EKM SEBAGAI TERIAKAN HISTERIA
Melihat EKM dari Sudut Pandang
Psikoanalisa
oleh
Yohanes Padmo Adi Nugroho (136322009)
Pengantar
Pada
tanggal 21 Mei 2014 yang lalu dalam situs liturgikas.com dimuat sebuah artikel
yang mempermasalahkan EKM (Ekaristi Kaum Muda). Artikel itu berjudul “EKM:
Emang Kamu Misa?”.
Di dalam artikel itu dibahas mengenai Apa itu EKM dari sudut pandang admin
liturgikas.com. Selang beberapa waktu kemudian muncul tulisan-tulisan yang
menanggapi artikel tersebut di atas. Dua di antaranya adalah tulisan dari
Mutiara Andalas, S.J. dengan judul “EKM bukan ‘EKM’!”
dan dari A. Setyawan, S.J. dengan judul “Ekaristi Kaum Muda”.
Ketiga tulisan di atas sarat dengan muatan teologi dan pastoral. Tulisan saya
ini hendak turut serta membahas EKM. Sebagai seorang muda katolik, pembicaraan
(untuk tidak mengatakan perdebatan) seputar EKM perlu pula saya masuki. Saya
merasa memiliki tanggung jawab iman untuk turut serta membicarakannya. Akan
tetapi, tulisan ini tidak saya maksudkan sebagai sebuah tulisan teologis
ataupun pastoral. Saya hanya hendak mengkaji fenomena Ekaristi Kaum Muda
melalui kaca mata psikoanalisa lacanian.
Apa Itu EKM?
Saya
pribadi baru beberapa kali mengikuti apa yang disebut Ekaristi Kaum Muda itu.
Walaupun demikian, beberapa teman saya hampir selalu menjadi panitia
penyelenggaraan EKM. Beberapa kali mereka meminta saya untuk menulis naskah
drama atau puisi yang berkaitan dengan tema dan bacaan misa. Salah satu sahabat
baik saya mau menjadi narasumber saya, menceritakan pengalaman eksistensialnya
ketika mengikuti EKM bersama dengan kekasihnya. Ada yang khas dari EKM. Sahabat
saya itu berkata, “Jika yang dicari adalah misa yang cepat selesai, mereka
pasti tidak akan ikut EKM, sebab sering kali EKM jauh lebih lama dari pada misa
biasa.” “Misa biasa” di sini saya garis bawahi. Apakah EKM misa yang
“luar biasa”? Apa yang membedakan EKM dengan
“misa biasa”? Sejauh yang saya pahami dan alami, EKM adalah misa yang
dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya, bahkan sampai dibentuk panitia. Memang
ada performance art di sana: ada
tari-tarian, atau teater, atau pembacaan puisi. Namun, sajian seni itu bukanlah
sesuatu yang di luar misa. Sajian seni itu disiapkan sedemikian rupa,
disesuaikan dengan tema dan bacaan misa. Semuanya dipersiapkan sedemikian rupa
sehingga umat memiliki sarana yang kaya untuk sampai kepada pesan Injil dan
misteri iman. Mungkin pengetahuan saya ini tidaklah cukup. Maka, mari kita
lihat apa pengertian EKM berdasarkan tiga tulisan di atas.
Artikel
“EKM: Emang Kamu Misa?” mengatakan bahwa,
“EKM biasanya
menjadi perayaan Ekaristi yang digemari oleh anak muda (mungkin juga ada orang
tua yang suka). Umumnya dalam perayaan Ekaristi Kaum Muda tata perayaannya
dibuat berbeda. Katanya menurut selera orang muda: tarian, musikalisasi
puisi, visualisasi cerita kitab suci atau drama hidup sehari-hari, dengan
iringan kor maupun band, dengan bintang tamu dan simbol-simbol orang muda. Hal
ini ditempuh untuk membantu orang muda berjumpa dengan Yesus dalam perayaan
Ekaristi.
EKM digambarkan sebagai perayaan ekaristi yang identik dengan
kaum muda (OMK?). Kemudian artikel tersebut mengonfrontasikan EKM dengan
Ekaristi yang sesuai dengan TPE (Tata Perayaan Ekaristi). Hanya ada satu
ekaristi, yaitu ekaristi yang sesuai dengan TPE. Pada artikel tersebut, penulis
(admin liturgikas.com) mencoba mengkritisi (dan menegur) praktek-praktek
liturgi yang“menyimpang” semacam EKM.
Sedangkan Romo A. Setyawan, S.J. dalam artikelnya berjudul
“Ekaristi Kaum Muda” berkata, kurang lebih, bahwa perayaan Ekaristi Kaum Muda
itu bukanlah merupakan sebuah misa yang spontan begitu saja. EKM lahir dari
sebuah proses pendampingan dan pastoral yang panjang. Sebuah EKM akan lahir
setelah dipersiapkan dengan sungguh-sungguh bahkan sejak beberapa bulan
sebelumnya. Performance art
(visualisasi), tema, bacaan Kitab Suci, rumusan doa-doa, semuanya dipilih dan
dipersiapkan. Ada pendampingan dari seorang pastor dalam mempersiapkan sebuah
EKM. Proses pendampingan dalam mempersiapkan EKM menjadi hal yang ditekankan
oleh Romo A. Setyawan, S.J. Tidak hanya EKM, bahkan ada yang namanya EKR
(Ekaristi Kaum Remaja), EKA (Ekaristi Anak), Ekaristi Lansia, dan Ekaristi
Kharismatik. Semua itu lahir dari proses pendampingan dan pastoral. Walaupun
demikian, pada artikel yang lain, yaitu artikel berjudul “EKM: Emangnya Kamu Misa?” Romo A. Setyawan, S.J. mengkritisi EKM yang hanya berhenti
pada kulit luarnya saja, hanya berhenti pada performance art-nya saja. EKM tidak cukup, perlu dibarengi dengan Eucharistic Youth Movement.
Artikel yang terakhir adalah tulisan Romo Mutiara Andalas, S.J. Di
dalam artikel berjudul “EKM Bukan ‘EKM’!” tersebut Romo Mutiara Andalas, S.J. menjelaskan
bahwa EKM merupakan salah satu bentuk inkulturasi liturgi. “EKM lahir dari dialog yang melibatkan orang
muda, budaya populer, dan iman Kristiani,” kata Romo Mutiara Andalas, S.J.
Ekaristi Kaum Muda lahir dari dialog antara
para pemuda (OMK?), budaya populer (konsumsi?), dan iman Kristiani.
Membicarakan EKM berarti harus membicarakan iman orang-orang muda katolik.
Membicarakan orang-orang muda berarti harus membicarakan budaya populer yang
mereka hidupi. Romo Mutiara Andalas, S.J. tidak hanya membela EKM, tetapi lebih
jauh dia membela para pemuda Katolik yang menghidupinya. Admin liturgikas.com
dianggap merendahkan dan menyepelekan pemuda sebagai yang “mengikuti selera
sendiri”. Selain itu, admin liturgikas.com juga dianggap tidak memahami “budaya
populer”. Di sana para pemuda bisa “[meng]ungkap[k]an iman
orang muda dalam bahasa-bahasa yang melampaui verbal, seperti lagu,
musikalisasi puisi, tarian, dan drama.”
Frasa “bahasa-bahasa yang melampaui verbal” saya garis bawahi di sini. Romo
Mutiara Andalas, S.J. pun sekata dengan Romo A. Setyawan, S.J. bahwa EKM lahir
dari sebuah proses pastoral kaum muda yang menggereja.
Ekaristi Kaum Muda menjadi fenomena di dalam tubuh Gereja Katolik,
terutama, sejauh yang saya tahu, di Keuskupan Agung Semarang. Berdasarkan
informasi yang saya dapatkan dari beberapa teman, EKM pertama kali lahir di
Paroki Santo Antonius Kota Baru, Yogyakarta. Dari sana kemudian mulai menyebar.
Paroki Keluarga Kudus Banteng pun pernah menyelenggarakannya. Akan tetapi, saya
tidak mendapatkan informasi apakah paroki asal saya, Santo Paulus Kleco, Solo,
juga pernah menyelenggarakannya atau tidak. Mungkin model dan penekanan
pendampingan kaum mudanya berbeda. Walaupun demikian, di beberapa paroki
(termasuk paroki saya), inkulturasi liturgi
terjadi. Para pemuda diberi kesempatan yang sangat luas, bahkan didukung
pihak-pihak paroki (pastor paroki dan dewan paroki), untuk mengekspresikan iman
mereka. Penulis “EKM: Emang Kamu Misa?” yang rubrikisme melihat dan menilai
bahwa EKM adalah sebuah “penyelewengan”.
Artikel ini sempat memanaskan suasana. Artikel ini dibicarakan di mana-mana,
dibagikan di dinding-dinding facebook,
ditanggapi oleh sedikitnya dua orang pastor, dan bahkan teman sekelas saya di
IRB mengaku turut serta memberikan pandangan pada kolom komentar. Saya pribadi
melihat bahwa jauh sebelum perdebatan teologis ini dipanaskan oleh artikel
tersebut, pro-kontra seputar EKM sudah menjadi bisik-bisik seru di antara para
teolog, imam, dan umat di Keuskupan Agung Semarang.
Melihat Fenomena EKM
dari Luar Ranah Teologi
Dalam bukunya berjudul “Arguing Sainthood: Modernity,
Psychoanalysis and Islam” Katherine Ewing menjelaskan tentang teori hegemoni
oleh Antonio Gramsci dan teori psikoanalisa Jacques Lacan (terutama tentang
tema “decentered subject”). Seorang
individu tidak begitu saja menjadi subyek. Subyektivitas dan kesadaran individu
itu dibentuk. Apa yang membentuk subyektivitas dan kesadaran ini? Yang
membentuknya adalah “hegemoni”. Apa itu “hegemoni”? Hegemoni adalah
kebenaran-kebenaran yang dipercayai dan diyakini sebagai benar. Hegemoni itu
menyejarah lewat habitus. Dan, setiap individu mau tidak mau harus menggunakan
premis-premis kebenaran tersebut. Hegemoni adalah penanda-penanda yang mau
tidak mau harus digunakan oleh seorang individu jika dia ingin masuk ke dalam
yang sosial. Dengan kata lain yang lebih sederhana, “hegemoni” adalah sebuah
persetujuan (akan kebenaran) yang dianggap dan dipercaya sebagai esensi dari
kenyataan. Para ahli liturgi merumuskan TPE. TPE itu kemudian dianggap sebagai
kebenaran mutlak yang harus diikuti dengan seksama sehingga tidak terjadi
penyelewengan. Seseorang yang hegemonik akan mempercayai apa yang dikatakannya,
dan bahkan kepercayaannya itu konsisten dengan praktek hidupnya sehari-hari.
Beberapa akademisi berargumentasi bahwa terminologi “budaya”
harus diganti dengan terminologi “hegemoni”, sebab hegemoni menekankan hubungan
kekuasaan di mana makna dibuat dan dipaksakan kepada liyan sehingga seakan-akan
itu adalah hal yang alamiah.
Sistem tanda itu tidak alami, tetapi dibuat, direkayasa, dan bahkan dipaksakan.
Antonio Gramsci mengatakan bahwa konsep hegemoni adalah sebuah cara pembentukan
karakter kekuatan dari sebuah kelompok untuk menciptakan wacana publik.
Tata Perayaan Ekaristi adalah kesepakatan para ahli liturgi berdasarkan teologi
Gereja. Rubrik dan segala aturan yang mengatur di dalamnya adalah sistem tanda
yang dibuat. Sebagaimana sistem tanda hegemonik lainnya, sifatnya tentu saja
arbitrer. Seorang individu harus mematuhi aturannya, dengan penghayatan akan
teologi-teologi tertentu, sehingga dia bisa masuk ke dalam tatanan simbolik
Gereja Katolik, supaya individu itu menjadi subyek, seorang beriman Katolik.
Artikel yang ditulis oleh admin liturgikas.com tersebut di atas adalah
hegemonik, karena seakan-akan tengah menekankan kembali hubungan kekuasaan
antara klerus (hierarki) dengan umat. Apa lagi, artikel tersebut diunggah pada
situs yang memakai kata “liturgi” dan “KAS”, sehingga membuatnya seolah-olah
pernyataan resmi dari Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang. Dengan
menekankan kembali hubungan kekuasaan, artikel yang ditulis oleh admin
liturgikas.com itu tengah mengangkat sebuah wacana ke ranah publik.
Pro-kontra
EKM memang sudah menjadi bisik-bisik mulai dari yang setingkat gosip hingga
kepada perdebatan teologis-pastoral, tetapi selama ini itu terjadi di ranah
akademis, sampai akhirnya admin liturgikas.com membangun wacana itu di ranah
publik (baca: di tengah-tengah umat). Wacana yang digulirkan oleh admin
liturgikas.com menggemakan “pengawasan” dan “pembatasan” atas praktek-praktek
ekaristi, khususnya yang ada di Keuskupan Agung Semarang.
Hegemoni dapat dipahami ke dalam dua makna yang berbeda, yaitu: (1.)
praktek-praktek dan ide-ide terpisah yang membentuk dan mengangkat situasi
kehidupan sehari-hari yang tak terbantahkan dan sempit, dan (2.) kontrol atas
ruang wacana publik - sebuah kontrol yang mungkin dibatasi pada konteks yang
spesifik sedangkan konteks lain mungkin diorganisasikan menurut prinsip-prinsip
yang berbeda.
Ruang wacana publik Keuskupan Agung Semarang atas penyelenggaraan EKM hendak
dikontrol dan diawasi.
Di sisi lain, perayaan ekaristi yang “tekstual” (terlalu patuh
dengan rubrik) memang telah menjadi hegemoni, atau, menurut terminologi
psikoanalisa lacanian, telah menjadi Wacana Tuan. Wacana Tuan adalah wacana
pertama yang harus dialami oleh seorang individu sehingga dia dapat menjadi
subyek. Akan tetapi, ternyata Wacana Tuan itu tidak mencukupi untuk
membahasakan secara paripurna seorang individu. Seorang individu mengalami misrecognition. Keadaan itu membuat
seorang individu beralih dari Wacana Tuan ke Wacana Histeria. Dengan Wacana
Histeria itu, dia hendak mencoba melampaui Wacana Tuan, untuk kemudian
membahasakan dirinya secara baru. Seseorang tidak bisa langsung menggunakan
Wacana Histeria begitu saja. Dia harus terlebih dahulu, mau tidak mau,
menggunakan Wacana Tuan. Wacana Tuan inilah yang, menurut bahasa Althusser,
menginterpelasi individu menjadi subyek. Wacana Tuan ini tidak lain adalah ISA
(Ideological State Apparatus). Salah
satu ISA adalah agama dengan segala dogma dan aturan di dalamnya.
Setelah diinterpelasi oleh ISA (agama), seorang individu menjadi
subyek. Akan tetapi, subyek yang bagaimanakah akan dihasilkan oleh interpelasi
ISA? Subyek di dalam perspektif lacanian adalah subyek yang terlepas dari
pusatnya (decentered subject).
Berbeda dari subyek menurut perspektif cartesian. Di dalam perspektif cartesian,
subyek dipahami sebagai yang utuh dan penuh di dalam dirinya sendiri. “Aku
berpikir maka aku ada”, subyek cogito,
kesadaran. Akan tetapi, dalam perspektif lacanian, kesadaran itu adalah
kesadaran palsu. Kita “ditipu”, salah melihat, misrecognition. Yang real adalah ketidaksadaran. Apa yang
menginterpelasi kita, yaitu penanda-penanda yang mau tidak mau harus kita pakai
untuk berbahasa, ternyata mengalienasi kita. Tatanan simbolik
(penanda-penanda/bahasa) itu menjauhkan kita dari kondisi real kita. Kita
menjadi subyek terbelah (split),
pecah, ambyar. Tata Perayaan Ekaristi sebagai bahasa (tatanan simbolik)
ternyata menciptakan subyek Katolik yang terbelah. Keterbelahan subyek (antara
kesadaran dengan ketidaksadaran ataupun antara ego dengan the self) di dalam perspektif lacanian itu bukanlah merupakan suatu
kondisi yang dihasilkan dari keadaan-keadaan modernitas tertentu di era
masyarakat kapitalis dewasa ini (sebagaimana argumentasi Adorno and Marcuse)
ataupun dari kondisi pascakolonialitas tertentu (sebagaimana argumentasi para
teoretis pascakolonial), melainkan semata oleh karena sesuatu yang lebih
mendasar bagi kondisi manusia, yaitu bahasa.
Bahasa menyisakan residu-residu simptomatik. Ada residu-residu
simptomatik yang tak mampu ditampung/dibahasakan oleh tatanan simbolik yang
ada. Tata Perayaan Ekaristi dengan segala peraturan dan rubriknya adalah
tatanan simbolik, Wacana Tuan, ISA, yang mau tidak mau harus dipakai oleh
seorang individu agar menjadi subyek Katolik yang merayakan ekaristi. Akan
tetapi, dilemanya, tatanan simbolik itu tidak mampu secara paripurna dan utuh
menampung/membahasakan seseorang. Ada residu-residu simptomatik. Di dalam
tatanan simbolik Gereja Katolik, para pemuda dengan segala dinamika dan budaya
populernya menjadi residu simptomatik tersebut. Romo Mutiara Andalas melihat
hal ini dengan jelas,
“EKM lahir dari dialog yang melibatkan orang
muda, budaya populer, dan iman Kristiani. Tanpa mengebawahkan ketegangan yang
berlangsung dalam perjumpaan-perjumpaan itu, dialog antar-ketiganya berlangsung
dinamis. Menyaksikan kaum muda melibati dialog ini, saya sampai pada keyakinan
akan EKM sebagai sebuah inkulturasi liturgi.”
Para
pemuda yang penuh hasrat dan gejolak itu merasa bahwa perayaan ekaristi yang
“biasa” belum cukup untuk menampung/membahasakan diri mereka. Hasrat mereka
tidak terpenuhi. Mereka akan terus berulah, melakukan sesuatu, gelisah hingga
akhirnya orang bertanya “Che vuoi?”
(Apa maumu?). Admin liturgikas.com tidak melihat hal ini, sebab dia hanya
berbicara menggunakan Wacana Tuan, yang mekanismenya menggunakan oposisi
binner, yaitu boleh/tidak, baik/buruk, setia/menyeleweng.
Manusia
sebagai subyek, dalam perspektif psikoanalisa (baik Freud maupun Lacan), adalah
subyek yang digerakkan oleh hasrat (libido). Sebagai subyek yang terbelah,
didorong oleh hasrat, manusia dengan putus asa mencari objet petit a (fantasi) agar mengalami jouissance/persatuan primordial (subyek sebelum disubyektivikasi).
Akan tetapi, untuk dapat masuk ke dalam masyarakat, seseorang harus
menyesuaikan hasratnya dengan norma-norma yang ada dan membahasakan hasratnya
dengan penanda-penanda yang sudah disediakan. Ketika hasrat alam bawah sadar
itu tidak mampu dibahasakan menggunakan penanda-penanda yang ada, dan ketika
kemudian hasrat itu direpresi, hasrat itu tidak akan hilang. Hasrat akan
mencari celah dan jalan keluar untuk mengungkapkan dirinya. Ketika represi
dilakukan dengan begitu ketat sehingga hasrat benar-benar ditekan, hasrat tidak
akan melemah, tetapi malah justru akan meledak. Ledakan hasrat alam bawah sadar,
yang tidak mampu dibahasakan dengan tatanan simbolik yang ada, itu adalah
histeria. Subyek yang histeris tidak lagi memakai Wacana Tuan, tetapi Wacana
Histeris. Para pemuda dengan segala dinamikanya di dalam alam kontemporer ini,
adalah residu-residu simptomatik Gereja Katolik. Para pemuda ini adalah subyek
terbelah yang memiliki fantasi. Karena perayaan ekaristi yang “biasa” tidak
mampu menampung hasrat mereka, memenuhi fantasi mereka, dan tidak mampu
membahasakan kondisi real mereka, akhirnya mereka “berteriak” histeris.
Histeria mereka itu terwujud di dalam bentuk Ekaristi Kaum Muda. Di dalam EKM,
hasrat muda mereka tumpah-ruah. EKM adalah teriakan histeria para pemuda ini.
Bahasa (sistem tanda) yang mereka pakai adalah bahasa yang dekat dan mampu
menyentuh kondisi real mereka. Lewat performance
art (visualisasi, drama, pembacaan puisi, tari-tarian, aransemen lagu),
pesan-pesan injil mampu mendarat pada kondisi real mereka dan di saat yang sama
mereka mengungkapkan iman. Di dalam EKM, para pemuda, sebagaimana yang
digambarkan oleh Romo Mutiara Andalas, S.J., [meng]ungkap[k]an
iman orang muda dalam bahasa-bahasa yang melampaui verbal, seperti lagu,
musikalisasi puisi, tarian, dan drama.
Kondisi histeria ini bisa membuka jalan bagi mereka untuk sampai kepada
fantasi, sehingga mereka mengalami jouissance
(enjoyment). Tentu saja tatanan
simbolis/bahasa hegemonik tidak mampu memahami/membahasakan hal ini sebab para
pemuda itu memakai bahasa/metafora yang lain/baru.
Bagi
para pemuda Katolik, Ekaristi Kaum Muda dapat menjadi hegemoni tandingan dari
ekaristi “biasa”. Ekaristi Kaum Muda bahkan dapat menjadi ideologi. Menurut
Althusser, hegemoni adalah ideologi dominan yang diterima sebagai benar, bukan
karena pertimbangan kesadaran rasional, atau karena kebijaksanaan, atau karena
lahir dari habitus, melainkan karena ideologi tersebut berhasil menjamah
wilayah ketidaksadaran (yang real), hasrat yang tidak dapat direalisasikan yang
menempatkan subyek ke dalam sebuah sistem representasi, yaitu Symbolic Order lacanian.
Dari sudut pandang ini, kita bisa memahami ajakan Romo A. Setyawan, S.J. untuk
menarik lebih jauh EKM kepada Eucharistic
Youth Movement, yaitu sebuah gerakan yang hendak menarik kaum muda untuk
menjadi rasul ketigabelas. Romo A. Setyawan, S.J. mengatakan,
“Lebih
tepatnya, EKM itu bakal jos kalau diletakkan dalam konteks gerakan
Ekaristi kaum muda ekaristis: kaum muda yang menghidupi semangat Ekaristi,
yaitu memecah-mecah roti, berbagi rahmat dengan sesama orang muda dengan aneka
macam bentuk dan kegiatannya.”
Kesimpulan dan Penutup
Di
dalam tatanan simbolik Gereja Katolik, para pemuda adalah residu-residu
simptomatik. Para pemuda dengan segala dunia dan dinamikanya hampir-hampir tak terbahasakan
dengan penanda-penanda yang ada di dalam Gereja Katolik. Mereka adalah
subyek-subyek terbelah yang dengan putus asa mencari fantasi. Karena
keterbatasan bahasa Wacana Tuan yang dimiliki oleh Gereja Katolik, akhirnya
para pemuda ini menggunakan Wacana Histeria. EKM sebagai Wacana Histeria ini
mengantarkan mereka kepada jouissance
(enjoyment), yaitu keadaan subyek
sebelum disubyektivikasi (keadaan sebelum diinterpelasi dan mengalami
keterbelahan/keambyaran/keterpecahan, atau keadaan persatuan/keutuhan
primordial). EKM adalah hegemoni tandingan dari hegemoni ekaristi yang
“rubrikis”. EKM itu ideologis karena mampu menyentuh, menyapa, mengangkat, dan
mewadahi kondisi real (ketidaksadaran) para pemuda Katolik yang selama ini
termarjinalkan.
Berangkat
dari perspektif psikoanalisa lacanian, kita bisa memahami (dan menerima)
kehadiran EKM dengan lebih baik. Proses interpelasi individu muda menjadi
subyek Katolik perlu kita lihat dengan lebih baik. Benar kata Romo Mutiara
Andalas, bahwa membicarakan EKM harus membicarakan pemuda, budaya pop, dan iman
Kristiani. Saya setuju, sejauh bahwa pemuda itu memiliki bahasanya sendiri
dalam mengungkapkan hasratnya, memiliki cara (budaya) sendiri dalam
mengungkapkan hasratnya (mencari objet
petit a), dan memiliki dinamika yang khas dalam menghidupi iman Kristiani.
Teriakan-teriakan histeria para pemuda Katolik itu perlu kita beri tempat dan
dengarkan dengan seksama. Dan, akhirnya “anak manusia adalah tuan atas Hari
Sabat” (Luk 6:5).
Daftar
Pustaka
Althusser, L. Lenin and Philosophy and Other Essays. Edward Miner Gallaudet
Memorial Library Gallaudet College
Ewing, Katherine. Arguing Sainthood: Modernity, Psychoanalysis and Islam. Duke
University Press, 1997
Mutiara Andalas, S.J.. EKM Bukan “EKM”
Verhaeghe, P. From Impossibility to Inability. Lon’s Theory on the Four Discourses
Comments
Post a Comment