ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA

  ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA *kepada Hugo   Lukisan Sri Yesus Kristus bersama dengan Sri Krishna setelah Tuhan mereka bunuh berkali-kali... yang terjadi adalah kemanusiaan yang mati... akhirnya menjelma jadi jiwa yang mengembara di padang belantara... ke selatan, ke utara... ke timur, ke barat... ke sana... entah ke mana... mencoba menemukan Tuhan yang telah tiada   walaupun demikian, itu lebih baik bagi mereka daripada mulut ngaku ikut Sang Lelaki Galilea tapi membela anak ular beludak sampai mati atau mewarnai semua dengan mejikuhibini Ah, Hug, Barat itu arah terbenamnya matahari bacalah Wahyu, semuanya sedang digenapi...   Malang, 07 Oktober 2024 Padmo Adi

Mendekonstruksi Sajak Fadli Zon, Airmata Buaya

Mendekonstruksi Sajak Fadli Zon, Airmata Buaya

Airmata Buaya

Kau bicara kejujuran sambil berdusta
Kau bicara kesederhanaan sambil shopping di Singapura
Kau bicara nasionalisme sambil jual aset negara
Kau bicara kedamaian sambil memupuk dendam
Kau bicara antikorupsi sambil menjarah setiap celah
Kau bicara persatuan sambil memecah belah
Kau bicara demokrasi ternyata untuk kepentingan pribadi
Kau bicara kemiskinan di tengah harta bergelimpangan
Kau bicara nasib rakyat sambil pura-pura menderita
Kau bicara pengkhianatan sambil berbuat yang sama
Kau bicara seolah dari hati sambil menitikkan air mata
Air mata buaya 

Fadli Zon, 26 Maret 2014

1. Judul puisi “Airmata Buaya”
2. Ditulis pada tanggal 26 Maret 2014, ketika Indonesia tengah berada di dalam suasana pemilu.
3. Fadli Zon adalah seorang politisi Partai Gerindra, Partai yang “pecah kongsi” dengan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan.
4. Fadli Zon menulis banyak puisi lain yang menyindir seseorang, bernada satir.
5. Puisi di atas banyak dilihat orang sebagai sebuah kritik kepada PDI-P (Megawati S.P. dan Joko Widodo). Puisi itu baik dibaca di dalam konteks politik pemilihan umum 2014.

6. Oposisi Biner di dalam Puisi:
            Oposisi biner di dalam sajak Fadli Zon di atas dapat kita lihat seperti berikut di bawah ini:
jujur-dusta
sederhana-glamour (shopping hingga ke Singapura)
nasionalisme-menjual aset negara
damai-dendam
antikorupsi-menjarah
persatuan-memecah belah
demokrasi (kepentingan rakyat)-kepentingan pribadi
miskin-kaya
nasib (penderitaan real) rakyat - pura-pura menderita
antipengkhianatan-pengkhianat
air mata tulus dari hati-air mata buaya

Digambarkan bahwa nilai-nilai di sebelah kiri lebih baik dari pada nilai-nilai di sebelah kanan. Fadli Zon mengajak kita untuk melihat si tokoh “kau” dalam puisi di atas sebagai seseorang yang melakukan segala sesuatu berdasarkan nilai-nilai di sebelah kiri, tetapi sebenarnya yang dilakukannya adalah nilai-nilai di sebelah kanan.
Fadli Zon, sebagai si penulis, menempatkan dirinya sebagai seorang yang benar, atau minimal menempatkan diri sebagai seseorang yang memahami betul letak kesalahan tokoh “kau” di atas. Tokoh “kau” sengaja ditelanjangi, bahwa semua yang dilakukannya adalah suatu kemunafikan karena tokoh “kau” tidak konsekuen. Apa yang dibicarakan oleh tokoh “kau” tidak sama dengan apa yang dilakukan. “Kau bicara kejujuran sambil berdusta/ Kau bicara kesederhanaan sambil shopping di Singapura... .”
Posisi biner sudah sangat jelas. Si penulis menempatkan diri sebagai seorang yang benar/hakim/mengetahui letak kesalahan tokoh “kau”. Tokoh “kau” sendiri ditempatkan sebagai seorang yang salah/seorang munafik/tidak konsekuen.

7. Menentukan yang Undécidable
Dari oposisi-oposisi biner di atas, kita akan mencari apa yang undécidable (kata/konsep, sejauh ada di dalam teks, yang tidak bisa sepenuhnya masuk ke salah satu kutub biner). Kutub-kutub biner puisi Airmata Buaya tersebut adalah si penulis (Fadli Zon, politikus Gerindra) dengan tokoh “kau” (Megawati S.P., Joko Widodo, dan PDI-P). Terdapat perang wacana di puisi ini. Tokoh “kau” digambarkan sebagai tokoh yang seakan-akan membela kepentingan “nasib rakyat” (sebagaimana diksi yang dipakai oleh si penulis), tetapi sebenarnya munafik belaka. Sedangkan si penulis digambarkan sebagai seseorang yang menggugat si tokoh “kau” tersebut, maka dengan demikian si penulis (seakan-akan) memihak dan membela kepentingan “nasib rakyat”. Akan tetapi, benarkah demikian? Benarkah “nasib rakyat” itu merupakan sesuatu hal yang menjadi pusat perhatian si penulis? Siapakah yang disebut “rakyat” di sini? Benarkah tokoh “kau” tidak sungguh-sungguh membela kepentingan “nasib rakyat”? Benarkah si penulis benar-benar menggugat tokoh “kau” oleh karena dia sungguh-sungguh membela kepentingan “nasib rakyat”? Frasa “nasib rakyat” adalah undécidable.

8. Membongkar Oposisi Biner
“Kau bicara nasionalisme sambil jual aset negara[.]” Apakah yang disebut “nasionalisme” itu semata adalah tidak menjual “aset negara”? Bagaimana dengan Soekarno, tokoh nasionalis itu, yang pada tahun 1960-an mengadakan kontrak-kontrak ekonomi-politik dengan JFK (USA)? Apa sajakah yang disebut “aset negara” itu? Bagaimana jika “aset negara” itu justru merugi dan menjadi beban negara? Bagaimana jika dengan menjual “aset negara” itu pemerintah memiliki cukup uang untuk menggerakkan kembali roda perekonomian negara dan membiayai pertahanan negara, atau dengan kata lain bahwa penjualan “aset negara” itu dilandasi oleh “nasionalisme”? Jika benar puisi itu ditujukan kepada Megawati, Megawati pernah berkicau lewat twitter perihal alasan pemerintahannya dulu menjual beberapa BUMN. Saat itu negara benar-benar palit oleh karena krisis ekonomi. Di sisi lain, kapal perang Amerika Serikat dengan seenaknya memasuki Laut Jawa sehingga menginjak-injak kedaulatan Indonesia. Dengan menjual beberapa BUMN yang “tidak penting” itu, pemerintahan Megawati punya cukup modal untuk menjalankan perekonomian, menghindarkan Indonesia dari menjadi Yugoslavia kedua, dan untuk membeli alutista dari Rusia (negara pesaing Amerika Serikat).
“Kau bicara kedamaian sambil memupuk dendam[.]” Apakah yang disebut “perdamaian” itu adalah “pelupaan sejarah dan luka”? Gus Dur menyerukan rekonsiliasi kepada para korban 1965 (mereka yang dituduh PKI dan dieksekusi tanpa peradilan yang sah). Sedangkan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang menjadi salah satu korban 1965, berkata bahwa rekonsiliasi itu omong kosong. Apakah dengan demikian Pram dapat kita lihat sebagai seorang figur yang pendendam? Ternyata Pram menghendaki peradilan yang sah ditegakkan oleh negara, bukan sekadar basa-basi rekonsiliasi. Pram mengajak kita untuk menatap luka dan menyembuhkannya secara benar, bukan seakan-akan tidak pernah terjadi luka. Peradilan yang sah akan menghasilkan perdamaian. Mengulang-ulang berbicara tentang luka, yang oleh banyak orang bisa dikatakan “memupuk dendam”, sebenarnya tidak lain adalah menuntut keadilan. Keadilan itulah yang akan membawa perdamaian, bukan melupakan luka begitu saja.
“Kau bicara kemiskinan di tengah harta bergelimpangan[.]” “Kau bicara nasib rakyat sambil pura-pura menderita[.]” Dapatkah seorang subaltern berbicara? Subaltern mungkin dapat berbicara sejauh dia memiliki media. Akan tetapi, siapa yang memiliki media yang memungkinkan seseorang untuk berbicara? Orang yang miskin mungkin memiliki media untuk berbicara, tetapi apakah media itu bisa didengarkan? Bagaimana jika ada seorang yang kaya (tidak miskin) menjadi penyalur lidah bagi yang miskin? Memang hal ini bukannya tanpa masalah, akan tetapi seorang “kaya” yang mengambil posisi politis memihak yang miskin, dan berbicara atas nama mereka, bukanlah suatu hal yang aneh. Seorang akademis bisa dibilang “kaya” secara ilmu. Tentu bukan hal yang aneh ketika dia berbicara atas nama subaltern yang mungkin tidak memiliki perangkat berbicara secanggih sang akademis. Dan, bukan hal yang aneh jika seorang yang memiliki kelebihan tertentu mengambil posisi politis yang memihak kepada subaltern. Selain itu, solidaritas bukanlah suatu kepura-puraan. Walaupun lebih (kaya/pintar), seorang yang mengambil posisi politis memihak dan solider akan menempatkan diri di pihak subaltern dan akan berbicara atas nama mereka seakan-akan dia sendiri mengalaminya.

9. Yang Didiamkan yang Bermakna (Penyebaran dan Pergeseran Makna (Diseminasi))
Posisi Fadli Zon seakan-akan jelas di dalam puisi “Airmata Buaya” di atas. Dia mengambil posisi sebagai yang benar/hakim/yang mengetahui kesalahan tokoh “kau”. Akan tetapi, sebagai “yang benar” dia tidak mengelaborasi lebih jauh posisi dia tersebut di dalam puisi di atas. Dia hanya berhenti pada penjabaran oposisi-oposisi biner dan kontradiksi/inkonsistensi/ambivalensi/paradoks si tokoh “kau”. Fadli Zon sama sekali tidak membicarakan posisi dia; posisi dia sebagai politisi Partai Gerindra yang mengusung Prabowo S. sebagai calon presiden, posisi dia sebagai konco politik Prabowo S. yang merasa dikhianati oleh Megawati S.P., Joko Widodo, dan PDI-P. Apa yang sudah dilakukan oleh Prabowo S. di dalam peristiwa 1998 dan setelahnya? Mengapa dia diam? Bagaimana jika puisi Fadli Zon itu justru ditujukan kepada Prabowo S. dan partainya sendiri; apakah posisi sebagai “yang benar” itu masih dapat dipertahankan, ataukah segera mereka menjadi si tokoh “kau” yang lain? Jangan-jangan, jika seandainya puisi Airmata Buaya itu bukan ditulis oleh Fadli Zon, kemudian puisi itu dibacakan di depan Prabowo dan Fadli Zon, mereka pun akan menjadi tokoh “kau”.

Padmo Adi
Penyair

Comments

Post a Comment