Ada
‘a’ Dalam
Suara Raungan Knalpot
Kajian Psikoanalisa Lacanian atas Budaya Touring
-Padmo Adi-
kepada Saint Paul Riders
Tulisan ini saya buat untuk membahas budaya touring yang sudah bukan merupakan hal
asing bagi kita. Saya sendiri adalah seorang pe-touring (bukan petarung, hahaha...).
Sejak 2012 saya touring, hingga
tulisan ini saya buat, saya belum pernah mengetahui ada tulisan yang
mengartikulasikan budaya ini secara akademis yang serius tapi santai; kalaupun
ada, jujur, saya belum pernah membaca. Oleh karena itulah, saya ingin
membahasakan fenomena yang sudah familiar di tengah masyarakat kita ini.
Familiar, sebab klub maupun komunitas motor sudah sangat jamak. Familiar, juga
karena pada suatu tanggal merah, ketika kita piknik, besar kemungkinan kita
akan berjumpa/berpapasan dengan rombongan touring.
Karena saya adalah bagian integral dari fenomena budaya itu, saya merasa perlu
untuk mengartikulasikannya dengan metode autoetnografi, dan sekaligus akan saya
telaah dengan teori psikoanalisa lacanian.
Sedikit tentang Psikoanalisa
Psikoanalisa merupakan cabang ilmu psikologi yang
dikembangkan oleh Sigmund Freud. Psikoanalisa kemudian dikembangkan lebih jauh
oleh Jacques Lacan. Psikoanalisa berbicara tentang subyek dan ketidaksadaran.
Ketika individu berhadap-hadapan dengan ibu,
dia tengah berhadap-hadapan dengan liyan. Dia bercermin. Dia merasakan suatu
keutuhan. Persatuan dengan ibu itu
merupakan sebuah persatuan primordial. Namun, kemudian individu itu harus
mengalami kastrasi. Dia diceraikan dengan ibu
oleh bapa, Sang Liyan. Nama Sang Bapa
ini memasukkan individu ke dalam Yang Simbolik, Bahasa. Di dalam lautan penanda
itu, individu harus membahasakan dirinya. Ketika individu dikastrasi oleh bapa dan diwajibkan berbahasa, dia
menjadi subyek. Akan tetapi, bahasa tidak pernah paripurna. Penanda-penanda
tidak pernah berhasil membahasakan keutuhan subyek. Seketika berbahasa, subyek
menjadi ambyar, terbelah, dan kagol.
Liyan selalu salah memahami. Tidak semuanya bisa dibahasakan. Ada yang tersisa
dan tertinggal di sana. Ada yang tak terperikan. Ada residu yang tertinggal.
Sisa-sisa inilah yang Lacan sebut objet a
(baca: obyek a kecil).
Setiap orang adalah subyek terbelah. Lacan memakai
simbol teknis ‘$’. Setiap subyek terbelah berkelana di tengah lautan penanda,
pada Yang Simbolik, berusaha membahasakan diri. Namun, karena bahasa itu tidak
pernah paripurna, dia hanya akan berputar-putar pada Yang Simbolik. Yang
Simbolik itu apa? Yang Simbolik adalah aturan. Bahasa adalah aturan. Hukum,
agama, adat-istiadat juga adalah Yang Simbolik. Segala sesuatu yang disediakan
oleh Sang Liyan (alias masyarakat) adalah Yang Simbolik. Si Subyek akan merasa
bahwa Yang Simbolik tidak lagi mencukupi untuk mengartikulasikan dirinya secara
utuh. Dia butuh metafora-metafora baru. Dia ingin kembali kepada keutuhan
primordial sebagaimana yang pernah dialaminya dahulu kala. Si Subyek akhirnya
menelusuri sisa-sisa ampas yang dia miliki. Sisa-sisa ampas itu adalah rem(a)inder. Sisa-sisa ampas itu adalah
yang tersisa, sekaligus adalah pengingat akan keutuhan primordial itu. Ampas
itu merupakan anamnese. Itulah objet a. Objet a itu bisa berupa apa saja. Objet a itu ada di sana sekaligus tidak ada di sana. Ada di sana,
sehingga menggerakkan Subyek untuk mendekat ke sana; tetapi sekaligus tidak ada
di sana, sebab begitu Subyek sampai di sana, tidak ada apa-apa di sana. Objet a adalah x di dalam Matematika, yang selalu hilang dan minta dicari. Objet a adalah hasrat yang menggerakkan
subyek dan mengarahkannya kepada kenikmatan-perih dan keperihan-nikmat.
Kenikmatan-perih dan keperihan-nikmat itu oleh Lacan disebut dengan istilah jouissance, atau dalam Bahasa Inggris
disebut enjoyment.
Touring sebagai Budaya
Apa yang saya maksud sebagai budaya di sini bukanlah
melulu sesuatu yang adiluhung. Yang saya maksud sebagai budaya di sini adalah segala
sesuatu yang dilakukan oleh sekelompok manusia, dan hal itu dilakukan secara
berulang-ulang dan kontinu, sehingga mengubah tatanan Yang Simbolik atau bahkan
melahirkan tatanan Yang Simbolik baru (melahirkan metafora-metafora baru). Pada
bagian ini, saya akan bercerita tentang budaya touring, berkendara sendiri atau bersama rombongan ke tempat-tempat
yang jauh selama seharian penuh atau bahkan berbulan-bulan. Terminologi touring itu sendiri berasal dari kata Bahasa
Inggris, tour. Kata tour sendiri berarti pergi ke tempat
wisata, bertamasya, dan tidak selalu merujuk pada peristiwa berkendara dengan
roda dua. Penggunaan kata touring di
dalam konteks Bahasa (baca: masyarakat) Indonesia, kemudian mendapatkan rasa bahasa/makna
‘berkendara dengan roda dua ke
tempat-tempat yang jauh selama beberapa waktu’. Berkendara dengan roda dua saya beri penekanan di sini sebab sepeda
motor (roda dua) lebih mudah diidentikkan dengan kata touring dari pada mobil.
Lulus sarjana pada tahun 2012, saya dibelikan sepeda
motor oleh Mama. Ketika Mama menawari saya sepeda motor baru, saya menjawab,
“Kalau tidak motor lanang, aku tidak
mau.” Jadilah saya dibelikan motor New
Megapro. Saya bersikeras motor lanang
sebab saya masih sumedhot dengan
motor lanang Bapak, Win100, yang dijual Mama ketika saya
berada di seminari. Win100 itu adalah
motor peninggalan almarhum Bapak. Saya memakainya untuk bertualang menikmati
masa remaja, juga saya pakai untuk mbribik.
Mengendarai motor itu, saya merasa Bapak masih ada di sana, seakan-akan kami tengah berkendara bersama. Win100 itu menjadi
[a]namnese dan sakramen kedelapan
bagi saya. Jelas, saya sangat kecewa ketika Mama menjualnya. Saya meminta motor
lanang untuk menggantikan [a]namnese dan sakramen yang hilang itu;
untuk membayar rasa sumedhot itu.
Itulah awal petualangan baru saya. Sejak saat itu,
saya mengendarai New Megapro.
Perlahan namun pasti, motor lanang
itu berevolusi menjadi motor touring
segala medan. Sama seperti Win100
yang saya beri nama “Puma”, saya memberi New
Megapro itu nama “Kelelawar Tempur”. Pada tahun 2013 saya berjumpa dengan
teman-teman OMK St. Paulus Kleca. Beberapa dari mereka memiliki kegemaran touring. Kami berkumpul dan touring ke beberapa tempat: Cemara Sewu,
Dieng, pantai-pantai di Gunung Kidul dan Wonogiri, dan Gua-gua Maria. Dari
sanalah berawal komunitas touring
kami yang bernama Saint Paul Riders. Selain bersama Saint Paul Riders, beberapa
di antara kami bergabung pula di dalam klub-klub motor yang ada di kota
Surakarta. Ada yang bergabung di ROCS, ada yang bergabung di YVC-AD, ada yang
bergabung di CBOCS, dll. Saya sendiri sempat bergabung dengan HMPC Solo. Ada
dari kami yang kemudian menjadi penggedhe
klub tersebut; teman saya, Benediktus Unin, adalah Gubernur Revo Jateng. Namun,
beberapa di antara kami memilih menyudahi keanggotaan kami di dalam klub motor
itu, sebab kami merasa bahwa klub terlalu mengikat kami dengan
kewajiban-kewajiban. Kami yang memilih keluar dari klub itu kemudian lebih
memilih intens untuk bergerak di dalam Saint Paul Riders. Memang di dalam dunia
biker, ada perbedaan definisi antara
“klub”, “komunitas”, “independen”, dan “single
fighter”.
Sebuah klub biasanya memiliki AD/ART, ‘resmi’, jenis
motor yang sama, memiliki akses ke pabrikan (Honda, Yamaha, Suzuki, dan
Kawasaki), dan memiliki jejaring (memiliki chapter,
semacam anak/cabang organisasi) di
berbagai kota di seluruh Indonesia (nasional). Sementara, apa yang disebut
komunitas itu mampu memayungi jenis motor yang berbeda, tetapi juga ‘resmi’,
dan memiliki AD/ART. Berbeda dengan klub, apa yang disebut (klub) independen
hanya terbatas pada kota/daerah tertentu saja, dan biasanya tidak memiliki
jejaring di kota lain. Sedangkan single
fighter adalah istilah untuk seorang pe-touring
yang tidak menjadi anggota klub/komunitas manapun. Walaupun demikian, de facto di lapangan, definisi itu
begitu baur dan bias. Itu yang menyebabkan kami kebingungan jika diminta
menjelaskan apakah Saint Paul Riders itu klub atau komunitas. Sebab, ‘keanggotaan’
kami begitu cair. Orang datang dan pergi. Banyak ‘anggota’ kami yang adalah
anggota resmi klub motor tertentu. Hal itu membuat kami tidak bisa memakai
embel-embel ‘klub’ atau ‘komunitas’, sebab hukum dobel keanggotaan adalah
jelas, kick! Kami tidak mau mereka
di-kick dari klub mereka hanya karena
berkumpul dan touring bersama Saint
Paul Riders. Dalam sebuah diskusi,
akhirnya kami mendefinisikan Saint Paul Riders sebagai sebuah group whatsapp (karena memang kami
memiliki dan berkomunikasi melalui grup WA), atau semacam forum (seperti KOMBO,
Ridetography, atau Nusantaride), atau bahkan sebuah patembayan, paguyuban, atau
cakruk—tempat orang datang mampir,
numpang ngopi, dan lalu kalau mau
pergi ya silakan. Yang jelas adalah bahwa kami menjunjung tinggi brotherhood, safety riding, kami memiliki beberapa orang administrator (untuk
mengurus group whatsapp, akun
Instagram, dan menjadwal agenda touring),
dan kami memiliki logo kebanggaan kami... logo Pedang dan Kitab Suci, logo
milik Santo Paulus, seorang santo yang bertobat setelah terjatuh kala
menunggang kuda dan melihat Tuhan (baca: Das
Ding).
Gambar 1. Logo Saint Paul Riders
Budaya touring
itu adalah budaya yang lintas agama, lintas bangsa, lintas gender, dan lintas
kelas sosial. Walaupun demikian, ada penyebutan khusus bagi pe-touring perempuan; mereka disebut dengan
istilah seksi ‘lady biker’, sementara
tidak ada istilah sepadan untuk menyebut pe-touring
laki-laki. Pe-touring laki-laki tidak
disebut ‘gentleman biker’, melainkan semata
hanya disebut ‘biker’, ‘rider’, atau ‘adventourer’. Di tengah budaya yang didominasi oleh laki-laki dan
nilai laki-laki (brotherhood), di
tengah budaya di mana nilai dan paradigma laki-laki menjadi normativitas,
kehadiran perempuan di sana menjadi sesuatu.
Sesuatu itu bisa jadi adalah objek
seksual (male g-a-ze) seperti pada
acara pesta cuci motor di acara kopdargab/munas/anniv —di mana ada adegan beberapa perempuan berbasah-basahan
mencuci motor (baca: phallus) para
lelaki— atau seperti ketika ada pameran otomotif di mana para perempuan dengan
baju minim superketat berjajar memamerkan motor-motor sembari difoto sana-sini
dengan berbagai pose oleh para lelaki. Sesuatu
itu juga bisa jadi adalah bahwa sosok perempuan itu hadir sebagai sosok tuan
putri atau ratu atau diva yang sangat istimewa, sehingga layak dikagumi dengan
hormat, dan kemudian diberi gelar khusus ‘lady
biker’. Sesuatu itu juga bisa
merupakan ancaman bagi kelelakian; bahwa kehadiran perempuan di tengah-tengah
budaya yang didominasi oleh lelaki ini dipandang sebagai ancaman bagi
nilai-nilai kelelakian, sehingga perempuan tidak lagi boleh menjadi seorang lady biker, tetapi harus merasa cukup
menjadi seorang boncenger. Pada
tulisan ini, saya tidak akan mendalami hal ini.
Selain itu, dengan berkata bahwa budaya touring ini mampu melintas batas
kelas-kelas sosial, saya hanya mau mengatakan bahwa berbagai orang, dari
berbagai kelas sosial, yang memiliki kendaraan roda dua gemar melakukan touring. Touring tidak lagi merupakan budaya eksklusif yang hanya menjadi
milik orang-orang ber-Harley Davidson, ber-Gold Wing, dan ber-BMW G/S.
Orang-orang yang naik SupraX atau bahkan Vespa butut pun memiliki touring sebagai budaya. Walaupun
demikian, sekat sosial itu toh masih ada. Jarang sekali kita temui seorang rider Harley touring bersama seorang rider
New Megapro. Kelas sosial itu dibagi ke dalam kelas-kelas kapasitas mesin: di
bawah 250cc (225cc, 200cc, dan 150cc ke bawah), 250cc ke atas (hingga 450cc),
dan moge (motor gede: 450cc, 600cc, 750cc, hingga 1.000cc ke atas). Bisa jadi
perbedaan itu secara real di lapangan menjadi lebih rumit lagi. Yang terjadi di
Saint Paul Riders misalnya, kami tidak akan mempedulikan apa jenis kelaminmu,
apa agamamu, apa jenis motormu, dan berapa kapasitas mesin motormu. Kalau kamu
ingin toruing bersama kami, kita akan
berkendara bersama sebagai saudara seaspal. Maka, sudah lumrah di dalam acara touring Saint Paul Riders melihat
pemandangan ada Ninja 250cc touring
bersama CB150R 150cc dan XRide matic 115cc. Walaupun demikian, hanya teman kami
yang mengendarai Ninja 250cc-lah yang pernah touring dengan Versys 450cc, dan ketika itu dia tidak menggunakan
nama Saint Paul Riders. Garis batasnya ada pada kapasitas mesin 250cc! Secara
legal di Indonesia, motor yang masuk kategori moge adalah motor berkapasitas
mesin di atas 250cc, dan dengan demikian motor berkapasitas mesin di atas 250cc
akan mendapatkan pajak barang mewah. Ketika kami, rombongan motor 150cc ke
bawah, berjumpa dengan rombongan motor 150cc ke bawah lainnya, dengan mudah
kami akan bertegur sapa dengan saling dua kali menglakson pendek, “tin...
tin...”. Namun, ketika rombongan motor 1.000cc bertemu dengan rombongan motor
150cc, kecil kemungkinan mereka akan menyapa. Malah yang terjadi adalah
rombongan motor 1.000cc itu akan menyalakan sirine dan rotator agar rombongan
motor 150cc itu minggir dan membuka jalan. Kelas-kelas sosial di dalam budaya touring ini tidak akan saya bahas lebih
jauh dalam tulisan saya ini.
Touring sebagai budaya pun telah mampu menciptakan
bahasa/metafora baru. Bahasa baru yang diciptakan tidak lain adalah bahasa
isyarat/kode sewaktu berkendara. Bahasa kode itu tercipta karena di saat
berkendara mustahil melakukan komunikasi secara verbal antara Leader atau Road Captain (rider paling
depan) dengan anggota rombongan (para rider
di tengah) dan dengan Sweeper (rider paling belakang). Kode-kode itu
membuat komunikasi antara Leader
dengan anggota rombongan menjadi cepat dan efektif. Keefektivan dan kesegeraan
itu dibutuhkan sebab rombongan touring
melaju dengan kecepatan antara 60kph hingga 100kph. Terlambat memberikan
informasi bisa mengakibatkan kecelakaan dengan resiko terbesar berupa kematian.
Leader akan mengirimkan
penanda-penanda tertentu. Rider kedua
akan segera melakukan proses signifikasi (penanda+petanda=tanda) sembari
meneruskan penanda itu kepada rider
di belakangnya. Rider ketiga akan
melakukan hal yang sama, dan meneruskannya hingga Sweeper. Kode-kode yang digunakan adalah kode tangan dan kaki.
Kode-kode itu di antaranya:
·
telunjuk tangan
kiri digoyang: start engine
·
kaki kiri
menjuntai/tangan kiri menunjuk ke kiri bawah: ada bahaya di sebelah kiri
·
kaki kanan
menjuntai: ada bahaya di sebelah kanan
·
tangan kiri
menunjuk ke kiri: belok ke kiri
·
tangan kiri di
atas kepala menunjuk ke kanan: belok ke kanan
·
tangan kiri
mengacung, berputar, di sisi kepala: melakukan U-turn
·
tangan kiri
mengacung, sejajar helm, mengayun dari belakang ke depan: jalan lurus
·
tangan kiri
mengayun dari atas ke bawah berkali-kali: deselerasi/hati-hati
·
tangan kiri
mengayun dari bawah ke atas: akselerasi/kecepatan tinggi
·
tangan kiri
menunjuk ke tanki: isi bensin
·
jempol tangan
kiri mengarah ke sisi helm: istirahat minum
·
jempol tangan
kiri menyentuh bagian atas helm (kode khusus Saint Paul Riders): istirahat
dan/atau isi bensin
·
jemari tangan
kiri mengerucut, diarahkan ke samping helm berkali-kali (kode khusus Saint Paul
Riders): istirahat makan
·
telunjuk tangan
kiri mengacung: formasi satu baris
·
telunjuk dan
jari tengah tangan kiri mengacung: formasi dua baris (parade)
·
telunjuk dan
kelingking tangan kiri mengacung (tangan metal): formasi zigzag
·
jempol dan
kelingking tangan kiri mengacung: jaga jarak antar-rider dalam rombongan
·
tangan kiri
sejajar helm, jemari mengacung dan rapat (kode khusus Saint Paul Riders):
rapatkan barisan konvoi
·
tangan kiri
sejajar helm, jemari terbuka (kode khusus Saint Paul Riders): bubarkan konvoi,
pecahkan barisan, tapi tetap lanjut berkendara
·
tangan kiri
mendorong ke kiri: pindah ke lajur kiri
·
tangan kiri
mendorong ke kanan, ke arah helm: pindah ke lajur kanan/siap-siap mendahului
kendaraan yang bukan rombongan
·
tangan kanan
mengayun dari belakang ke depan/kaki kanan mengayun-ayun dari belakang ke
depan: dahului aku
·
tangan kiri
sejajar helm mengayun dari belakang ke depan: ayo/ikuti aku
·
mengacungkan
jempol: ok/terima kasih
·
tangan kiri
sejajar helm, ujung jari telunjuk dan ujung jari tengah saling bersentuhan
(kode khusus Saint Paul Riders): ada perempuan (naik matic), waspada
·
tangan kiri
mengepal di sisi kepala: berhenti
·
jempol tangan
kanan menggaris leher: matikan mesin
·
dll.
Masih
banyak kode lainnya. Setidaknya kode-kode di atas adalah kode yang sering
dikirimkan. Walaupun ada kode yang general, yang dapat dipahami oleh
klub/komunitas motor manapun, selalu ada kode yang khusus, khas, yang hanya
dipahami oleh klub/komunitas tertentu.
Gambar 2. Left leg dangle or Hazard-on-the-left sign?
Phallus Itu Bernama
Sepeda Motor
Phallus adalah sesuatu yang memiliki kemampuan untuk
bergerak, atau berkembang dan menyusut (membesar atau mengecil) dengan
sendirinya. Dengan demikian, phallus
adalah sesuatu yang memiliki kekuatan, memiliki kuasa. Salah satu contoh
istimewa dari phallus adalah penis,
tetapi phallus tidak sama dengan
penis. Bagi seorang perempuan, rahim adalah phallus.
Tidak hanya itu, bahkan seorang lelaki atau seorang bayi dapat dipandang
sebagai phallus oleh perempuan.
Kuasa pada phallus
berjalan beriringan dengan pengebirian/kastrasi. Phallus (kuasa) dan kastrasi (penghilangan kuasa) adalah pasangan,
seperti “hitam dan putih”, seperti “baik dan buruk”, seperti “atas dan bawah”.
Dengan kehadiran phallus, subyek akan
merasa mendapat kuasa, dan dengan demikian akan merasakan kenikmatan,
kesenangan, bahkan keutuhan pada dirinya sendiri. Seperti halnya seorang
perempuan yang akan merasa menjadi perempuan seutuhnya ketika rahimnya
berfungsi, mengandung seorang bayi. Perempuan tersebut akan merasa utuh ketika
dia mendekap dan menyusui bayinya. Bayinya menjadi obyek bagi perempuan itu,
menggantikan obyek seksualnya. Dan, dia akan merasa kehilangan ketika dia
dipisahkan, walau hanya sementara, dengan bayinya.
Bagi seorang laki-laki, penis merupakan phallus yang khas. Tidak seperti rahim
yang tak tampak, penis dapat dilihat. Membesar dan mengecilnya penis dapat diamati
mata. Selain penis, usaha/pekerjaan/karya seorang lelaki juga dapat dipandang
sebagai phallus. Bahkan, sepeda motor
pun juga dapat dipandang sebagai phallus.
Sepeda motor, khususnya sepeda motor lanang,
bisa menjadi phallus, selain karena
bisa bergerak, juga karena letak posisinya pada tubuh lelaki. Sama seperti
penis yang berada di antara selangkangan, sepeda motor juga berada di antara
selangkangan. Ketika mengendarai sepeda motor lanang, paha lelaki akan mengapit sebuah tanki yang berisi penuh
dengan cairan yang mudah terbakar, bensin. Di bawahnya, terdapat sebuah mesin
—sebuah blok besi dengan piston— yang di dalamnya secara konstan terjadi
peristiwa ledakan akibat pembakaran cairan bensin tersebut. Akibat dari
peristiwa itu, sepeda motor dapat melaju, dan menghasilkan suara yang khas pada
knalpot. Ada kekuatan (power), ada
daya (torsi), ada energi yang dahsyat di antara selangkangan seorang rider. Semakin seorang rider menarik tuas gas, semakin sering
ledakan itu terjadi, semakin kencang sepeda motor itu melaju, dan semakin
syahdu suara yang dihasilkan oleh knalpot. Saat seorang rider menarik tuas gas, jarum takometer akan beranjak naik, dari
1.500 rpm menjadi 6.000 rpm, lalu 8.500 rpm, hingga sampai ke limiter. New Megapro saya akan menjerit
pada limiter 10.500 rpm. Menyaksikan
jarum takometer naik dan turun, hingga kemudian menjerit pada limiter, dan di saat yang sama
menyaksikan jarum speedometer secara konstan beranjak naik hingga ke top speed, itu sama seperti ketika
menyaksikan penis yang membesar dan mengeras, lalu setelah ejakulasi melemas.
Itu adalah kekuatan yang diwujudkan oleh fungsi phallus. Ada kesenangan di sana, ada kenikmatan di sana, dan ada
perasaan keutuhan di sana.
Gambar 3. 84 kph on 7.000 rpm
Sebuah sepeda motor dapat berubah dan berkembang.
Itulah sebabnya hobi memodifikasi sepeda motor, walaupun mahal, tetap
mengasyikkan. Gesang “Broges” Yudoko, om saya, memiliki Vixion tahun 2009.
Vixion adalah motor sport 150cc yang relatif pendek dan kecil, cocok untuk
rata-rata orang Indonesia yang memiliki tinggi tidak sampai 170 cm. Ban bawaan
pabriknya sangat kecil; ban belakangnya saja hanya berukuran 90/90 17
(bandingkan dengan ban bawaan pabrik New Megapro 100/80 17). Dalam waktu kurang
dari lima tahun, Vixion om saya itu nampak besar dan gagah. Shock-breaker depan dan belakang
ditinggikan, sehingga ground clearance-nya
menjadi lebih tinggi. Velg orinya diganti dengan velg tapak lebar, sehingga
kini ukuran ban belakangnya 120/80 17. Bagian buritan diberi top box Givi E45, dan sepasang top box Givi E20 yang dipasang sebagai side box, sehingga Vixion tersebut
menjadi sangat semok. Slebor depan
ori dilepas, dan diganti dengan slebor Kawasaki ZX130 yang dipasang tinggi,
tepat di bawah headlamp, sehingga
muncul aura sepeda motor ADV penjelajah segala medan. Melihat motor Om Broges
itu di parkiran ATMI Intercam, temannya bertanya,
“Motormu
kokapakke ta, Ndan, kok ketok gedhi men?” (Motormu kamu apakan sih, Ndan,
kok terlihat besar sekali?)
“Mben esuk
daklus-lus, dadine abuh,” (Tiap pagi aku usap-usap, jadinya bengkak,)
Jawab
Om Broges sembari bercanda. Apa yang diusap-usap bisa membesar? Penis. Penis
adalah contoh khas dari Phallus.
Sepeda motor yang bisa diusap-usap
hingga besar itu, yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi gue banget itu, adalah phallus.
Suara Menggelegar yang Syahdu dan Ngangeni
Tidak sedikit teman-teman yang tergabung di dalam Saint
Paul Riders bereksperimen dengan knalpot. Setelan knalpot yang pas dapat
meningkatkan performa mesin (menambah power
dan torsi). Selain itu, setelan knalpot yang bagus dapat menghasilkan suara
yang syahdu dan khas. Selain menyaksikan penampilan Valentino Rossi di atas
lintasan motoGP, orang-orang menonton langsung di sirkuit untuk mendengar
raungan mentah mesin motoGP. Orang-orang yang menonton balapan sepeda motor di Isle
of Man pun banyak yang merekam suara dengungan mesin sepeda motor di kejauhan, semakin
lama semakin menderu, lalu ... “ngiiiiiiiiiiung” ... lewat begitu saja, dan
kemudian perlahan hilang di ujung tikungan. Ada yang menggemari suara stereo
nan merdu mesin dua silinder atau twin,
ada yang justru menggemari suara auman mesin silinder tunggal. For those who ride, loud pipes save lives.
Suara knalpot ori New Megapro karbu sebenarnya sudah
gandem, ngebas dan halus, tetapi kurang keras. Sempat saya merasa eman-eman ketika hendak bereksperimen
dengan knalpot ori tersebut. Knalpot ori ‘kan tidak murah? Namun, kemudian
dengan pertimbangan bahwa saya tidak akan menjual kembali New Megapro saya itu,
bahwa spare part ori Honda lebih
mudah dicari, dan bahwa saya memerlukan kepuasan dan ketenangan batin dengan
mendengarkan suara knalpot, akhirnya saya berani memutuskan untuk membedah
knalpot ori New Megapro. Saya ingin potensi suara ngebas, gandem, dan halusnya itu lebih dioptimalkan. Akhirnya saya
bawa New Megapro itu ke bengkel knalpot di sekitar Baron, Solo. Kepada
mekaniknya, saya request suara
knalpot yang ngebas, banter, alus ...
tetap ngebas, tetap halus, tetapi
lebih keras. Knalpot saya pun dibedah (harafiah). “Sarang tawon” yang membuat
knalpot ori New Megapro bersuara ngebas
tetapi lembut itu dilepaskan. Sebagai gantinya, mekanik itu menanamkan sebuah
pipa panjang penuh lubang ke dalam knalpot tersebut. Setelah bedahannya dilas
kembali, ujung knalpot tempat lubang buang dipotong sehingga bisa dibuka dan
ditutup. Diameter lubang buang knalpot dibuat lebih besar. Potongan itu lalu dipasang
kembali ke tubuh knalpot dengan dua buah sekrup. Tidak lupa mekanik itu
menjejalkan gasbul (glass wool) ke
dalam knalpot sebelum menutupnya. Hasilnya? Suara ngebas yang halus dan khas. Saking khasnya, teman-teman saya bisa
mengenali suara motor saya itu, bahkan sebelum mereka melihatnya secara visual.
Ketika saya masih di pertigaan dan belum menikung, teman-teman saya di halaman
Gereja Santo Paulus Kleco, yang kurang lebih berjarak lima meter dari pertigaan
itu, sudah mengenali dan tahu bahwa saya akan segera lewat atau mungkin mampir.
Suara knalpot yang ngebas, banter, alus
itu sungguh membuat hati saya damai.
Dengan alasan yang kurang lebih sama, teman-teman
saya gonta-ganti knalpot. Ada yang memakai knalpot “racing” Nob1, ada yang memakai Akralingga (Akrapovic KW bikinan
Purbalingga), ada yang memakai Leo Vince, tetapi mayoritas menggunakan knalpot
ori yang dibedah. Ada yang menggunakan knalpot Honda Revo, Honda SupraX 125R,
knalpot Satria FU 150, knalpot Yamaha Mio, knalpot old-Vixion, dan yang paling populer di antaranya adalah knalpot
Honda Tiger Revo (Tirev). Saking populernya knalpot Tirev, di pasaran terdapat
banyak knalpot Tirev KW yang sudah dibedah. Suara yang dihasilkan knalpot Tirev
bedahan kurang lebih sama dengan suara knalpot New Megapro karbu bedahan, hanya
volumenya lebih keras dan lebih galak.
Walaupun secara legal terdapat Undang-undang yang
membatasi berapa desibel kebisingan suara yang diperbolehkan untuk kendaraan
sehari-hari (tidak boleh lebih dari 80-83 db), realitanya banyak yang diam-diam memakai knalpot “racing” atau knalpot bedahan. Memang
terdapat paradoks: kenikmatan itu melawan aturan, tetapi juga sekaligus selaras
dengan aturan. Paradoks itu semakin tampak di dalam penggunaan knalpot ori yang
dibedah; wujudnya adalah knalpot orisinal, bikinan pabrikan, sehingga “selaras”
dengan aturan Undang-undang, tetapi bedahannya membuat suaranya di ambang
batas, bahkan melampaui batas desibel yang diperbolehkan Undang-undang. Di
hadapan razia polisi, seorang rider
berknalpot bedahan akan menyuarakan motornya dengan pelan, sehingga suara yang
dihasilkan knalpot ori bedahannya itu sehalus knalpot ori yang belum dibedah,
suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh knalpot “racing”, tetapi ketika dia berada di jalanan terbuka yang lepas,
dengan girang hati dia akan membetot gas dalam-dalam, sehingga knalpotnya
meraung dengan keras, dan hatinya merasa tenteram dan memperoleh kenikmatan.
Ketika menulis ini, tiba-tiba saya mengingat suara
knalpot ori bedahan New Megapro saya itu. Mengingat suara knalpot saya itu
membuat saya tiba-tiba ingin berkendara. Dengan berkendara, saya merangkul
kembali [a]namnese itu, suatu
kenangan yang hadir kembali, yang pada awalnya adalah kenangan akan berkendara
bersama Bapak, tetapi yang kemudian menjadi kenangan akan suatu rasa keutuhan
dan persatuan primordial. Ada objet a
pada suara knalpot itu, yang menggerakkan saya untuk berkendara, dan kemudian
bertemu wajah Liyan, untuk selanjutnya menciptakan dunia, suatu kebudayaan.
“Berkendaralah, engkau diutus,” demikianlah motto Saint Paul Riders.
Gambar 4. Berkendaralah, engkau diutus.
Daftar Bacaan
Boucher, G. 2008. The Charmed Circle of Ideology: A Critique
of Laclau & Mouffe, Butler & Zizek. Melbourne: Re.Press
Fink, Bruce. 1997. A Clinical Introduction to Lacanian Psychoanalysis.
Theory and Technique. Cambridge, Massachusetts & London, England:
Harvard University Press.
Hill, Philip. 2006. Lacanian untuk Pemula. terj. A.
Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius
Johnson, Richard. 1986-1987. What is Cultural Studies Anyway?.
Source: Social Text, no. 16 (Winter, 1986-1987), pp. 38-80. Duke University
Press
Lacan, Jacques. 1999. Ecrit. terj. Bruce Fink. W.W. Norton
& Company
Mulvey, Laura. 1975. Visual Pleasure and Narrative Cinema.
Originally Published – Screen 16.3
Autumn 1975 pp. 6-18
Saukko, Paula. 2003. Doing Research in Cultural Studies. An Introduction to Classical and New
Methodological Approaches. London, Thousand Oaks, & New Delhi: SAGE
Publications
Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal
SPR itu adalah sebuah tempat ibadah. Anggotanya yang beribadah di sana tidak terpaku pada satu golongan (baca: merek sepeda motor, red.) saja melainkan bisa dari golongan apapun asalkan beroda dua dan bermesin.
ReplyDeletehehehehe....... salam satu aspal :P xixixi
Deleteterima kasih :)
ReplyDelete