Peran gagasan ISA untuk
menjelaskan gagasan pembentukan subyek sebagai interpelasi adalah sebagai
berikut...*
Althusser membaca
psikoanalisa Lacan. Lacan menjelaskan bahwa pembentukan Subyek itu terjadi
ketika seorang individu harus berbahasa. Subyek dipaksa Liyan untuk memakai
tanda-tanda bahasa yang tersedia untuk mengungkapkan dirinya. S bertemu dengan
O (Liyan) sehingga menghasilkan e
(ego), dan ego inilah yang dibawa S untuk masuk di tatanan simbolik
(berbicara). Akan tetapi, bahasa (tatanan simbolik), yang dipakai S untuk
mengungkapkan dirinya, selalu tidak bisa secara paripurna
menampung/membahasakan need, sehingga
S selalu merasa lack. Ketika S merasa
lack, dia akan split/spaltung, dan
menjadi $. Sederhananya: S dipaksa O untuk berbahasa; ketika S berbahasa, dia
menjadi subyek; tetapi bahasa selalu tidak mampu paripurna menampungnya
sehingga dia split alias menjadi
Subyek Lack ($). Dengan berbahasa
seorang individu menjadi Subyek, tetapi sekaligus subyek yang terbelah ($).
Berdasarkan landasan
itulah teori pembentukan subyek sebagai hasil
interpelasi dibangun. O (Liyan) menginterpelasi/menyapa/menuntut/memanggil S
untuk berbicara sehingga menjadi Subyek Lack
($). Dan O (Liyan dengan “L” besar) ini
tidak lain adalah Ideological State
Apparatuses.
Apa itu ISA? ISA adalah
institusi-institusi di mana terdapat reproduksi nilai dan ideologi sehingga
kekuasaan dapat berjalan langgeng. Ada banyak ISA, yaitu antara lain: ISA agama
(Gereja, MUI, dll.), ISA pendidikan (sekolah, lembaga kursus, dll.), ISA
keluarga, ISA politik (partai-partai, kaderisasi, ormas yang berafiliasi ke
partai tertentu), ISA ekonomi (bank, koperasi, dll.), ISA komunikasi (media
pers, radio, televisi, internet, dll.), ISA budaya (lembaga kesenian-kebudayaan,
Taman Budaya, sastra-sastra kanon, dll.). ISA tidak tunggal, tetapi plural. ISA
berfungsi terutama dengan ideologi,
tetapi kalau perlu juga memakai represi (walaupun simbolik, misalnya hukuman
penitensi setelah pengakuan dosa). Dengan menghegemoni ISA-ISA yang ada, suatu
kelas dapat melanggengkan kekuasannya. Suatu kelas yang berkuasa
mempropagandakan ideologinya melalui ISA-ISA yang telah dihegemoni tersebut,
sehingga nilai dan ideologi dapat direproduksi. Contoh: Rezim Orde Baru setelah
meraih kekuasaan negara segera menghegemoni ISA-ISA yang ada. TVRI (sensor
berita), Dharma Wanita, Kurikulum Pelajaran (Sejarah, Pancasila - P4), partai
(sistem tiga partai: Golkar, PPP, PDI), dan lain sebagainya sehingga
kekuasaannya dapat langgeng hingga 32 tahun.
ISA itu bekerja justru
dengan cara yang sangat sederhana, sangat “sehari-hari”. Cara kita berdoa, cara
kita berpakaian, cara kita bersalaman (jabat tangan dan menyapa dengan “mas”,
“bro”, “bung”, atau “kamerad”), dan lain sebagainya. Segala sesuatu, yang
seakan-akan dilakukan di luar ideologi, sebenarnya dilakukan di dalam ideologi.
Lewat ISA itulah Liyan (“L” kapital) menyapa
kita sehingga kita harus menjawab (dengan bahasa yang juga sudah disediakan
oleh Liyan lewat ISA tersebut).
Ideologi selalu sudah
(dan akan terus) menginterpelasi individu sebagai subyek. Itulah mengapa
seorang individu selalu sudah menjadi subyek. Ideologi tersebut bekerja lewat
dan di dalam ISA (keluarga, lembaga pendidikan, dsb.). Maka, begitu seorang
bayi lahir, dia sudah disapa oleh ISA keluarga dengan diberi nama diri.
Walaupun belum bisa menjawab/berbicara/berbahasa, bayi tersebut sudah menjadi
subyek sejauh memiliki identitas nama diri. Kemudian, dia akan belajar
berbicara, dia akan belajar berkata “aku” di dalam ISA keluarga tersebut.
Ketika cukup usia dia akan sekolah (ISA pendidikan) hingga dewasa (TK, SD, SMP,
SMA/K, Perguruan Tinggi). Di sana dia diinterpelasi oleh liyan yang lebih luas
dari pada lingkaran keluarganya. Dia menjadi subyek dengan berusaha mengikuti
aturan-aturan yang ada di sekolah dan meraih nilai yang baik. Dia pun juga
berusaha memahami ilmu pengetahuan (ideologi juga bekerja di dalam ilmu
pengetahuan) untuk memperluas cakrawalanya. Dan seterusnya.
Akan tetapi, hal
tersebut masih meninggalkan persoalan. Individu yang diinterpelasi melalui dan
dalam ISA tersebut mendapati bahwa terdapat misrecognition.
*Tulisan ini pada mulanya adalah jawaban ujian akhir Mata Kuliah Kajian Budaya yang diolah dari buku catatan kuliah dan reader (St. Sunardi dan A. Supratiknya) oleh Padmo Adi.
Comments
Post a Comment