Mendekonstruksi Sajak
Fadli Zon, Airmata Buaya
Airmata Buaya
Kau bicara kejujuran sambil
berdusta
Kau bicara kesederhanaan sambil shopping di Singapura
Kau bicara nasionalisme sambil jual aset negara
Kau bicara kedamaian sambil memupuk dendam
Kau bicara antikorupsi sambil menjarah setiap celah
Kau bicara persatuan sambil memecah belah
Kau bicara demokrasi ternyata untuk kepentingan pribadi
Kau bicara kemiskinan di tengah harta bergelimpangan
Kau bicara nasib rakyat sambil pura-pura menderita
Kau bicara pengkhianatan sambil berbuat yang sama
Kau bicara seolah dari hati sambil menitikkan air mata
Air mata buaya
Fadli Zon, 26 Maret 2014
1.
Judul puisi “Airmata Buaya”
2.
Ditulis pada tanggal 26 Maret 2014, ketika Indonesia tengah berada di dalam
suasana pemilu.
3.
Fadli Zon adalah seorang politisi Partai Gerindra, Partai yang “pecah kongsi”
dengan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan.
4.
Fadli Zon menulis banyak puisi lain yang menyindir seseorang, bernada satir.
5.
Puisi di atas banyak dilihat orang sebagai sebuah kritik kepada PDI-P (Megawati
S.P. dan Joko Widodo). Puisi itu baik dibaca di dalam konteks politik pemilihan
umum 2014.
6.
Oposisi Biner di dalam Puisi:
Oposisi biner di dalam sajak Fadli
Zon di atas dapat kita lihat seperti berikut di bawah ini:
jujur-dusta
sederhana-glamour
(shopping hingga ke Singapura)
nasionalisme-menjual
aset negara
damai-dendam
antikorupsi-menjarah
persatuan-memecah
belah
demokrasi
(kepentingan rakyat)-kepentingan pribadi
miskin-kaya
nasib
(penderitaan real) rakyat - pura-pura menderita
antipengkhianatan-pengkhianat
air mata tulus
dari hati-air mata buaya
Digambarkan
bahwa nilai-nilai di sebelah kiri lebih baik dari pada nilai-nilai di sebelah
kanan. Fadli Zon mengajak kita untuk melihat si tokoh “kau” dalam puisi di atas
sebagai seseorang yang melakukan segala sesuatu berdasarkan nilai-nilai di
sebelah kiri, tetapi sebenarnya yang dilakukannya adalah nilai-nilai di sebelah
kanan.
Fadli Zon, sebagai si penulis, menempatkan dirinya
sebagai seorang yang benar, atau minimal menempatkan diri sebagai seseorang
yang memahami betul letak kesalahan tokoh “kau” di atas. Tokoh “kau” sengaja
ditelanjangi, bahwa semua yang dilakukannya adalah suatu kemunafikan karena
tokoh “kau” tidak konsekuen. Apa yang dibicarakan oleh tokoh “kau” tidak sama
dengan apa yang dilakukan. “Kau bicara kejujuran sambil berdusta/ Kau bicara
kesederhanaan sambil shopping di
Singapura... .”
Posisi biner sudah sangat jelas. Si penulis menempatkan
diri sebagai seorang yang benar/hakim/mengetahui letak kesalahan tokoh “kau”.
Tokoh “kau” sendiri ditempatkan sebagai seorang yang salah/seorang
munafik/tidak konsekuen.
7.
Menentukan yang Undécidable
Dari oposisi-oposisi biner di atas, kita akan
mencari apa yang undécidable
(kata/konsep, sejauh ada di dalam teks, yang tidak bisa sepenuhnya masuk ke
salah satu kutub biner). Kutub-kutub biner puisi Airmata Buaya tersebut adalah
si penulis (Fadli Zon, politikus Gerindra) dengan tokoh “kau” (Megawati S.P.,
Joko Widodo, dan PDI-P). Terdapat perang wacana di puisi ini. Tokoh “kau”
digambarkan sebagai tokoh yang seakan-akan membela kepentingan “nasib rakyat” (sebagaimana diksi yang
dipakai oleh si penulis), tetapi sebenarnya munafik belaka. Sedangkan si
penulis digambarkan sebagai seseorang yang menggugat si tokoh “kau” tersebut,
maka dengan demikian si penulis (seakan-akan) memihak dan membela kepentingan
“nasib rakyat”. Akan tetapi, benarkah demikian? Benarkah “nasib rakyat” itu
merupakan sesuatu hal yang menjadi pusat perhatian si penulis? Siapakah yang
disebut “rakyat” di sini? Benarkah tokoh “kau” tidak sungguh-sungguh membela
kepentingan “nasib rakyat”? Benarkah si penulis benar-benar menggugat tokoh
“kau” oleh karena dia sungguh-sungguh membela kepentingan “nasib rakyat”? Frasa
“nasib rakyat” adalah undécidable.
8.
Membongkar Oposisi Biner
“Kau bicara nasionalisme
sambil jual aset negara[.]” Apakah yang disebut “nasionalisme” itu semata
adalah tidak menjual “aset negara”? Bagaimana dengan Soekarno, tokoh nasionalis
itu, yang pada tahun 1960-an mengadakan kontrak-kontrak ekonomi-politik dengan
JFK (USA)? Apa sajakah yang disebut “aset negara” itu? Bagaimana jika “aset
negara” itu justru merugi dan menjadi beban negara? Bagaimana jika dengan
menjual “aset negara” itu pemerintah memiliki cukup uang untuk menggerakkan
kembali roda perekonomian negara dan membiayai pertahanan negara, atau dengan
kata lain bahwa penjualan “aset negara” itu dilandasi oleh “nasionalisme”? Jika
benar puisi itu ditujukan kepada Megawati, Megawati pernah berkicau lewat twitter
perihal alasan pemerintahannya dulu menjual beberapa BUMN. Saat itu negara
benar-benar palit oleh karena krisis ekonomi. Di sisi lain, kapal perang
Amerika Serikat dengan seenaknya memasuki Laut Jawa sehingga menginjak-injak
kedaulatan Indonesia. Dengan menjual beberapa BUMN yang “tidak penting” itu,
pemerintahan Megawati punya cukup modal untuk menjalankan perekonomian,
menghindarkan Indonesia dari menjadi Yugoslavia kedua, dan untuk membeli
alutista dari Rusia (negara pesaing Amerika Serikat).
“Kau bicara kedamaian
sambil memupuk dendam[.]” Apakah yang disebut “perdamaian” itu adalah “pelupaan
sejarah dan luka”? Gus Dur menyerukan rekonsiliasi kepada para korban 1965
(mereka yang dituduh PKI dan dieksekusi tanpa peradilan yang sah). Sedangkan
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang menjadi salah satu korban 1965, berkata
bahwa rekonsiliasi itu omong kosong. Apakah dengan demikian Pram dapat kita
lihat sebagai seorang figur yang pendendam? Ternyata Pram menghendaki peradilan
yang sah ditegakkan oleh negara, bukan sekadar basa-basi rekonsiliasi. Pram
mengajak kita untuk menatap luka dan menyembuhkannya secara benar, bukan
seakan-akan tidak pernah terjadi luka. Peradilan yang sah akan menghasilkan
perdamaian. Mengulang-ulang berbicara tentang luka, yang oleh banyak orang bisa
dikatakan “memupuk dendam”, sebenarnya tidak lain adalah menuntut keadilan. Keadilan
itulah yang akan membawa perdamaian, bukan melupakan luka begitu saja.
“Kau bicara kemiskinan di
tengah harta bergelimpangan[.]” “Kau bicara nasib rakyat sambil pura-pura
menderita[.]” Dapatkah seorang subaltern berbicara? Subaltern
mungkin dapat berbicara sejauh dia memiliki media. Akan tetapi, siapa yang
memiliki media yang memungkinkan seseorang untuk berbicara? Orang yang miskin
mungkin memiliki media untuk berbicara, tetapi apakah media itu bisa
didengarkan? Bagaimana jika ada seorang yang kaya (tidak miskin) menjadi
penyalur lidah bagi yang miskin? Memang hal ini bukannya tanpa masalah, akan
tetapi seorang “kaya” yang mengambil posisi politis memihak yang miskin, dan
berbicara atas nama mereka, bukanlah suatu hal yang aneh. Seorang akademis bisa
dibilang “kaya” secara ilmu. Tentu bukan hal yang aneh ketika dia berbicara
atas nama subaltern yang mungkin tidak memiliki perangkat berbicara
secanggih sang akademis. Dan, bukan hal yang aneh jika seorang yang memiliki
kelebihan tertentu mengambil posisi politis yang memihak kepada subaltern.
Selain itu, solidaritas bukanlah suatu kepura-puraan. Walaupun lebih
(kaya/pintar), seorang yang mengambil posisi politis memihak dan solider akan
menempatkan diri di pihak subaltern dan akan berbicara atas nama mereka
seakan-akan dia sendiri mengalaminya.
9. Yang Didiamkan yang Bermakna (Penyebaran dan
Pergeseran Makna (Diseminasi))
Posisi Fadli Zon
seakan-akan jelas di dalam puisi “Airmata Buaya” di atas. Dia mengambil posisi
sebagai yang benar/hakim/yang mengetahui kesalahan tokoh “kau”. Akan tetapi,
sebagai “yang benar” dia tidak mengelaborasi lebih jauh posisi dia tersebut di
dalam puisi di atas. Dia hanya berhenti pada penjabaran oposisi-oposisi biner
dan kontradiksi/inkonsistensi/ambivalensi/paradoks si tokoh “kau”. Fadli Zon
sama sekali tidak membicarakan posisi dia; posisi dia sebagai politisi Partai
Gerindra yang mengusung Prabowo S. sebagai calon presiden, posisi dia sebagai
konco politik Prabowo S. yang merasa dikhianati oleh Megawati S.P., Joko
Widodo, dan PDI-P. Apa yang sudah dilakukan oleh Prabowo S. di dalam peristiwa
1998 dan setelahnya? Mengapa dia diam? Bagaimana jika puisi Fadli Zon itu
justru ditujukan kepada Prabowo S. dan partainya sendiri; apakah posisi sebagai
“yang benar” itu masih dapat dipertahankan, ataukah segera mereka menjadi si
tokoh “kau” yang lain? Jangan-jangan, jika seandainya puisi Airmata Buaya itu
bukan ditulis oleh Fadli Zon, kemudian puisi itu dibacakan di depan Prabowo dan
Fadli Zon, mereka pun akan menjadi tokoh “kau”.
Padmo Adi
Penyair
*menyimak
ReplyDeleteterima kasih :)
Delete