Ketika Mahasiswa Diminta untuk
“Kembali ke Kampus”
Padmo
Adi - 136322009
Sebelum
membuat paper ini, sebenarnya saya bersama Hans Salvatore dan Ajay tengah
menyiapkan materi yang membahas perihal peranan World Bank di bidang pendidikan pada umumnya, dan khususnya
pendidikan tinggi. Akan tetapi, oleh karena satu dan lain hal, saya terpaksa
harus menadirkan kembali seluruh bahan tersebut. Untunglah kami belum berjalan
terlampau jauh. Meskipun demikian, terus terang, saya kemudian mengalami
kebingungan yang luar biasa tentang tema baru yang harus saya bicarakan dalam
sebuah paper akhir. Tema apa yang bisa saya angkat untuk berbicara perihal
“Kajian Universitas” ini? Akhirnya di tengah keputusasaan saya itu, saya ingat
akan proses teater yang baru saja saya jalani bersama para mahasiswa S1
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma beberapa saat
lalu (November 2014 s.d. Mei 2015). Saya berproses teater bersama para
mahasiswa semester empat dan dua yang merintis sebuah Unit Kegiatan Prodi
bernama Teater Ingsun (yang menggantikan Teater Lotus yang telah lama mati).
Mereka, para mahasiswa itu, meminta saya untuk menemani dan melatih mereka
teater. Tentu saja saya menyanggupi permintaan mereka itu dengan hati gembira,
sebab teater adalah raison d’etre
saya. Berangkat dari pengalaman suka-duka proses teater itulah paper ini
bermula.
“Mereka
bukan seniman teater. Mereka juga bukan mahasiswa seni teater. Mereka hanyalah
mahasiswa yang nyambi belajar teater.
Kalau ada dari mereka yang setelah lulus jadi seniman teater, ya syukur,” kata
Doni Agung Setiawan, senior saya di Teater Seriboe Djendela, teater yang ada di
Universitas Sanata Dharma. Kata-kata Mas Doni tersebut membuat saya down-to-earth berkaitan dengan
gagasan-gagasan dan capaian-capaian artistik yang bisa kami, para mahasiswa
ini, capai. Sejak tahun 2003 saya bermain teater. Teater sudah berurat-berakar
di dalam diri saya. “Jangan sampai kuliah mengganggu teater” yang menjadi
semboyan TSD itu saya hayati betul dengan bersikeras membuat skripsi yang
berkaitan dengan sebuah proses teater, padahal saat itu saya adalah mahasiswa
S1 Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma. Untunglah Romo Dosen waktu itu
membiarkan saya. Akan tetapi, sikap radikal terhadap teater yang saya hayati
itu, dan yang sangat jamak serta lumrah dihayati mahasiswa era 1990-an dan
2000-an awal, tidak dapat (lagi) saya terapkan terhadap para mahasiswa S1 era
2010-an ini! Awalnya hal itu hanya menjadi gerundelan beberapa senior dan mahasiswa-penggiat-teater
garis keras di warung burjo, “Mahasiswa sekarang itu mentalnya cemen. Baru latihan teater seperti itu
saja sudah ngeper. Tugas kuliah kok dibikin alasan. Kalau soal tugas,
aku juga bikin tugas!” Namun, seiring berjalannya waktu, saya akhirnya sadar,
bahwa mereka, para mahasiswa itu, memang dikondisikan demikian. Kurikulum
sekolah didesain sedemikian rupa sehingga para mahasiswa itu hampir-hampir
tidak bisa melakukan hal lain selain kuliah, mengerjakan tugas serta kerja
kelompok, PPL dan/atau KKN, serta membuat skripsi/TA supaya dapat segera lulus
dalam waktu kurang dari lima tahun. Tentu apa yang saya utarakan tersebut di
atas baru merupakan sebuah hipotesis yang sangat umum serta perlu pembuktian
dengan melihat secara detail sistem kurikulum prodi-prodi yang ada. Walaupun
demikian, sebuah tulisan dari buku yang tengah dibaca oleh Hans Salvatore
mengafirmasi hipotesis saya itu. Buku itu mengatakan bahwa mahasiswa harus “back to campus”.
Kebijakan
back to campus itu diputuskan supaya
mahasiswa menjadi jinak dan tidak lagi menjadi parlemen tandingan di jalanan.
Nur Syam mengatakan,
“Gerakan-gerakan
mahasiswa yang cenderung antinegara tersebut memicu sikap tegas pemerintah
melalui penerapan kebijakan back to
campus, yaitu kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan mereposisi
badan-badan kemahasiswaan melalui Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) yang
tujuannya ialah agar mahasiswa tidak selalu melakukan counter terhadap kebijakan negara.”
Saya
kemudian menelusuri sejarah NKK/BKK tersebut. Saya menemukan bahwa kebijakan
NKK/BKK sudah ada sejak era Soeharto (1978). Sejak era pemerintahan kolonial
Hindia-Belanda, kaum muda (baca: mahasiswa) telah menjadi pelopor pergerakan.
Secara naif kita bisa dengan mudah menyebut Kongres Pemuda 1928 sebagai contoh
pertama. Di era 1960-an terdapat beberapa gerakan mahasiswa yang disegani,
antara lain CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), GMNI (Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia), Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia),
PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).
Kemudian, pascaperistiwa G/30/S, gerakan-gerakan mahasiswa itu bersekutu
menjadi KAMI, melakukan resistensi terhadap pemerintahan Soekarno dengan
mengusung Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Pada tanggal 15 Januari 1974
gerakan-gerakan mahasiswa itu kembali melakukan gerakan resistensi terhadap
kebijakan ekonomi pemerintahan Soeharto yang memutuskan untuk bekerja sama
dengan Kekaisaran Jepang, sehingga timbulah peristiwa yang dijuluki Malapetaka
Lima Belas Januari (Malari). Pada tahun 1977 gerakan mahasiswa kembali
bergelora melakukan resistensi terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan
Soeharto, selain memprotes pelaksanaan Pemilu di tahun itu. Pada waktu itu,
terjadi pendudukan militer atas kampus-kampus sebab para mahasiswa dinilai
telah melakukan aksi pembangkangan politik. Untuk menumpulkan gigi taring
mahasiswa tersebut, pada tahun 1978 pemerintahan Soeharto menerbitkan NKK (Normalisasi
Kehidupan Kampus): SK UU No.0156/U/1978 dan setahun kemudian menerbitkan BKK
(Badan Koordinasi Kegiatan Kemahasiswaan): SK Menteri P&K No.037/U/1979
melalui menteri P&K, Daud Yusuf. Setelah
NKK/BKK terbit, Dema (Dewan Mahasiswa), yang ketuanya dipilih langsung oleh
mahasiswa, dilarang dan dibubarkan oleh negara. Mahasiswa tidak diberi izin
untuk demo, bahkan banyak aktivis mahasiswa ditangkap.
Soeharto berkata, “Jika mahasiswa bergeliat, maka akan ada goyah di negara.”
Soeharto menggunakan aparatus represifnya (ABRI) untuk menekan gerakan
mahasiswa. Kemudian gerakan mahasiswa dikondisikan agar hanya terkonsentrasi di
dalam kampus. Untuk menggantikan Dema yang sudah dibubarkan oleh Pangkopkamtib
Soedomo itu, negara membentuk SMF (Senat Mahasiswa Fakultas) dan BPMF (Badan
Perwakilan Mahasiswa Fakultas). Kegiatan mahasiswa dilokalisasi di tingkat
fakultas semata. NKK dikuatkan oleh Dirjen Dikti yang melarang kegiatan
mahasiswa keluar dari tugas-tugas kampus. Itulah sebabnya lahir Wakil Rektor
III (WR III) yang membawahi langsung organisasi-organisasi itu, supaya organisasi-organisasi
tersebut lebih mudah dipantau, dikondisikan, dan dilokalisasi di dalam kampus. Dengan
kalimat yang lebih sarkastis, organisasi-organisasi itu tidak lebih dari pada
boneka, bukan merupakan sebuah gerakan akar rumput yang organik.
Sebelum
tahun 1993, sistem pendidikan tinggi di Indonesia tidak seperti sekarang ini.
Pada waktu itu, sistem pendidikan tinggi kita masih memakai sistem yang
diwariskan oleh pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Dengan sistem tersebut,
mahasiswa bisa kuliah hingga belasan tahun. Seorang ketua Dema bisa merupakan
seorang mahasiswa yang telah berusia 25 tahun! Cukup matang, cukup dewasa, dan
cukup melek politik, sehingga tidak
jarang para mahasiswa itu duduk sejajar dengan para petinggi/pejabat pemerintah
untuk berdialog dan berdiskusi.
Bandingkan dengan mahasiswa sekarang ini yang diwajibkan untuk lulus dalam
waktu kurang dari lima tahun! Kemudian, pada tahun 1993, jenjang perguruan
tinggi Indonesia diubah. Gelar doktorandus
(setara magister) dihilangkan dan digantikan dengan gelar sarjana (strata satu).
Supaya seorang sarjana bisa setara doktorandus, dia harus melanjutkan studi
pada program pascasarjana dan mendapatkan gelar magister.
Pola
pendidikan dengan gelar doktorandus itu sebenarnya mengikuti pola pendidikan
Belanda/Belgia/Jerman di mana seorang mahasiswa harus menempuh studi paling
tidak lima tahun untuk mendapatkan gelar doktorandus dan kemudian melanjutkan
studi selama tiga hingga empat tahun untuk mendapatkan gelar doktor. Sementara
itu, pola pendidikan dengan gelar sarjana itu sebenarnya mengikuti pola
pendidikan Amerika Serikat dan Inggris. Di Amerika Serikat/Inggris seorang
mahasiswa harus menempuh pendidikan selama paling tidak tiga hingga empat tahun
untuk mendapatkan gelar sarjana (bachelor),
kemudian dia harus melanjutkan pendidikan pascasarjana dulu selama setidaknya
dua tahun untuk mendapatkan gelar magister, sebelum dia boleh menulis dan
mempertahankan desertasi supaya berhak mendapatkan gelar doktor. Dengan pola
yang demikian, waktu (dan biaya) yang dibutuhkan oleh negara untu mereproduksi
tenaga-tenaga kerja menjadi lebih singkat dan sedikit. Negara akan dengan lebih
cepat mendapatkan tenaga-tenaga kerja berkualitas (sarjana) jika dibandingkan
dengan ketika menerapkan pola pendidikan doktorandus. Para sarjana itu tidak
perlu/wajib untuk meneruskan pendidikannya di program pascasarjana (magister,
setara doktorandus). Setelah lulus sarjana dengan tempo tiga hingga empat
tahun, mereka dapat dengan segera bekerja.
Walaupun
demikian, pada era 1990-an masih bisa kita dapati maba (mahasiswa abadi) dan mapala
(mahasiswa paling lama), yaitu mahasiswa-mahasiswa S1 yang kuliah lebih
dari tujuh tahun. Lalu, pecahlah peristiwa Mei 1998. Gerakan mahasiswa
besar-besaran bangkit kembali setelah sekian lama dibungkam oleh negara.
Soeharto dilengserkan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, diakui atau
tidak Indonesia semakin memeluk erat ideologi neo-liberalisme, terutama di
bidang ekonomi. Indonesia banyak meratifikasi persetujuan-persetujuan
multilateral. Respon Indonesia menghadapi globalisasi ekonomi diawali dengan
menyepakati GATS - Uruguay Round pada
tahun 1994, dan kemudian menerbitkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang
Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Lalu, Indonesia membentuk
49 undang-undang yang mencakup 20 perundang-undang bidang jasa, 16
perundang-undang bidang investasi, dan 13 perundang-undangan bidang HaKI.
Hukum di Indonesia mengadopsi Hukum Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda.
Selain itu, Indonesia juga dengan sukarela melakukan transplantasi hukum
(ratifikasi perjanjian internasional). Maka, tidak mengherankan jika
badan-badan ekonomi global (Bank Dunia, IMF, WTO, dan USAID) sering
mempengaruhi, untuk tidak mengatakan “menekan”, Negara Indonesia melakukan
transplantasi hukum untuk memberikan perlindungan dan keuntungan terhadap
kegiatan-kegiatan bisnis mereka di Indonesia.
Kegiatan bisnis mereka itu termasuk juga kegiatan di bidang jasa di mana
pendidikan masuk di dalamnya. Berdasarkan Provisional
Central Product Classification (CPC) milik PBB, perdagangan di bidang
pendidikan diorganisasikan ke dalam lima kategori jasa:
– Pendidikan
dasar: prasekolah dan jasa pendidikan dasar lainnya, terkecuali jasa pengasuhan
anak
– Pendidikan
menengah: SMU, SMK, dan SLB
– Pendidikan
tinggi: sekolah-sekolah tinggi mulai dari akademi, politeknik, universitas,
atau sederajat
– Pendidikan
dewasa: pendidikan bagi orang-orang dewasa di luar sistem pendidikan reguler
yang ada
– Pendidikan
lain: segala jasa pendidikan bagi orang dewasa di luar jasa pendidikan reguler
yang ada
Sementara
itu, Pasal 1.3 pada GATS mengatakan
bahwa,
“Jasa melingkupi segala jasa di bidang
apa saja terkecuali jasa yang disediakan dalam pelaksanaan otoritas pemerintah;
‘sebuah jasa yang disediakan dalam pelaksanaan otoritas pemerintah’ di sini
berarti segala jasa yang tidak disediakan secara komersial, maupun dalam
persaingan dengan satu atau lebih penyedia layanan yang lain.”
Apakah
pendidikan tinggi dapat dikecualikan sama sekali dari GATS berdasarkan artikel
1.3 di atas? Definisi layanan publik yang ada pada GATS itu ambigu. Walaupun
beberapa kalangan menolak pendidikan pada umumnya dan pendidikan tinggi
khususnya menjadi salah satu bentuk layanan jasa menurut GATS, definisi layanan
jasa GATS yang ambigu tersebut memiliki celah sehingga pendidikan dapat
dimasukkan sebagai salah satu layanan jasa (ekonomi). Kenyataannya adalah bahwa
institusi pendidikan tinggi di banyak negara menyediakan layanan mereka secara
komersial dan bersaing dengan institusi sejenis secara komersial. Pendidikan
dipandang sebagai bisnis jasa yang sangat menguntungkan.
Indonesia
kemudian tidak hanya sekadar meratifikasi kesepakatan-kesepakatan multilateral
tersebut, tetapi juga mengatur kembali kurikulumnya supaya sesuai dengan
kesepakatan internasional itu. Akhirnya, dengan berat hati kita harus mengakui
bahwa pendidikan Indonesia dewasa ini tidak lain adalah pendidikan kapitalisme.
Nurani Soyomukti menjelaskan bahwa pendidikan sekarang ini adalah pendidikan
kapitalisme, di mana pendidikan hanya menjadi sarana untuk mencari pekerjaan
dan membuat para lulusannya sibuk mengurusi kebutuhannya sendiri.
Pendidikan kemudian hanya menjadi sarana reproduksi kelas-kelas sosial, hanya
menjadi sarana reproduksi kelas pekerja. Bahkan, kurikulum dibuat sedemikian
rupa sehingga para mahasiswa dikondisikan untuk segera lulus sarjana kurang
dari empat tahun. Mahasiswa dikondisikan untuk semata kuliah-belajar-membuat
tugas-KKN/PPL-menulis skripsi-lulus, menjadi tenaga kerja berkualitas
(berpendidikan tinggi), bisa segera bekerja, sehingga dapat terus lanjut mengonsumsi.
Tidak ada waktu yang tersisa bagi mahasiswa untuk melakukan kegiatan lain
selain “belajar”. Tidak ada waktu untuk berpolitik di dalam
organisasi-organisasi, tidak ada waktu untuk mengkritisi kebijakan pemerintah.
Jikapun ada kesempatan untuk berorganisasi, itu adalah organisasi apolitis yang
sebisa mungkin menjauhkan mahasiswa dari gerakan resistensi/mengkritisi
terhadap negara. Jangankan mengkritisi negara, baru mengkritisi kampusnya
sendiri, dia sudah dibungkam. Para mahasiswa itu kuliah dan lulus tanpa
memiliki karakter yang mengakar pada realitas sosial di mana dia hidup, sebab
selama waktu belajarnya, dia memang tidak memiliki waktu yang cukup untuk
melatih diri melakukan hal tersebut. Maka, ide hegemoni tandingan yang lahir
dari intelektual organis tidak akan pernah muncul, sebab intelektual organis
itu pun tidak pernah bisa lahir karena memang sudah sejak awal tidak diberi
ekosistem untuk tumbuh. Kondisi ini kemudian mendukung status quo, sehingga sistem kapitalisme (global) tidak runtuh.
Bagaimana
jika mahasiswa nekat mengonsolidasi diri dan membuat suatu gerakan atau aksi
yang bertujuan mengkritisi negara? Negara akan segera melakukan represi! Jika
tidak melalui aparatus represif negara (TNI/Polri), represi itu justru akan
dilakukan melalui paramiliter (ormas-ormas) fasis. Contoh yang paling dekat
dengan diri saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma, adalah peristiwa
pembubaran acara nobar (nonton bareng)
film Senyap yang diadakan oleh
Lembaga Pers Mahasiswa Sanata Dharma, NATAS, pada tanggal 25 Februari 2015.
Menurut beberapa pengakuan teman, di sekitar kampus sudah bersiap ormas
fasis-fundamentalis berkedok agama. Di samping itu, intel kepolisian sudah
hilir mudik di jalan, bahkan sudah masuk area kampus. Akhirnya, panitia
(meng-)kalah, dan dengan berat hati membubarkan acara nobar tersebut. Pihak
kampus sendiri pun tidak dapat berbuat apa-apa untuk melindungi mahasiswanya.
Tembok kebebasan akademis kampus telah berhasil diruntuhkan oleh negara melalui
aparatus represifnya bersama ormas fasis-fundamentalis. Kampus (institusi
pendidikan tinggi) telah kehilangan wibawa akademisnya dan sekaligus kehilangan
kebebasannya untuk menyumbangkan wacana dan perspektif baru/alternatif kepada
masyarakat!
Celakanya, pembubaran acara akademis di dalam lingkungan kampus Universitas
Sanata Dharma itu bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya, seminar mengenai LGBT
yang sekiranya akan diadakan oleh BEMF Psikologi juga dibatalkan oleh karena
desakan ormas fasis-fundamentalis. Sepertinya dua pembubaran paksa itu begitu
membekas, menghantui pihak kampus, sehingga lahirlah paranoia. Pihak kampus
menjadi sangat berhati-hati memberi izin kegiatan kepada mahasiswanya.
Sebenarnya,
mengapa kita membutuhkan institusi pendidikan tinggi? Douglas S. Paaw
mengatakan,
“Universitas
adalah sebuah sarana-kunci bagi pembangunan suatu bangsa. Kemajuan manusia
dalam segala bidang dibatasi oleh pengetahuan yang diperoleh dan digunakan
secara efektif oleh masyarakat sebagai keseluruhan. Bila terdapat banyak jalan
untuk mendapat pengetahuan, maka adaptasi pengetahuan yang diimpor, dan
produksi pengetahuan baru merupakan fungsi utama lembaga-lembaga yang berada
pada puncak pendidikan--yaitu universitas yang dipunyai suatu bangsa.
Universitas-universitas juga mempunyai suatu tugas pendidikan, yaitu
menyebarluaskan pengetahuan dari tingkat yang lebih tinggi kepada para
mahasiswa, yang pada gilirannya, akan mendistribusikan pengetahuan itu ke
seluruh sistem pendidikan dan menerapkannya dalam seluruh masyarakat luas.”
Raison d’etre
suatu universitas adalah pengetahuan dan keahlian yang berpadu di dalam
praksis. Suatu universitas akan menghasilkan kekayaan intelektual berupa
buku-buku. Akan tetapi, lebih dari pada itu, kekayaan yang paling istimewa yang
dihasilkan oleh suatu universitas adalah para sarjananya yang diharapkan dapat
menjadi intelektual organis dan agent of
change yang dapat membawa angin segar perubahan. Kita bisa membayangkan
bahwa di dalam universitas terjadi suatu transfer ilmu pengetahuan. Para
akademisi pun membebaskan dirinya, sesuai hasratnya (objet a),
mereproduksi atau malah menegasi ilmu pengetahuan itu sehingga menghasilkan
gagasan-gagasan baru. Di sana seorang mahasiswa dibebaskan untuk menjadi
dirinya sendiri, sesuai hasratnya (objet
a), memanusiakan dirinya sendiri, semakin menjadi manusia. Di sana terjadi
proses hominisasi dan humanisasi, pendidikan sebagai upaya
memanusiakan manusia muda
dan upaya manifestasi kemanusiaan.
Ideal
universitas (pendidikan) sebagaimana yang diterangkan di atas seringkali
dilupakan baik oleh mahasiswa yang tengah belajar maupun oleh penyelenggara
pendidikan (institusi peruguruan tinggi dan negara) itu sendiri. Dengan berat
hati harus kita akui bahwa pendidikan kita kini berada di dalam konteks neo-liberalisme.
Pendidikan (universitas) kita ditopang oleh tiga pilar: (1) masyarakat, (2)
negara, dan (3) pasar. Celakanya, kepentingan pasar (global) kerap kali
mendominasi dalam menentukan arah gerak langkah pendidikan kita. Kepentingan
pasar (global) sering bergandengan tangan dengan kepentingan negara,
mengesampingkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat! Di atas sudah kita bahas
bersama bagaimana undang-undang yang diratifikasi oleh negara ternyata
merupakan pesanan Bank Dunia, WTO, dan/atau IMF. Perlu kita sadari bahwa ada
pertarungan wacana di dalam lembaga pendidikan. Sekolah, alih-alih menjadi
suatu tempat yang netral dan kudus, merupakan sebuah arena pertarungan wacana
dan kepentingan. Wacana hegemonis dominan, yaitu wacana pasar (kapitalisme),
selalu berhasil mengalahkan dan membungkam wacana-wacana yang lain.
Tunas
muda (saya meminjam istilah Driyarkara untuk menyebut “mahasiswa”) pada
akhirnya dikirim ke sekolah-sekolah, menjalani kegiatan belajar di kelas,
mengerjakan tugas-tugas bukan demi proses pemanusiaan manusia muda secara utuh,
melainkan semata memburu kecakapan kerja,
demi memperbaiki atau mempertahankan kelas sosialnya, dan kemudian pada
akhirnya dapat terus melanjutkan kegiatan konsumsi komoditas kapitalisme. Para
mahasiswa itu pergi ke kampus untuk menerima proses “normalisasi”. Mereka
dicetak untuk semata menjadi tenaga kerja cerdas dan handal. Mereka hanya boleh
menghafal apa yang sudah diajarkan. Mereka hanya perlu memenuhi standard nilai,
memenuhi poin-poin yang diperlukan, melengkapi diri dengan kemampuan dan
kecakapan tertentu yang dibutuhkan, lalu lulus dengan sesegera mungkin.
Menyadari
hal itu, saya tidak lagi memasang target capaian artistik yang terlalu tinggi
ketika berproses teater bersama teman-teman mahasiswa S1. Mereka sudah sudi meluangkan
waktu untuk berproses teater, bahkan berkorban untuk pulang malam, mengorbankan
waktu mereka yang berharga untuk membuat tugas (rutinitas sistem pendidikan),
bagi saya sudah cukup. Hal remeh-temeh yang mereka lakukan, yaitu berproses
teater bersama saya, sudah merupakan suatu aktus resistensi terhadap sistem
pendidikan yang hanya mencetak subyek-subyek kapitalisme, dan hal tersebut
sudah patut saya hargai. Capaian-capaian artistik kemudian menjadi yang nomor
sekian, toh mereka bukan mahasiswa seni pertunjukan, tetapi justru momentum
proses pemanusiaan manusia muda melalui proses teater itulah yang utama.
Kiranya proses teater itu bisa melengkapi apa yang hilang dari sistem
pendidikan kita, yaitu pendidikan yang holistik, sehingga para mahasiswa itu
memiliki cita-cita ideologis dan Weltanschauung.
Perkara mereka setelah lulus menjadi seniman teater, atau bahkan aktivis, itu
soal lain. Setidaknya, mereka tidak hanya sekadar
sekolah-lulus-kerja-kawin-beranak-mengonsumsi-lalu mati.
Daftar Pustaka
Driyarkara,
2006, Karya Lengkap Driyarkara,
Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Paaw,
Douglas S., Universitas-universitas
Indonesia: Generasi Pertama, Prisma, no.2, Maret 1970, tahun VII
Soyomukti,
Nurani, 2008, Metode Pendidikan Marxis
Sosialis, Yogyakarta: Ar-ruzz Media
Sulistyo,
Adi, 2012, Hukum Ekonomi dan
Transplantasi Hukum, Analisis Politik Hukum Terhadap Legalisasi di Bidang
Perekonomian di Indonesia, LPPM UNS, Penelitian, DIPA BLU UNS, Hibah Guru Besar
Supratiknya,
A., 2014, Membaca Pemikiran Drijarkara
Tentang Pendidikan di Zaman Sekarang
Syam,
Nur, 2013, Tantangan Multikulturalisme
Indonesia, dari Radikalisme Menuju Kebangsaan, Yogyakarta: Kanisius
Vlk,
Ales, 2006, Higher Education and GATS, Regulatory
Consequences and Stakeholders’ Responses, Enschede: CHEPS/UT
Internet
Comments
Post a Comment