ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA

  ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA *kepada Hugo   Lukisan Sri Yesus Kristus bersama dengan Sri Krishna setelah Tuhan mereka bunuh berkali-kali... yang terjadi adalah kemanusiaan yang mati... akhirnya menjelma jadi jiwa yang mengembara di padang belantara... ke selatan, ke utara... ke timur, ke barat... ke sana... entah ke mana... mencoba menemukan Tuhan yang telah tiada   walaupun demikian, itu lebih baik bagi mereka daripada mulut ngaku ikut Sang Lelaki Galilea tapi membela anak ular beludak sampai mati atau mewarnai semua dengan mejikuhibini Ah, Hug, Barat itu arah terbenamnya matahari bacalah Wahyu, semuanya sedang digenapi...   Malang, 07 Oktober 2024 Padmo Adi

Memperlawankan Puisi Fadli Zon dengan Puisi Fitri Nganthi Wani, Analisa Dua Puisi dengan Critical Discourse Analysis

Memperlawankan Puisi Fadli Zon dengan Puisi Fitri Nganthi Wani
Analisa Dua Puisi dengan Critical Discourse Analysis
oleh Yohanes Padmo Adi Nugroho (136322009)

Sajak Orang Hilang

orang hilang tak tentu rimba
lenyap seperti ditelan bumi
berbaris nama setiap masa
merajut duka tiada henti

ribuan orang hilang di Madiun sembilan belas empat delapan
ratusan ribu orang hilang dalam revolusi sembilan belas enam puluhan
ribuan orang hilang ditembak misterius sembilan belas delapan puluhan
belasan orang hilang sembilan belas sembilan belas sembilan delapan
orang-orang hilang berbaris sepanjang zaman

orang hilang tak pernah pulang
dinanti keluarga setiap hari
air mata beku kering kerontang
tak jelas nasib hingga kini

orang hilang di mana-mana
di pasar-pasar becek tempat belanja
di mal-mal mewah setiap kota
di sekolah sampai tempat ibadah
di gang sempit hingga jalan-jalan raya
orang hilang dimana-mana

orang hilang harus dicari
jangan cuma jadi komoditi
orang hilang harus disidik
jangan disulap alat politik

Fadli Zon, 9 Mei 2014




Tak Berjenggot Kebakaran Jenggot

Dia yang tak berjenggot
Kebakaran jenggot
Pelaku teriak pelaku
Lucu lucu lucu

Dia yang tak berjenggot
Kebakaran jenggot
Terbatas merdekanya
Maju kena mundur kena

Dia yang tak berjenggot
Kebakaran jenggot
Jungkir balik jilat pantat si bos
Menculik dan membunuh nuraninya sendiri

Kemarilah kawan
Aku ingin jadi temanmu
Kita harus jujur
Atas hati masing-masing
Di sini kamu akan nyaman
Bukan karena uang, bukan..
Tapi karena kebenaran

Tapi sayang beribu sayang
Bagimu aku bukan levelmu
Yang mumpuni soal politik
Segalanya kau sebut politik
Bahkan perjuangan tulus
Seorang anak
Yang mencari bapaknya

Dia yang tak berjenggot
Kebakaran jenggot
Kasihan betul!
Ruang mata kosong melompong
Mayat hidup,
Bukan manusia

10 Mei 2014
Fitri Nganthi Wani


Pengantar
Di atas adalah dua puisi dari Fadli Zon dan Fitri Nganthi Wani. Fadli Zon adalah seorang politikus dari Partai Gerindra (dipimpin oleh Prabowo Subianto) yang menulis puisi berjudul “Sajak Orang Hilang”. Fitri Nganthi Wani adalah anak dari Wiji Thukul (penyair dan aktivis yang hilang sejak 1998). Puisi “Tak Berjenggot Kebakaran Jenggot” tersebut merupakan tanggapan dan jawabannya atas puisi Fadli Zon. Saya hendak menganalisa dua puisi yang memiliki kaitan intertekstualitas yang sangat erat itu dengan menggunakan CDA (Critical Discourse Analysis).

Fadli Zon dan Gerindra
Fadli Zon sendiri adalah seorang politikus dari Partai Gerindra. Partai Gerindra mengusung ketua umumnya, yaitu Prabowo Subianto, menjadi calon presiden Republik Indonesia. Langkah Prabowo Subianto dalam menjadi calon presiden Republik Indonesia banyak menerima kritik. Salah satu kritik yang paling gencar adalah keterlibatan dia dalam peristiwa 1998. Dia dituduh sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas tewas dan hilangnya beberapa mahasiswa serta aktivis, termasuk penyair Wiji Thukul. Menanggapi tuduhan itu, Fadli Zon menulis puisi “Sajak Orang Hilang” tersebut. Fadli Zon sendiri adalah seseorang yang “mendadak penyair”. Saya pribadi belum pernah mendengar dia menulis puisi sebelumnya. Semua puisi Fadli Zon yang saya baca dan simpan sebagai arsip ditulis pada tahun 2014, antara bulan Maret hingga Mei. Semua puisi itu berisi ironi dan sindiran terhadap Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, dan Joko Widodo. Puisi-puisinya memang ditulis di dalam latar belakang pemilihan umum 2014. Saya tidak tahu apakah dia menulis puisi sebelumnya. Mungkin puisi-puisi dia sebelumnya memang tidak diterbitkan, atau saya yang kurang informasi. Fadli Zon sendiri masih berkerabat dengan Taufiq Ismail, penyair Manikebu.

Fitri Nganthi Wani, Penyair yang Terus Mencari Bapaknya
Saya pribadi belum pernah berbicara langsung dengan Fitri Nganthi Wani. Perbincangan kami hanya melalui facebook. Saya tidak mengenal secara pribadi. Perjumpaan pertama dengan dia adalah pada saat lomba menulis puisi di Gramedia, Solo, ketika saya kelas 3 SMA (2005/2006). Selain itu, walau jurusan dan fakultas kami berbeda, kami sama-sama pernah mengenyam pendidikan di Universitas Sanata Dharma. Puisi itu saya ambil atas izin Fitri Nganthi Wani. Setidaknya sudah sejak SMA Fitri Nganthi Wani menulis puisi. Dia memang penyair, sama seperti bapaknya. Ketika kuliah, dia mengambil Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra. Di sana dia aktif menulis puisi dan akhirnya menerbitkan buku puisinya. Beberapa puisi dan status facebook-nya berisi gugatan atas keberadaan bapaknya yang hingga kini masih belum jelas.

Menganalisa “Sajak Orang Hilang”
Semua puisi Fadli Zon tidak saya dapatkan dari orang pertama. Puisi-puisinya saya dapatkan dari situs-situs berita internet. Puisi-puisinya biasanya hanya dijadikan lampiran dari sebuah berita yang berbicara mengenai kritik-kritik Gerindra terhadap PDI-P. Biasanya, situs-situs berita internet itu akan memberitakan bahwa Fadli Zon, politisi Partai Gerindra itu, mengkritik kebijakan-kebijakan PDI-P (misalnya, keputusan Megawati Soekarnoputri memberi mandat kepada Joko Widodo sebagai calon presiden dari PDI-P) melalui puisi, lalu di akhir berita puisi itu dilampirkan baik secara langsung maupun menggunakan tautan (link). Fadli Zon memang tidak secara terang-terangan menuliskan di dalam puisi-puisinya kepada siapa itu ditujukan, akan tetapi media memberitakan bahwa puisi-puisinya tersebut merupakan sindiran terhadap PDI-P (Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo).
Puisi “Sajak Orang Hilang” ini sedikit berbeda dengan puisi-puisi Fadli Zon yang lain. Puisi yang ditulis pada tanggal 9 Mei 2014 itu dikirim lewat pesan singkat (pesan berantai di blackberry messenger) pada hari dan tanggal yang sama (ke redaksi detik.com?). “Sajak Orang Hilang” tidak saja dimuat oleh detik.com (Jumat, 9 Mei 2014, pk. 20.20 WIB), tetapi juga merdeka.com (Jumat, 9 Mei 20014, pk. 20.42 WIB), beritasatu.com (Sabtu, 10 Mei 2014, pk. 00.15 WIB). Tidak seperti puisi-puisi dia sebelumnya yang hanya menyindir PDI-P (Megawati Soekarnoputri  dan Joko Widodo), “Sajak Orang Hilang” sepertinya dibuat secara khusus untuk menjawab tuduhan yang disampaikan oleh banyak pihak atas keterlibatan Prabowo Subianto dalam kasus penculikan beberapa orang pada tahun 1998.
Fadli Zon melalui “Sajak Orang Hilang” bercerita bahwa yang namanya orang hilang itu sudah terjadi sejak dahulu kala. Yang namanya orang hilang itu sudah terjadi sejak “sembilan belas empat delapan”. Yang namanya orang hilang itu pun terjadi pada “revolusi sembilan belas enampuluhan”, ketika ada penembakan “misterius sembilan belas delapanpuluhan”, dan ketika “sembilan belas sembilan belas sembilan[1] delapan”. Yang namanya orang hilang itu ada “di mana-mana”, “pasar-pasar becek tempat belanja”,di mal-mal mewah setiap kota”,di sekolah sampai tempat ibadah”, di gang sempit hingga jalan-jalan raya”. Dia bahkan sampai mengulang “orang hilang di mana-mana” dua kali. Fadli Zon berkata bahwa yang namanya orang hilang itu sudah ada sejak dahulu kala dan terjadi di mana-mana, maka “jangan disulap” jadi “alat politik”. Apakah Fadli Zon hendak mengatakan bahwa yang namanya orang hilang itu sudah lumrah dan biasa?
“[R]ibuan orang hilang di Madiun sembilan belas empat delapan”.
“[R]atusan ribu orang hilang dalam revolusi sembilan belas enam puluhan”.
“[R]ibuan orang hilang ditembak misterius sembilan belas delapan puluhan”.
“[B]elasan orang hilang sembilan belas sembilan belas sembilan delapan”. Demikian Fadli Zon menulis. Jadi, kira-kira Fadli Zon hendak berkata, jika dibandingkan dengan peristiwa Madiun 1948 di mana ribuan orang hilang, tragedi 1960-an di mana ratusan ribu orang hilang, dan kejadian penembakan misterius tahun 1980-an di mana ribuan orang hilang, peristiwa 1998 (peristiwa di mana Prabowo Subianto dituding sebagai dalang penculikan) di mana orang yang hilang hanya belasan adalah hal yang kecil dan lumrah, sehingga tidak perlu “dikomoditi” dan “disulap (jadi) alat politik”. Fadli Zon mengatakan bahwa mereka, orang-orang hilang itu, “harus dicari” dan “harus disidik”.
Fadli Zon menanggapi kritik dan tuduhan yang dialamatkan kepada Prabowo Subianto, calon presiden dari Gerindra, tidak dengan memberikan pernyataan langsung, melainkan dengan puisi. Tidak semua puisi memakai bahasa lugas. Puisi pamflet Rendra yang “lugas” itu pun masih memiliki metafora. Puisi dengan bahasa yang terlalu lugas hanya akan menjadi puisi yang kering. Hampir semua puisi memakai gaya bahasa (majas) dan permainan bahasa. Terkadang gaya bahasa itu dipakai justru untuk menyembunyikan maksud tertentu dari penulis. Maka, kita bisa bertanya, mengapa Fadli Zon, yang berposisi sebagai politisi aktif di Gerindra, bukan sebagai seniman/penyair, justru menanggapi tuduhan-tuduhan itu dengan puisi? Kalau memang puisi tersebut dimaksudkan sebagai puisi pamflet atau realisme-sosialis a la puisi-puisi Lekra, yang membawa puisi ke ranah sosial-politik, mengapa dia tidak memilih gaya bahasa yang lebih lugas, bahkan spesifik? Alih-alih menjawab tuduhan, Fadli Zon seakan-akan hendak menutupi sesuatu dan menggiring wacana. Frase “orang hilang” yang dipakainya itu apersonal, sebab frase itu terlalu umum. Dia menyamakan begitu saja Wiji Thukul dan Petrus Bima Anugrah dengan para preman yang di-“petrus”-kan. Dia menyamakan begitu saja Herman Hendrawan dan Suyat dengan para korban pembantaian 1965. Mereka semua memang sama-sama korban, akan tetapi kasusnya lain, konteksnya lain, dan tidak dapat dipukul rata sama begitu saja. Dalam alam bawah sadar Fadli Zon, dan sebagaimana yang ditulis di dalam puisinya tersebut, dia menyamakan “diculik” dengan “ditembak” (dibunuh). Mungkin dia sebenarnya tahu bahwa mereka yang diculik itu akhirnya ditembak (dibunuh), lalu (di-)hilang(-kan jejaknya).

Tanggapan Spontan dari Putri Wiji Thukul
Puisi Fadli Zon tersebut di atas segera mendapat tanggapan dari putri Wiji Thukul, Fitri Nganthi Wani, sehari setelahnya. Pada tanggal 10 Mei 2014 dia mengirim tautan berita tentang puisi Fadli Zon tersebut di atas pada dinding facebook­-nya sembari menulis, “Nyuruh nyari doang t[a]p[i] g[a]k bantuin ya percuma dong cin... [.] T[a]p[i] k[a]y[a]knya lo j[u]g[a] g[a]k mungkin deh berani bantuin kita2, orang y[an]g ngilangin salah satunya juga bos lo sendiri. Jebreeetttt! :D”[2] Setelah itu dia menulis puisi berjudul “Tak Berjenggot Kebakaran Jenggot” pada status facebook-nya.
Judul puisi Fitri Nganthi Wani adalah “Tak Berjenggot Kebakaran Jenggot”. Fadli Zon sendiri memang tak memiliki jenggot, brewok, bahkan kumispun tidak. Karena puisi “Tak Berjenggot Kebakaran Jenggot” ditulis pada status facebook sehari (bahkan beberapa jam) setelah puisi Fadli Zon dimuat di situs berita internet, kita bisa membayangkan betapa Fitri Nganthi Wani secara spontan menanggapi. Spontanitas ini bisa kita artikan bahwa “Tak Berjenggot Kebakaran Jenggot” lahir dari perasaan dan kehidupan sehari-hari yang dijalani oleh Fitri Nganthi Wani dan keluarga, kehilangan sosok bapak. Kita bisa membayangkan betapa perasaan Fitri Nganthi Wani sedemikian tersinggung karena kasus bapaknya (dan orang-orang yang dihilangkan pada tahun 1998 lainnya) digeneralisasi begitu saja dengan mudah oleh Fadli Zon, sehingga seolah-olah itu kasus yang wajar dan lumrah terjadi di dalam sejarah Indonesia. Namun, pada bait pertama Fitri Nganthi Wani justru menertawakan Fadli Zon, “Dia yang tak berjenggot / Kebakaran jenggot / Pelaku teriak pelaku / Lucu lucu lucu[.]”
Fitri Nganthi Wani bisa membaca arah maksud puisi Fadli Zon. Fadli Zon ingin membela “bos”-nya, ketua dan calon presiden dari Partai Gerindra, yaitu Prabowo Subianto. “Dia yang tak berjenggot / Kebakaran jenggot / Jungkir balik jilat pantat si bos[,]” kata Fitri Nganthi Wani. Fadli Zon tiba-tiba saja “mendadak penyair” dan melakukan segala macam cara untuk membela dan mendukung Prabowo Subianto (mencalonkan diri menjadi presiden Republik Indonesia), terlepas dari apakah Prabowo Subianto telah terbukti bersalah atau tidak atas kasus penculikan 1998. Tokoh “dia” pada puisi Fitri Nganthi Wani pun digambarkan tengah menculik dan membunuh. Akan tetapi, yang diculik dan dibunuh adalah “nuraninya sendiri”. Fadli Zon gambarkan sebagai seorang yang tak memiliki hati nurani.
Fitri Nganthi Wani pun mengajak Fadli Zon untuk duduk berbincang dari hati ke hati. Dia memanggil Fadli Zon dengan sebutan “kawan”. Bahkan, Fitri Nganthi Wani ingin jadi “teman”-nya. Akan tetapi, Fitri Nganthi Wani merasa bahwa ajakannya itu akan sia-sia belaka. Fitri Nganthi Wani merasa bahwa bagi Fadli Zon, Fitri Nganthi Wani “bukan level”-nya. Fadli Zon lebih “mumpuni soal politik”, sampai-sampai segalanya disebut politik, termasuk juga “perjuangan tulus / Seorang anak / Yang mencari bapaknya”. Di sini Fitri Nganthi Wani kembali menggugat ketumpulan nurani Fadli Zon. Ketika Fadli Zon berkata bahwa orang hilang “jangan disulap alat politik”, Fitri Nganthi Wani menggugat! Tuntutannya untuk menyelesaikan kasus hilangnya Wiji Thukul bukanlah “alat politik” untuk menghalang-halangi Prabowo Subianto mencalonkan diri sebagai presiden Republik Indonesia, tetapi merupakan sebuah “perjuangan tulus” seorang anak yang kehilangan bapak. Fadli Zon tidak memiliki empati. Mungkin Fadli Zon tidak paham bagaimana rasanya kehilangan seorang figur bapak, apa lagi ketika masih kanak-kanak. Saat itu Fitri Nganthi Wani masih SD. Wiji Thukul dan beberapa orang yang diculik pada tahun 1998 itu pun hingga saat ini masih tidak diketahui di mana rimbanya. Kalau masih hidup, tinggal di mana? Kalau sudah meninggal, dikuburkan di mana? Pada bait terakhir Fitri Nganthi Wani kembali menggugat Fadli Zon yang tak memiliki hati nurani itu, “Kasihan betul! / Ruang mata kosong melompong / Mayat hidup, / Bukan manusia[.]”
Puisi “Tak Berjenggot Kebakaran Jenggot” terdiri dari enam bait. Fitri Nganthi Wani mengulang “Dia yang tak berjenggot / Kebakaran jenggot” hingga empat kali pada bait pertama, kedua, ketiga, dan keenam. Bait keempat berisi ajakan untuk berbicara jujur dari hati. Sedangkan, bait kelima berisi gugatan bahwa perjuangan tulus seorang anak yang mencari bapaknya itu bukanlah demi kepentingan politik. Fitri Nganthi Wani menilai bahwa Fadli Zon adalah politisi yang dibutakan oleh uang sehingga dia mengajak politisi Gerindra itu untuk berbicara “karena kebenaran”, “Bukan karena uang, bukan... [.]”

Penutup
Fadli Zon lewat puisinya “Sajak Orang Hilang” mengajak kita semua untuk tidak mempolitisasi kasus-kasus orang hilang. Kasus orang hilang dan ditembak (dibunuh) sudah ada sejak dulu dalam sejarah Indonesia. Dia pun mengajak untuk mencari dan menyidik kasus orang hilang ini. Akan tetapi, sebagai seseorang dengan kapasitas politikus partai politik, dan bukan (semata) penyair, puisinya belum cukup. Puisinya tidak memadai untuk membela “bos”-nya, Prabowo Subianto. Dia harus melakukan pernyataan resmi bahwa “bos”-nya itu tidak bersalah, dan bahwa dia mengajak serta berinisiatif untuk mencari dan menyidik kasus orang hilang tersebut sebagai upaya untuk membuktikan bahwa “bos”-nya tidak bersalah. Puisi Fadli Zon “Sajak Orang Hilang” adalah usaha dia untuk membela dan menutupi sesuatu yang terjadi pada Prabowo Subianto. Bahkan, puisi itu hendak menggiring wacana, bahwa, selain 1998, sebelumnya sudah ada banyak kasus penculikan, orang hilang, dan penembakan (pembunuhan) misterius yang hingga kini belum jelas. Lewat “Sajak Orang Hilang” Fadli Zon ingin berkata bahwa kita tidak perlu mempolitisasi kasus orang hilang, sehingga Prabowo Subianto tidak perlu dituduh bertanggung jawab atas kasus 1998 dan dapat mencalonkan diri sebagai presiden Republik Indonesia dengan tangan yang bersih.
Puisi Fadli Zon tersebut tidak memiliki aspek illocutionary di mata Fitri Nganthi Wani. “Nyuruh nyari doang tapi gak bantuin ya percuma dong, Cin...” kata Fitri Nganthi Wani. Dia bahkan pesimis Fadli Zon akan berani berinisiatif untuk membongkar kasus itu, sebab kasus itu akan menyeret “bos” Fadli Zon yang tengah mencalonkan diri sebagai presiden Rebulik Indonesia. Puisi “Sajak Orang Hilang” di mata Fitri Nganthi Wani tak lebih sebagai siasat “jungkir balik” seorang bawahan untuk men-“jilat pantat si bos”. Puisi itu lahir dari seseorang yang tidak memiliki hati nurani, tidak mampu berempati, tidak ma(mp)u mengerti bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang dicintai dan berharga. Di mata Fitri Nganthi Wani, Fadli Zon adalah seorang “Mayat hidup, / Bukan manusia”.



[1] Saya mengikuti diksi yang dipakai oleh puisi “Sajak Orang Hilang”. Pengulangan frase “sembilan belas” itu pun tidak saya betulkan. Baik detik.com maupun merdeka.com memuat pengulangan frase “sembilan belas” tersebut. Saya tidak tahu apakah ini kesalahan redaksi atau ketidaksadaran Fadli Zon saat menulis. Jika benar ini kesalahan redaksi, mungkinkah redaksi detik.com dan merdeka.com melakukan kesalahan yang sama persis? Jika pengulangan frase itu berasal dari Fadli Zon, baik sadar maupun tidak sadar, kira-kira apa yang hendak disampaikannya? Atau, itu hanya sekadar kesalahan penulisan semata?
[2] Fitri Nganthi Wani. 10 Mei 2014. “Nyuruh nyari doang tp gk bantuin ya  percuma dong cin.. Tp kyknya lo jg gk mungkin deh berani bantuin kita2, orang yg ngilangin salah satunya juga bos lo sendiri. Jebreeetttt! :D. Status facebook.

Comments