Kedudukan teori mimpi
Freud dalam psikoanalisa sebagai ilmu tentang ketidaksadaran adalah sebagai
berikut...*
Ketidaksadaran itu
terkait dengan motif-motif seksual. Freud meneliti perkembangan psikoseksual
anak. Fase-fase tersebut antara lain adalah fase pragenital, fase oral,
fase anal, dan fase genital/falik. Pada fase genital ini muncullah
apa yang disebut sebagai Oedipus Complex.
Oedipus Complex adalah keadaan ketika anak lelaki mengingini ibunya sendiri
sebagai hasrat seksual, atau ketika anak perempuan mengingini ayahnya sebagai
hasrat seksual. Akan tetapi, tiba-tiba hasrat ini dikastrasi/ditetak/dilarang.
Hasrat ini pun direpresi.
Hasrat-hasrat seksual tersebut dimarjinalkan dari kesadaran, diseret keluar
dari kesadaran, direpresi sedemikian rupa, sehingga menghasilkan ketidaksadaran.
Ketidaksadaran ini
tidak tinggal diam saja di sana melainkan selalu mencari celah untuk keluar. Ketidaksadaran
bahkan mampu menggerakkan! Ketidaksadaran memanifestasikan dirinya di dalam
wujud simptom, guyonan (joke), lapsus (slip of tongue), mimpi,
serta neurosis.
Kesadaran tidak lain
adalah bahasa, ketika seseorang berbahasa. Maka, ketidaksadaran adalah ketika
hal itu tidak mampu dibahasakan. Itulah sebabnya Freud selalu meminta pasiennya
untuk bercerita apa saja. Ketika berbicara inilah ketidaksadaran akan
menyelinap lewat simptom. Biasanya hal itu berupa sesuatu (kata/hal/peristiwa)
yang terus menerus diulang-ulang. Hanya berputar-putar di sana. Seorang
psikoanalis akan menganalisa simptom-simptom semacam ini untuk membantu pasien
menelusuri ketidaksadarannya.
Freud memandang
(tafsir) mimpi penting karena ketika para pasiennya diminta berbicara, mereka
malah membicarakan mimpi-mimpi mereka. Ketidaksadaran adalah sesuatu yang
sulit/tidak mampu dibahasakan, berada di luar konsep bahasa kita. Maka, ketika
ketidaksadaran menjelma menjadi mimpi, ketidaksadaran mengambil
bahasa-bahasa/konsep-konsep yang mampu kita pahami. Mimpi itu tidak lain adalah
ketidaksadaran yang telah mengalami distorsi (Entstellung). Ketidaksadaran mengambil metafora dan metonimia agar
dapat memanifestasikan diri menjadi mimpi.
Mimpi memang sebuah wish-fulfillment. Akan tetapi,
mimpi bukan sekadar wish-fulfillment.
Yang penting adalah bagaimana mimpi itu bekerja dan bagaimana seseorang
membahasakan mimpinya tersebut. Di dalam mimpi terdapat dua kegiatan mental,
yaitu dream-thoughts dan dream-content. Dream-thoughts bersifat masif. Dream-thoughts
tidak lahir ex-nihilo, tetapi diolah
dari bahan-bahan yang ada pada prasadar. Dream-thoughts
ini menghasilkan dream-content. Dream-content (isi mimpi) terdiri dari
dua, yaitu isi mimpi manifest dan isi mimpi laten. Isi mimpi manifest
adalah mimpi yang masih bisa diingat dan diceritakan. Sedangkan isi mimpi laten
adalah mimpi yang tidak lagi bisa diingat dan diceritakan, tetapi terkait erat
dengan ketidaksadaran.
Mimpi itu ibarat suatu
susunan huruf hieroglif, suatu susunan gambar yang masih harus ditafsirkan.
Mimpi adalah semacam transkrip ketidaksadaran. “Dunia” mimpi itu surealis. Kita
tidak bisa menyalahkan suatu susunan gambaran mimpi yang tidak sesuai dengan
apa yang ada di dalam alam real. Misalnya saja seseorang bermimpi bahwa dia
hidup/tinggal di attic (loteng) orang
lain tanpa orang lain itu menyadari, dan ketika orang lain itu naik ke loteng
tersebut orang itu jadi ketakutan dan bisa menghilang di balik kegelapan.
Secara real tinggal di attic rumah
orang tanpa pemilik rumah itu mengetahuinya adalah ilegal. Akan tetapi, kita
tidak bisa menolak keanehan itu begitu saja, misalnya dengan menanyakan
pertanyaan naif, “Lalu bagaimana orang itu mendapatkan makanan kalau tidak
turun dari loteng? Bagaimana mungkin pemilik rumah tersebut tidak pernah
bertemu dengan seseorang yang tinggal di attic-nya
tanpa pernah mencuriga ada suara di sana?” Atau, bahkan mempertanyakan bahwa
ternyata orang yang tinggal di attic
rumah orang lain itu seukuran liliput. Kita tidak bisa menempatkan
konsep-konsep realis begitu saja ke dalam “dunia” mimpi sebab mimpi adalah
“dunia” surealis dan merupakan semacam picture-puzzle.
Kita tidak bisa menilai
gambaran-gambaran yang ada dalam mimpi (sebagai salah atau benar, layak atau
tak layak, good atau evil). Yang bisa kita lakukan adalah mencari
hubungan simboliknya agar bisa sampai kepada ketidaksadaran. Mimpi adalah
ketidaksadaran yang mengalami kondensasi/pemadatan/verdichtung (metonimia)
dan displacement/penggeseran/verschietung (metafora). Yang ada di dalam isi mimpi laten dipadatkan, diringkas
di dalam isi mimpi manifest. Atau, yang dimimpikan itu diganti dengan sesuatu
(gambaran) yang tidak penting/ringan/bisa dibayangkan/bisa ditanggung/ada dalam
konsep bahasa.
Dan, akhirnya,
bagaimana seseorang menceritakan mimpinya. Misalnya seorang lelaki bermimpi
bertemu dengan seorang perempuan. Kemudian tiba-tiba saja dia berkata,
“Tidak... perempuan itu bukan mantan kekasihku.” Seorang psikoanalis dapat
menelusurinya dari sini. Mengapa lelaki itu tiba-tiba menegasi mimpinya
sendiri, padahal sang analis tidak bertanya apakah perempuan di dalam mimpinya
itu adalah mantan kekasihnya? Mungkinkah ada masalah yang belum selesai antara
lelaki itu dengan mantan kekasihnya yang kemudian direpresi menjadi ketidaksadaran?
Maka, mimpi adalah
pintu gerbang menuju kepada ketidaksadaran!
*Tulisan ini pada mulanya adalah jawaban ujian akhir Mata Kuliah Kajian Budaya yang diolah dari buku catatan kuliah dan reader (St. Sunardi dan A. Supratiknya) oleh Padmo Adi.
Comments
Post a Comment