ELI... ELI...
LAMA SABAKHTANI?!
“Allahku... Allahku... mengapa Engkau meninggalkanku?!” Di tengah situasi
semacam ini, teriakan tersebut merupakan suatu teriakan yang sangat
manusiawi... sangat manusiawi. Wabah, gunung meletus, gempa bumi, banjir, kecelakaan
pesawat, krisis ekonomi... kematian! Seakan-akan kita dikepung oleh kematian.
Mau sembunyi di mana? Ditalenana,
dikuncenana, nek wis wayahe, ameh ngapa? Di saat kematian terjadi di
mana-mana, di hadapan mata, merenggut nyawa orang-orang terdekat kita, sungguh
sangat manusiawi ketika kita berteriak, “Allahku... Allahku... mengapa Engkau
meninggalkanku?!”
Segala kata-kata filosofis, kata-kata penyemangat, kata-kata puk-puk,
rasionalisasi, bahkan ayat-ayat suci penenang hati yang tergesa-gesa dan terlampau
dini itu... segalanya itu hanyalah pelarian! Kita melarikan diri kepada
kata-kata indah itu, yang sebenarnya cuma mengalihkan kita dari realita yang
ada. Kita menipu diri, bahwa kita masih kuat. Kita mendustai diri, bahwa kita
tidak ambyar. Kita memalingkan muka dari jurang dalam yang hitam, tetapi dengan
demikian, bukan berarti bahwa jurang dalam yang hitam itu lenyap begitu saja.
Menangislah jika memang harus menangis. Merataplah jika memang harus
meratap. Menggugatlah jika memang harus menggugat. Nggresula’a nek pancen kudu nggresula. Nek perlu, misuh! Itu semua
akan membuatmu lebih berani menatap jurang dalam yang hitam itu. Jika sudah
merasa cukup menangis, jika sudah merasa cukup meratap, jika sudah merasa cukup
menggugat, nek wis rumangsa cukup
anggonmu nggresula lan misuh-misuh, jika kamu sudah merasa cukup
membahasakan penderitaan itu... tataplah jurang dalam yang hitam itu tajam...
setelah itu katakanlah ‘ya’ pada penderitaan itu.
Orang yang terlalu mudah melarikan diri pada kata-kata filosofis atau
ayat-ayat suci terlalu dini takkan punya kekuatan untuk mengatakan ‘ya’ pada
kepahitan semacam itu. Justru orang yang bisa membahasakan ketakutannya adalah
orang yang punya cukup keberanian untuk mengatakan ‘ya’ pada derita. Orang yang
punya keberanian untuk mengatakan ‘ya’ pada kehidupan komplit dengan segala
manis-pahitnya adalah orang yang punya harapan... dan iman. Orang tersebut
sungguh sangat manusiawi (sekaligus ilahi) ... sama seperti pemuda 30-an tahun
gondrong brewokan yang berseru “Allahku... Allahku... mengapa Engkau
meninggalkan Aku?!” pada tiang salib 2.000 tahun yang lalu. Di balik gugatan
dan seruan itu terdapat harapan dan iman pada Allah-Nya. Dia tidak melarikan
diri terlalu dini, melainkan menenggak cawan pahit itu hingga tetes terakhir...
menghadapi kepahitan itu... hingga paripurna.
“Ke dalam tangan-Mu... kuserahkan diriku... ya Tuhan penyelamatku.”
Sukoharjo, 17 Januari 2021
@KalongGedhe
Comments
Post a Comment