Sastra
dan Pemuda
Sayang
sekali saya tidak dapat menghadiri Malam Ngopi Nyastro XVI ini. Akan tetapi,
sebagai wakil dari kehadiran saya, saya titipkan tulisan singkat mengenai
pemuda dan sastra ini. Sebelumnya, salam saya kepada Bung Rabu Pagi, Bung Matahun
Wirabhumi, Bung Langgeng sugiARTo, dan Bung Stevano Yusuf, serta kepada segenap
penyair yang hadir ngopi di kafe Bjong ini.
Dahulu
sekali Rendra pernah menggugat pemerintah, “Bagaimana mungkin kebudayaan dapat
dibangun di atas revolusi?” Dulu sekali ketika saya masih ingusan dan masih
menjadi fans berat marxisme, saya menentang pendapat ini. Akan tetapi, seiring
dengan tumbuh dewasanya pemikiran dan pemahaman ini, saya akhirnya sependapat
dengan Rendra. Pada abad X kebudayaan kita telah maju. Nenek moyang kita telah
mampu membangun monumen-monumen yang agung, menulis kitab-kitab yang masyur,
dan membangun peradaban yang dahsyat. Bahkan, nenek moyang kita mampu membangun
kapal yang tak mampu ditembus meriam Portugis pada era penjelajahan samudera.
Namun, sejak abad XV tanah ini tidak pernah berhenti dari gejolak dan perebutan
kekuasaan. Darah senantiasa membasahi tanah subur ini. Selama 500 tahun itu ada
berapa dinasti yang silih berganti? Majapahit pindah ke Demak, Demak ke Pajang,
Pajang ke Mataram Baru, Mataram memindahkan kekuasaan ke Kartasura, Mataram
Kartasura mendapat perlawanan dari Sunan Kuning, akhirnya Mataram Kartasura
memindahkan kekuasaan ke Surakarta, Mataram akhirnya pecah menjadi Surakarta
dan Yogyakarta, Surakarta dan Yogyakarta mendapat perlawanan Sang Sambernyawa,
Surakarta akhirnya pecah menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran, sedangkan
Yogyakarta pecah menjadi Kasultanan dan Pakualaman. Itu belum disebutkan
intervensi Portugis, Spanyol, VOC, Inggris, Belanda, dan Jepang. Juga belum
disebutkan peristiwa 17 Agustus 1945 dan peristiwa kudeta Soeharto.
Akan
tetapi, bangsa ini mampu bertahan. Bangsa ini bertahan karena masih menyisakan
ruang bagi sastra. Walaupun banyak dokumen, kakawin, dan lontar yang diboyong
ke Eropa dan kini mustahil kita miliki kembali, bangsa ini masih bersastra
walau hanya lewat lisan. Sastra senantiasa mengawal perjalanan bangsa ini.
Mulai dari yang mainstream hingga
yang kiri seperti Darmogandhul dan
Gatholoco. Kadipaten Mangkunegara yang masyur dengan tradisi angkatan bersenjatanya
yang dahsyat itu pun turut bersastra. Chairil Anwar mengiringi perjuangan
kemerdekaan juga dengan sastra. Bayangkan, Chairil Anwar sempat membaca
Nietzsche di tengah-tengah pergolakan bangsa!!! Rendra pun turut mengiringi
perjuangan para mahasiswa dengan puisi-puisi pamfletnya. Sastra menjadi
penyelamat kebudayaan di tengah-tengah pergolakan. Kalau ingin menghancurkan
sebuah bangsa, laranglah pemuda-pemudanya untuk membaca dan bersastra.
Tanah
ini masih belum berhenti dari pergolakan panjang 500 tahun itu. Akan tetapi,
kebudayaan bangsa ini harus tetap dilestarikan. Sastrawan-sastrawan tua akan
cukup usia dan mati. Maka, kita para pemuda inilah yang harus meneruskan
menyelamatkan kebudayaan bangsa ini melalui sastra. Pakem dan aturan-aturan, biarlah
itu semua menjadi kekayaan sastra klasik. Kita, para pemuda ini, hendaknya
mentransvalusai (menilai kembali) sastra dan mengaktualkan di sini dan kini.
Angkat
tangan kirimu tinggi-tinggi ke atas dan mari bersajak malam ini di sini.
Surakarta,
31 Oktober 2012
Padmo
Adi
mas padmo...saya suka tulisan ini. ijin share ya :)
ReplyDeleteAh, silakan :) Feel-free.
DeleteSebuah kehormatan bagi saya.
Keren om... untuk yang drama ditunggu episode lanjutanya yak
ReplyDeleteterima kasih :)
Delete