut keterangan yang dikutip dari teks Serat Waduaji mengenai panewu dan mantri.
          Panewu, golongan, dening winenang anampeni parentah saking kaliwon kadhawahaken dhateng golonganipun utawi tegesipun malih panewon. Punika kabekta saking lenggahipun kala ing kina siti dhusun karya sewu.
            Mantri. linuwih, utawi sapocapan, dening kawenangaken imbalan wacana kalihan para ageng, sakalangkung waskitha kadadosaning lampah tigang perkawis ingkang rumiyin, nistha, inggih punika saged anyinggahi patraping lampah ingkang dhawah nistha. kaping kalih madya, inggih punika saged anetepi patraping lampah ingkang dhawah madya. Kaping tiga utama, inggih punika saged angantepi patraping lampah ingkang dhawah utami. Manawi ing Serat Raja Kapa-kapa wewijanganipun makaten: man, luwih, tri, tiga, inggih punika linuwih ing tigang prakawis. Ingkang rumiyin, satya, dening temen-temen ing pangawulanipun. Purun bela sakit pejah, rumeksa ing sungkawaning gusti. Kaping kalih sadu, dening saged anyarehaken adrenging manah gareteh ing wicara, ajrih angrumiyini karsa utawi amedhar kekeraning gusti. Kaping tiga tau, dening uninga ingkang dados cipta sasmitaning gusti, boten kasangsaya sadaya daya ing karsa. Lumuh manawi rumaos andarbeni pangawasa piyambak. Amung ngesthi angantepi kasagahan.

‘Panewu adalah jabatan yang berwenang menerima perintah kaliwon kepadanya, atau disebut juga panewon, yaitu karena pada masa lalu mempunyai kekuasaan atas tanah kampung seluas seribu karya (ukuran luas).
          Mantri ‘menonjol’ diberi kewenangan berbicara dengan para pembesar, mempunyai kelebihan mengetahui perilaku tiga perkara, yang pertama nistha, yaitu dapat menyingkiri  perilaku yang kurang baik. Kedua madya, yaitu mampu melaksanakan perilaku semestinya. Ketiga utama yaitu mampu berperilaku baik. dalam Serat Raja Kapa-kapa diterangkan bahwa man ‘lebih’, tri ‘tiga’, yaitu  memiliki tiga kelebihan. Pertama satya, yaitu bersungguh-sungguh pengabdiannya, ikut merasakan sakit atau mati atas kesusahan raja. Kedua sadu, yaitu mampu meredam pembicaraan, takut mendahului kehendak yang telah digariskan raja. Yang ketiga tau, yaitu mengetahui maksud dan kehendak raja, tidak tergesa-gesa kemauannya, tidak merasa sebagai penguasa tunggal, hanya saja berpegang pada tugasnya.’

Menurut Maryono Dwiraharjo, (2001:304) Panewu atau penewu merupakan pangkat abdidalem Keraton Surakarta Hadiningrat, yang konon dahulu pangkat ini memiliki anak buah berjumlah seribu.

5 Ada perbedaan pendapat mengenai waktu kelahiran maupun wafatnya Ki Padmosusastro. Menurut Sri Haryatmo (1998), Ki Padmosusastro lahir pada hari Jumat Pon, 21 Mulud tahun Alip 1771 Jw. (Konversi pawukon Yayasan Sastra Surakarta: Jumat, 21 April 1843), Padmosusastro wafat hari Senin Wage, 17 Rajab tahun Be 1856, atau 1 Pebruari 1926) (Sri Haryatmo, 1998). Sedangkan menurut Muh. Nusyahid (2001) yang mengacu pada batu nisan, Ki Padmosusastro lahir 1764 Jw/1852 M. (konversi pawukon Yayasan Sastra Surakarta: 1764 Jw= 1836 M, 1852 M= 1780  Jw.). Wafat tahun 1841 Jw/1929 M (konversi pawukon Yayasan Sastra Surakarta: 1841 Jw= 1911 M, 1929 M= 1859 Jw). Hal ini mengakibatkan kaburnya kepastian sejarah lahir dan wafatnya Ki Padmosusastro. Penulis cenderung membenarkan pendapat Sri Haryatmo, karena dirujuk dari beberapa sumber seperti Pusaka Jawi tahun 1926, dan tulisan-tulisan Imam Soepardi (1961, 2001), pendapat ini juga didukung oleh tulisan R.L. Mellema (1933) dalam kumpulan karangan Serat Gancaran Warni-warni. Selain itu, konversi angka tahun yang dilakukan Much. Nursyahid dari tahun Jawa ke tahun Masehi, masih perlu dicek ulang kebenarannya.

6    Jajar, bekel, kaliwon, bupati adalah pangkat atau jabatan pada pemerintahan Karaton Surakarta. Jajar membawahi bekel, sedangkan kaliwon di bawah bupati.

Comments

  1. Ke mana sekarang para keturunannya berada? masih adakah yg di Solo..Trims infonya.

    ReplyDelete
  2. Saya keturunannya ada di bintaro

    ReplyDelete
  3. Terima kasih sudah ikut melestarikan sastra jawa..

    ReplyDelete
  4. Sy cicit tan khoen swie...buku ki padmosusastro banyak di terbitkan tan khoen swie...23 nov nanti semoga bisa bertwmu dg keturunan ki padmo....foto ki padmo n tks ada ....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal. Saya cucu-wareng Ki Padmosusastro dari garis Mangoendipoera-Atmowirogo/Koedatilarso-Padmosoedarjo.

      Namun, sangat disayangkan, sebagai cucu-wareng, saya kesulitan mengakses karya-karya eyang tersebut. Ada beberapa berhasil saya akses dan saya baca. Di Radyapustaka ada. Salah satu romannya (versi aksara latin) juga saya temui di perpustakaan Sanata Dharma.

      Pada tanggal 23 November kemarin saya hadir juga pada acara opening Ndalem Padmosoesastro, tetapi saya hanya duduk di sudut, menikmati acara... dan hujan... dan sajian makanan... hahahaha.

      Apakah museum Tan Khoen Swie yang di Kediri itu masih menyimpan karya-karya eyang? Jika ada waktu senggang, saya ingin plesir ke sana, sekadar "berjumpa" dengan (karya-karya) eyang. Alamat museum Tan Khoen Swie di mana ya?

      Terima kasih.

      Delete

Post a Comment