DARI PIDATO 1 JUNI 1945 HINGGA PANCASILA KITA
Bung
Hatta: “[...] Bung Karnolah satu-satunya yang tegas-tegas mengungkapkan philosofische grondslag untuk negara
yang akan dibentuk, yaitu lima sila yang disebut Pancasila, hanya urutannya
sila ke-Tuhanan ada di bawah... .” (Mohammad Hatta dkk., 1977: 74-75,
sebagaimana dikutip oleh P.J. Suwarno dalam P.J. Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2015, 52.)
Pada
tanggal 1 Juni 1945 Soekarno secara eksplisit merumuskan Pancasila sebagai weltanschauung Negara Indonesia dalam
sebuah pidato di dalam rapat BPUPKI. Pidato Muhammad Yamin dan Supomo
sebelumnya telah memberi masukan pula terhadap pidato Soekarno tersebut.
Soekarno sendiri mengatakan bahwa dia tidak menciptakan Pancasila, melainkan
menggalinya. Walaupun demikian, Soekarnolah yang secara eksplisit memberi nama
“Pancasila” dan nama itu diterima oleh semua peserta sidang BPUPKI. Pancasila
itu sendiri merupakan nilai-nilai Bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu oleh Yamin
didekati secara historis-yuridis, oleh Supomo didekati secara
filosofis-kenegaraan, dan oleh Soekarno didekati secara sosio-politis.
Dr.
K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat, ketua sidang BPUPKI, mengangkat suatu panitia
kecil yang mewadahi semua aliran: Islam, Kristen, dan mereka yang dianggap ahli
konstitusi untuk merumuskan kembali Pidato Soekarno 1 Juni 1945 tersebut.
Anggota dari Panitia Kecil itu adalah Ki Bagus Hadikusumo, Kyai Haji Wakhid
Hasyim, Muhammad Yamin, Sutardjo, Maramis, Oto Iskandardinata, Mohammad Hatta,
dan Soekarno sebagai ketuanya. Panitia Kecil tersebut mendapatkan masalah
tentang hubungan agama dan negara. Maka, Panitia Kecil tersebut menunjuk
sembilan orang untuk merumuskan kembali Pidato Soekarno tersebut. Panitia
Sembilan itu terdiri dari Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Subardjo, Maramis,
Soekarno, Kyai Abdul Kahar Muzakir, Wakhid Hasyim, Abikusno Cokrosujoso, dan
Haji Agus Salim. Dalam rapat Panitia Sembilan tersebut dirumuskan suatu
modus/persetujuan antara pihak Islam dan pihak Nasionalis, yang diberi nama
Piagam Jakarta. Modus kompromi antara golongan Islam dan golongan Nasionalis
itu tampak pada rumusan sila I, “Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Rumusan
sila I tersebut tidak diterima begitu saja oleh semua anggota sidang BPUPKI.
Tercatat setidaknya ada 3 kali perdebatan di dalam sidang BPUPKI berkaitan
dengan rumusan sila I tersebut. Yang pertama adalah Latuharhary (11 Juli 1945)
yang berkeberatan. Latuharhary didukung oleh Wongsonegoro dan Husein
Jayadiningrat, tetapi dibantah secara moderat oleh Agus Salim dan Wakhid
Hasyim. Keberatan yang kedua terjadi pada rapat pleno BPUPKI 14 Juli 1945.
Hadikusumo berpendapat agar 7 kata dalam sila I itu dihilangkan saja. Pendapat
ini untuk memperkuat pendapat Kyai Sanusi. Pendapat ini ditolak oleh Panitia
Perancang UUD. Perdebatan soal sila I dan pasal-pasal terkait hadir kembali
pada sidang BPUPKI 15 Juli 1945.
Tugas
BPUPKI selesai pada tanggal 16 Juli 1945 setelah rancangan Pernyataan
Kemerdekaan, Pembukaan (di dalamnya tercantum Pancasila) dan UUD diterima
secara bulat oleh rapat pleno BPUPKI. Pada tanggal 7 Agustus 1945 Jepang
mengumumkan bahwa Bangsa Indonesia telah diperbolehkan untuk membentuk Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI beranggotakan 21 orang termasuk
ketua dan wakilnya, yaitu Soekarno dan Hatta.
Pada
tanggal 17 Agustus 1945 pagi menjelang siang Soekarno-Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Pada hari yang sama, sore harinya, Hatta ditemui oleh
seorang opsir Kaigun (AL). Utusan
tersebut menerangkan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah yang
dikuasai oleh AL Jepang sangat keberatan terhadap 7 kata dalam sila I. Dengan
adanya 7 kata tersebut berarti sila I itu tidak mengikat mereka, sebab hanya
mengikat rakyat yang beragama Islam saja. Lebih jauh, karena rumusan sila I
dengan 7 kata itu tercantum bahkan menjadi pokok UUD, terdapat diskriminasi
terhadap kaum minoritas. Jika 7 kata itu tetap dipertahankan, bahkan disahkan,
berarti diskriminasi itu legal, sehingga golongan minoritas tersebut lebih suka
merdeka sendiri di luar Republik Indonesia. Hatta menyadari bahwa perjuangan
lebih dari 25 tahun, bahkan dengan keluar-masuk penjara dan pembuangan, demi
kemerdekaan Indonesia akan menjadi sia-sia jika Indonesia terpecah karena
diskriminasi 7 kata. Pada tanggal 18 Agustus, sebelum sidang PPKI dibuka,
Mohammad Hatta mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wakhid Hasyim, Kasman Singodimedjo,
dan Teuku Hasan mengadakan rapat pendahuluan untuk membahas perkara tersebut.
Rapat pendahuluan tersebut mencapai kesepakatan bulat, bahwa demi keutuhan
Bangsa Indonesia 7 kata diskriminatif tersebut dihapus dan diganti dengan kalimat
“Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Setelah
sidang PPKI dibuka oleh Soekarno, Mohammad Hatta mendapatkan kesempatan untuk
menyampaikan beberapa perubahan dalam rancangan Pembukaan UUD. Dengan demikian,
pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila sebagaimana yang kita kenal sekarang ini
telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 secara formal.
(P.J. Suwarno, 2015, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia,
Yogyakarta: Kanisius, 52-77)
Comments
Post a Comment