Wacana Tuan Merupakan
Wacana Dasar yang Dipakai oleh Seorang Anak untuk Memasuki Tatanan Simbolik*
Untuk menjelaskan hal
tersebut di atas, kita harus kembali kepada perkembangan psikoseksual pada
anak. Pada fase genital seorang anak menemukan ketertarikan seksual kepada
orangtuanya. Seorang anak menemukan diri (ego) lewat cermin (liyan, “l” kecil,
ibu). Anak itu juga mengalami suatu pengalaman ditatap (gaze). Di sini seorang anak mengalami suatu persatuan primordial
dengan sang ibu. Lacan menamai persatuan primordial ini sebagai jouissance primordial. Sedangkan
Zizek menamainya sebagai subject
before subjectification. Sang anak berusaha untuk tidak pernah lepas
dari “pelukan” ibu ini, dia akan melakukan apapun untuk tidak ditinggalkan sang
ibu. Sedangkan sang ibu pun menikmati persatuan primordial ini sebab sebenarnya
dia tengah menjadi seseorang yang lack
akan falus sehingga seakan-akan dia mendapatkan kembali falus yang hilang itu
dengan bersatu bersama anaknya.
Dari peristiwa itu
muncullah Oedipus Complex, yaitu ketika seorang anak mengalami ketertarikan
seksual kepada orangtuanya. Akan tetapi, hal tersebut dilarang! Terdapat
larangan oleh “ayah” (ayah konkret, ayah simbolik, bahkan ibu itu sendiri).
Jika tidak dilarang, akan terjadi inses. Maka, si anak akan merepresinya
hingga melahirkan ketidaksadaran. Si ibu ketika mengalami persatuan primordial
dengan anaknya itu sebenarnya juga mengalami paradoks. Si ibu ingin sekali
bersatu dengan anaknya karena dia mengalami lack
of phallus, tetapi di saat yang sama dia juga melarang persatuan tersebut Dalam Nama Bapa (The Name of The Father)!
Si anak kemudian
merepresi hasrat bersatu dengan ibu (Oedipus Complex) itu semua menjadi
ketidaksadaran, lalu membawa Nama Bapa
tersebut. Dia mencari pengganti/displacement
dari hasrat bersatu dengan ibunya itu pada sesuatu (atau bahkan banyak) hal
yang lain. Dia akan mengalihkan object of
desire-nya itu pada sesuatu, dia akan mencari sesuatu itu sedemikian rupa,
tetapi sebenarnya yang dibayangkan adalah persatuan primordial dengan ibunya
itu.
Selain itu, karena dia
dilarang untuk bersatu dengan ibunya Dalam Nama Bapa, dia pun akan membahasakan
pencariannya pada sesuatu yang lain itu juga Dalam Nama Bapa. Dia akan
membahasakan pengalihan object of desire-nya
itu dengan bahasa yang dapat diterima oleh sosial. Inilah metafora. Nama Bapa itu adalah metafora, dan itu adalah suatu
kompromi antara hasrat ingin bersatu dengan ibunya (mengulang persatuan
primordial) itu dengan hukum-hukum sosial.
Nama Bapa ini adalah Kata-kata Bapa, Wacana Bapa, yang tak
lain adalah Wacana Tuan. Rumusan
Wacana Tuan (Nama Bapa):
|
Wacana Tuan |
|
Graf I Lacan |
Bandingkan dengan graf
pertama ini...
S1 sejajar dengan S
S2 sejajar dengan S’
$ sejajar dengan $
a sejajar dengan Δ
Δ bergerak, kemudian ditabrak garis bahasa S à S’, sehingga menghasilkan $. Hasrat bergerak, kemudian harus dibahasakan,
sehingga menghasilkan subyek lack.
Di dalam Wacana Tuan (Nama Bapa), Subyek harus berbicara
dengan S1 (Nama Bapa) untuk dapat mengorganisasi
S2 (langue/bahasa yang disediakan
oleh masyarakat), sehingga dapat mencapai “a” (jejak-jejak jouissance
primordial, rem(a)inder). Akan
tetapi, sebenarnya yang berbicara bukan S1, melainkan $ (subyek lack).
Nama Bapa adalah penanda yang dipakai sebagai dasar untuk
dapat berbicara dan hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai lelaki atau
perempuan dengan segala konsekuensinya. Nama Bapa adalah prinsip utama/dasar
seseorang dapat berbicara/hadir di dalam masyarakat. Orang yang berhasil
memakai Nama Bapa adalah orang yang “normal”, sedangkan yang gagal adalah orang
yang psikosis. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa Wacana Tuan adalah
wacana yang paling dasar! Wacana Tuan adalah wacana pertama dan utama yang HARUS dipakai oleh seorang individu
untuk dapat masuk ke dalam tatanan simbolik/masyarakat.
Walaupun, setelah berputar-putar dengan menggunakan Wacana
Tuan (Nama Bapa), orang tersebut tetap tidak menemukan “a”, sehingga terbelah
($). Orang tersebut tidak puas dengan S2 yang disediakan oleh masyarakat sebab
sama sekali tidak menuntunnya bertemu kembali dengan “a”. Orang itu kemudian
“berteriak” bahwa “Bukan itu sebenarnya yang aku mau!!!” Ketika orang
muak/mandek/mentok dengan Wacana Tuan, orang itu merasa bahwa masyarakat tak
lagi punya/menyediakan kata-kata yang bisa membantunya menemukan “a”, dia akan
kembali kepada tubuh. Dia akan mulai memasuki Wacana Histeris.
|
Wacana Histeris |
$ akan naik, mengambil alih kedudukan S1. $ menggugat S2
(bahasa yang disediakan oleh masyarakat/tatanan masyarakat)! Walaupun,
sebenarnya yang berbicara adalah “a”. Ketika $ mengambil alih, dia tengah
menciptakan S1 (Wacana Tuan) baru.
Dan seterusnya... . Akan tetapi, pada dasarnya, sebelum
bisa sampai sejauh itu, seseorang terlebih dahulu mau tidak mau harus memakai
Wacana Tuan (Nama Bapa) untuk masuk ke tatanan simbolik (masyarakat), atau dia
hanya akan menjadi seorang yang psikosis.
*Tulisan ini pada mulanya adalah jawaban ujian akhir Mata Kuliah Kajian Budaya yang diolah dari buku catatan kuliah dan reader (St. Sunardi dan A. Supratiknya) oleh Padmo Adi.
Comments
Post a Comment