ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA

  ORANG-ORANG BARAT PADA PULAU PARA DEWA *kepada Hugo   Lukisan Sri Yesus Kristus bersama dengan Sri Krishna setelah Tuhan mereka bunuh berkali-kali... yang terjadi adalah kemanusiaan yang mati... akhirnya menjelma jadi jiwa yang mengembara di padang belantara... ke selatan, ke utara... ke timur, ke barat... ke sana... entah ke mana... mencoba menemukan Tuhan yang telah tiada   walaupun demikian, itu lebih baik bagi mereka daripada mulut ngaku ikut Sang Lelaki Galilea tapi membela anak ular beludak sampai mati atau mewarnai semua dengan mejikuhibini Ah, Hug, Barat itu arah terbenamnya matahari bacalah Wahyu, semuanya sedang digenapi...   Malang, 07 Oktober 2024 Padmo Adi

MAKNA CINTA DI KALA CORONA


MAKNA CINTA DI KALA CORONA

Dalam pandanganku, perkawinan itu selain sakramental juga sekaligus ekaristis. Sebagaimana Yesus memberikan Tubuh-Darah-Nya bagi sahabat-sahabat-Nya, demikian pulalah suami memberikan tubuh-darahnya bagi istri, dan istri memberikan tubuh-darahnya bagi suami. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Suami-istri itu adalah sepasang sahabat seperjalanan, walau membentang jarak memisahkan.
 
Konsekrasi Tubuh Kristus di dalam Doa Syukur Agung; mengenang sekaligus menghadirkan peristiwa ekaristi, kurban Kristus. Foto dokumentasi pribadi R.P. Alexander Koko, S.J.
Kamis Putih selalu menjadi peringatan akan peristiwa cinta yang agung itu. Namun, Kamis Putih kali ini berbeda dengan Kamis Putih tahun-tahun yang silam. Kita benar-benar ditarik ke dasar eksistensi kita, kesendirian kita. Sama seperti Yesus yang berdoa sendiri di Getsemani—sahabat-sahabat-Nya terlelap agak jauh dari tempat-Nya berdoa—sementara maut mengintai, mengaum-aum bagai singa, menuntut nyawa-Nya; demikian pulalah kita, aku dan kamu, sendiri di tempat kita masing-masing, sementara maut—yang bernama Covid-19 itu—secara senyap mengancam nyawa siapa saja yang lengah dan rentan di luar sana. Saat inilah saat yang tepat untuk kita berdoa bersama Yesus, “Ya Bapa, jika sekiranya mungkin, biarlah cawan ini berlalu daripadaku. Namun, bukan kehendakku yang jadi, melainkan kehendak-Mu.”

Kepada Tuhan kita mengharapkan pertolongan, “... [T]etapi bebaskanlah kami dari yang jahat. Amin.” Juga, terutama pertolongan di saat solitude kita ini. Kiranya Tuhan memberi kita kekuatan untuk menghadapi kesendirian ini. Rindu dan harapan memang telah menggebu. Doa-doa membubung ke angkasa, juga ter-streaming lewat sosial-media. Namun, pada Kamis Putih tahun ini, mengisolasi diri berarti adalah pengorbanan kasih yang terbesar; menarik diri adalah sebuah pemberian diri oleh karena kasih itu. Nilainya sama dengan para tenaga medis yang berjuang hidup-mati di garis depan menyelamatkan nyawa!

Ini adalah cinta di kala corona. Pada masa ini, antara cinta dan egoisme menjadi abu-abu. Apakah dengan menarik diri itu kita jadi egois, ataukah itu cinta? Dengan nekat mudik menemui kekasih yang tersayang itu wujud cinta, atau egoisme belaka? Yang jelas, pada masa wabah ini, menahan diri untuk tidak berjumpa adalah pengorbanan terbesar bagi sahabat-sahabat.

Pada Kamis Putih dua milenia yang lalu itu Yesus memasuki kegelapan kesendirian-Nya, memecah Tubuh-Darah-Nya, hingga berhadap-hadapan dengan Maut, demi keselamatan dan hidup sahabat-sahabat-Nya. Maka, Kamis Putih tahun ini, hendaklah kita berteguh hati memasuki kegelapan kesendirian kita masing-masing, walaupun itu berarti menjadi kagol dan ambyar, demi keselamatan dan hidup orang-orang yang kita cintai.
 
Sakramen Perkawinan, sebuah perayaan cinta. Perkawinan adalah lambang persatuan antara Allah dan Gereja-Nya, di dalam mitologi Perkawinan Sang Anak Domba (Sang Mempelai). Sebagaimana Kristus telah menyerahkan Diri-Nya bagi Gereja-Nya, demikianlah suami menyerahkan dirinya kepada istrinya dan istri menyerahkan dirinya kepada suaminya. Foto oleh FRYD Homestudio.
Selamat mendalami misteri cinta dan pengorbanan, Kamis Putih.

Malang, 9 April 2020
Padmo Adi

Comments