ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA

  ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA *kepada Hugo   Lukisan Sri Yesus Kristus bersama dengan Sri Krishna setelah Tuhan mereka bunuh berkali-kali... yang terjadi adalah kemanusiaan yang mati... akhirnya menjelma jadi jiwa yang mengembara di padang belantara... ke selatan, ke utara... ke timur, ke barat... ke sana... entah ke mana... mencoba menemukan Tuhan yang telah tiada   walaupun demikian, itu lebih baik bagi mereka daripada mulut ngaku ikut Sang Lelaki Galilea tapi membela anak ular beludak sampai mati atau mewarnai semua dengan mejikuhibini Ah, Hug, Barat itu arah terbenamnya matahari bacalah Wahyu, semuanya sedang digenapi...   Malang, 07 Oktober 2024 Padmo Adi

Kewargaan yang Tidak Main-main di dalam Realita Virtual Game

Kewargaan yang Tidak Main-main di dalam Realita Virtual Game*
-Padmo Adi-

*Paper ini pertama kali dipublikasikan dan dipresentasikan pada seminar "Dilema Warga Budaya (Konsumsi) dan Ruang Publik" pada 09 Mei 2014 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Bagi seorang cowok gamer, mengejar cewek itu seperti bermain game.
Namun, cowok gamer tidak pernah main-main sewaktu bermain game.
-N.N.-


Pendahuluan
Bagi masyarakat game sudah menjadi hal yang tidak asing lagi. Cobalah bertanya kepada orang terdekat Anda, apakah mereka pernah bermain game. Hampir semua dari mereka pasti akan menjawab sudah pernah. Ada yang memainkannya sambil lalu, ada yang sangat serius, bahkan menjadikannya mata pencaharian dan/atau membentuk komunitas. Bersama-sama dengan film, musik, dan komik, game menjadi fenomena kontemporer. Game adalah media. Akan tetapi, dibandingkan dengan kajian media yang lain, masih sedikit orang yang mencoba mengkaji game, khususnya di Indonesia.

Game adalah budaya. Kebudayaan bukanlah melulu sesuatu yang Adiluhung. Apa yang dilakukan oleh seorang atau lebih individu dalam rangka mengisi hidupnya itu adalah kebudayaan. Alexander R. Galloway mengatakan, “A video game is a cultural object, bound by history and materiality, consisting of an electronic computational device and a game simulated in software.[1]

Saya sendiri gemar bermain game. Teman-teman dekat saya pun bermain game. Tulisan ini berangkat dari pengalaman pribadi saya dan pengalaman serta cerita dari teman-teman perihal game. Pascamodernitas ditandai dengan dilampauinya ruang dan waktu. Ruang dan waktu menjadi fenomena kosong.[2] Game adalah contoh tepat. Di dalam game -fenomena kosong ruang-waktu tersebut- orang pun dapat saling bertemu, berserikat, dan berkumpul. Dengan tulisan ini, saya hendak melihat sejauh apa game, sebagai salah satu bentuk media, menjadi ruang publik bagi masyarakat.

Saya akan mengulas game dengan pendekatan psikoanalisa lacanian. Kemudian, saya akan memakai teori Jean Baudrillard untuk mengulasnya dari sudut pandang yang lain, teori konsumsi dan masyarakat konsumsi. Namun, sebelum itu semua, saya akan terlebih dahulu mengulas perihal game: apa saja macamnya, jenis media seperti apa game itu, dan fenomena seputar bermain game.

1. Bermain Game dengan Tidak Main-main
Game adalah media. Tidak seperti film di mana kita hanya menjadi spektator pasif. Kita adalah pelaku aktif di dalam game. Kita bisa menjadi siapapun yang kita inginkan dengan memainkan game. Kita bisa memilih game jenis apapun dengan cerita dan aksi yang kita inginkan, mulai dari berkelahi, balapan, perang, hingga petualangan berlatar belakang sejarah. Tidak ada game tanpa aksi![3] Pada tahun 90-an, ketika saya masih kecil, saya dan kawan-kawan pergi bersama-sama ke tempat bermain dingdong. Kami bermain Street Fighter, pesawat-pesawatan, bilyard, dan lain sebagainya. Teman-teman yang cukup kaya bisa membeli Nintendo atau Sega. Mereka bermain Super Mario Bros, Teenage Mutant Ninja Turtles, Sonic the Hedgehog, dan sebagainya.

Kemudian pada 90-an akhir muncullah Sony Play Station. Tempat-tempat bermain Play Station menjamur di mana-mana, menggeser arena-arena dingdong. Dengan Rp 1.500,00 hingga Rp. 2.000,00 kita bisa bermain Play Station selama satu jam. Jenis game yang ditawarkan pun semakin beraneka ragam. Kita bisa jadi tentara dengan bermain Army Men, Metal Slug, atau Medal of Honor, bisa menjadi pegulat dengan bermain WWF Smack Down, bisa menjadi jagoan ahli bela diri dengan bermain TEKEN, bisa menjadi pilot pesawat tempur dengan bermain Top Gun atau Ace Combat, bisa menjadi pahlawan legendaris dengan bermain game-game RPG (Role Playing Game) seperti Final Fantasy atau Dungeon and Dragons, bisa menjadi pemain bola dengan bermain FIFA, Winning Eleven, dan masih banyak lagi.

Pada awal 2000-an mulai marak game PC (Personal Computer). Untuk sementara Play Station tergeser[4]. Saat itu yang mewabah adalah Counter Strike, sebuah permainan first person (sudut pandang game adalah orang pertama) yang multiplayer. Arena-arena bermain Counter Strike pun merebak. Ada yang ­on-line (pemain yang satu dihubungkan dengan pemain yang lain melalui internet), ada pula yang hanya LAN (pemain yang satu dihubungkan dengan pemain yang lain melalui jaringan kabel; biasanya sistem ini dipakai untuk beberapa komputer dalam ruang-waktu yang sama). Bersamaan dengan Counter Strike, muncul pula Red Alert, Serious Sam dan Grand Theft Auto. Hadir pula jenis game yang disebut MMORPG (Massively Multiplayer Online Role-Playing Game); Ragnarok adalah contoh yang legendaris. Tidak seperti Counter Strike yang jumlah pemainnya terbatas (baik secara kuantitas maupun ruangan), game MMORPG mampu menampung ratusan pemain dari seluruh dunia. Martin Suryajaya menjelaskan:
MMORPG adalah rumpun game yang berbasis internet di mana sang pemain dapat menciptakan avatar-nya sendiri (jenis kelamin, potongan rambut, bentuk muka, dsb) dan bertualang meningkatkan kemampuan (level) sang avatar dalam suatu dunia dengan latar tertentu (fantasy, medieval, steampunk, post-apocalyptic, dsb) yang terhubung dengan jutaan pemain lain. Dalam dunia itu, para pemain dapat membangun persekutuan (guild), menikah dengan avatar lain serta berjualan benda-benda yang ditemukan di sana (dan dapat ditransaksikan secara off-line dalam rupiah).[5]

Saya pribadi tidak begitu suka dengan jenis game RPG karena plot ceritanya yang begitu lama. Final Fantasy VII dan VIII di Play Station saja sampai membutuhkan kurang lebih 2 CD. Berbeda dengan game RPG, game MMORPG tidak memiliki plot cerita. Tujuan utama orang bermain game MMORPG adalah mengembangkan character[6] yang dimainkannya hingga level tertentu. Lalu apa jadinya jika character yang dimainkannya sudah sampai pada level tinggi? Orang itu akan berhenti bermain game tersebut begitu saja, atau dia akan menjualnya dengan harga yang menakjubkan: Rp 60.000.000,00 sampai Rp 120.000.000,00. T. Thompson, sebagaimana dikutip oleh Jon Dovey dan Helen W. Kennedy, menggambarkan:
In Caracal, Romania, three hours north of Bucharest, 11 workers keep an apartment full of PCs running 24 hours a day, seven days a week. They are not data processing nor doing any of the other computer jobs often outsourced to ‘cheap labour’ pools. They are playing online computer games. They are paid the equivalent of 28 pence per hour to play games in order to build up experience points, acquire skills and collect weapons which are then traded on the open market. Other gamers will buy ready made avatars and thus save themselves the time and trouble of having to enter online game worlds as a newbie. These Romanian gamers are employed by Gamersloot.net, based in Northern California.[7]
Pemain MMORPG yang “serius” bisa menghabiskan Rp 3.000.000,00 sebulan hanya untuk meng-up grade character-nya. Seorang teman bercerita bahwa ada seorang pemain MMORPG pergi ke game center dengan mobil, pulang naik ojek. Di dalam game MMORPG seseorang bisa berinteraksi dengan banyak orang lain, berkomunikasi, menjalin pertemanan, bahkan bertransaksi. Barang yang ditransaksi adalah barang-barang virtual di dalam game, sedangkan uangnya rupiah sungguhan. Saya dan teman-teman Teater Seriboe Djendela pernah mengadakan rapat teater on-line di Nemea (sebuah map pada game Godswar). Kami berada di kediaman kami masing-masing, tapi bertemu di dunia virtual itu. Sembari berburu monster, kami membicarakan rencana pentas TSD.

Game telah menjadi industri. Industri game tidak main-main. Perusahaan-perusahaan pemrograman game begitu serius mengembangkan game. Game dewasa ini bahkan telah mampu menggeser hegemoni film dan sastra. Orang-orang Australia lebih banyak menghabiskan waktu mereka dengan bermain game dari pada dengan mendengarkan musik atau film.[8] E. Aarseth, sebagaimana dikutip oleh Jon Dovey dan Helen W. Kennedy, mengatakan, “Games are not a kind of cinema, or literature, but colonizing attempts from both these fields have already happened, and no doubt will happen again. And again, until computer game studies emerges as a clearly self-sustained academic field.[9] Para tenaga kerja yang bekerja di perusahaan-perusahaan pemrograman game itu pun banyak yang menuntut upah layak[10]. Industri game sendiri dapat digambarkan sebagai lima tingkatan produksi: pengembangan isi, publishing, manufacturing, distribusi, dan penjualan. Itu baru dari programnya, belum membicarakan console-nya (misalnya Play Station, X-Box, PC, smartphone, dsb.). Hal itu bisa kita jadikan indikasi bahwa game memang diciptakan secara serius dan memiliki intensi.

Game adalah ideologi! Orang rela mati demi ideologi. Orang pun banyak yang mati karena (terlalu banyak) bermain game. Martin Suryajaya mengulas:
‘Kadar ideologis’ para pemain militan itu terbukti lewat berbagai berita tentang para pemuda yang meninggal di warnet. Ada yang karena 36 jam bermain non-stop, ada yang karena berminggu-minggu hidup di warnet dengan makan mie instan seduhan, ada juga yang terkena serangan jantung akibat faktor-faktor kelelahan dan komplikasi lainnya. Jadi video game, seperti juga ideologi, buat generasi masa kini adalah sesuatu yang juga bisa dibawa mati. Dengan demikian, jelas juga bahwa muatan ideologis dalam games itu juga amat mudah dibatinkan oleh para pemainnya.[11]
Althusser menjelaskan bahwa ISA (Ideological State Apparatus) berbeda dengan RSA (Repressive State Apparatus). RSA tidak lain adalah pemerintah, pemerintah daerah, tentara, polisi, pengadilan, penjara, dan lain sebagainya. Sedangkan ISA terdiri dari ISA agama (Gereja, MUI, dll.), pendidikan (lembaga-lembaga sekolah), ISA keluarga, hukum, partai-partai politik, serikat dagang, ISA komunikasi (pers, radio, televisi, internet), ISA budaya.[12] Pada era informasi ini game adalah ISA yang efisien. Banyak teman saya mengaku belajar tentang sejarah dunia dari game. Banyak teman belajar strategi perang dari game. (Simpatisan) Jokowi dan Prabowo (Gerindra) menggunakan game sebagai sarana kampanye.

Ada berbagai macam ideologi yang digunakan di dalam game. Di dalam game-game yang dijadikan contoh oleh Martin Suryajaya[13], ideologi yang dipakai adalah Marxisme dan variannya. Dalam game Counter Strike pasukan elit dari negara-negara NATO digambarkan sebagai kelompok counter terroris (sang pembela kebenaran), sedangkan para terroris harus/wajib/mau tidak mau mengadakan pengeboman di situs-situs bersejarah (kuil Aztek, kastil di Eropa Timur) atau di medan pertempuran Timur Tengah (map de_dust dan de_dust2)[14], atau menyekap para sandera. Dalam beberapa game ideologi liberalisme sangat kental, misalnya dalam game The Sims. Dalam game Road Race 2D[15] ideologi yang berlaku adalah “jiwa-bebas” yang rebel, anti-kemapanan sosial, dan membatinkan slogan ACAB (All Cops Are Bastard).

Berbeda dengan film. Orang bisa dengan mudah menarik jarak di saat menonton film. Orang yang bermain game akan lebih susah melakukan itu, sebab dia bukan penonton pasif. Dia adalah pelaku aktif. Dia adalah tokoh utama di dalam game. Dia mau tidak mau harus menyetujui ideologi yang ada di dalam game, atau tidak akan pernah ada game. Itulah sebabnya ideologi dapat lebih mudah dibatinkan orang yang bermain game dari pada penonton film.

2. Fantasi yang Disediakan oleh Game
Pada bagian ini saya hendak mengajak kita semua untuk mengkaji game dengan pendekatan psikoanalisa lacanian. Secara sederhana terlebih dahulu saya hendak menjelaskan konsep-konsep dasar psikoanalisa lacanian.

Sebagai seorang individu aku selalu bertanya “Siapakah aku?” Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu dari diri kita sendiri. Aku selalu membutuhkan cermin untuk dapat menjawabnya. Liyan (O) adalah cerminku. Awalnya aku mengalami persatuan primordial dengan ibu, saat kita menyusu. Saat itulah aku merasa utuh. Saat itulah aku merasa “I am who am”. Namun, kemudian aku dipisahkan dari ibu, dikastrasi, diceraikan. Aku diinterpelasi Liyan sehingga menjadi Subyek (S). Saat itulah aku terpecah-belah. Mau tidak mau, untuk dapat masuk ke dalam dunia dan bertemu dengan Liyan, aku harus menggunakan bahasa. Aku membahasakan diriku yang telah diinterpelasi Liyan tadi dengan penanda-penanda (Signifiers) yang sudah disediakan oleh Liyan. Dengan berbahasa, aku menjadi subyek-Liyan (S(O)). Akan tetapi, celakanya, bahasa tidak pernah paripurna mengungkapkan siapa sebenarnya aku. Selalu saja ada yang kurang, yang ketinggalan, atau yang laten. Aku mengalami misrecognitions (meconnaissance). Itu memang aku, tapi bukan seutuhnya aku. I am never am! Aku menjadi subyek terbelah/split (Lacan memakai simbol teknis “$”). Berkali-kali aku mencoba memakai bahasa untuk membahasakan diriku, tetapi berkali-kali pula gagal. Aku mulai putus asa. Digerakkan oleh hasrat (desire (d)) dengan putus asa aku memalingkan perhatian kepada tubuh (Drive ($<>D)). Ternyata ada fantasi yang kuikuti, sebuah kerinduan persatuan primordial tadi. Ternyata ada residu-residu kerinduan persatuan primordial yang tak dapat dibahasakan (objet petit a). Aku adalah subyek putus asa yang terus-menerus mencari fantasi/lost object ($<>a) agar sampai kepada kenikmatan/enjoyment/jouissance. Aku mendapati bahwa Liyan juga merupakan subyek terbelah (S(Ø)); Liyan tak mampu memenuhi fantasiku. Akhirnya, aku mencoba memakai metafora-metafora (penanda-penanda) baru untuk dapat membahasakan diriku dan terus-menerus mencari lost object (objet petit a).
Graf di atas saya ambil dari buku G. Boucher[16]. Graf ini akan membantu kita memahami konsep-konsep psikoanalisa lacanian.

Sebagaimana halnya dengan film, game memiliki obyek tatapan (gaze). Dalam kajian media lacanian, gaze tidak lain adalah objet petit a. Apa itu objet petit a? Objet petit a adalah obyek penyebab hasrat.[17] Game menyediakan bentuk-bentuk simbolis yang jauh lebih kaya dari pada film, dan bentuk-bentuk itu bisa menjadi fantasi ($<>a). Objet petit a bisa berupa suara dan pandangan, dan khususnya di dalam game dapat berupa “aksi heroik” character yang kita mainkan. Bermain game adalah momentum di mana kita mengenang kembali persatuan primordial kita, kita menelusuri kembali jejak-jejak jouissance, seakan-akan kita berada di fase cermin. Hasrat kita tidak hanya dimanifestasikan pada apa yang kita saksikan dan dengarkan, tetapi justru pada apa yang kita lakukan. Kita tidak hanya melihat seorang aktor melakukan hasrat untuk kita, tetapi kita menjadi tokoh utama yang melakukan hasrat-hasrat itu sejauh yang dimungkinkan di dalam game. Kita benar-benar hadir di dalam dunia virtual game itu. Kita akan marah ketika character kita kalah. Kita akan membanting joy-stick atau memaki dengan penuh emosi ketika character kita gagal melaksanakan misinya. Dan, kita akan benar-benar lega ketika berhasil. Kita hadir baik di depan maupun “di dalam” PC/PS/X-Box. Kita bisa melakukan hal-hal yang bahkan dilarang di dalam keseharian kita, misalnya membunuh, kebut-kebutan di jalan, bahkan bersanggama.

Lalu, siapakah Liyan di dalam game? Keseluruhan game (game itu sendiri, peralatannya/console, character lain) itu adalah Liyan. Kita diinterpelasi oleh game itu, kita harus melakukan aturan-aturan (ideologi) yang menjadi logika bermain game tersebut, atau game over. Dalam logikanya, ada ideologi-ideologi tertentu yang disuntikkan, sehingga untuk dapat memainkan game tersebut, mau tidak mau kita harus menyetujui ideologi tersebut, bahkan membatinkannya. Kita harus menyetujui bahwa Kuppa adalah jahat sehingga kita bisa menjadi Super Mario dan memerdekakan dunia jamur dari penjajahannya. Kita harus menyetujui bahwa Carl Johnson adalah pentolan gang Groove Street yang jagoan, pandai merampok dan membunuh serta mahir mengendarai segala jenis kendaraan, sehingga kita bisa menamatkan game GTA San Andreas. Kita harus memilih, mau menjadi terroris dari Timur Tengah / Eropa Timur atau menjadi counter terroris dari negara-negara NATO supaya kita bisa bermain Counter Strike. Jika tidak mau mematuhi ideologi tersebut, tidak ada game untuk dimainkan. Lebih jauh lagi, di dalam game multiplayer, terutama MMORPG, kita bisa berjumpa dengan liyan dalam wujud sesama character, entah sebagai teman sekota / satu guild, sebagai seorang Master (guru), atau sebagai musuh dari kota lain / guild lain.

Jarak antara diri (self) dengan character itu bisa saja hilang begitu saja, sebab seseorang, dalam game-game tertentu, bisa menciptakan character yang sangat mirip dirinya, bahkan memainkannya seturut tabiatnya. Atau, seseorang bisa memanifestasikan diri idealnya ke dalam character ciptaannya. Walaupun demikian, bisa juga jarak antara diri (self) dengan character itu begitu jauh ketika seseorang punya lebih dari satu character di dalam satu game MMORPG. Namun, biasanya orang itu tetap punya satu character utama sebagai manifestasi kehadirannya. Pada kasus tertentu gender menjadi tidak jelas ketika seorang lelaki menciptakan dan bermain character perempuan. Character macam ini disebut “hode”, yaitu character perempuan yang dimainkan oleh lelaki. Di dalam game MMORPG, character “hode” macam ini tetap saja bisa menikah dengan character laki-laki yang dimainkan oleh laki-laki.

Game juga tidak lepas dari male-gaze. Kebanyakan pemain game yang serius adalah lelaki. Para pemuda yang sampai mati di warnet itu kebanyakan lelaki. Para pembuat game pun menawarkan game ciptaan mereka kepada lelaki. Pada awalnya Harvest Moon itu character­-nya lelaki, hingga akhirnya hadirlah Harvest Moon dengan character perempuan untuk anak-anak gadis. Para lelaki dengan character “hode” itu bukan banci. Mereka memakai character perempuan karena ingin memandang tubuh perempuan character mereka. Beberapa game sungguh membedakan penampakan character lelaki dan perempuan. Semakin character lelaki itu levelnya tinggi, semakin dia mengenakan baju zirah yang bagus, semakin macho dia. Semakin character perempuan itu levelnya tinggi, semakin hampir telanjang dia.

Game adalah media yang menyediakan berbagai macam objet petit a (obyek penyebab hasrat) dan menyediakan berbagai macam cara pemenuhan hasrat itu, bahkan hasrat yang paling dilarang di dalam masyarakat sekalipun (kebut-kebutan di jalan raya atau membunuh misalnya), sejauh kita mematuhi aturan-aturan (ideologi) dasarnya. Game adalah media di mana kita dikondisikan untuk menjadi si tokoh utama, sang jagoan. Game, khususnya yang berjenis MMORPG dan berbasis internet, adalah media tempat di mana kita bisa berinteraksi dengan banyak orang lain dari berbagai negara di seluruh penjuru dunia, berteman dengan mereka, membangun persekutuan, berdagang (baik virtual maupun konkret dengan uang betulan), atau kita saling mengolok, mencaci maki, lalu berkelahi tanpa ada konsekuensi luka pada tubuh.

Seseorang yang bermain game itu bisa saja terasing dari tubuhnya sendiri. Seseorang bisa melupakan rasa lapar dan haus saat tengah bermain game. Itulah sebabnya ada kasus pemuda yang mati di warnet. Tubuh seseorang yang bermain game itu seakan-akan digantikan dengan tubuh character-nya. Seperti di film Avatar di mana seorang manusia ditidurkan untuk kemudian dibangunkan di dalam tubuh biru spesies humanoid lain. Tubuh manusianya ditidurkan di dalam alat, tetapi psikenya tetap hidup di dalam dan melalui tubuh makhluk humanoid lain. Ketika dia dalam wujud makhluk humanoid itu tidur, dia akan bangun di dalam tubuh manusianya. Dengan bermain game, seseorang hadir sekaligus di depan dan “di dalam” PC, dan di saat yang sama terasing dari tubuhnya sendiri.

3. Bermain Game adalah Konsumsi
Dewasa ini masyarakat kita digerakkan oleh konsumsi. Kita hidup didekte oleh obyek. Berbeda dengan masyarakat Inggris pascarevolusi industri, masyarakat kontemporer sekarang ini tidak lagi berdasarkan pada produksi, tetapi benar-benar telah menjadi masyarakat konsumsi. Masyarakat macam ini adalah masyarakat yang dijejali dengan gambar, tanda, dan ikon.[18] Orang bukan lagi mengonsumsi oleh karena kebutuhan atau mengonsumsi fungsi barang tertentu, melainkan mengonsumsi tanda. Orang membeli BlackBerry bukan karena butuh untuk menelepon atau mengirim pesan, melainkan karena “BlackBerry” itu sendiri. Orang membeli Harley-Davidson bukan karena kebutuhan untuk berkendara dengan sepeda motor, melainkan melakukan distinction, bahwa dia dari kelas dan komunitas yang berbeda dan eksklusif, dengan Harley-Davidson tersebut. Orang bermain game on-line, bukan yang off-line, bukan karena semata dia ingin refreshing, melainkan karena dia bisa segera memamerkan keberhasilannya meng-up-grade character-nya kepada semua orang yang sedang on-line memainkan game tersebut melalui internet.

Di dalam konsumsi terdapat manipulasi tanda. Konsumsi menyamakan yang real dengan tanda-tanda real. Hubungan orang dengan dunia real bukan merupakan hubungan kepentingan, investasi, dan tanggung jawab, tetapi semata hubungan keingintahuan.[19] Iklan dibuat bukan karena pertama-tama produsen ingin menawarkan barangnya, menggoda konsumen untuk membelinya, melainkan justru karena keingintahuan konsumen. Game dewasa ini dibuat bukan karena semata masyarakat membutuhkan hiburan, tetapi karena masyarakat memiliki hasrat ingin mengetahui, berpetualang, dan menguasai obyek.

Baudrillard mengkritik pengertian Saussure tentang tanda. Tanda tidak terdiri dari penanda dan petanda yang berpasangan begitu saja secara arbitrer. Petanda itu membutuhkan konteks. Dan, di dalam manipulasi tanda, kerap kali penanda itu justru merujuk pada penanda yang lain. Tidak ada obyek yang soliter, lepas dari obyek yang lain. Jika kita membeli barang, barang itu hanya akan bermakna di dalam rangkaiannya dengan barang lain. Misalnya kita membeli laptop, kita akan terdorong untuk membeli modem internet, lalu kita akan membeli pulsa paket internet, kemudian pada suatu saat kita mulai tergoda untuk menginstal game on-line, dan pulsa modem kita pun habis sehingga kita membeli pulsa paket internet lagi dan lagi sehingga kita bisa bermain game on-line lagi, lalu kita ingin meng-up-grade character kita sehingga kita membeli mata uang gold[20]... demikian seterusnya.

Konsumsi bisa menjadi dasar suatu hubungan masyarakat. Seseorang menjadi anggota suatu kelompok dengan mengonsumsi apa yang dikonsumsi kelompok tersebut, atau seseorang mengonsumsi suatu produk tertentu karena dia merupakan anggota kelompok tertentu. Saya membeli Honda New MegaPro, misalnya, maka saya bisa menjadi anggota klub motor MegaPro. Di sisi lain, saya anggota klub motor MegaPro, maka saya akan mengonsumsi apa yang dikonsumsi anggota-anggota lain kelompok itu, misalnya saya akan membeli helm berkualitas DOT, membeli jaket kulit, membeli pelindung lutut dan tulang kering, membeli safety-shoes, membeli sarung tangan, membeli klakson keong, membeli flasher-touring, memodifikasi motor, membeli merk oli rekomendasi teman, dan segala sesuatu yang bisa membuat saya tetap merasa berhak menjadi bagian dari kelompok tersebut. Di dalam dunia game, pada umumnya seseorang telah terlebih dahulu memiliki lingkaran pertemanan di dunia real. Seorang teman akan memainkan sebuah game, misalnya Point Blank, teman yang lain pun akan diajak ke game center untuk bermain Point Blank. Melihat teman-teman di dalam lingkaran pertemanannya pada bermain game Point Blank, dia pun akan turut serta belajar bermain Point Blank, dan ikut teman-temannya ke game center bermain Point Blank, sehingga dia tetap berada di dalam lingkaran pertemanan tersebut.

Bermain game adalah konsumsi. Apa yang dikonsumi? Orang mengonsumi tanda. Game menyediakan dunia alternatif di mana seseorang bisa menjadi si jagoan. Seturut perkembangannya, game semakin menjadi semacam dunia pararel, tidak lagi mengacu pada realitas atau bahkan melampaui realitas, hiperealitas. Apa yang real dan apa yang imajiner dilampaui. Yang real, bukan hanya direpresentasikan, melainkan disuguhkan di dalam serangkaian kode, juga di dalam kode biner komputer. Yang real dikloning di dalam yang virtual, sehingga yang virtual jauh lebih real dari pada yang real. Orang lebih bingung ketika character-nya lapar dari pada ketika tubuhnya sendiri merasa lapar.

Game adalah media di mana realitas disimulasikan. Simulasi bukanlah representasi dari yang real, melainkan suatu bentuk reproduksi kode yang tidak memiliki acuannya di dalam realitas. Ada empat fase simulasi[21]:
1. Representasi, ketika citra menjadi cermin suatu realitas
2. Ideologi dipahami ketika citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas.
3. Citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas, lalu citra bermain menjadi penampakannya.
4. Citra sama sekali tidak ada hubungannya dengan realitas apapun. Ia hanya menyerupai dirinya.
Prinsip ‘harus sedekat mungkin dengan kebenaran’ membuat game dirancang sedemikian rupa sehingga membuat pemainnya bereaksi bahkan lebih keras dari realita.
           
4. Dilema Kewarganegaraan dengan Kewargabudayaan Game
Kita adalah warga politis dari suatu negara, kita adalah warga negara dari suatu negara modern tertentu. Konsep kewarganegaraan memang merupakan suatu konsep yang sangat lama, di Eropa sendiri sudah sejak zaman Yunani kuno, lalu berkembang pada Republik dan Kekaisaran Romawi, kota-kota zaman medieval dan Renaissance, dan akhirnya era negara-bangsa yang modern ini.[22] Brubaker mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Pierson, bahwa Revolusi Perancis menemukan baik konsep negara-bangsa serta institusi modern dan maupun ideologi kewarganegara-bangsaan.[23]



Tabel Perkembangan Kewargaan Menurut T. H. Marshall[24]

Hak Sipil
Hak Politis
Hak Sosial
Periode
Abad 18
Abad 19
Abad 20
Prinsip Utama
Kebebasan Individu
Kebebasan Politis
Kesejahteraan Sosial
Ukuran Khas
Habeas corpus, kebebasan berpendapat, berpikir, dan beriman; kebebasan untuk memasuki kontrak yang legal
Hak untuk memilih (mencoblos), reformasi parlemen, gaji untuk para MP
Pendidikan gratis, pensiun, kesehatan (negara sejahtera)
                                                                                     kumulatif

Berdasarkan tabel di atas kita bisa melihat bahwa kewargaan di Indonesia masih berhenti pada Kebebasan Politis. Memang beberapa orang sudah mulai mewacanakan kewargaan berdasarkan Kesejahteraan Sosial, akan tetapi harus kita akui kita belum selesai dengan Kebebasan Politis, bahkan kita belum selesai dengan Kebebasan Individu. Kita masih jauh lebih sering berbicara mengenai Hak-hak Politis, “Jangan golput ya.” Bahkan kita masih berada dalam euforia pasca-Soeharto di mana kita mulai mendapatkan hak dan kebebasan berpendapat (Kebebasan Individu). Kewargabudayaan sendiri sebenarnya merupakan suatu bentuk kewargaan yang sudah melampaui Kesejahteraan Sosial; sudah bukan lagi berbicara mengenai Hak Sosial, melainkan Hak Budaya.

Kewarganegaraan, juga kewargabudayaan, adalah perihal keanggotaan. Menjadi warga-negara berarti menjadi anggota dari suatu komunitas politis. Pada era Yunani kuno, menjadi seorang warga berarti (adalah lelaki yang) menjadi anggota penuh dari suatu polis (kota). Pada saat itu perempuan, sebagaimana budak, belum diperhitungkan. Komunitas politis di dunia modern itu kini tak lain adalah negara-bangsa itu sendiri. Dua ratus tahun terakhir ini kewarganegaraan dan rasa kebangsaan sudah saling berjalin-kelindan dengan sangat erat.[25]

Karena kewarganegaraan adalah perihal keanggotaan, hal itu berkaitan erat dengan soal hak dan kewajiban. Salah satu hak mendasar dari seorang warga-negara adalah hak budaya. Richard Johnson, sebagaimana yang dikutip Alexander Koko, berpendapat bahwa hak budaya adalah hak untuk menentukan subjektifitas diri, menentukan identitas diri baik pribadi, sosial maupun budaya, dan adalah hak setiap orang untuk semakin menjadi sadar dengan pengetahuan-pengetahuan yang mampu diakses oleh sebagian besar orang dengan seluruh teknologi yang mendukungnya.[26] Seorang warga-budaya merupakan seorang poliglot (multi-suara) yang mampu bergerak dengan nyaman di dalam komunitas-komunitas yang beragam dan berbeda, sembari menolak godaan untuk mencari sebuah identitas yang lebih murni/asli dan tidak rumit.[27]

Budaya di sini kita pahami bukan merupakan sebuah budaya adiluhung semata. Setiap usaha manusia di dalam mencari objet petit a itu adalah budaya. Maka, mengonsumsi obyek itu adalah budaya. Bermain game itu adalah budaya. Hak-hak budaya inilah yang membentuk suatu kewargabudayaan. Kewargabudayaan adalah usaha untuk merumuskan identitas kultural, sosial dan individual di tengah transformasi sosial yang berjalan. Lebih jauh, apa yang disebut masyarakat bukan melulu subyek yang dibentuk dan didekte oleh negara, melainkan juga merupakan sekumpulan individu-individu yang dibentuk oleh perilaku konsumsi.

Letak ketegangannya adalah di sini. Satu sisi orang mulai mencari alternatif kewargaan selain kewarganegaraan dengan mengembangkan konsep kewargabudayaan. Di sisi lain, salah satu arena kewargabudayaan itu tak lain adalah konsumsi.[28] Orang-orang yang sama-sama bermain game dan memainkan game yang sama dapat merasa saling memiliki satu sama lain, akrab, dan erat. Kewargabudayaan ini bahkan melampaui batas-batas negara-bangsa. Orang merasa lebih akrab dengan seseorang dari negara lain dari pada dengan tetangga kosnya sendiri hanya karena memainkan game on-line yang sama.

Kewargabudayaan hadir melalui ruang-ruang publik. Game menyediakan sebuah dunia virtual yang hipereal. Dunia semacam itu pun ternyata bisa menjadi sebuah ruang publik. Media komunikasi (telepon, handphone, internet) adalah media yang mampu menjembatani individu-individu yang terpisah secara tempat dan waktu untuk membentuk sebuah “ruang”. Game pun mampu mempertemukan orang-orang. Akan tetapi, karena dunia yang dihadirkan itu hipereal, orang tidak memiliki acuan kepada yang real. Bisa saja orang tidak pergi ke TPS ketika hari coblosan tiba karena merasa lebih penting untuk menyelesaikan quest dari guild-nya.

Negara Indonesia sendiri belum memperhatikan wilayah ini. Game masih dianggap sebagai hal yang remeh. Di beberapa negara lain, Amerika misalnya, game Grand Theft Auto San Andreas menjadi bahan pembicaraan di parlemen. Mereka menghendaki rating game tersebut dinaikkan menjadi Adult Only (+18) karena memiliki sub-mission bernama “hot coffee”, yaitu sebuah mini-game yang bisa diakses dengan game-mod[29] di mana kita harus membuat Carl Johnson mampu memuaskan kekasihnya secara seksual.[30] Di negara tetangga kita, Malaysia, ada seorang politisi yang meminta pemerintah Malaysia untuk melarang peredaran game Grand Theft Auto V di negara itu oleh karena unsur kekerasan di dalamnya.[31]

Dengan bermain game kita telah mengonsumsi, dengan demikian kita telah menjadi seorang warga game tertentu melalui character yang kita perankan. Akan tetapi, kalau kita lihat character di dalam game yang ada, hampir tidak ada character yang menggambarkan seorang Indonesia. Jikapun ada, paling hanya character Jokowi, yang digambarkan karikatural, dan character Prabowo, yang digambarkan macho dengan seragam Kopassusnya, dalam game-game yang dirilis oleh para relawan dan tim-sukses mereka.[32] Character yang kita mainkan kebanyakan menggambarkan ras kaukasoid, bangsa Cina-Jepang, dan dalam beberapa game ras negroid. Walaupun “tubuh” yang dipakai di dalam game itu sama sekali tidak menggambarkan “ke-Indonesia-an”, sejauh yang saya alami dan saya amati dalam game MMORPG, rasa kebangsaan, sebagai Bangsa Indonesia, itu masih ada, bahkan ditumbuhkan. Beberapa server game MMORPG memang hanya melayani jaringan lokal negara Indonesia, tetapi banyak server menyediakan kesempatan bagi kita, orang Indonesia, untuk bertemu dengan orang-orang dari negara lain. Server yang saya pakai ketika bermain Godswar, game MMORPG berlatar belakang Yunani klasik, mempertemukan saya dengan orang-orang Filipina, Malaysia, India, Belanda, Brazil, dan Amerika Serikat. Beberapa di antara mereka akhirnya menjadi teman facebook saya. Server itu memang didominasi oleh orang-orang Filipina. Guilds (kelompok-kelompok) yang ada kebanyakan diketuai oleh seorang Filipina. Orang-orang Malaysia, India, Belanda, Brazil, dan Amerika Serikat yang saya temui itu pun merupakan anggota dari guild yang diketuai oleh orang Filipina tersebut. Mereka tidak bernafsu untuk mengumpulkan teman-teman sebangsa di dalam satu guild. Berbeda dengan orang-orang Indonesia yang ada di server itu. Orang-orang Indonesia di server itu berambisi memiliki guild sendiri yang berisi (hanya) orang-orang Indonesia. Setiap kali bertemu dengan sesama orang Indonesia, saya selalu ditawari untuk masuk di guild Indonesia tersebut. Keanggotaan saya dalam guild non-Indonesia dipertanyakan oleh mereka. Saya hanya berkilah bahwa saya hanya seorang noob (pemula/level rendah), dan Master (guru) saya kebetulan ada di guild non-Indonesia tersebut; setelah level saya tinggi dan tidak memerlukan Master, saya akan pindah. Rasa kebangsaan, sebagai orang Indonesia, itu semakin menjadi-jadi ketika sentimen anti-Malaysia turut serta mewarnai permainan.

Hal semacam itu tidak begitu tampak dalam game off-line. Karena off-line, orang perlu berhenti bermain game untuk bertemu dengan Liyan, atau malah mengajak Liyan bermain multiplayer. Dalam game off-line ruang publik tidak dihadirkan secara langsung sebagaimana yang terjadi dalam game on-line. Game off-line hanya menjadi basis ruang publik tersebut; orang bertemu di dunia nyata oleh karena ingin membicarakan perihal game off-line tersebut. Saya harus bertemu dengan sahabat saya, bahkan mengundangnya ke kediaman saya sekadar untuk meng-install dan membicarakan Grand Theft Auto San Andreas. Seorang teman harus menemui saya di kantin kampus sekadar untuk membicarakan strategi pertahanan survival endless dalam game Plants versus Zombies. Sewaktu kita memainkan game off-line macam itu, dengan “tubuh” dan latar belakang non-Indonesia, rasa kebangsaan itu tidak (sempat) terpikirkan. Masalah yang dihadirkan di dalam game itu, entah apapun latar belakang negara/bangsa/kebudayaannya, merupakan masalah kita yang membutuhkan reaksi cepat kita dan harus kita selesaikan.

Penutup
Game menawarkan suatu bentuk kewargaan alternatif. Dunia game yang penuh fantasi menyediakan kemungkinan-kemungkinan bentuk hubungan sosial yang tidak terbayangkan dalam dunia real sebelumnya. Hubungan sosial yang ditawarkan bisa melampaui batas-batas negara dan bangsa sebab game, terutama game on-line, menyediakan sebuah ruang publik yang sangat luas. Hubungan sosial itu juga bisa berupa penyungsangan kelas-kelas sosial yang ada dalam realita sosial yang nyata.  Karena dunia virtual game sendiri dapat menjadi sebuah ruang publik, dunia itu menjadi tempat di mana orang berkumpul, melakukan sesuatu, membicarakan sesuatu, dan -disadari maupun tidak- membatinkan sesuatu. Di dalam arena kewargabudayaan game orang bisa mengekspresikan dirinya serta membentuk persekutuan sosial secara jauh lebih bebas dan kaya dibandingkan dengan di dalam arena kewarganegaraan biasa.

Di sisi lain, game adalah sebuah budaya kontemporer. Game menghadirkan sebuah sarana pemenuhan hasrat, sebab game menyediakan sebuah dunia virtual yang hipereal. Dengan bermain game, kita bersimulasi seakan-akan itulah yang akan terjadi pada realitas. Akan tetapi, acap kali dengan bermain game, terutama game on-line, seseorang terjebak di dalam serangkaian serialitas konsumsi. Lebih jauh, orang bahkan berhenti pada realitas virtual tersebut, sehingga begitu saja mengabaikan hak-kewajibannya sebagai warga negara. Orang bisa menjadi “autis” ketika bermain game, sehingga justru mengabaikan yang nyata di sekitarnya.

Saya pribadi gemar bermain game, bahkan belajar banyak hal dari game. Akan tetapi, kesadaran bahwa game adalah sebuah bentuk konsumsi, bahkan sebuah serialitas konsumsi, serta dapat memerangkap kita di dalam dunia hiperealnya, membuat kita bisa mengambil jarak. Teman-teman saya bercerita bahwa sekarang ada sebuah game Android yang “memaksa” tubuh biologis kita untuk bergerak, tidak lagi sekadar duduk terasing di depan console. Game tidak lagi bisa dipandang remeh sebelah mata, sebab ternyata mampu menghadirkan kewargabudayaan yang tidak main-main.

Daftar Pustaka
Buku
Alexander Koko. Dilema Warga Budaya. Paper Seminar Kewargabudayaan.
Althusser, L. Lenin and Philosophy and Other Essays. Edward Miner Gallaudct Memorial Library Gallaudet College.
Boucer, G. 2008. “Radical Negativity: Zizek’s Lacanian Dialectics”. dalam The Charmed Circle of Ideology: A Critique of Laclau & Mouffe, Butler & Zizek. Re.Press: Melbourne.
Dovey, Jon and Helen W. Kennedy. 2006. Game Cultures, Computer Games As New Media. Open University Press.
Galloway, Alexander R. 2006. Gaming: Essays on Algorithmic Culture. Minneapolis and London: University of Minnesota Press.
Gowan, T. 2007. “Introduction: Lacanian Psychoanalysis in Film Theory”. dalam The Real Gaze. Film Theory after Lacan. State University of New York Press.
Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: Gramedia.
Hjorth, Larissa and Dean Chan (ed.). 2009. Gaming Cultures and Place in Asia-Pacific. Routledge.
Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer, dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. terjemahan Bahasa Indonesia oleh A. Gunawan Admiranto. Yogyakarta: Kanisius.
Pierson, Christopher. 1996. The Modern State. London: Routledge.
Poster, Mark (ed.). Jean Baudrillard, Selected Writings.
Stevenson, N. 2003. Cultural Citizenship. Open University Press.

Internet



[1] Alexander R. Galloway. 2006. Gaming: Essays on Algorithmic Culture. Minneapolis and London: University of Minnesota Press. 1.
[2] N. Stevenson. 2003. Cultural Citizenship. Open University Press. 12
[3]Games are both object and process,” writes Espen Aarseth, “they can’t be read as texts or listened to as music, they must be played.” (Alexander R. Galloway. 2006. 3)
[4] Kehadiran game-game ini tidak saya maksudkan secara kronologis. Urutan itu hanyalah urutan perkenalan saya dan teman-teman terhadap game-game tersebut.
[6] Saya sengaja tetap memakai kata “character”, bukan “karakter”, karena para gamers, juga gamers Indonesia, menggunakan kata itu sebagai istilah bagi tokoh yang mereka mainkan. Bahkan, secara teknis mereka memakai istilah “char”, sebagai kependekan dari kata “character”.
[7] Jon Dovey and Helen W. Kennedy. 2006. Game Cultures, Computer Games As New Media. Open University Press. 1.
[8] Sam Hinton. “Gaming Nation, The Australian Game Development Industry”. dalam Larissa Hjorth and Dean Chan (ed.). 2009. Gaming Cultures and Place in Asia-Pacific. Routledge. 39.
[9] Jon Dovey and Helen W. Kennedy. Game Cultures, Computer Games As New Media. 3.
[10] Richtel (2005), sebagaimana dikutip oleh Jon Dovey and Helen W. Kennedy, menceritakan bagaimana para karyawan Electronic Arts, sebuah perusahaan programer game, menuntut kenaikan upah yang setara dengan jam kerja mereka. Jon Dovey and Helen W. Kennedy. Game Cultures, Computer Games As New Media. 1.
[12] L. Althusser. Lenin and Philosophy and Other Essays. Edward Miner Gallaudct Memorial Library Gallaudet College.  142-143
[14] Ada berbagai macam versi Counter Strike. Dalam salah satu versi, pada map de_dust bangunan gedung didesain mirip bangunan-bangunan di Timur Tengah dengan kubahnya, bahkan ada versi yang memiliki back-sound suara adzan.
[15] Game di mana kita harus balapan di jalan raya sembari saling membunuh dengan senjata.
[16] G. Boucer. 2008. “Radical Negativity: Zizek’s Lacanian Dialectics”. dalam The Charmed Circle of Ideology: A Critique of Laclau & Mouffe, Butler & Zizek. Re.Press: Melbourne. 195.
[17] T. Gowan. 2007. “Introduction: Lacanian Psychoanalysis in Film Theory”. dalam The Real Gaze. Film Theory after Lacan. State University of New York Press. 6.
[18] N. Stevenson. Cultural Citizenship. 15
[19] Foucault mengatakan bahwa rasa ingin tahu itu tak lain adalah hasrat menguasai; pengetahuan berkaitan erat dengan kekuasaan.
[20] Mata uang di dalam game pada umumnya yang harus dibeli dengan uang sungguhan; tidak semua mata uang game on-line bernama “gold”. Biasanya game on-line membedakan dua jenis mata uang: mata uang yang harus dibeli dengan rupiah sungguhan (gold) dan mata uang yang bisa didapat begitu saja dengan menjalankan quest/misi (silver).
[21] Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: Gramedia. 24
[22] Christopher Pierson. 1996. The Modern State. London: Routledge. 106
[23] Christopher Pierson. The Modern State. 107
[24] Christopher Pierson. The Modern State. 113
[25] Christopher Pierson. The Modern State. 107
[26] Alexander Koko. Dilema Warga Budaya. Paper Seminar Kewargabudayaan. 20-21
[27] N. Stevenson. Cultural Citizenship. 29.
[28] Alexander Koko. Dilema Warga Budaya. 17.
[29] sebuah program untuk memodifikasi game
[32] Pada kampanye pemilihan Gubernur Jakarta kemarin relawan Jokowi-Ahok merilis game dengan tokoh utama Jokowi memberantas masalah-masalah yang ada di Jakarta. Musuh utamanya, sang koruptor, digambarkan berkumis (saat itu lawannya adalah sang petahana Fauzi Bowo yang memang berkumis dan memakai penanda “kumis” sebagai ciri khasnya). Sedangkan dalam kampanye pemilihan presiden 2014 ini relawan dan tim-sukses Jokowi maupun Prabowo sama-sama merilis game

Comments

  1. Saya pake ya mas sebagai sumber pendukung bahan UAS Pak Nardi. Maturnuun sangat.

    ReplyDelete

Post a Comment